APAKAH YANG DIMAKSUD KAMMA ?
Bhikkhu Vajhiradhammao
Pada hari ini, saya akan mencoba untuk menguraikan tentang hukum kamma.
Kadang-kadang umat Buddha salah mengerti tentang hukum kamma, seolah-olah hukum
kamma itu tidak adil. “kok, saya ini sudah sudah berbuat baik, berbuat
kebajikan, membantu ke vihara, berdana, berusaha tidak berbuat yang tidak baik.
Katanya siapa yang selalu berbuat baik dialah yang menerima buah kebahagiaan.
Tapi apa yang saya perbuat itu kok yang saya terima malah sebaliknya”. Dari peristiwa
yang dialaminya maka hukum kamma dianggap tidak adil. Ini merupakan pandangan
yang salah sekali sebagai umat Buddha
.
Hukum kamma disebut juga hukum sebab akibat, jadi tidak ada suatu akibat
yang terjadi tanpa di awali oleh sebab. Ada sebab lalu timbul akibat. Akibat
itu menajdi sebab yang baru sehingga timbul akibat baru. Demikian seterusnya,
rangkaian sebab dan akibat ini tidak bisa dipisahkan bagi manusia yang masih
memiliki banyak keinginan.
Menurut ajaran Sang Buddha, kamma atau perbuatan akan menimbulkan akibat
karena diawali dengan cetana (kehendak). Oleh karena ada niat, kemudian niat
itu terus timbul dalam pikiran, dan selanjutnya berwujud dalam bentuk ucapan
dan perbuatan badan jasmani. Nah ! inilah yang disebut hukum kamma, yang akan
menimbulkan akibat.
Kalau kita berbuat tanpa disertai dengan niat maka tidak akan timbul
akibat. Seperti yang dikisahkan pada jaman Sang Buddha, ada seorang bhikkhu
yang bernama Bhikkhu Cakkhupala.
Dalam suatu masa vassa ia bertekad, “selama vassa ini (selama tiga bulan
lamanya) saya tidak akan berbaring”. Karena tekadnya itu hingga menimbulkan
mata sakit, dia tetap tidak mau berbaring. oleh karena itu, obat mata yang di
teteskan di matanya selalu mengalir keluar. Ahkirnya mata Bhikkhu Cakkhupala
menjadi buta. Beliau ahkirnya suka bermeditasi dengan cara berjalan. Karena
matanya buta, dalam melakukan meditasi
itu ia menginjak banyak semut, cacing, kecoak, dan lainya sebagainya hingga
mati. Hal ini dilaporkan kepada Sang Buddha. Lalu Sang Buddha memangil Bhikkhu Cakkhupala dan bertanya,
“Apakah engkau ada niat untuk membunuh mahluk yang telah kau injak itu ?” “Bagaimana saya punya niat untuk membunuhnya,
Sang Buddha, mata saya buta”. “Oh, kalau demikian itu bukan kamma, karena tidak
ada niat”.
Banyak
bhikkhu yang tidak tidur selama masa vassa tetapi nyatanya banyak yang sehat
matnya. Lalu Sang Buddha menerangkan bagaimana rangkaian perbuatan yang telah
dilakukan sehingga menyebabkan perbuatan yang telah dilakukan sehingga
menyebabkan kebutaan pada bhikkhu Cakkhupala.
Diceritakan pada suatu masa kehidupannya yang lampau, bhikkhu Cakhhupala
pernah menjadi seorang tabib yang bias mengobati orang sakit mata. Sejak jaman
dahulu jika orang mau berobat harus ada imbal baliknya, dokter yang
mengobatinya harus dibayar. Demikianlah, ada seorang pembantu yang ingin
berobat tapi ia tidak punya uang. Kalau dia mengatakan terlebih dahulu bahwa ia
tidak punya uang, mungkin nanti tidak diobatinya, tapi setelah sembuh ia tidak
mau bayar. Ia lantas pura-pura masih sakit.
“Aduh, tabib bagaimana mata saya ini belum bisa melihat dengan jelas ?”
Sang tabib menjawab, “baiklah, saya akan melanjutkan pengobatannya, matamu agar
normal kembali”.
Sang tabib sebenarnya tahu bahwa pasienya sudah sembuh tapi berpura-pura
masih sakit. Secara diam-diam ia menyimpan dendam. “orang ini, matanya sudah
sembuh tapi dia berkata masih sakit, agar tidak membayar biaya pengobatannya”.
Tabib itu tidak tahu kalau pasienya itu hanyalah seorang pembantu yang
miskin. Sang tabib memberikan obat lagi, obat yang mengandung racun, dan dengan
dendamnya ia mengatakan dalam hatinya, “Rasakan kamu nanti akibatnya, sudah
sembuh bilang belum sembuh.”
Dengan obat yang mengandung racun itu, si pembantu (pasienya) menjadi
buta. Ahkirnya sang tabib pun memetik akibatnya, setelah menjadi bhikkhu pun
dia masih memetik buahnya. Dia pernah membuat buta orang lain, ia kemudian
menjadi buta. Pada saat itu ia sudah mencapai kesucian, matanya buta tetapi
batinya sudah terang, sudah melihat Dhamma.
Inilah kamma, ada niat, berusaha dilakukan dan berhasil dilakukan.
Sehingga menimbulkan akibat dan yang dinamakan kamma.
Ada empat macam kamma menurut fungsinya. Kamma ini tidak dapat berjalan
sendiri tanpa ada factor-faktor yang lainya. Kamma tersebut sangat menentukan,
tetapi factor yang lain juga menentukannya. Tidak bias tumbuh sendiri. Yaitu
·
KAMMA YANG MENYEBABKAN KELAHIRAN SESUAI DENGAN MACAM
DAN SIFATNYA. KAMMA JENIS INI HARUS DISERTAI DENGAN FAKTOR LAIN YANG DAPAT
MENUNJANGNYA.
Misalnya, bagi mahluk hidup yang lahir melalui kandungan,
factor pendukungnya adalah adanya ayah dan ibu yang mengadakan hubungan
badaniah, bertemunya benih sel seperma dan sel telur yang terjadi proses
pembuahan. Proses pembuahan itu adanya patisandhi vinnana (getaran kesadaran)
yang masuk.
Mahluk yang melalui telur juga ada faktor
pendukungnya. Adanya proses pembuahan tadi, kemudian ada telur yang keluar, ada
betina yang mengeraminya akhirnya menetas.
Para dewa mempunyai perkecualian. Factor yang
menunjang adalah kebajikan. Karena banyak berbuat baik maka seseorang dapat
terlahir di alam dewa. Demikian pula mahluk yang menderita yang lahir di alam
yang menyedihkan karena banyak berbuat yang jahat.
·
KAMMA YANG BERFUNGSI MEMBANTU MEMPERLEMAHKAN APA YANG
TELAH DIHASILKAN OLEH KAMMA DI ATAS.
Mengapa mahluk itu lahir ? Mahluk tersebut karena ia
mempunyai simpann kamma. Jadi menurut agama Buddha tidak benar kalau kita
mengatakan bahwa bayi yang baru itu masih suci. Kadang-kadang kita berpendapat
kalau bayi yang baru lahir kemudian meninggal pasti masuk surga karena ia masih
suci, dia belum pernah berbuat apa-apa. Menurut pandangan agama Buddha pendapat
tersebut merupakan pengertian yang salah, karena bayi tersebut – walaupun belum
sempat berbuat kamma dalam kelahiran yang baru ini – telah mempunyai simpanan
kamma dari kehidupan-kehidupan sebelumnya.
·
MENURUT KEKUATAN BERBUAHNYA KAMMA, YAITU
Simpanan kamma itu memang tidak kelihatan. Tidak
seperti simpanan yang berbentuk fisik yang kita miliki. Suatu waktu, sesuai
dengan kondisinya kamma itu pasti akan berbuah. Sebagai perumamaan, kita
mempunyai simpanan bibit padi, tapi kondisinya tidak menunjang – kemarau
panjang, tidak ada hujan – maka bibit itu tetap tidak dapat berbuah atau
tumbuh, tetapi begitu dating musim hujan bibit yang ditanam itu akan tumbuh dan
akhirnya berbuah.
·
KAMMA YANG BERFUNGSI UNTUK MENGHANCURKAN, YAITU
Kamma ini merupakan jenis yang hampir sama dengan
kamma yang melemahkan, karena fungsinya menentang atau melemahkan, sesuatu yang
sudah ada. Akan tetapi, kamma ini mempunyai kekuatan yang besar daripada
penghancur.
Kini marilah kita lihat bersama kamma menurut jangka waktunya, jadi kamma
itu mempunyai jangka waktu sesuai dengan situasi dan kondisinya.
·
ADA ORANG YANG BERBUAT DAN LANGSUNG MENDAPATKAN
HASILNYA DALAM KEHIDUPAN INI, BAHKAN SEPONTAN MERASAKAN AKIBATNYA.
Ada sebuah cerita. Ada seorang pengembala yang juga seorang pembohong.
Suatu hari ia ingin membuat sebuah kejutan, karena ia mengembala setiap hari
kok begitu-begitu terus. “Bagaimana caranya, ah………saya akan berbohong”. Gembala
ini lalu berteriak-teriak, “Ada harimau, ada harimau makan domba !” Penduduk
desa dating berbondong-bondong menolongnya, “Mana harimau-nya, mana harimau-nya
?” Si gembala tertawa terpingkal-pingkal, “Wah, saya berhasil membohongi
mereka”.
Hal yang sama itu diulanggi untuk kedua kalinya. Penduduk dating lagi
berbondong-bondong ingin menolongnya, tapi tidak ada harimau. Sang gembala
tertawa karena berhasil membohongi yang lainya lagi. Tetapi ketika dia minta
tolong untuk yang ketiga kalinya karena ada harimau sungguhan yang datang
memangsa dombanya, tidak ada seorang pun yang datang untuk menolongnya.
Orang-orang berpikir, “Paling-paling dia bohong lagi seperti kemarin”.
Ahkirnya, semua dombanya habis mati dimakan harimau. Ini adalah akibat kamma
yang langsung berbuah, dalam hal ini karena ia suka berbohong.
·
KAMMA BIASA BERBUAH SPONTAN BIAS JUGA BERBUAH PADA
KEHIDUPAN-KEHIDUPAN BERIKUTNYA.
Seperti suatu contoh yang kita ketahui, Agulimala. Ia pernah memotong
jari dan membunuh orang sekian banyak, tapi pada zaman itu ia bias bertemu
dengan Sang Buddha – menjadi bhikkhu dan mencapai kesucian.
Pada suatu waktu ketika berpindapata ia ada orang melempar anjing dengan
batu dan kena kepalanya. Karena Agulimala sudah mencapai tingkat kesucian
arahat, maka dengan penuh kesabaran ia mengusap kepalanya dengan menahan sakit.
Ia tidak marah. Dengan kepala yang berdarah ia langsung menghadap Sang Buddha
menceritakan apa yang dialaminya. Sang Buddha mengatakan, “sabar, sabar, ini
memang kamma mu, dulu kamu pernah berbuat yang setimpal seperti yang kau terima
sekarang ini”.
·
KAMMA YANG BARU BERBUAH SETELAH BERKALI-KALI
KEHIDUPAN., YAITU
Oleh karena itu jika kita berbuat baik sekarang kita jangan terlalu
mengharap cepat berbuah sepontan. Jkadi kita harus mengerti bahwa kita berbuat
baik itu pasti akan ada akibatnya, tapi kita tidak perlu mengharap-harap, tidak
meminta-minta, menunggu-nunggu. Jadi berusah dan berbuat yang baik, perbuatan
baik itu pasti ada buahnya.
Kalau kita menunggu, meminta-minta, dan mengharap, akan menimbulkan
pandanagan yang salah. Apa yang kita nikmatinya, rasakan sekarang adalah hasil
dari apa yang diperbuat kitayang lampau. Lalu kita menanam terus karena berbuat
bajik itu membawa kita pada kebahagiaan pada kehidupan kini maupun
kehidupan-kehidupan yang berikutnya.
·
KAMMA YANG TIDAK MEMBUAHKAN AKIBAT, YAITU
Sebenarnya bukan berarti kamma itu terhapus atau hilang, tetapi dapat
diumpamakan jika kita mempunyai garam satu genggam atau gula satu genggam dan
dimasukkan kedalam air dibak mandi. Maka air didalam bak mandi tidak terasa
asin atau manis. Dan kita tidak mungkin dapat mencari dimana garam atau gula
itu. Ini adalah perumpamaan dari ahosi kamma.
Sekarang kamma menurut berat ringannya, atau sesuai dengan kekuatan kamma
yang telah dilakukannya, yaitu
·
PERBUATAN PALING BERAT YANG DISEBUT GARUKA KAMMA.
Perbuatan yang tidak baik, yang paling berat disebut akusala garuka
kamma. Ad lima macam akusala garuka kamma yaitu (1) membunuh ibu, (2) membunuh
ayah (3) memecah-belah sangha, (4) melukai tubuh seorang Buddha (5) membunuh
Arahat.
Ini adalah akusala kamma )perbuatan buruk) yang tidak ada ampun lagi bagi
pelakunya. Pelakunya pasti akan terlahir kembali dan tinggal di alam neraka
selama berkalpa-kalpa walaupun dia melakukan berbgai jenis perbauatn baik
lainya. Seperti Devadatta yang menggulingkan batu ketika Sang Buddha akan lewat
hingga Beliau terluka. Setelah meninggal Devadatta terlahir di Neraka Avici.
Demikian juga dengan Ajatasattu yang membunuh ayah kandungnya sendiri.
Dia terlahir di alam neraka avici setelah meninggal dunia walaupun dalam masa
kehidupannya-setelah membunuh ayahnya- dia banyak melakukan kebajikan kepada
Sang Buddha dan Sangha.
Ada juga kamma paling berat-yang terbaik yang disebut kusala garuka
kamma, yaitu pencapaian jhana, suatu pencapaian dalam tingkat meditasi.
Terdapat delapan jenis jhana yang dapat dicapai yakni empat tingkat rupajhana
dan empat tingkat arupajhana. Seseorang yang telah mencapai tingkat jhana,
apabila meninggal dunia akan terlahir di alam jhana sesuai dengan tingkat yang
telah dicapainya.
Dari dua jenis Garuka Kamma ini, tentu kusala kamma yang paling sulit
dicari dan akusala kamma yang paling mudah untuk dilakukan. Dan dari lima jenis
akusala garuka kamma yang ada, di jaman sekarang hanya tinga akusala garuka
kamma yang tersisa dan dapat dilakukan oleh seseorang yakni membunuh ibu,
membunuh ayah, dan memecah belah sangha. Melukai seorang Buddha tidak mungkin
dilakuakn karena tidak ada pada saat ini lagi, dan membunuh Arahat juga sulit
karena sangat jarang sekali untuk lahir seorang Arahat karena sangat jarang
untuk lahir seorang Arahat di jaman sekarang ini.
Membunuh orang tua (ayah dan ibu) dapat dilakukan oleh siapa saja. Tetapi
untuk memecah belah sangha, pada umumnya hanya dilakukan oleh seorang bhikkhu.
Memecah belah sangha sulit dilakukan oleh seorang umat awam yang menjalani
kehidupan sebagai perumah tangga.
·
ASANNA KAMMA
Asana Kamma adalah kamma yang diperbuat oleh seseorang pada saat
menjelang kematian atau dapat juga berupa perbuatan yang pernah dilakukan
sebelumnya, dan biasanya muncul melalui pikiran. Orang yang akan meninggal
dunia itu melihat nimitta (gambaran batinnya), dia melihat macam-macam hal yang
sesuai dengan perbuatan dengan sangat jelas.
Ada suatu cerita, seseorang yang dalam hidupnya menjadi seorang tukang jagal
babi, ketika si penjagal babi akan meninggalkan dia melihat kunci, pintu
grendel, pisau yang tajam, ia berteriak-teriak seperti babi yang mau mati.
Inilah asana kammma, yang timbul dalam batin seseorang karena dia ingat akan
perbuatan-perbuatannya yang lalu. Oleh karena itu, kalau mau meninggal dunia,
hendaknya mengingat hal-hal yang baik saja.
·
KAMMA KEBIASAAN
Selanjutnya adalah yang disebut Bahula kamma, kamma kebiasaan. Jika asana
kamma tidak mempengaruhi orang yang mau meninggal, yang muncul dan menentukan
kelahiran berikutnya adalah kamma kebiasaan-bahula kamma.
Bagaimana kebiasaan orang itu hidup itulah yang akan membawanya pada
kelahiran selanjutnya. Ada suatu contoh, di jaman Sang Buddha ada seorang
Arahat. Sekalipun sudah mencapai tingkat Arahat, ia masih mempunyai kebiasaan
jelek. Kalau ada gundukan tanah-walaupun kecil-ia pasti ambil ancang-ancang dan
melompatnya. Kalau selokan kecil, da ambil ancang-ancang dan melompat.
Ada umat yang bertanya kepada Sang Buddha; mengapa demikian ? Lalu Sang Buddha
menerangkan dengan pengertian yang dimengerti dengan pengertian oleh si
penanya. Bhikkhu ini dalam kehidupan yang lalu pernah lahir menjadi kera, dan
dalam kelahiran berikutnya menjadi manusia, kebiasaan loncat-loncat itu tidak
bisa dihilangkan. Jadi kamma kebiasaan ini muncul pada kehidupan berikutnya, si
pembuat itu tidak menyadari bahwa ia selalu berbuat yang kurang pantas. Jadi
hendaknya kita selalu banyak untuk berbuat yang baik, jangan pupuk kebiasaan
yang buruk.
Maka kita mengerti hokum kamma secara benar, bahwa kamma itu bias berbuah
sekarang, bias berbuah di masa yang akan dating dalam kehidupan ini juga bias
berbuah pada kehidupan-kehidupan berikutnya.
Oleh karena itu kita jangan salah mengerti, “saya ini sudah setiap minggu
dating ke vihara berdana, kok malah sial, dagangan juga rugi, mau pinjam tidak
dipercaya lagi, anak sakit keras, rumah banjir, dimana letak keadilan hokum
kamma itu”
Ya……….tunggu dulu, belum waktunya berbuah ! jadi jangan anggap bahwa
kamma itu tidak adil. Kammma itu adil, karena tidak mungkin kammma itu berbuah
berbarengan, sekalipun kelihatannya bebarengan tetapi sebenarnya ada tenggang
waktunya yang kita tidak bias merasakannya. Teruskanlah berbuat kebajikan,
perbuatan baik pasti akan ada buahnya. Itu pasti !
PERAN BHIKKHU SANGHA DALAM
MENINGKATKAN
KEYAKINAN UMAT BUDDHA
Oleh : Bhikkhu Vajhiradhammo
A. Pendahulan
Semua umat Buddha yang telah menjalankan hidupnya menjadi
bhikkhu-bhikkhuni, wajib menagggalkan kehidupan duniawi dan bertempat tinggal
dilingkungan tempat ibadah (vihara) yang disebut kuti (tempat tinggal para
anggota Sangha). Selain menjalani kehidupan sebagai Bhikkhu-bhikkhuni, juga
mengabdikan demi kepentingan perkembangan agama Buddha, membabarkan dhamma
ajaran Sang Buddha dengan penuh cinta kasih.
Sangha merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam perkembangan ajaran
Buddha. Dimana sangha adalah bagian dari kesatuan Tri Ratna dari tiga mustika,
“ Jika engkau berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha perasaan takut,
khawatir, cemas, tidak akan muncul” (S. I ; 220). Buddha sebagai
kesadaran yang tertinggi, Dhamma merupakan kebenaran dan Sangha sebagai person
yang memiliki jiwa Kebuddhaan. Sangha terbentuk pada waktu kehidupan Sang
Buddha dan beliau sendiri menjadi ketua sangha pada waktu itu. Sangha pada
kehidupan Sang Buddha sebagai perantara dalam penyebaran ajaran kebenaran
tentang Dhamma. Pengikut Buddha yang semakin banyak bukan lain adalah pengaruh
keyakinan yang muncul melalui ajaran siswa-siswa Buddha yang menyebar ke
berbagai daerah untuk mengajarkan Dhamma.
Ajaran Buddha setelah Mahaparinibbana Sang Buddha, dilanjutkan oleh para
siswa-siswa utama melalui konsili-konsili yang menghasilkan kumpulan ajaran
Buddha berdasarkan khotbah, aturan dan peristiwa yang terjadi pada waktu
kehidupan Sang Buddha. Penyebaran ajaran Buddha memberikan banyak kontribusi
kemakmuran pada berbagai negara. Raja Asoka yang terkenal dengan pedangnya dan
selalu ingin menguasai negara-negara yang sebelahnya, namun setelah
mendengarkan ajaran Sang Buddha, kemudia menjadi pengikut Buddha dan berperang
bukan dengan senjata tajam melainkan dengan kebenaran Dhamma.
Sangha berperan sebagai perubah nilai psikologis pada manusia. Orang yang
melihat kehidupan dan perbuatan para
Bhikkhu yang terlatih dalam sila, memberikan kesejukan hati dan rasa damai.
Kegembiraan ini muncul dalam diri manusia yang selalu memberikan penghormatan
dan keyakinan terhadap Sangha. Dimana para bhikkhu-bhikkhuni yang selalu
memberikan dampak yang baik dalam bertindak.
Perlindungan merupakan ciri utama Sangha sebagai kesadaran tinggi dalam
kebuddhaan, memberikan satu perubahan yang besar terhadap perumah tangga untuk
menyelamatkan dari ketakutan dan kekhawatiran menmgenai kehidupan dunia. Sangha
memberikan rasa aman dan sebagai sifat kebijaksanaan pada kesucian yang
dilakukan seseorang dalam sifat perlindungan yang dimiliki berdasarkan pada
Ariya Sangha sebagai pengertian falsafah kesucian. Sebagai tempat menanam
kebajikan yang merupakan ladang subur bagi perumah tangga, sebab sangha
memiliki moralitas yang tinggi dalam sila dan vinaya.
Sangha sebagai guru dalam moralitas dan membimbing perumah tangga dan
sebagai perlindungan dalam Buddha Dhamma. Walaupun setelah Mahaparinnibbana
Sang Buddha, para Bhikkhu Sangha terjadi corak perbedaan dalam berbagai aspek
penerapan vinaya ataupun ajaran Dhamma dari Buddha Gautama. Awalnya bhikkhu
adalah sebagai manusia biasa yang melatih diri dalam moralitas dan kebajikan,
menunjukan eksistensi dalam pengaktualisasian diri dalam latihan untuk mencapai
tingkat kesucian. Disisi yang lain bhikkhu sebagai penganut Buddha yang
memiliki peran untuk menyebarkan Dhamma, menyebarkan kebenaran agar para mahluk
yang lain memperoleh kesempatan dalam menjernihkan kekotoran batin dengan
ajaran Dhamma Sang Buddha. Sehingga prinsip melatih diri sebagai seorang
pertapa tidak ditinggalkan, sembari memberikan ajaran kepada para perumah
tangga.
Perbedaan pendapat dari kalangan bhikkhu memberikan dampak yang berbeda
pula, tetapi sebagai tiang perlindungan dan penerus ajaran Buddha. Sangha
merupakan penuntun dan figure untuk keyakinan umat perumah tangga. Berdasarkan
aktualisasi diri bhikkhu, menjadikan pertanyaan bagi diri kita, apakah para
bhikkhu dalam kenyataannya sekarang ini masih bisa memberikan kontribusi
terhadap keyakinan kepada perumah tangga dalam perkembangan agama Buddha.
B. Sangha dalam agama Buddha
Sangha dalam agama Buddha diibaratkan sebagai sebuah ladang yang subur
dalam menghasilkan panen yang berlimpah. Karena itu benih-benih perbuatan yang
berjasa yang ditanam pada sangha adalah sebuah ladang yang subur, dimana hasil
yang berrlimpah dapat diharapkan. Umat Buddha meyakini bahwa pemberian dana
yang diberikan kepada mereka yang sungguh-sungguh melaksanakan kehidupan suci
akan membawa pahala yang lebih besar tetapi tidak membawa pahala yang besar
bila diberikan kepada orang yang tidak memiliki moralitas yang baik. Buddha
menasehati bahwa bentuk pemberian makanan kepada seratus Paccekha Buddha, pahalanya akan lebih
besar apabila ia memberikan makanan kepada seorang Sammasambuddha yang telah
mencapai penerangan sempurna. Jika makanan diberikan kepada para anggota Sangha
yang dipimpin oleh sang Buddha, pahalanya akan lebih besar apabila ia
mendirikan sebuah vihara yang dapat digunakan oleh para bhikkhu sangha.
Sangha memiliki dua makna, yakni secara sammuti adalah sebagai personal
duduk dalam sangha yang bertekan melatih diri dalam moralitas untuk
meraih kebijaksanaan, yang belum mencapai tingkat kesucian sedangkan Sangha
secara paramatta adalah tingkat
kesucian pada sottapana, sakadagami, anagami dan arahat atau Ariya Sangha dalam
persaudaraan para bhikkhu-bhikkhuni yang telah mencapai tingkat kesucian.
Keberadaan Sangha selalu memberikan nilai kebaikan yang tinggi bagi perumah
tangga. Penjelasannya Buddha kepada pemuda bernama Sigala memberikan nasehat
fungsi Sangha terhadap umat perumah tangga yakni sebagai pembimbing dan
pengajar dalam kehidupan para perumah tangga.
Sangha adalah sebagai bagian dari tiga mustika yang memiliki tempat
khusus dalam perkembangan agama Buddha. Sangha merupakan bagian perlindungan
agama Buddha dalam kelangsungan penyebaran Dhamma setelah Mahaparinibban Sang
Buddha. “Seseorang yang telah pergi berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha
akan melihat kebenaran yang mulia dengan pengetahuan yang benar” (Dhp.
XIV : 190). Secara harfiah Sangha adalah persaudaraan suci para
Bhikkhu-bhikkuni. Persaudaraan suci para bhikkhu-bhikkhuni terbentuk pada
kehidupan Buddha. Persaudaraan para bhikkhu-bhikkhuni dengan Sang Buddha
sebagai kepala dalam persamuan Sangha, memberikan banyak inspirasi tentang
kebenaran pada jaman kehidupan pertapa di India yang tersesat dengan pandangan
yang salah.
Praktek pembabaran Dhamma dengan kebijaksanaan memberikan implikasi
terhadap perolehan kebahagiaan bagi para pengikut ajaran Dhamma dan memberikan
petunjuk terhadap jalan kebahagiaan menuju pembebasan. Masuknya lima petapa
pada waktu pertama kali sehingga terbentuklah Sangha pertama, yang menunjukan
bahwa keyakinan terhadap kebenaran Dhamma dengan penembusan sendiri menjadi
aspek tauladan bagi umat perumah tangga dan pertapa, bahwa Buddha memiliki
kekuatan yang sangat besar dalam memberikan inspirasi keyakinan agar manusia
selalu berbuat kebajikan.
Berkembangnya ajaran Buddha keberbagai negara dengan perantara para Bhikkhu
sebagai penyebar ajaran Buddha dan sebagai pewaris pelaksanaan Dhamma
menujukkan adannya keyakinan para umat kepada Dhamma sebagai penerimaan Dhamma,
sebagai model hidup untuk memperoleh kebahagiaan. Sangha pada saat ini telah
menunjukkan eksistensinya yang besar dalam upaya penyadaran umat perumah tangga
kepada ajaran Buddha sebagai kebenaran yang
mulia. Di Indonesia telah berdiri beberapa kelompok Sangha berdasarkan
aturan pada vinaya yang berbeda dan ajaran sumber kitab yang berbeda pula.
Keberagaman sangha di Indonesia atau di seluruh belahan dunia secara esensial
memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai kumpulan orang yang melatih diri dalam
vinaya dan upaya untuk pembabaran Dhamma kepada umat manusia yang masih banyak
dicengkram oleh derita karena kekotoran batinya.
Seseorang yang mempunyai kehendak, tekad dan keinginan kuat untuk memilih
hidup menjadi bhikkhu merupakan pilihan yang sangat luhur dan mulia. Menjadi
bhikkhu memerlukan perjuangan yang keras, tekun, ulet dan dengan
sungguh-sungguh melatih hidup suci sehingga apa yang menjadi cita-citanya dapat
tercapai pada kehidupan sekarang. Prosedur untuk menjadi bhikkhu, juga sangat
panjang, mulai dari samanera sampai menjadi bhikkhu. Banyak sekali rintangan
dan godaan dari luar yang selalu diwaspadainya. Karena Sang Buddha berpesan
“berjuanglah dengan sungguh-sungguh, O para bhikkhu, dan waspadalah serta penuh
kebajikan ! dengan sekuat tenaga, jagalah pikiran sendiri ! siapa yang
mengikuti dhamma dan vinaya dengan baik dan tekun akan mampu mengahkiri
penderitaan hidup”.
Kalau seorang bhikkhu memegang terguh pesan Sang Bbuddha, maka para
bhikkhu akan tabah menghadapi semua penderitaan, bahaya dan godaan demi
tercapainya pemadaman keinginan, penyadaran ahkir dari penderitaan dan menuju
pengetahuan yang sempurna. Seperti siswa Sang Buddha Y.A. Sariputra dengan
tegas dan lantang mengatakan tekad yang kuat dalam latihan dan tidak akan
pernah menggunakan cara-cara rendah yang dicela oleh Sang Buddha. Jika para
bhikkhu sekarang ini mempunyai tekad dan kehendak seperti Y.A. Sariputera,
kemungkinan tidak ada seorang bhikkhu yang menanggalkan jubahnya.
Dimasa sekarang seseorang yang telah puluhan tahun menjalani kehidupan
sebagai bhikkhu dan melaksanakan peraturan vinaya dengan baik, ada kemungkinan
untuk melepaskan jubahnya dengan berbagai macam alasan, karena itu adalah hak
setiap diri pribadi manusia dalam latihan. Setelah kembali ditengah-tengah
masyarakat iapun menjalani hidup berumah tangga. Ini sama halnya dengan para
mahasiswa yang mempertahankan diri untuk belajar, para pekerja yang bekerja
keras untuk mencari nafkah secara jujur, tetapi perjuangannya kandas ditengah
jalan dengan berbagai macam hambatan dan rintangan yang tidak mampu untuk
dilewatinya.
Seorang bhikkhu, melepaskan jubah dan kembali dalam kehidupan perumah
tangga adalah sesuatu yang wajar dan diaggap sesuatu yang biasa. Karena menjadi
bhikkhu hanya merupakan suatu latihan biasa. Selain itu tidak ada peraturan
yang sifatnya mengikat yang seharusnya seseorang untuk menjadi bhikkhu selama hidupnya.
Tetapi bagi umat awam, yang mempunyai pengetahuan Dhamma pas-pasan atau bagi
umat yang baru mengerti ajaran Buddha, kemungkinan sulit sekali untuk menerima
kenyataan ini, karena ia begitu hormat, bakti, bermurah hati dan selalu
membantu kegiatan yang berkenaan dengan kepentingan Sangha. Rasa kecewa akan
selalu menyelimutinya, tatkala ia mengetahui bahwa mantan bhikkhu tempat ia
berbakti itu ternyata sudah menikah. Maka ia mulai mereka-reka penaggalan
jubahnya karena tidak kuat menahan godaan wanita. Padahal tidak setiap pribadi
bhikkhu melepaskan jubahnya karena alasan tersebut. Tetapi perlu direnungkan
lebih mendalam, bahwa setiap permasalahan yang muncul selalu ada batas
kemampuan bagi seseorang dalam menyingkapinya, dan mantan bhikkhu pun tidak serendah
yang menjadi bayangan. Sehubungan dengan hal tersebut Y.A. Ananda menanyakan
kepada Sang Buddha, tentang bagaimanakah cara bhikkhu bersikap terhadap
(wanita) permasalahan tersebut ? Sang Buddha menasehatinya “Jangan lihat
mereka, Ananda, tetapi Bhante bagaimana kalau kita melihat mereka ? maka jangan
bicara kepada mereka, Ananda. Namun bhante, bagaimana kalau kita harus
berbicara dengan mereka ? maka dalam hal ini, Ananda, engkau harus selalu
waspada”.
C. Aspek – aspek Kehidupan Sangha
Banyak orang masih belum menyadari bahwa Dhamma kebenaran yang dibabarkan
Sang Buddha tidak dapat berubah pada situasi apa pun. Aturan vinaya tertentu
juga termasuk dalam kategori yang sama dan tidak dapat berubah pada kondisi apa
pun. Tetapi beberapa aturan vinaya lain dapat berubah untuk mencegah
ketidaknyamanan yang tidak semestinya. Dhamma dan vinaya tidak sama. Hal ini
dari beberapa bhikkhu mengamati tradisi tertentu dengan kaku seakan-akan hal
itu merupakan prinsip yang religius yang penting. Walaupun yang lainya tidak
dapat menemukan kepentingan atau pengertian religius dalam prakteknya.
Sangha dalam berbagai aspek fisik memiliki kelemahan seperti manusia
biasa. Sehingga menimbulkan perpecahan dalam beberapa kelompok pada waktu
kehidupan setelah Mahaparinibbana Sang Buddha yang merupakan dinamika dalam
kelanjutan dari upaya penyebaran ajaran Buddha Dhamma. Sangha dalam wujudnya
demi perkembangan agama Buddha mampu meningkatkan keyakinan yang memiliki
beberapa aspek kehidupan sangha, yang membawa keberuntungan positif bagi
perumah tangga, diantaranya:
1. Aspek model.
Sangha merupakan pewaris dan
pelaksana ajaran Buddha, melalui sikap latihan moralitas dan tingkah laku dalam
kehidupan. Mampu memunculkan inspirasi kepada umat perumah tangga dalam
menemukan kebenaran berdasarkan aspek model yang diberikan oleh bhikkhu sangha.
Keberhasilan sangha dalam mengemban misi kelangsungan penyebaran dhamma
merupakan peran utama para Bhikkhu-bhikkuni dalam misinya sebagai pertapa yang
menumbuhkan kembali sikap dan pandangan manusia yang salah menjadi manusia yang
memiliki keyakinan kepada Dhamma sebagai pegangan hidup dalam merealisasi
kebahagiaan.
Sangha memberikan efek kedamaian bagi orang yang melihat kualitas
moralnya berkat kekuatan Dhamma dan kebijaksanaan yang dimilikinya bagi setiap
pribadi bhikkhu-bhikkhuni. Pengendalian ini memberikan kekuatan yang luar biasa
terhadap lingkungannya. Bhikkhu Sangha dalam prakteknya mengendalikan idrianya
sebagai acuan utama para bhikkhu sangha dalam berpikir berbuat, maupun
berbicara. Berjalan dalam sila dan vinaya merupakan moralitas yang tinggi yang
dapat memberikan kedamaian dan kekuatan kebijaksanaan.
Beberapa sifat dan sikap bhikkhu sangha sebagai pertapa kepada para
perumah tangga adalah mencegah anggota keluarga untuk berbuat jahat,
menganjurkan untuk selalu berbuat kebaikan, mengajarkan dhamma ajaran kebenaran
Sang Buddha yang baru, yang belum diketahuinya atau didengarnya serta
menjelaskan dengan baik. Bhikkhu sangha sebagai tempat untuk menanam jasa bagi
perumah tangga yang menuju pada kebahagiaan.
2. Aspek keyakinan
Keyakinan para siswa Buddha tumbuh setelah melihat Bhikkhu sebagai model
utama dalam moralitas memberikan rasa damai dan kesejukan pikiran. “Keyakinan
atau kepercayaan adalah yang terbaik yang dapat dimiliki seseorang” (S. I : 41). Sangha dalam ini hanya
memberikan keyakinan kepada perumah tangga untuk memperkokoh dan memberikan
landasan dalam hal pola prilaku sebagai panutan. Buddha dan para bhikkhu sangha
adalah pembimbing menuju pada realisasi diri terhadap kebahagiaan. Dengan memiliki keyakinan kepada Sangha, ada
yang berhasil mencapai tujuan, namun tidak sedikit pula yang tidak berubah
nasibnya. “Para bhikkhu sangha sebagai siswa Buddha hanya menunjukan jalan
seperti Buddha, hasilnya jelas tergantung kepada orang yang mendapat petunjuk” (M.
III, 4-6).
Aspek keyakinan yang disertai pernyataan berlindung ini mempunyai arti
dalam tiga aspek, (1). Aspek kemauan, yang menghendaki adanya kesadaran dan
tindakan yang aktif, bukan pasif menunggu berkah dari atas; (2) aspek
pengertian, yang menghendaki pemahaman terhadap hakekat perlindungan dan
perlunya perlindungan, yang memberikan harapan dan yang menjadi tujuan; (3)
aspek perasaan, yang mengandung unsure percaya keiklasan, syukur dan cinta
kasih, yang menimbulkan bakti, mendorong pengabdian dan memberikan ketenangan,
kedamaian, semangat, kekuatan dan kegembiraan.
3. Aspek perlindungan
keyakinan muncul mendalam bagi seseorang yang telah mengerti Dhamma yang
akan memberikan perlindungan yang sejati terhadap kehidupan menuju kebahagiaan.
Keberadaan bhikkhu sangha memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap
kebahagiaan para perumah tangga sebagai kekuatan moralitas. “Setelah melatih
diri dengan baik, ia sangat sulit memperoleh perlindungan, sesungguhnya diri
sendiri yang menjadi pelindung bagi dirinya” (Dhp. XII : 160).
Ungkapan perlindungan terhadap sangha menjadi acuan utama dalam upacara
ritual agama Buddha. peryataan perlindungan bukan berlindung kepada personal
sebagai manusia, tetapi kepada sifat moralitas dan kesucian pada bhikkhu
sangha. Pelindung kepada sifat kebuddhaan yang dimiliki oleh setiap manusia
adalah percaya pada Buddha sebagai sifat kesadaran dan kesempurnaan. Dan aspek
dhamma sebagai bentuk kebenaran pada hukum kesunyataan. Namun yang menjadi
aspek perlindungan sebetulnya adalah perlindungan kepada diri sendiri yang
telah memiliki pemahaman hakekat kebenaran dan kesucian yang ada pada diri
setiap seorang. “Karena itu Ananda, jadikanlah pelita bagi dirimu sendiri.
Jangan menyandarkan dirimu pada perlindungan dari luar. Peganglah dharma
sebagai pelita. Peganglah dengan teguh dhamma sebagai pelindung. Jangan mencari
perlindungan di luar dirimu” (D. II ; 100).
Berkembangnya pengikut Buddha merupakan dasar keyakinan yang muncul dalam
pegalaman Sang Buddha, dalam pembabaran Dhamma kepada Bhikkhu Sangha. Keyakinan
ini berkat keterlibatan Sangha sebagai aspek psikologis dan falsafah yang
berarti kesadaran pada tingkat kesucian, diwujudkan oleh umat perumah tangga
melalui perlindungan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Ungkapan perlindungan
kepada sangha sebagai kesadaran jiwa pada realisasi kebenaran. Keyakinan yang
mendalam pada manusia yang menyatakan perlindungan kepada Sangha. Perlindungan
kepada Sangha dalam Tisarana memberikan arti bukan pada person Bhikkhu
melainkan pada ariya Sangha sebagai wujud kesucian.
D. Karakteristik Bhikkhu Sangha.
Secara moralitas bhikkhu sangha maupun umat perumah tangga terikat dengan
sila dan vinaya dalam aturan kedisiplinan. Suatu latihan kedisiplinan dan
aturan yang ditetapkan dan diberlakukan apabila telah terjadi peritiwa dan
didukung dengan alasan-alasan yang akurat. Dengan demikian orang-orang tidak
akan memprotesnya. Sebab didukung dengan bukti-bukti yang otentik. Sang Buddha
menetapkan peraturan vinaya untuk pertama kalinya di vesali dan diberlakukanya
setelah Bhikkhu Sudinna dari desa Kalandaka, melakukan hubungan seksual dengan
mantan istrinya, untuk memenuhi keiginan orang tuanya yang mengharapkan
keturunan sebagai penerus silsilah keluarganya.
Tanpa kedisiplinan sila dan vinaya, kehidupan manusia akan menjadi morat-marit, bagaikan kehidupan
binatang liar yang hidup dihutan belantara. Tata tertib dalam agama Buddha
ditetapkan bukan hanya untuk menciptakan kedamaian dalam masyarakat,
ketentraman berbagsa dan bernegara, maupun dalam lingkungan Sangha tetapi lebih
dari pada itu, digunakan sebagai landasan untuk mengembangkan batin bagi yang
melaksanakannya. Namun seringkali orang menganggap peraturan adalah beban dan
ikatan yang membatasi kebebasan. Padahal, “Sila dan Vinaya sebenarnya
sebagaimana yang dinyatakan oleh Sang Buddha dalam ajarannya, merupakan alat
atau rakit untuk menyeberangi lautan menuju kepantai seberang, perlu untuk
menyelamatkan diri, bukan untuk dijadikan beban” (M, I : 135). Justru sila
dan vinaya dibutuhkan oleh mereka yang ingin mencapai kebebasan. Dengan
mematuhi sila dan vinaya orang akan mampu melepaskan dirinya dari ikatan
belenggu nafsunya sendiri. Sehingga berhasil menyelamatkan dirinya sendiri dan
mencapai kebebasan-Nibbana.
Sila dan Vinaya membawa ketertiban, kerukunan, kedamaian dan kemajuan
social. Ketika Sang Buddha menetapkan vinaya kepada para siswaNya, Buddha
mengemukakan sejumlah fungsi peraturan, yaitu (1) untuk kebaikan Sangha,
menjamin kelangsungan hidup atau eksistensi Sangha, (2) mendatangkan
kesejahteraan bagi Sangha, mengurangi rintangan dalam latihan, dan menciptakan
keharmonisan serta kedamaian, (3) mengendalikan mereka yang berkelakuan buruk,
(4) melindungi mereka yang berprilaku yang baik, (5) melenyapkan kekotoran
batin (killesa) yang telah ada sekarang, (6) mencegah munculnya kekotoran batin
yang baru kemudian dikemudian hari, (7) meyakinkan mereka yang tidak percaya
dan membahagiakan, (8) menigkatkan keyakinan mereka yang telah mendengar
dhamma, (9) untuk menegakkan Dharma, yang bertahan lama bila vinaya
dilaksanakan dengan baik, (10) untuk menegakkan disiplin sehingga memberikan
manfaat bagi semua mahluk (A. V ; 70).
Pelaksanaan sila dan vinaya dengan baik akan memunculkan karakteristik
yang menonjol dari seorang bhikkhu diantaranya kemurnia dalam sila dan vinaya,
kemiskinan dalam suka rela hidup kesederhanaan, kerendahan hati, pelayanan
tanpa mementingkan dirinya sendiri, penuh pengendalian diri, kesabaran, welas
asih dan tidak membahayakan. Bhikkhu diharapkan menjalankan empat jenis
morallitas utama yaitu (1) patimokkha-sila atau kode etika moralitas
fundamental sangha dalam menghindari hal-hal yang dilarang oleh Sang Buddha,
(2) Indriyasamvara-sila moralitas yang berhubungan dengan penahanan-indria, (3)
ajivaparisuddhi-sila yang berhubungan dengan kesucian penghidupan, (4)
paccayannisstia-sila yang berhubungan dengan latihan pengembangan spiritual
dalam menggunakan empat kebutuhan pokok.
Penetapan vinaya tidak untuk kebaikan sangha saja, melainkan juga untuk
kebaikan seluruh umat. Dengan menjalankan vinaya secara baik, para
bhikkhu-bhikkhuni akan memperoleh
sokongan perumah tangga. Vinaya akan memusnahkan para bhikkhu sangha yang
beritikat buruk. Dharma akan terpelihara dengan baik dengan adanya kelestarian
Sangha. Sangha ini terpelihara karena adanya vinaya yang ditaati. Mengajarkan
dhamma tanpa vinaya, sama artinya dengan mengajarkan jalan tanpa menunjukkan
bagaimana cara memulai dan menempuhnya. Sebaliknya vinaya tanpa dharma hanya
merupakan suatu peraturan kosong yang sedikit manfaatnya. “Pelaksanaan sila dan
vinaya dengan baik merupakan tindakan yang bebas dari penyesalan (avippatisaro)
sebagai tujuan dan buahnya” (A. V ; 1). Dengan memiliki sila
dengan baik seseorang akan dicintai, dihormati, dan dihargai oleh orang lain
(M. I, 33). Dalam Mahaparinibana-sutta dihadapan perumah tangga Buddha
mengemukakan manfaat dari pelaksanaan sila; (1)membuat orang bertambah kaya,
(2) mendatangkan nama baik, (3) menimbulkan rasa percaya diri dalam pergaulan
dengan berbagai golongan manusia, (4) memberikan ketenangan disaat menghadapi
kematian, (5) setelah meninggal dunia akan terlahir dialam surga (D.
II, 86).
Seseorang yang memasuki persamuan sangha dan menerima pentahbisan sebagai
samanera-bhikkhu pemula, ia mulai terikat untuk mematuhi sepuluh sila samanera
dan 75 sekiya, dengan kode disiplin tertentu untuk menjalani hidup sampai ia
menerima penthabisan yang lebih tinggi-upasampada menjadi seorang bhikkhu.
Bhikkhu pemula wanita disebut samaneri dan yang telah penuh-upasampada disebut
bhikkhuni.
Seorang bhikkhu terikat untuk menjalankan empat jenis moralitas utama
tersebut yang terdiri dari 227 aturan disamping beberapa aturan kecil yang
lainya, untuk bhikkhuni 311 aturan. Peraturan mengenai kehidupan selibat sampai
pencapaian spiritual adalah penting dan harus dipatuhi secara ketat. Jika
melanggar salah satu aturan dalam peraturan sangha, itu diaggap sebagai
“pecundang” dalam komunitas Sangha. Hak-hak religius tertentu dicabut dari
komunitas sangha. Dalam hal ini yang melanggar, tentunya menghadapi banyak
konsekuensi lainya dan memperbaiki sesuai dengan berat ringanya pelanggaran.
Kehidupan bhikkhu sangha tidak ada sumpah bagi seorang bhikkhu. Ia
menjadi bhikkhu berdasarkan kehendaknya sendiri untuk menjalani kehidupan suci
selama ia suka atau sebatas kemampuan yang dimilikinya. Karena itu ia tidak
perlu merasa terjebah oleh sumpah yang pernah ia ucapkan dalam upacara
upasampada-nya, dan menjadi munafikm karena ia sendiri dapat memutuskan apakah
ia ingin mematuhi aturan atau tidak. Ia bebas untuk meninggalkan kehidupan
komunitas Sangha kapan pun dan dapat menjalani cara hidup perumah tangga
sebagai umat Buddha biasa apabila hal itu ia menginginkan. Ia juga dapat
kembali memasuki komunitas sangha lagi kapan pun ia mau, namu ada peraturan
yang perlu ditaati, aturan yang sama pula diterapkan untuk para bhikkhuni dalam
latihan sebagai biara.
E. Peran dan Nilai Religius Sangha
Munculnya sangha sebagai pewaris Dhamma yang memiliki peranan yang sangat
penting dalam penyebaran Dhamma. Setelah para bhikkhu mencapai 60 orang arahat,
Sang Buddha mengumpulkan para bhikkhu dan mengutusnya untuk menyebarkan Dhamma
kesegala penjuru. O para bhikkhu, pergilah berkelana, demi kebaikan semua
mahluk, demi kesejahteraan, kebahagiaan cinta kasih dan kasih sayang dunia ini,
dan demi kebahagiaan dan kebaikan para dewa dan manusia, janganlah kalian pergi
bersamaan kearah sama. Babarkanlah para bhikkhu, Dhamma yang indah dan mulia
pada awal, pertengahan dan pada akhirnya. Baik yang tersirat maupun yang
tersuart. Ajarkanlah kehidupan luhur. Dimana ada manusia yang matanya
terselimuti oleh sedikit debu-debu, jika tidak mendengarkan Dhamma akan
terjatuh. Mereka itulah yang akan memahami Dhamma. Laksanakan tugas mulia ini,
kibarkanlah bendera kebijaksanaan. Ajarkanlah Dhamma, bekerja demi kebaikan
semua mahluk.
Peran Sangha dalam pembabaran ajaran Buddha mulai dengan penyebarannya
enam puluh para bhikkhu arahat dalam meneruskan ajaran Dhamma pada kehidupan
Sang Buddha. sangha sebagai figure yang melaksanakan Dhamma mendapatkan simpati
para dewa dan manusia yang ingin mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan ini.
Kisah pertapa Kondana setelah Sang Buddha menguraikan khotbah dhamma yang
pertama, langsung memperoleh mata dhamma, karena dapat mengerti dengan jelas
makna khotbah tersebut sehingga beliau mencapai tingkat kesucian sotapanna dan
disebut Anna Kondana artinya bhikkhu yang mengerti. Y.A. Sariputra mendapatkan
keyakinan hanya mendengarkan tentang ajaran Buddha melalui ajaran yang
sederhana bahwa segala sesuatu tiada yang kekal, pasti memiliki sebab dan
akibatnya sehingga Sariputra mengeri Dhamma dan mencapai tingkat kesucian.
Buddha memiliki pengaruh religius yang sangat besar pada waktu
kehidupannya setelah pencapaian penerangan sempurna. Masuknya lima pertapa
teman seperjuangan Sidharta Gautama ahkirnya menjadi pengikut Buddha setelah
mendapatkan ajaran tentang kebenaran mulia bahwa fenomena kehidupan ini telah
tersimbak dan hanya mereka yang masih memiliki banyak kekotoran batin dapat
menikmati dan melaksanakan Dhamma hingga mencapai pembebasan.
Persaudaraan suci para bhikkhu telah terbentuk pada kehidupan Buddha.
persaudaraan para bhikkhu dengan sang Buddha sebagai kepala dalam sangha,
memberikan inspirasi tentang kebenaran. Praktek pembabaran Dhamma dengan kebijaksanaan
memberikan implikasi terhadap pencapaian kebahagiaan bagi para pengikut ajaran
Dhamma dan memberikan petunjuk dalam kehidupan menuju Nibbana.
Moralitas Sangha memberikan peran dalam aspek psikologis bagi orang yang
melihatnya dan dinyatakan mampu dalam pengendalian diri terhadap orang-orang
yang tidak teguh. Bagi para bhikkhu lain dan umat perumah tangga akan dapat
merasakan kebahagiaan dengan para bhikkhu sangha yang melaksanankan sila dan
vinaya dengan baik, melatih diri dalam upaya pembebasan terkesan sangat
simpatik dan memberikan kesejukan jiwa. Nilai religius muncul dalam
keterlibatan Sangha terhadap kebenaran Dhamma, diwujudkan dengan penghargaan
dan perlindungan. Secara fisik, sangha sebagai kumpulan para bhikkhu sangha,
umat perumah tangga memiliki rasa dan sikap ramah tamah, memiliki uacapan yang
baik, pikiran yang terkendali, serta menuntun dalam sikap dan perbuatan kejalan
kebenaran.
Hubungan antara bhikkhu Sangha dengan umat merupakan hubungan yang
bersikap moral religius dan sifatnya timbal balik sebagaimana yang telah
dijelaskan Sang Buddha dalam Sigalovada Sutta; umat perumah tangga (umat
Buddha) hendaknya menghormati bhikkhu sangha dengan cara; (1) membantu dan
memperlakukan mereka dengan perbuatan yang baik, kata-kata yang ramah (2) pikiran
yang penuh kasih saying, (3) selalu membuka pintu untuk mereka masuk (4) dan
memberikan keperluan dalam hidupnya. Sebaliknya para bhikkhu yang mendapatkan
penghormatan demkian akan mencintai umatnya dengan cara; (1) mencegah mereka
berbuat jahat, (2) menganjurkan mereka untuk berbuat baik, (3) mencintai mereka
dengan penuh kasih saying, (4) megajarkan dhamma yang belum mereka dengar dan
menjelaskan dhamma dengan baik, (5) menunjukan jalan menuju pembebasan.
Para bhikkhu yang sungguh-sungguh menjalankan Dhamma-vinaya merupakan
sahabat yang sangat baik (kalyana mitta) guru dhamma yang melestarikan ajaran
agama Buddha, yang patut mendapatkan pelayanan dan penghormatan. Dimana ia
berada pada orang yang tekun dalam pelaksanaan kebaikan, semangat dan berusaha
untuk melayani semua kebutuhannya. Karena nilai religius sesuatu kebenaran
merupakan suatu kebenaran yang universal. Orang-orang yang dengan sungguh
melaksanakan Dhamma-vinaya akan menjadi orang yang bijaksana, tidak sombong,
sederhana, bebas dari keserakahan, kemarahan, kemelekatan, senantiasa tenang,
penuh tenggang rasa, bersemangat dan tanpa keinginan untuk memperoleh nama dan
kemasyuran diri sendiri. Kesempatan baik bagi perumah tangga dalam menanam
kebajikan dengan menopang kehidupan para bhikkhu sangha.
Sebaliknya umatpun dapat berpaling dari bhikkhu sangha yang melakukan
pelanggaran vinaya, dengan cara tidak melayani, tidak menghormati, dan tidak
memberikan persembahan makanan karena bhikkhu sangha tersebut telah lalai
melakukan kewajibannya. Sehingga membuat nama buruk. Jika seorang bhikkhu masih
menyakiti orang lain dan hidup sama seperti perumah tangga, maka sesungguhnya
ia bukanlah seorang samana.
Mengingat kehidupan bhikkhu sangha tidak meminta kepada umat, maka
sebaliknya umat seyogyanya menanyakan hal-hal yang dibutuhkan oleh bhikkhu
sesuaia dengan keperluan dan tidak bertentangan dengan peraturan kebhikkhuan.
Karena kehidupan bhikkhu tergantung dari pemberian umat, jadi ia harus merasa
puas, tidak memilih atau meminta sesuatu tertentu dari umat kecuali umat
menawarkan kesempatan dalam pengembangan karma baiknya. Melalui perbuatan baik berdana kepada sangha
pada setiap hari kathina. Ada empat kebutuhan pokok bagi para bhikkhu sangha
yaitu; jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan serta sarana yang lain
yang mendukung dalam kehidupan sangha.
Peran religius sangha memberikan perkembangan yang besar dalam sejarah
Buddha-Dhamma hingga sekarang ini,
menunjukkan adanya keterlibatan bhikkhu Sangha sebagai inspirasi pada keyakinan
terhadap kebenaran Buddha.
F. Penutup
Sangha memiliki peran yang sangat penting terhadap pelestarian dan
pembabaran Dhamma ajaran Sang Buddha. kebajikan moralitas yang menjadikan acuan
dalam berpikir, bertindak, berucap yang positif sebagai seorang pertapa yang memberikan
rasa damai dan bahagia. Sehingga menimbulkan keyakinan yang mendalam pada diri
orang yang mengenal Dhamma.
Keyakinan dalam agama Buddha bukan keyakinan yang membuta berdasarkan
dogma-dogma. Apabila tidak dilaksanakan membawa manusia pada alam neraka.
“Keyakinan dalam Buddha yang paling utama adalah keyakinan kepada Buddha,
keyakinan pada jalan mulia berunsur delapan, keyakinan kepada ketiadaan hawa
nafsu (Viraga) atau Nibbana yang dinyatakan juga sebagai dhamma dan keyakinan
kepada Ariya-Sangha, persaudaraan orang-orang suci” (A. II : 34). Buddha
memberikan petunjuk terhadap keyakian adalah datang dan buktikan. Perbuatan
yang memberikan dampak kebahagiaan harus tetap dilaksanakan, tetapi perbuatan
yang membawa penderitaan jangan dilakukan. Buddha menolak ajaran pandangan yang
salah berdasarkan keyakianan yang membuta, dilakukan oleh kaum titiya dan
carvaka yang menggangap bahwa kehidupan manusia akan mengalami kebahagiaan dan
hidup hanya sesaat atau tubuh adalah sumber penderitaan dan harus disiksa.
Menurut Asangga keyakinan itu
mengandung tiga unsur, yaitu (1) keyakinan yang kuat akan sesuatu hal, (2)
menimbulkan kegembiraan yang mendalam terhadap sifat-sifat yang baik, (3)
harapan untuk memperoleh sesuatu dikemudian hari. Keyakinan yang kuat bukan
berarti sebatas percaya seperti yang lazim dikenal oleh kebanyakan orang.
Keyakinan disini menekankan aspek melihat, memahami dan mengetahui. Persoalan
akan percaya akan timbul apabila kita tidak dapat melihat sesuatu dengan jelas.
Begitu melihat dengan sendiri dengan jelas, pada saat itu pula tidak ada lagi
persoalan percaya atau tidak. Dalam ajaran yang bersifat ehipasiko, yang selalu
kita temukan adalah melihat atau membuktikan, sehingga keyakinan memiliki
kepastian, bukan percaya kepada sesuatu yang masih belum jelas.
Kegembiraan terhadap sifat yang baik akan ditemukan pada orang-orang yang
memiliki pengertian dan kebijaksanaan. Tidak mungkin orang percaya karena takut
dapat merasakannya. Dan sesuatu pengharapan dari sikap moral manusia mencapai
kesempurnaan lewat jalan kebijaksanaan dan pemusatan pikiran yang bersih dari
dorongan yang keliru. Sariputra memberikan kesaksian bagaimana seseorang dapat
memiliki keyakinan yang sempurna kepada Tathagatha dan tidak meragukan
ajaran-Nya. Keyakian diuji dengan mengendalikan indria. Dengan keyakianan ini,
semangat kesadaran, konsentrasi, kebijaksanaan yang terus menerus. “Sebelumnya
aku hanya mendengar hal ini, sekarang aku hidup dengan mengalaminya sendiri,
kini dengan pengetahuan yang dalam, aku mampu menembusnya dan membuktikan
secara jelas dan sendiri keindahan itu telah hadir” (S. V : 226).
Refrensi
......., 1980, Kebahagiaan
dalam Dhamma, Majelis Buddhayana Indonesia, Jakarta.
Ingersah, 2002,
Hubungan antara Bhikkhu dan umat Buddhis, Vihara Dhamma Metta Arama, Pekan
Baru.
Krishnanda
Wijaya-Mukti, 2003, Wacana Buddha-Dhamma,
Ekayanan Buddhis Centre, Jakarta.
Mulyadi
Wahyono, SH , 2002, Pokok – Pokok Dasar Agama Buddha, Departemen Agama
Republik Indonesia, Jakarta.
Sri
Dharmananda, 2002, Keyakinan Umat Buddha, Karaniya, Jakarta
Surya Widya
pandita Sasanadhaja, 2001, Dhammapada, Abdi Dhamma Indonesia, Jakarta.
Teja S.M.
Rashid, 1997, Sila dan Vinaya,
Buddhis Bodhi, Jakarta.
Woodrvold
Translit, 1989, The Book Of The Gradual Saying’s (Anguttara-Nikaya),
Pali Text Society Oxford, London.
Ven. Narada
Mahathera, 1998, Sang Buddha dan AjaraNya Bagian I dan II, Yayasan
Dhammadipa Arama, Jakarta.
Ven, Piyadassi
Mahathera,……..,Theravada Buddhism, Present Situation, W.B.F. Unity Of
Diversity, Thailand
PESAN
WAISAK 2548 / 2004
Oleh : Bhikkhu Vajhiradhammo
Namo Sangyang Adi Buddhaya
Namo Buddhaya
Setiap tahun
makna Tri Suci Waisak kembali mengingatkan semua insan, terutama insan Buddhis
di mana pun mereka berada. Tiga peristiwa penting yang terkandung di bulan
Waisak adalah, Pangeran Siddharta Gotama lahir 623 SM, Pertapa Siddharta Gotama
mencapai Penerangan Agung 588 SM, dan Buddha Gotama wafat, Parinibbana 543 SM.
Ajaran Sang Buddha dalam kepentingan masyarakat disebut dan dikenal juga
sebagai agama. Di setiap saat Tri Suci Waisak tiba, yang selalu menjadi
perenungan tentang ajaran Sang Buddha sebagai agama adalah bahwa umur agama
berbeda dengan umur manusia. Perbedaannya, manusia tambah lama umurnya,
bertambah tua usianya, semakin lemah kekuatannya, semakin dekat saat
kematiannya. Akan tetapi umur agama, tambah lama, tambah tua usia, semakin
bertambah kuat, kokoh keberadaannya, semakin banyak pengikutnya, dan semakin
luas jangkauan perkembangannya.
Hingga saat ini, ajaran Sang
Buddha masih dikenal, bahkan semakin terkenal di berbagai muka bumi belahan
dunia. Pesan-pesan Sang Buddha secara rinci ditujukan ke semua mahluk untuk
mencapai kedamaian dalam hidupnya. Maka, meskipun Sang Buddha telah
meninggalkan dunia dua puluh lima abad yang lampau, namun suara Sang Buddha
masih jelas didengar, petunjuknya masih bisa diikuti, perilakunya masih memberi
tauladan agung dalam sejarah kemanusiaan di segala zaman.
Tujuan ajaran
Buddha mencapai kedamaian dengan cara menghapus penderitaan. Kini ajaran Buddha
semakin diminati, oleh karena setiap makhluk pasti tidak ingin dirinya hidup
menderita. Sedangkan telah jutaan tahun manusia mencari jawaban pasti kapan
penderitaan berakhir. Namun. meskipun telah tak terhitung berapa banyak cara
dicurahkan hanya untuk mencari jawaban pasti untuk mengakhiri penderitaan, toh
tetap penderitaan tidak mau dilebur dan dikubur begitu saja oleh manusia. Sebab
hampir setiap orang selalu memberi jawaban, bahwa penderitaan datang dari luar
diri sendiri. Sehingga harus mencari kekuatan dari luar diri sendiri cara
mengakhiri penderitaan.
Dari
ketergantungan seseorang pada kekuatan di luar diri sendiri, secara tidak
disadari akan berakibat semakin melemahkan potensi diri sendiri. Yang
sebenarnya potensi diri sungguh luar biasa mengagumkan bilamana seseorang dapat
memberdayakan. Hanya karena ketidaktahuan bahwa setiap pribadi memiliki potensi
diri, maka banyak orang selalu menyandarkan diri pada kekuatan lain di luar
dirinya sendiri. Tidak tahu kalau objek itu pasif, yang aktif subjek. Tidak
tahu bahwa barang siapa suka menggantungkan diri kepada yang lain, suatu ketika
akan menggantung dirinya sendiri jika tidak ada yang lain. Tidak tahu bahwa
siapapun tidak akan merubah dirnya selama diri sendiri tidak mau berubah. Dari
ketidaktahuannya itu sehingga menjadi kebiasaan seseorang selalu mencari
pelindung dari luar diri sendiri, agar aman tidak diganggu orang lain, tetapi
tidak melindungi dirinya sendiri yang lebih sering mengganggu orang lain.
Oleh karena
hampir semua orang sangat tidak biasa dengan cara berpikir Buddhis, ajaran Sang
Buddha yaitu mawas diri sendiri dengan sebuah perenungan. Kini dunia merana, di
muka bumi tempat kita lahir, hidup, dan mati, setiap hari tidak pernah kosong
dari tindak kekerasan yang berujung penderitaan. Akibat dari ulah manusia masa
kini yang tidak pernah mengawasi dirinya sendiri dengan perenungan, sebaliknya
hanya biasa mengawasi diri orang lain disertai tuduhan. Padahal menuduh,
mengiri, mengeluh, menuding, hanyalah menambah deretan jumlah masalah muncul.
Untuk itu, dari hari ke hari, makhluk-makhluk merasa semakin sempit ruang
geraknya, gersang jiwanya, kering air kasih sayang antar sesama. Sehingga
sebuah kedamaian hidup tinggal impian. Sang Buddha tidak mengajarkan
kepercayaan-kepercayaan takhayul, atau mengikatkan diri kepada
kekuatan-kekuatan gaib di luar diri agar bebas dari penderitaan. Tidak
menganjurkan untuk mengeluh, menuduh, dan menuding sekeliling sebagai sebab
semua penderitaan yang menimpa. Melainkan menunjukkan jalan untuk mengakhiri penderitaan
dengan cara mawas diri, dengan sebuah perenungan.
Peristiwa itu bukanlah hal yang begitu saja
bisa terjadi pada setiap kehidupan manusia, tetapi peristiwa yang sekaligus
pula menandai kehadiran nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber pada
Penerangan Sempurna.
Nilai-nilai
kemanusiaan universal sesungguhnya adalah jati diri kemanusiaan setiap manusia,
yaitu kasih sayang kepada sesama makhluk hidup (karuna) dan kebijaksanaan (pañña).
Tetapi keluhuran jati diri itu bukan merupakan keadaan yang begitu saja tumbuh
berkembang pada diri manusia sejak dilahirkan. Nilai-nilai kemanusiaan harus
diwujudkan melalui upaya penghayatan Dhamma yang lebih intensif, dan bukan
hanya menjalani formal-ritualistik semata.
Penghayatan
Dhamma yang tercermin dalam perubahan sikap dan perilaku bagi setiap umat
Buddha sesungguhnya adalah inti gerakan reformasi terhadap pikiran kita.
Pikiran manusia seringkali dibiarkan untuk dikuasai oleh keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin (moha).
Keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin sangat merugikan bagi siapa pun
juga, sebab kekotoran batin itu merupakan pemicu berkembangnya perilaku
negatif. Pada hakikatnya perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotis yang terjadi di
tengah-tengah kehidupan masyarakat berawal dari kekotoran batin tersebut.
Tindakan-tindakan kerusuhan, kekerasan, penghasutan juga disebabkan oleh
pikiran yang dirasuki keserakahan, kebencian dan kegelapan batin itu. Apalagi
dengan tidak adanya kepastian hukum, pelegalan terhadap penguasaan materi,
hal-hal itu menyebabkan keserakahan berkuasa di mana-mana, keserakahan menjadi
tujuan hidup, dan kebencian akan sangat mudah menyusul timbul bila pada
saat-saat tertentu ternyata manusia tidak dapat lagi atau terhalang dalam
memuaskan keinginan keserakahannya.
Dalam sinar terang Dhamma,
bagi kita yang masih mempunyai pemikiran sehat, sangat jelas tampak bahwa
permasalahan di atas yang kemudian melahirkan berbagai krisis di tanah air ini
adalah merupakan permasalahan yang dibuat dan terdapat dalam diri kita, manusia
sendiri. Oleh karena itu, manusia pulalah yang sebenarnya harus bertanggung
jawab untuk memperbaiki dan menyelesaikan. Sama sekali tidak ada alasan bagi
kita untuk menyerah kalah, patah semangat dalam memperbaiki keadaan hidup ini,
dalam menegakkan kembali dengan sekuat tenaga keadilan, kehangatan
persaudaraan, dan kesejahteraan bangsa serta negara ini. Guru Agung kita,
Buddha Gotama, mengingatkan dalam Dhammapada syair 160:
"Diri sendiri sesungguhnya adalah majikan bagi dirinya
sendiri, karena siapa pula yang menjadi majikan bagi dirinya? Setelah seseorang
dapat melatih dirinya dengan baik, maka ia akan memperoleh suatu perlindungan
yang amat sukar diperoleh."
Tidak bisa
ditawar-tawar lagi, ataupun dipungkiri, bahwa menjadi kewajiban kita bersama,
setiap umat Buddha dan semua umat beragama, untuk berjuang melenyapkan
keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin, dalam pikiran kita masing-masing
dan sekaligus juga berjuang sekuat tenaga dengan dorongan kasih sayang yang
tulus (karuna) untuk mengingatkan,
mencegah, ataupun menghentikan saudara-saudara kita yang melakukan
tindakan-tindakan kejahatan. Sekali lagi, kejahatan yang merupakan perwujudan
kekotoran batin itu sungguh sangat merugikan bahkan menghancurkan peri
kehidupan ini, baik diri kita sendiri maupun orang banyak, dan juga
memorak-porandakan tata nilai, saat kini maupun masa depan putra putri bangsa.
Reformasi
pikiran adalah hal yang penting dan mendesak sekali dilaksanakan terutama dalam
pengendaliannya. Karena selama pikiran kita tidak mengalami perubahan mendasar
maka segala bentuk kekerasan tidak akan pernah berkurang, apalagi berakhir.
Buddha Gotama menunjukkan cara yang tepat, untuk mereformasi pikiran kita,
yaitu dengan melatih diri secara terus-menerus dalam kesusilaan (síla), meditasi (samãdhi), dan kebijaksanaan (pañña).
Pekan depan bangsa Indonesia bersama warga negara kita
semua akan menyelenggarakan pemilihan umum yang harus kita upayakan semaksimal
mungkin menjadi pemilihan umum yang demokratis, jujur, adil, dan aman. Kami
mengajak kepada segenap umat Buddha untuk mempersiapkan diri dengan baik dalam
menyukseskan pemilu tahun 2004 ini, dengan menggunakan hak pilih sesuai hati
nurani kita masing-masing disertai landasan pengertian Dhamma. Jagalah
ketenangan suasana serta ketentraman hidup bersama. Sekali-kali jangan mudah
tergelincir dengan pancingan-pancingan yang bisa membuat kemarahan, permusuhan,
balas dendam, maupun tarikan materi.
Marilah kita junjung nilai kemanusiaan ini, marilah kita
selamatkan keluarga kita, dan dunia ini dari ketegangan, kekacauan dan masih
banyak lagi untuk disebutkan, dengan memulainya dari diri kita masing-masing,
memulai dengan cina kasih yang tulus. Memulai dengan menumbuhkan rasa
persahabatan kepada semuanya, kepada semua kehidupan. Sekarang ini dunia dalam
kehidupan kita semakin membutuhkan cinta kasih. Pada saat-saat yang keramat ini
di bulan waisak, sudah seharusnya kita berterima kasih kepada Guru Besar kita
Sang Buddha, karena dalam waktu berkalpa-kalpa sejak Beliau masih sebagai Bodhisatta,
Beliau telah berjuang untuk mencapai Penerangan Sempurna. Dan dari Penerangan
Sempurna yang telah Beliau capai itulah kita mengenal Dhamma. Selama 45 tahun
penuh Beliau mengabdi, membabarkan Dhamma untuk kebahagiaan semua umat manusia.
Mengangkat derajat kehidupan kita. Dan berbahagialah kita yang sampai saat ini
masih bisa menemui Dhamma yang luhur itu.
Umat Buddha, wujudkanlah
perilaku yang baik, hiduplah sesuai Dhamma dalam kehidupan sehari-hari secara
pribadi, di tengah keluarga maupun dengan sesama. Marilah kita bekerja sama
bahu-membahu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang universal untuk semua
orang. "Kesejahteraan hidup lazim
terjadi, kemerosotan hidup pun lazim terjadi; ia yang mencintai Kebenaran
(Dhamma) akan memperoleh kesejahteraan dan ia yang tidak menyukai Kebenaran
akan mengalami kemerosotan." (Sutta Nipäta 92).
Di saat kita merayakan
waisak, di saat ini pula kita mengenang kembali tiga peristiwa dalam kehidupan
Guru junjungan kita, marilah dengan semangat waisak kita tingkatkan kewaspadaan
dalam kebersamaan untuk menjaga kehidupan bermoral.
Selamat hari waisak
2548/2004. semoga dengan berkah kehidupan ini, marilah kita bangun
kehidupan kita masing-masing lahir dan batin. Karena dengan mulai membangun
dari diri kita masing-masing, maka berarti juga membangun keluarga dan
masyarakat dimana kita hidup secara bersama-sama. Sungguh bahagia, dapat
membangun lahir dan batin dalam negara adalah berkah utama.
Semoga semua mahluk hidup
berbahagia.
Sandu……sadhu…….sadhu…….
PROFESIONAL GURU DALAM STRATEGI PEMBELAJARAN TERHADAP
PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR SISWA
Oleh Sujayanto
A. Latar Belakang Masalah
Mengapa manusia perlu belajar? Ini merupakan suatu
pertanyaan yang wajar dan memewrlukan dijawab bahwa tak ada mahkluk hidup yang
sewaktu dilahirkan sedemikian tidak berdaya. Begitu juga sebaliknya tak ada
manusia lain di dunia ini yang setelah dewasa mampu menciptakan apa yang telah
diciptakan manusia tanpa belajar. Seandainya bayi yang baru lahir tidak mendapatkan bantuan dari orang dewasa
yang lain, tidak belajar, niscaya ia akan binasa. Ia tidak mampu hidup sebagai
manusia jika ia tidak dididikatau diajar oleh manusia.
Guru adalah merupakan orang yang dapat menolong
seseorang menjadi lebih pandai, maka peranan guru dalam belajar dan
pembelajaran disini sangat penting. Guna menciptakan manusia yang lebih paandai
walupun dalam belajar sangat membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan
bertahun-tahun, hingga seseorang itu mampu mengapai apa yang telah dia
cita-citakan.
Seorang guru harus dituntut agar memiliki pengetahuan
yang cukup dan mampu mengembangkan serta mentransferkan ilmu yang mereka miliki
kepada anak didiknya agar apa yang mereka peroleh mampu mereka serap. Sehingga
guru juga harus mampu memahami dan dapat menilai setiap karakter siswa yang
mereka didik.
B. Pengertian Pembelajaran dan Belajar Siswa
Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu kalau
padanya terjadi suatu perubahan tertentu, misalnya dari yang belum tahu menjadi
tahu, dari yang tidak dapat naik sepeda motor menjadi dapat naik sepeda motor,
dari yang tidak tahu sopan santun menjadi seseorang yang santun, dari yang
tidak bisa berbahasa inggris menjadi mahir berbahasa inggris dan lain
sebagainya.
Dari uraian tersebut di atas dapat di identifikasi
ciri-ciri kegiatan yang disebut “Belajar” yaitu: (1) Belajar adalah aktivitas
yang menghasilkan perubahan pada diri individu yang belajar, baik aktual maupun
potensi. (2) Perubahan itu pada dasarnya berupa didapatkannnya kemampuan baru,
yang berlaku dalam waktu yang relati lama. (3) Perubahan itu terjadi
karena berusaha.
Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku
seseorang terhadap suatau situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya
yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak
dapat dijelaskan atau atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan,
atau keadaan-keadaan sesaat seseorang ( misalnya kelelahan, pengaruh obat dan
sebagainya) (Hilgard dan Bower).
Belajar adalah suatu perubahan didalam kepribadian yang menyatakan diri
sebagai suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap,
kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian (witherington). Faktor-faktor
penting yang sangat erat hubungannya dengan proses belajar ialah: kematangan,
pennyesuaian diri atau adaptasi, menghafal atau mengingat, pengeertian,
berfikir, dan latihan
Strategi belajar dan pembelajaran dapat diartikan
sebagi kegiatan guru untuk memikirkan dan mengupayakan terjadinya konsisten
antara aspek-aspek dari komponen pembentukan sistem instrusional, dimana unntuk
itu guru harus menggunakan siasat tertentu dalam kelancaran proses belajar
mengajar suatu kombinasi yang tersusun, meliputi unsur-unsur manusiawi,
material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi dalam
mencapai tujuan pembelajaran. Kemudian belajar adalah menambah dan mengumpulkan
sejumlah perngetahuan, yang terpenting pendidikan intelektual atau belajar
adalah proses perubahan di dalam diri manusia, apabila setelah belajar tidak
terjadi perubahan dalam diri manusia, maka tidaklah dapat dikatakan bahwa
padanya telah berlangsung proses belajar
(Zainal Agib. 2002: 43). Hal ini tentunya diberikan kepada anak-anak pelajaran
untuk menambah pengetahuan yang dimiliki, sumber motivasi belajar, terutama
dalam menghafalkannya.
C. Pengembangan Profesi Guru
Dalam pengembangan profesi seorang gur melalui
tahap-tahapyanng juga membutuhkan waktu yang sangat lama, karena seorang guru
yang profesional juga tidak langsung menjadi seorang guru yang profesional itu
semua ia peroleh jga dari proses belajar yang membutuhkan waktu yang sangat
lama bahkan bertahun-tahun lamanya.
Dalam rangka meningkatkan mutu, baik mutu profesional
guru, maupun mutu layanan, guru harus pula meningkatkan sikap profesionalnya.
Pengembangan sikap profesional ini didapat dilakukan melalui baik masih dalam
dunia pendidikan Prajabatan maupun setelah bertugas( dalam jabatan) yang telah
mereka miliki. Peningkatan ini dapat dilakukan secara formal melalui kegiatan
mengikuti penataran, loka karya, seminar, dan melalui media massa televisi,
radio, koran, dan majalah maupun publikasi lainnya (Soetjipto,1999: 54).
D. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Belajar
Dalam belajar tentunnya ada faktor-faktor yang
mempengaruhi. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar itu adalah:
1.
Faktor yang berasal dari luar diri pelajar
(lingkungan)
a.
Faktor-faktor Non sosial. (faktor yang
disebabkan oleh keadaan cuaca udar, suhu, waktu, tempat, alat-alat yang dipakai
dalam kegiatan belajar, tempat sekolah harus jauh dari kebisingan lalu
lintasatau jalan ramai, banguna harus selalu nyaman dalam melakukan kegiatan
belajar.
b.
Faktor-faktor Sosial Dalam Belajar (Faktor
manusia (sesama manusia), yang dapat menganggu proses belajar, banyak orang
yang selau hilir mudik kesana kemari .
2.
Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri
si pelajar
a.
Faktor-faktor Psikologi Dalam Belajar (
faktor-faktor fisilogi yang disebabkan melaui keadaan tonus jasmani pada
umumnya dan keadaan fungsi-fungsi fisiologi tertentu).
b.
Faktor-faktor Psikologi Dalam Belajar
(adanya kelengkapan dalam kegiatan belajar mengajar) (, ; 233).
Selain yang tersebut di atas juga ada faktor lain yang
mempengaruhi siswa dalam belajar, karena setiap masing-masing individu berbeda.
Faktor-faktor tersebut adalah:
1.
Bahan pengajaran yang tidak sesuai dengan
bakat, perkembangan, secara singkat kebutuhan anak.
2.
Guru yang kurang kemampuan rokhani dan
jasmaninya (misalnya kurang pengetahuan,
keterampilan kurang, kurang dedikasi, kkurang berwibawa dan sebagainya).
3.
Situasi keluarga yang kkurang baik (misalnya keluarga kurang harmonis,
ekononi lemah atau kurang, dan sebagainya).
4.
Lingkungan hidup yang menghambat (misalnya
tidak sehat karena sampah, banjir, pencemaran udara dan air pabrik, mobil,
kepadatan pendudu, rumah sempit dan sebagainya).
5.
Adat istiadat masyarakat yang menhambat
pergaulan yang tak teratur, kebudayaan yang rendah dan sebagainya).
6.
Kondisi pribadi anak, rokhani dan
jasmaninya anak yang tidak cukup (AG. Soejono, 1980: 174)
Juga ada faktor
lain yang mempengaruhi belajar pada anak yaitu:
1.
Faktor yang ada pada diri organisme itu
sendiri yang disebut faktor individual dan
2.
Faktor yang ada di luar individu yang
disebut faktor kemaatangan, pertumbuhan, kecerdasan, latihan, motivasi. (Drs.
M. Ngalim Purwanto ,1998: 102).
Dari faktor-faktor yang terrsebut di atas tentunya ada cara-cara untuk
mengatasikesulitan-kesulitan atau faktor-faktir yang mempengaruhi belajar
adalah sebagai berikut:
1.
Keadaan Jasmani (Belajar itu memerlukan
tenaga, agar dapat tercapai hasil belajar yang baik maka keadaan jasmani perlu
dijaga, apabila badan kurang sehat,
kurang makan, kurang tidur maka
seorang anak tidak dapat belajar atau menerima pelajaran dengan baik atau tidak
dapat belajar dengan efektif).
2.
Keadaan Emosional dan Sosial (Seorang anak
yang merasa jiwanya tertekan, takut akan kegagalan dalam menjalankan tugasnya,
seorang anak yang tidak mempunyai teman atau dikucilkan dalam sekolahnya maka
ia tidak dapat belajar dengan efektif).
3.
Keadaan Lingkungan (Tempat belajar
hendaknya tempat yang tenang, jauh dari kebisingan, jangan diganggu oleh
perangsang-perangsang dari sekitar, karena belajar membutuhkan konsentrasi yang
kuat).
4.
Memulai Pelajaran (Dalam permulaan suatu
pelajaran terkadang kita sering merasakan kelambanan, malas dan sering
menunda-nunda tugas atau suatau pelajaran, untuk mengusir atau mengatasi hal
itu maka kita harus membuat tekad atau buat perintah pada diri kita sendiri
untuk segera memulai pekerjaan tersebut).
5.
Membagi Tugas (Apabila kita ingin
melakukan segala sesuatu hendaknya dimulai dengan hal-hal yang paling mudah
terlebih dahulu agar tugas tersebut dapat terselesaikan tepat waktunya, karena
apabila kita mengambil tugas yanng berat terlebih dahulu maka hal itu hanya
akan membuang-buang tenaga dan belum tentu dapat terselesaikan).
6.
Adakan Kontrole (selidikilah kembali tugas
pada akhir pelajaran, apakah hasil itu baik menggembirakan maupun tidak
menggembirakan atau kurang baik. Maka itu akan memerlukan latihan khusus).
7.
Pupuk Sikap Yang Optimis (Sikap optimis
akan sangat membantu dalam belajar maupun dalam menyelesaikan tugas).
8.
Waktu Bekerja (Waktu yang kita butuhkan
dengan penuh perhatian yaitu selama empat puluh menit. Maka hendaknya kita
sewaktu belajar harus mempunyai tekad untuk tidak meninggalkan tempat duduk
kita selama empat puluh menit, dengan mennyeleweng dari waktu yang telah kita
tentukan berarti kegagalan atau kekalahan yang kita peroleh).
9.
Buatlah Suatu Rencana Kerja (segala
sesuatu yang ingin kita lakukan, maka terlebih dahulu kita harus membuat suatu
rencana, agar dengan suatu rencana kerja yang telah kita susun dengan baik
tersebut maka niscaya kita akan mencapai hasil yang maksimal).
10. Menggunakan
Waktu (Kita hendaknya menggunakan waktu itu dengan efisien, karena dengan
lewatnya waktu maka hilanglah sudah kesempatan itu dan tidak mungkin terulang
lagi).
11. Belajar
Keras Tidak Merusak (Dengan belajar
penuh konsentrasi tidak merusak, melainkan menggunakan waktu tidur untuk
belajar itu yang akan merusak badan kita).
12. Cara
Mempelajari buku (Sebelum kita melihat keseluruhan atau membaca keseluruhan isi
dari buku tersebut maka kita terlebih dahulu melihat daftar isi terlebih
dahulu, karena daftar isi merupakan
gambaran atau garis besar tentang isi buku tersebut).
13. Mempertinggi
Kecepatan Membaca (Dengan kecepatan membaca akan dapat membantu kelancaran
dalam belajar, sseorang pelajar hendaknya harus mampu mencapai kecepatan
membaca sekurang-kurangnya 200 kata permenit).
14. Jangan
Hanya Membaca Belaka (Kita dalam membaca buku jangan hanya sekedar membaca saja
isi dari buku tersebuut, hendaknya kita harus mengikuti jalan pikiran si
pengarang atau dengan membaca sambil berfikir).
15. Cegah
“Cramming” (Hindarilah kita dalam penundaan suatu tugas-tugas, jangan kita
belajar secara dadakan ataau lembur. Misalnya apabila besok paginya kita akan
menghadapi test dan pada malam harinya kita
baru belajar).
16. Membuat
Catatan (Setelah kelima belas itu kita jalani aatau kita lakukan, maka
selanjutnya kita harus membuat suatu catata-catatan kecil agar memudahkan kita
dalam belajar) (S. Nasution, 1982: 54).
E. Tujuan Pembelajaran dan Belajar Siswa
Guru merupakan kunci suksesnya pembelajaran dan belajar siswa, karena
gurulah yang menguasai lapangan dimana para siswa setiap hari berada. Guru
adalah pengelola ruang kelas dan sekaligus pengelola proses pembelajaran murid,
guru juga merupakan pengelola sebagian terbesar kehidupan siswa di
sekolah-sekolah. Maka guru mempunnyai tujuan pembelajaran dan belajar siswa
yang ingin dicapai. Tujuan tersebut adalah: Membantu siswa yang mengalami
kesulitan- kesulitan belajar yang disebabkan
1.
Keterlambatan akademik (Siswa yang
memiliki intelegensi yang cukup tinggi, tetapi tidak dapat memanfaatkannya
secara optimal).
2.
Ketercepatan dalam belajar (Siswa yang
memiliki bakat akademik yang cukup tinggi).
3.
Sangat lambat dalam belajar ( Siswa yang
memiliki bakat yang kurang memadai dan mendapatkan perhatian yang khusus atau
pendidikan atau pengajaran yang khusus).
4.
Kurang motivasi dalam belajar (Siswa yang
kurang mempunyai semangat dalam belajar dan sering bermalas-malasan).
5.
Bersikap dan berkebiasaan buruk dalam
belajar (Siswa sering menunda-nunda tugas, mengulur-ulur waktu, membenci guru,
tidak mau bertanya untuk hal yang tidak
ia ketahui dan sebagainya).
Tujuan pembelajaran dan belajar siswa terjadi adanya
interaksi antara guru dengan siswa, siswa aktif dalam kegiatan belajar mengajar
begitu juga dengan seorang guru mau dan merupakan kewajibannya dalam memberikan
materi kepada anak didik mereka, agar dapat tercapai tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan.
F. Peranan Profesional Guru Dalam
Kependidikan
Dalam dunia pendidikan guru mempunyai peranan yang
sangat penting yang sesuai dengan jabatan atau bidang yang mereka miliki atau
mereka sandang. Peranan guru dalam dunia pendidikan adalah: Seorang guru
bertugas mengajarkan apa yang telah mereka miliki kepada siswa dan memberikan
nilai kepada siswa dalam bentuk pemberian evaluasi atau pemberian tugas sesuai
dengan materi yang telah disampaikan oleh guru.
Bahwa seorang guru dipandang sebagai manager atau
organisatir yang mengorganisasi kegiatan pencapaian tujuan dengan menggerakkan
orang lain dan dengan menggunakan alat-alat tertentu, maka seorang guru juga
dituntut untuk memiliki kemampuan-kemampuan tertentu yang dianntaranya yaitu:
1.
Seorang guru harus betul-betul memahami
masalah-masalah yang berkenaan dengan tugasnya.
2.
Mampu menyusun program pengajaran
-
Merumuskan tujuan instruksional
-
Mengembangkan bahan pengajaran
-
Memilih dan mengembanngkan media serta
metode pengajaran
-
Memilih dan memanfaatkan sumberbelajar
yang sesuai dengan GBPP
-
Mengembangkan dan mengelola kegiatan
belajar mengajar.
3.
Mampu melaksanakan penilaian terhadap
proses dan hasil belajar
4.
Mampu membimbing siswa
5.
Mampu menyelenggarakan ketenntuan
administrasi sekolah
6.
Mampu berinteraksi dengan teman sejawat
dan anggota masyarakat
7.
mampu mengembangkan kepribadian sebagai warga
negara indonesia (Cornelis Wowor, 1997: 40).
G. Kesimpulan
Belajar berhubungan dengan
perubahan tingkah laku seseorang terhadap suatau situasi tertentu yang
disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana
perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau atau dasar kecenderungan
respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang ( misalnya
kelelahan, pengaruh obat dan sebagainya). Belajar adalah suatu perubahan didalam kepribadian yang menyatakan diri
sebagai suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap,
kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian.
Selain yang tersebut di atas juga ada faktor lain yang
mempengaruhi siswa dalam belajar, karena setiap masing-masing individu berbeda.
Faktor-faktor tersebut adalah:
1.
Bahan pengajaran yang tidak sesuai dengan
bakat, perkembangan, secara singkat kebutuhan anak.
2.
Guru yang kurang kemampuan rokhani dan
jasmaninya (misalnya kurang pengetahuan,
keterampilan kurang, kurang dedikasi, kkurang berwibawa dan sebagainya).
3.
Situasi keluarga yang kurang baik (misalnya keluarga kurang harmonis,
ekononi lemah atau kurang, dan sebagainya).
4.
Lingkungan hidup yang menghambat (misalnya
tidak sehat karena sampah, banjir, pencemaran udara dan air pabrik, mobil, kepadatan
penduduk, rumah sempit dan sebagainya).
5.
Adat istiadat masyarakat yang menghambat
pergaulan yang tak teratur, kebudayaan yang rendah dan sebagainya).
6.
Kondisi pribadi anak rokhani dan
jasmaninya anak yang tidak cukup.
Strategi dalam belajar dan mengajar yang mendukung
dalam proses pembelajaran tentunya berdasarkan pada bentuk pendekatan yang
dapat dikemukakan strategi ekspositori, discovery, konsep dan cara belajar
siswa aktif. Berdasarkan pada pengelompokan siswa dan kecepatan tiap siswa,
dalam pengelompokan itu tentunya berdasarkan atas kemampuan maupun persamaan
minat dan tujuan dalam proses menigkatkan pembelajaran. Sebagai klasifikasi
tersebut kita dapat memiliki strategi yang sesuai untuk bidang pengajaran yang
dirancang. Pemilihanya strategi tersebut harus mengingatkan kriteria, baik
melalui efisiensi, efektifitas, evaluasi serta unsur keterlibatan siswa pada
umumnya.
Reffrensi:
Noehi Nasution,
1995, Psikologi Pendidikan, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, Jakarta.
Soejono, 1980, Didaktik
Metodik Umum, Bina Karya, Bandung
S. Nasution,
1982, Didaktik Asas-Asas Mengajar, Jemmars, Bandung
M. Ngalim
Purwanto, 1998, Psikologi Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Cornelis Wowr,
1997, Wawasan Keagamaan Guru, Jakarta.
DIGNOSIS KESULITAN BELAJAR SISWA
DALAM PENDEKATAN BUDDHA DHAMMA
Oleh : Bhikkhu
Vajhiradhammo
A. Pendahuluan
Proses belajar terjadi karena adanya interaksi siswa dengan
lingkungannya. Oleh karena itu, lingkungan perlu diatur sedemikian rupa
sehingga timbul reaksi siswa ke arah perubahan tingkah laku yang diinginkan.
Perngaturan lingkunan tersebut meliputi suatu kebutuhan siswa, karakteristik
siswa, perumusan tujuan, penentuan pelajaran, pemilihan strategi yang sesuai,
serta media pembelajaran yang diperlukan. Jadi rangkaian tersebut merupakan
bentuk strategi pembelajaran dalam meningkatkan kualitas pendidikan salah satu
unsur yang penting dipahami oleh guru. Seorang guru tentunya harus dituntut
secara profesional untuk dapat menampilkan keahliannya dalam kelas, maupun
kemampuan menguasai materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa. Salah satu
bentuk komponen siswa itu adalah untuk menyampaikan pelajaran bagi siswa menuju
bentuk keberhasilan yang lebih baik, diperlukan suatu cara atau sterategi
belajar-mengajar.
Dalam kegiatan belajar dan
pembelajaran sebagai bentuk sistem interaksional antara siswa dengan komponen
yang lainya. Guru sebagai penyelenggara kegiatan belajar dan pembelajaran,
hendaknya memikirkan dan mengupayakan terjadinya interaksi siswa dengan komponen
yang lainya secara optimal. Berinteraksinya siswa dengan komponen yang lainya
secara optimal ini tentunya dapat mengefektifkan kegiatan belajar dan mengajar.
Dengan demikian strategi belajar dan pembelajaran dapat diartikan sebagai
kegiatan guru dan mengupayakan terjadinya konsistensi antara aspek-aspek dari
komponen pembentukan sistem interaksional, dimana untuk itu guru menggunakan
siasat tertentu. Karena sistem interaksional itu merupakan suatu kegiatan, maka
pemikiran dan pengupayaan pengkonsistensian dalam aspek-aspek komponennya tidak
hanya sebelum dilaksanakan tetapi juga pada saat dilaksanakan.
B. Pengertian belajar
Pada perkembangan sekarangan ini belajar merupakan masalah setiap orang.
Hampir setiap kegemaran, ketrampilan, dan sikap manusia dibentuk dan
dikembangkan karera adanya suatu belajar. Kegiatan inilah yang dimaksudkan
dalam suatu belajar. Kegiatan belajar dapat dilakukan dimana saja. Sekolah
merupakan salah satu tempat yang tepat dalam proses belajar yang dapat
diusahakan dengansengaja untuk menyajikan pengalaman bagi para siswa, sehingga
mereka dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan yang formal, dalam proses
kegiatan menuntut persiapan adanya persiapan kemampuan tersendiri.
Bagi setiap siswa belajar adalah suatu keharusan untuk mengenal dan
memahami sebagaimana yang berhubungan dengan belajar itu sendiri. Ada beberapa
yang perlu diketahui dalam belajar tersebut. Belajar dipandang dalam segi
tradisional dimana dapat menambah dan mengumpulkan sejumlah pengetahuan yang
terpentig dalam peningkatan intelektual khususnya dalam pengembangan pendidikan
bagi siswa. Sedangakan ahli pendidikan moderen merumuskan belajar adalah suatu
bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam
cara-cara bertingkah laku yang buru berkat pengalaman dan latihan. Misalnya
dari tidak tahu menjadi tahu, timbulnya suatu pengertian baru serta
berkembangnya sifat-sifat sosial, susila, dan emosional (Zaenal Aqib; 2002 :
42).
Belajar merupakan suatu kegiatan mental yang tidak dapat di saksikan dari
luar. Sedangkan belajar terjadinya dalam diri seseoprang dapat diketahui secara
langsung hanya dengan mengamati orang itu bahkan hasil belajar orang itu tidak
langsung kelihatan. Bahkan hasil belajar orang itu tidak langsuhg
kegiatan,tanpa orang itu melakukan sesuatu yang menampakan kemampuan yang telah
diperoleh melalui belajar. Maka berdasarkan prilaku yang disaksikan, dapat
ditarik kesimpulan bahwa seseorang telah belajar. Misalnya sikap menghormati
sang merah putih pada waktu upacara kenaikan bendera, menyatakan diri dalam
mengambil posisi tubuh tegak lurus, sambil mengarahkan pandangan kebendera yang
sedang dikibarkan. Dari prilaku ini, yang diamati orang lain diketahui atau
disimpulkan bahwa orang itu telah
belajar suatu sikap. Sikap itu adalah kemampuan internal yang bersipat mental
tau psikis. Karena itu tidak mungkin mengetahui secara pasti apakah kemampuan
internal itu ada, kecuali bila orang bertindak atau berbicara. Misalnya pula,
seseorang sebenarnya “pandai” dan “terampil” sekali main organ. Kepandaian itu
berupa kemampuan internal yang bersifat kognitif, “ketrampilan” dan kecekatan
itu berupa kemampuan inrternal pula, namun tergolang bidang belajar ketrampilan
motorik. Dengan berbicara saja dengan orang itu, orang tidak dapat nmengetahui
bahwa kenalannya itu mampu main organ bahkan pengakuan “saya dapat main
organ”belumlah memberikan bukti yang pasti. Barulah, setelah orang itumulai
main sebuah organ, ketrampilannya diketahui secara pasti dan ditariklah
kesimpulan, bahwa orsng itu mesti pernah belajar dan sekarang mempunyai
kemampuan itu. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa “hasilk belajar”tidak
jatuh sama dengan “prestasi”(performance). Didalam hasil mbelajar menampakkan
diri. Selama potensi atau kemampuan internal tidak diwujudkan dalam suatu
bentuk prilaku, sulitlah diperoleh kepastian tentang apa yang telah dipelajari.
Belajar terjadi dalam interaksi dengan lingkungan, dalam bergaul dengan
orang, dalm memegang benda dan dalam menghadapi peristiwa manusia belajar.
Namun tidak sembarang berada ditengah-tengah lingkungan, menjamin adanya proses
belajr. Orangnya harus aktif sendiri, melibatkan diri dengan segala
pimikiran,kemauan dan perasaannya. Misalnya, setiap guru mengetahui dari
pengalaman bahwa kehadiran siswa dalam kelas, belum berarti siswa sedang
belajar, selama siswa tidak mmelibatkan diri, dia tidak akan belajar. Maka,
supaya terjadi belajar, dituntut orang melibatkan diri, harus ada interaktif.
Aktifitas boleh berupa aktifitas mental saja, yang tidak disertai gerak-gerik
jasmani, boleh bjuga terjadi aktifitas
jasmani yang yang didalamya mental seseorang terlibat.
Jadi dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, “belajar”pada manusia
bol;eh dirumuskan sebagai berikut “sautu aktifitas mental/psikis, yang
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pengetahuan, ketrampiulan dan nilai
sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas”.(W.S.
Winkel, 1991 : 36).
C. Sebab-Sebab Kesulitan belajar siswa
Penyebab timbulnya kesulitan-kesulitan siswa dalam belajar memang
beeraneka macam ragamnya. Kalau kita
kaitkan penyebabnya itu dengan faktor-faktor yang berperan dalam belajar,
sekiranya penyebab itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yang besar, yaitu
sebab internal (yang berasal dari diri anak yang belajar) dan sebab yang
eksternal yaitu yang bersumber dari luar diri anak yang belajar. Sebab internal
misalnya, kemampuan, motivasi, daya pengindraan, emosi, dan kebiasaan,
sedangkan sebab-sebab dari eksternal dapat berupa lingkungan belajar, kualitas
proses belajar atau tuntutan dari keluarga.
Sesuai dengan faktor-faktor di atas, maka kesulitan-kesulitan siswa dalam
belajar yang ditunjukan oleh hasil belajar yang rendah, dapat disebabkan oleh
berbagai hal, yaitu rendahnya kemampuan intlektual anak, kurangnya motivasi
dalam belajar,kurangnya minat dalam belajar, usia yang masih muda dan kecil,
kehidupan sosial yang kurang mendukung, kebiasaan belajar yang kurang baik,
daya ingat yang rendah, terganggunya alat-alat indera, proses belajar-mengajar
yang tidak teratur dan kurang adanya dukungan dari lingkungan dalam belajar.
Dengan berpegang kepada sebab-sebab tersebut, seorang pendidik akan dapat lebih
berhati-hati dalam menilai kemampuan murid-muridnya. Ia akan menjadi lebih
berlapang dada dalam menghadapi murid-muridnya yang mengalami kegagalan
mencapai tujuan yang ditetapkan. Kemudian ia tidak segera mengambil keputusan
bahwa anak itu telah gagal dalam kemampuan intlektual yang rendah.
Untuk melakukan diagnosis kesulitan belajar, dalam rangka menolong
murid-murid untuk memperbaiki hasil belajarnya ada tiga langkah, yaitu mencari
dan menjelaskan munculnya kesulitan belajar, menetapkan status murid dalam
belajar dan Menganalisa penyebab dari kesulitan belajar. Agar dapat menganalisa
dalam kesulitan belajar, bagi seorang guru diperlukan pengetahuan yang memadai
tentang gejala-gejala kesulitan belajar serta tahap-tahap perkembangan siswa.
Pengalaman juga merupakan faktor penentu dalam keberhasilan seorang guru dalam
mengidentifikasi kesulitan bagi anak muridnya (Noehi Nasution, 1995 : 27).
Menelaah/menetapkan status siswa dilakukan dengan tiga langkah yaitu,
menetapkan tujuan yang harus dicapai murid, menguji ketrampilan tujuan tersebut
dengan menggunakan alat penilaian yang tepat, serta menetapkan pola pencapaian
murid dengan melihat perbedaan antara tujuan dengan pencapaian murid. Informasi
tentang kemampuan murid di bidang lain juga diperlukan hingga status murid yang
lengkap berupa kelemahan dan kekuatannya dapatlah diketahui.
Munculnya penyebab dalam kesulitan
belajar merupakan puncak dalam ketrampilan belajar yang baik. Pada tahap ini
guru perlu sangat berhati-hati karena sebab yang keliru yang akan menumbuhkan
perbaikan yang keliru pula. Kemungkinan akan mengakibatkan murid menjadi
korbanya. Ada Tiga hal yang perlu diperhatikan bagi seorang guru dalam tahapan
menumbuhkan ketrampilan belajar pada anak adalah (a). Gejala yang hampir sama
dapat menimbulkan penyebab yang berbeda (b). Sebab yang sama dapat menimbulkan
gejala yang tidak sama, (c). Penyebab kesulitan belajar menimbulkan
belajar yang semakin sullit dan (d).
Kurang adanya dukungan dan pengarahan orang tua di rumah.
D. Metode Belajar Yang Praktis
Dalam belajar untuk mencapai suatu keberasilan di butuhkan suatu cara
atau metode yang praktis untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang didasarkan
pada pengalaman hidupnya.Dalam kegiatan ini mmerupakan suatu kegiatan yang
edukatif akan terwujud apabila tuijuan yang mengikat kegiatan itu tercapai atau
dapat dikuasai oleh siswa.
Jadi metode adalah suatu cara yang di dalam pungsinya merupakan suatu
alat untuk mencapai suatu tujuan. Kegiatan ini terjadi dua arah antara guru
dengan siswa yang diikat dengan suatu tujuan. Dalam pengembangan metode
tersebut banyak cara atau metode dalam interaksi yang dapat di gunakan dalam
membina tingkah laku belajar edukatif dalam berbagai perietiwa interaktif.
Untuk menetapkan metode interaktif tersebut guru harus menetapkan lebih dahulu
metode apa yang baik dan cocok. Untuk mengerjakan hal ini memerlukan suatu
acuan atau beberapa faktor yang utamanya adalah menentukan tujuan yang akan
dicapai.
Untuk dapat mencappai tujuan tersebut guru harus melakukan beberapa bentuk
klegiatan interaktif seperti : penyampaian impormasi, penciptaan dialog,
peningkatan ketrampilan, pemantapan pengalaman, penetapan musyawarah, pengujian
kemahiran, perluasan crawala dan pemupukan kebersamaan dalam sifat kegotong
royongan.
Dalam menciptaklan interaktif edukatif guru dapat memberikan
batasan-batasan sejauh mana kemungkinan untuk mencapai tujuan, hal ini
dibutuhkan berbagai macam metode interaktif yang dapat mendukung dalam
peningkatan proses belajar siswa. Metode-metede yang harus dilakukan adalah
sebagai berikut :
1.
Metode ceramah, adalah sebuah bentuk interaksi yang melalui
penerangan, penuturan secara lisan oleh seorang guru terhadap seorang siswa,
lat utama interaktif edukatif ini yang di gunakan adalah bahasa lisan. Secara
umum dalam pemberian imformasi melalui metode ceramah wajkar digunakan dengan
adanya fakta, pendapat yang terdapat dalam sumber-sumber buku atau bahan bacaan
sehinga mendukung terjadinya interaktif langsung antara guru dan siswa. Guru
akan mengenalakan pokok materi yang berhubungan dengan hasil interaktif sebelum
dan sesudahnya.
2.
Metode tanya jawab,merupakan suatu bentuk interaktif yang
dapat digunakan didalam proses pembelajaran sehingga akan dapat menciptakan
terjadinya interaktif yang akan merangsang siswa dalam kegiatan pembelajaran
dan akan mendukung siswa terpusat pada materi yang disampaikan.
3.
Metode diskusi adalah bentuk pemecahan suatu masalah yang
didukung dengan pemikiran untuk mencapai pemecahan suatu masalah hal ini
didukung dengan adanya musyawarah bersama sehingga diskusi itu dapat
mengahasilakan sutatu keputusan. Dimana diskusi melalui interaktif guru
merupakan peranan terpenting dalam diskusi untuk menjalakan itu dengan baik di
perlukan sebagai seoarang pemimpin, dalam berjalannya suatu diskusi, sebagai
dinding dalam pemecahan suatu masalah dan penunjuk jalan.
4.
Metode meningkatan ketrampilan melalui latihan adalah suatu
bentuk interaksi melalui latihan dalam meningkatkan ketrampilan harus
diperlukan bentuk latihan yang kontiyuatau be4lanjut sehingga diperoleh hasil
yang sempurna. Hal ini tentunya akan merespon setiap siswa dan guru menyadari
terciptanya ketrampilan itu dibutuhkan waktu yang relatif lama. Syarat-syarat
yang harus dipenuhi dalam pengembangan ketrampilan itu adalah sebagai berikut :
a.
bentuk tindakan ketrampilan yang bersipat otomatis.
b.
Memiliki wawasan yang luas yang mencerminkan sikap siswa
dalam pengembangan kegiatan belajar
c.
Nilai yang di perlukan dalam diagnotis bagi pemula akan
semp[urna abila berlatih dengan baik, menguasai dan mengembangkan tingkat
penguasaan selanjutnya
d.
Pada tarap latihan awal adalah ketepatan berupa kecepatan
akhirnya tercapai dalam membetuk kesatuan.
e.
Menggunakan waktu yang singkat dan latihan yang tepat.
f.
Latihan didukung dengan suasana aman dan damai.
g.
Tingkat latihan disesuaikan dengan tingkat kemampuan
individu.
5.
Metode demokrasi dan eksperimen adalah suatu bentuk
interaktif edukatif yang dapat memecahkan suatu permasalahan bagi siswa
berkaitan dengan prosesnya, dan dapat membuktikan kebenaran melalui pengamatan
edukatif. Dalam melaksanakan demonstrasi siswa diharapkan partisipasi aktif,
diperlukan suatu proses dan cara belajar yang baik. Sedangkan interaktif ini
didukuinung oleh guru dalam menjelaskan dan siswa mencatat maka terjdilah
interaksi belar mengajar melalui metode eksperimen, sehingga siswa aktif dalam
mengambil belajar yang baik. Untuk menerapkan metode eksperimen sebagai metode
interaktif edukatif perlu di perhatikan
beberapa saran sebagai berikut :
a.
tujuan yang dilakukan eksperimen kepada siswa, maka siswa
dapat mengetahui jawaban dari hasil eksperimen
b.
musyawarah bersama mengenai langkah-langkah dalam pemecahan
suatu masalah melalui eksperimen yang didukung oleh bahan-bahan, variabel yang
terkendali dan hal lain yang perlu
dicatat
c.
mendukung siswa dalam mendapatkan bahan yang dibutuhkan.
d.
Kegiatan eksperimen telah berlansung akan merangsang siswa
dalam membandingkan hasil eksperimen secara kelompok atau perorangan maka
terjadilah bentruk perbedaan yang terjadi dalam hasil diskusi
6.
Metode pengujian melalui pelaksanaan tugas adalah bentuk
pengujian kemampuan siswa dalam pelaksanaan tugas atau belajar dan mampu
mempertanggungjawabkannya, hal ini mengadakan intraksi edukatif dalam
pelaksanaan tugas bertujuan untuk merangsang siswa dalm berusaha, memupuk
inisiatif melalui kegiatan kurikuler dan kurikuler.
7.
Metode memperluas wawasan melalui karya wisata adalah bentuk
bimbingan guru kepada siswa untuk mengunjungi tempat-tempat tertentu yang
mendukung dalam pengembangan belajar. Secara langsung melalaui bentuk
pengamatan, obyek permasalahan, pemahan secara integral dengan karya wisata.
8.
Metode kegotongroyongan dan kerja kelompok adalah mengadakan
interaktif edukatif melalui kerja kelompok dalam kebersamman untuk mencapai
tuijuan belajar tentunya didukung oleh beberapa hal :
a.
anggota yang mengrti kelompoknya
b.
pembagian tugas secara adil berdasarkan kemampuan anggota
yang ada sehingga dapat menyelesaikan tugas yang baik.
c.
Kerja kelompok secara terarah sehingga dapat mendidik
anggotanya.
d.
Hasil pemecahan suatu masalah dapat tercapai melalui
motivasi.
e.
Guru mencegah perselisihan atau persaingan dalam kegiatan
kelompok
f.
Guru harus menguasai variabel kelompok baik secara individu
maupun umun yang berhubungan dengan emosional.
Kedelapan metode
interaktif belajar mengajar inilah akan memberikan gambaran sejauh mana
terjadinya komonikasi dan interaksi antara siswa dan guru dalam mencari suatu
pemecahan masalah untuk meningkatan belajar siswa dan guru untuk mengajar (Sri
Anita Wiriawan ; 1995 : 160).
E. Peranan Bealajar dalam
Diri Siswa.
Tentunya dalam belajar itu juga mengalami sebuah proses yang sangat
kompleks sekali. Proses belajar itu adalah sangat kompleks akan tetapi dapat
juga dianalisa dan diperincikan dalam bentuk prinsip-prinsip atau asas-asas
belajar. Hal ini perlu diketahui agar memiliki pedoman dan teknik belajar yang
baik, iantaranya;
1.
Belajar itu harus bertujuan dan terarah. Tujuan menuntutnya
dalm belajar untuk mencapai harapan-harapanya.
2.
Belajar memerlukan bimbingan, baik bimbingan dari guru atau
buku pelajaran itu sendiri.
3.
Belajar memerlukan
pemahaman atas hal-hal yang dipahami dan dipelajari sehingga memunculkan
pengertian yang baik.
4.
Belajar memerlukan latihan dan ulangan atau evaluasi agar apa
yang dipelajarinya dapat dikuasainya.
5.
Belajar adalah suatu proses aktif dimana terjadi saling
pengaruh secara dinamis antara murid dengan lingkungan.
6.
Belajar tentunya harus disertai dengan keinginan dan kemamuan
yang kuat untuk mencapai tujuan
7.
Belajar dianggap berhasil
apabila telah sanggup menerapkan kedalam bidang praktek sehari-hari dengan baik
(Zaenal Agib ; 2002 :42).
F. Kesulitan Dalam Belajar Siswa.
Untuk melakukan diagnosis kesulitan belajar, dalam rangka menolong
murid-murid untuk memperbaiki hasil belajarnya ada tiga langkah, yaitu : (1)
Mengidentifikasi munculnya kesulitan belajar (2) menelaah/menetapkan status
murid (3) memperkirakan penyebab kesulitan belajar
Agar dapat mengidentifikasikan kesulitan belajar, bagi seorang guru
diperlukan pengetahuan yang memadai tentang gejala-gejala kesulitan belajar
serta tahap-tahap perkembangan siswa. Pengalaman juga merupakan faktor penentu
dalam keberhasilan seorang guru dalam mengidentifikasi kesulitan muridnya.
Menelaah/menetapkan status siswa dilakukan dengan tiga langkah yaitu,
menetapkan tujuan yang harus dicapai murid, menguji ketrampilan tujuan tersebut
dengan menggunakan alat penilaian yang tepat, serta menetapkan pola pencapaian
murid dengan melihat perbedaan antara tujuan dengan pencapaian murid. Informasi
tentang kemampuan murid di bidang lain juga diperlukan hingga status murid yang
lengkap berupa kelemahan dan kekuatannya dapatlah diketahui.
Munculnya penyebab dalam kesulitan belajar merupakan puncak dalam
kegiatan diagnosis. Pada tahap ini guru perlu sangat berhati-hati karena sebab
yang keliru yang akan menumbuhkan perbaikan yang keliru. Kemungkinan akan
mengakibatkan murid menjadi korbanya. Status murid yang lengkap merupakan
sumber utama dalam memperkirakan penyebab kesulitan belajar. Tiga yang harus
diingat guru dalam tahapan tersebut diantaranya (1). Gejala yang sama dapat
ditimbulkan oleh sebab yang berbeda (2). Sebab yang sama dapat menimbulkan
gejala yang bebeda. (3). Sejumlah sebab dapat berinteraksi menimbulkan
kesulitan belajar yang semakin parah (Noehi Nasution, 1995 ; 227).
G. Langkah-Langkah Dalam meningkatkan Belajar Siswa
Dalam
belajar tentunya mempunyai cara-cara
yang baik untuk mencapai hasil belajar yang baik dalam hal ini saya akan
memberikan cara-cara belajar yang baik yang saya ambil dari buku karangan Dra.
Tatiek Romlah, MA yaitu sebagai berikut :
1. Cara
mengatur waktu
Yang dimaksud dengan mengatur wakatu dan lingkungannya adalah tidak hanya
merupakan keterampilan belajar tetapi juga keterampilan hidup yang sangat
berharga, karena apa saja yang diperoleh siswa atau seseorang hasilnya
dipengaruhi oleh caranya mengatur waktu dan mengendalikan lingkungannya.
Dengan mengatur waktu secara efisien dan efektif individu akan memperoleh
keuntungan-keuntungan. Keuntungan-keuntungan itu adalah sebagai berikut; (1)
Dapat mengatur kegiatan dengan lebih baik sehingga lebih banyak yang bisa
dikerjakannya (2) Dengan belajar secara
teratur individu akan lebih mudah mengingat dan meresapkan apa yang
dipelajari. (3) Siap apabila mendapat beban belajar yang lebih berat dijenjang
yang lebih tinggi. (4) Mempunyai lebih banyak waktu untuk mengerjakan
kegiatan-kegiatan yang disenangi karena tugas-tugas belajarnya dapat
terselesaikan tepat waktunya.
Dalam mengatur waktu ada beberapa hal yang harus diperhatikan baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang dalam meningkatkan kualitas belajar bagi siswanya adalah membuat daftar
kegiatan sehari-hari, menetapkan waktu belajar, membuat satuan belajar satu
jam, mempelajari lebih dahulu bagian yang lebih sukar, mempelajari setiap mata
pelajaran sesering mungkin, mengetahui kekuatan-kekuatan dan
kelemahan-kelemahan diri, membuat ringkasan, menggunakan waktu senggang untuk
belajar, mengganti waktu belajar yang hilang dan mengatur waktu dengan
seimbang.
2. Cara mengatur Lingkungan
adalah cara belajar sangat besar pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa atau
individu.Yang mana lingkungan belajar terdiri dari lingkungan fisik dan
lingkungan psikologi. Lingkungan Fisik adalah kondisi alamiah tempat individu
belajar, yang meliputi: ruangan, mmmmmeja kursi belajar, almari atau temapat
menyimpan buku pelajaran dan alat-alat pelajaran yang lain, penerangan,
hiasan-hiasan dinding, ventilasi udara dan sebagainya. Sedangkan linngkungan
Psikologi meliputi kndisi-kondisi dalam diri individu, seperti sikap,
kebiasaan, cara berfikir dan sebagainya. Syarat-syarat yang perlu diperhatikan
untuk menciptakan lingkungan fisik yang dapat menunjang belajar individu
diantaranya menentukan tempat belajar yang tetap, menghindari hal-hal yang
menganggu belajar, mengatur tempat belajar, dan mengatur bahan-bahan belajar.
H. Penggunaan Sumber
Belajar
Penggunaan sumber-sumber informasi sangat mendukung dalam kegiatan
belajar siswa yang juga akan membantu kelancaran dalam belajarnya, karena yang
dimaksudkan dalam sumber-sumber dalam belajar siswa adalah sebagai bahan atau buku
yanng digunakan sebagai bahan acuan dalam belajar. Dalam penggunaan
sumber-sumber belajar tidak hanya
berguna untuk kepentingan akademik, tetapi merupakan ketrampilan umum yang
perlu untuk hidup. Kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber yang tepat juga
digunakan sebagai yaitu dapat menghemat uang, tenaga dan waktu tanpa memandang
apa yang harus dilakukan, dimana kita hidup, atau siapa kita ini. Berikut ini
beberapa contoh dalam memanfatkan penggunaan sumber-sember belajar; (1) Dengan
menggunakan sebuah media yang ada misalnnya: membaca iklan, selebaran, brosur,
mendengarkan radio dan melihat iklan di televisi itu hal yang dapat menghemat
keuangan dalam berbelanja barang karena tahu tempat penjualannya barang-barang
yang lebih murah bila dibandingkan dengan yang lainnya. (2) Dapat memperoleh
faktor yang kita butuhkan dan menginformasikan fakta itu ke masyarakat, negara,
atau pihak-pihak yang lainnya. (3) Dapat belajar menemukan jawaban-jawaban dari
pertanyaan yang berkaitan dengan tugas-tugas disekolah dan pribadi, misalnya
dalam bidang sains, sejarah, olah raga, sastra, dan bidang apa saja yang
menarik minat kita. (4) Dapat menyampaikan dan menyelesaikan makalah ataupun laporan tugas yang ditugaskan
oleh guru secara aktif. (5) Mendapatkan kepuasan pada waktu menelusuri dan
menemukan informasi mengenal bidang yang di minati (Tatiek Romlah, 1991 ; 52).
Berbagai sumber belajar yang lainnya tersedia antara lain adalah :
perpustakaan, media massa, para ahli bidang studi, dan juga sumber-sumber dalam
masyarakat. Beberapa sumber yang mendukung dalam belajar seperti yang telah
disebutkan diatas hampir terdapat disetiap kota. Sumber-sember dalam belajar
yang baik digunakan untuk sebagai bahan dalam reffrensi, media bacaan dan
lainya.
I. Evaluasi Belajar.
Keberhasilan belajar dan latihan ditandai dengan pemahaman dan kecakapan
dalam hal memahami maksud dan tujuan, maupun dalam menjelaskan dan menjabarkan
secara rinci serta mampu mempertimbangkan akibat. Cakap memilih kata atau
menggunakan bahasa yang tepat, yang mudah dimengerti dengan benar dan mudah
untuk dimengerti dengan benar. Memahami intisari atau mampu dalam meringkas,
dan meneliti serta menunjukkan penyebabnya. Kelancaran dalam cara penerapannya
atau penyelesaian dan dengan bijaksana mampu menguasai persoalan yang muncul
secara mendadak.
Pendidikan apa pun bentuk dan tingkatannya menuju kepada suatu perubahan,
yakni peningkatan kemampuan di bidang pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Untuk
mengevaluasikan kembali perubahan tersebut, dan menentukan taraf yang dicapai
diperlukan informasi-informasi yang diperoleh khususnya dari pengukuran.
Pengukuran itu diperoleh lewat pengamatan dan ujian atau test. Test dapat
dilakukan pada setiap tahapan, khususnya sebelum dan sesudah suatu proses.
Lazimnya test merupakan pertanyaan, soal atau tugas yang diberikan untuk
menjawab atau diselesaikan. Test bisa secara lisan maupun tertulis. Untuk
materi yang diujikan juga tidak berupa teori tetapi juga bentuk prakteknya.
Berdasarkan bentuk pertanyaan, sekarang ini umumnya dikenal dengan test terbuka
atau tertutup. Bentuk test terbuka merupakan serangkaian karangan (essy tets)
yang cara penilainnya dipandang secara obyektif. Test karangan ini memenuhi
pola pertanyaan yang perlu dipertanggung jawabkan dengan uraian atau mungkin pula
dengan mempertanyakan balikan. Sedangkan bentuk test tertutup berupa bentuk
pertanyaan yang telah tersedia untuk dipilih (structured test). Jenis test ini
dapat digolongkan pada pola pertanyaan yang dijawab langsung. Lewat hasil test
seorang mengennali kekurangan dan kelebihanya serta kemajuannya (Wijaya Mukti ;
2001 : 13).
Menurut pengertian yang lama, pencapaian tujuan pembelajaran yang berupa
prestasi belajar, merupakan hasil dari kegiatan belajar mengajar semata. Dengan
kata lain kualitas kegiatan belajar mengajar adalh salah satu faktor penentu
bagi hasilnya. Pendapat ini seperti itu kini sudah tidak berlaku lagi.
Pembelajaran bukanlah salah satunya faktor yang menentukan prestasi belajar,
karena prestasi merupakan hasil kerja yang keadaanya sangat kompleks sekali.
Apabila sekolah diumpamakan sebagi tempat mengelola sesuatu dan calon siswa
diumpamakan sebagai bahan mentah mak lulusan dari sekolah itu dapat disamakan
dengan hasil dari molahan yang sudah siap untuk dipakai atau digunakan. Dalam
istilah yang lain terjadinya inovasi yang menggunakan teknologi mak tempat
dalam pengelolaanya ini disebut trasnsformasi, dengan adanya input, output, dan
umpan balik.
Dengan diadakan penilaian, maka siswa dapat mengetahui sejauh mana dalam
tingkat keberhasilannya dalam mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru.
Maka penilaian akan mempunyai makna bagi siswa apabila memperoleh hasil yang
memuaskan dan hal ini akan menyenangkan, tentunya kepuasan itu ingin
diperolehnya lagi dalam kesempatan berikutnya. Akibatnya siswa akan mempunyai
motivasi yang cup besar dalam belajar. Namun apabila hal dalam penilaian itu
dihasilkan tidak memuaskan maka keadaannya akan sebaliknya siswa akan menjadi
putus asa dengan hasil kurang memuaskan yang diterimanya.
Bagi seorang guru dalam makna penilaian tentunya merupakan hasil dalam
mengetahui sejauh mana para siswanya dalam menguasai bahan, maupun yang belum
dapat menguasai bahan yang diberikanya. Untuk mengetahui apakah materi yang
diajarakan itu telah sesuai dengan pelajaran di waktu-waktu yang akan datang
dalam tindak perubahan. Kemudian untuk mengetahui apakah metode dalam
pengajarannya itu telah tepat atau belum. Jika sebagian besar dari siswa
memperoleh hasil yang jelek, diadakan suatu pendekatan atau mencari sebabnya
dalam metode yang kurang tepat maka guru akan mawas diri dan mencoba mencari
metode lain dalam mengajar.
Dalam mengadakan penilaian dalam pendidikan khususnya sekolah akan
diketahui bagaimana hasil belajar siswa-siswanya, dapat diketahui pula apakah
belajar yang diciptakan oleh sekolahan sesuai dengan harapan atau belum. Hasil
belajar merupakan cermin kualitas sesuatu sekolahan. Sehingga akan dapat
memberikan informasi dari guru tentang kurikulum untuk sekolahan itu yang
merupakan bahan pertimbangan bagi perancang sekolah untuk masa-masa yang akan
datang. Dari hasil penilaian tersebut yang diperoleh dari tahuan ke tahun dapat
digunakan sebagai pedoman bagi sekolahan yang sudah memenuhi persyaratan
standar atau belum. Untuk pemenuhan standart akan terlihat dari bagusnya angka-angka
yang diperoleh siswa (Suharsimi Arikunto ; 2001 : 8).
J. Hasil Penganalisaan
Dalam Kesulitan Bealajar.
Menurut pengertian yang lama, pencapaian tujuan pembelajaran yang berupa
prestasi belajar, merupakan hasil dari kegiatan belajar mengajar semata. Dengan
kata lain kualitas kegiatan belajar mengajar adalah salah satu faktor penentu
bagi hasilnya. Pendapat ini seperti itu kini sudah tidak berlaku lagi.
Pembelajaran bukanlah salah satunya faktor yang menentukan prestasi belajar,
karena prestasi merupakan hasil kerja yang keadaanya sangat kompleks sekali.
Apabila sekolah diumpamakan sebagi tempat mengelola sesuatu dan calon siswa
diumpamakan sebagai bahan mentah mak lulusan dari sekolah itu dapat disamakan
dengan hasil dari molahan yang sudah siap untuk dipakai atau digunakan. Dalam
istilah yang lain terjadinya inovasi yang menggunakan teknologi mak tempat
dalam pengelolaanya ini disebut trasnsformasi, dengan adanya input, output, dan
umpan balik.
Dengan diadakan penilaian, maka siswa dapat mengetahui sejauh mana dalam
tingkat keberhasilannya dalam mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru.
Maka penilaian akan mempunyai makna bagi siswa apabila memperoleh hasil yang
memuaskan dan hal ini akan menyenangkan, tentunya kepuasan itu ingin
diperolehnya lagi dalam kesempatan berikutnya. Akibatnya siswa akan mempunyai
motivasi yang cup besar dalam belajar. Namun apabila hal dalam penilaian itu
dihasilkan tidak memuaskan maka keadaannya akan sebaliknya siswa akan menjadi
putus asa dengan hasil kurang memuaskan yang diterimanya.
Bagi seorang guru dalam makna penilaian tentunya merupakan hasil dalam
mengetahui sejauh mana para siswanya dalam menguasai bahan, maupun yang belum
dapat menguasai bahan yang diberikanya. Untuk mengetahui apakah materi yang
diajarakan itu telah sesuai dengan pelajaran di waktu-waktu yang akan datang
dalam tindak perubahan. Kemudian untuk mengetahui apakah metode dalam
pengajarannya itu telah tepat atau belum. Jika sebagian besar dari siswa
memperoleh hasil yang jelek, diadakan suatu pendekatan atau mencari sebabnya
dalam metode yang kurang tepat maka guru akan mawas diri dan mencoba mencari
metode lain dalam mengajar.
Dalam mengadakan penilaian dalam pendidikan khususnya sekolah akan
diketahui bagaimana hasil belajar siswa-siswanya, dapat diketahui pula apakah
belajar yang diciptakan oleh sekolahan sesuai dengan harapan atau belum. Hasil
belajar merupakan cermin kualitas sesuatu sekolahan. Sehingga akan dapat
memberikan informasi dari guru tentang kurikulum untuk sekolahan itu yang merupakan
bahan pertimbangan bagi perancang sekolah untuk masa-masa yang akan datang.
Dari hasil penilaian tersebut yang diperoleh dari tahuan ke tahun dapat
digunakan sebagai pedoman bagi sekolahan yang sudah memenuhi persyaratan
standar atau belum. Untuk pemenuhan standart akan terlihat dari bagusnya
angka-angka yang diperoleh siswa (Suharsimi Arikunto ; 2001 : 8).
K. Kesimpulan
Setiap jenis belajar merupakan suatu proses belajar yang memiliki kekhususan tersendiri
yang membedakannya dari jenis belajar lainnya. Proses belajar berlangsung dalam
diri siswa, ini merupakan kejadian intern. Dalam setiap peristiwa yang dialami
setiap siswa menjadi satu fase yang dapat membentuk dalam proses belajar
ingin dicapai.
Selain pengaruh intern yang dapat mempengaruhi belajar siswa juga
disebabkan oleh kejadian-kejadian dari luar yang dapat menunjang maupun
menghambat belajar siswa.
Setiap jenis belajar merupakan suatu proses belajar yang memiliki
kekhususannya tersendiri, yang membedakannya dari jenis belajar yang lainya.
Proses belajar mengenal urutan fase-fase itu walaupun pelaksanaannya sesuai
dengan kekhususannya masing-masing.
Jadi belajar merupakan suatu proses yang dilakukan sepanjang hidupnya.
Proses belajar ini akan menjadi lebih efektif apabila individu menguasai
teknik-teknik belajar dan dapat mengetahui kesulitan-kesulitan dalam belajar.
Dimana proses belajar ini tidak hanya dalam bangku sekolah tetapi juga di dalm
masyarakat.
Setelah kita mengetahui seluk-beluk tentang diksi atau pilihan kata
hendaknya selalu memelihara dan menyebarluaskan pengetahuan yang kita miliki
kepada siapa saja yang ingin belajar berbahasa indonesia secara lisan maupun
tulisan sehingga memperkaya pemakainan dalam bahasa indonesia sebagai bahasa
persatuan di Nusantara ini dengan baik dan sesuai kaidah berbahasa indonesia
yang benar.
Demikianlah hasil rangkuman dalam pembahasan tentang unsur-unsur kalimat
serta diksi atau pilihan kat dalam bahasa indonesia. Walaupun sedikit karena
keterbatasan kemampuan kami menyadari sepenuhnya jauh dari sempurna, harapan
dari kami segala saran dan kritik kami harapkan dan semoga bermanfaat untuk
kita semua.
Refrensi
H. Zainal Aqib, 2002, Profesionalisme Guru Dalam
Pembelajaran : Jakarta Insan Cempaka
Noehi Nasution., 1995,
Psikologi Pendidikan, Jakarta : Dirjed. BIMAS Hindu dan Buddha.
Tatiek Romlah dan Ella Faridati Zen, 1991, Ketarmpilan -
Ketarmpilan Belajar, Malang :
Depdikbud dan IKIP,
Sri Anitha Wiryawan, Noorhadi Th. I. G.A.K. Wardani, 1995,
Strategi Belajar Mengajar :
Jakarta Dirjed. BIMAS Hindu dan Buddha.
Suharsimi Arikunto,
2001, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan : Jakarta Bhumi Aksara
Tatiek Romlah, Ella Faridati Zen, 1991, Ketrampilan -
Ketrampilan Dalam Belajar : Malang,
Depdikbud dan IKIP.
W.S. Winkel, 1991, Pengntar Pengajaran, Jakarta : P.T. Gramedia.
Wijaya Mukti, 2001, Pendidikan Dalam Agama Buddha : Bogor
Majelis Buddhayana
Indonesia.
PENGERTIAN DANA DALAM KITAB SUCI TRI PITAKA
Oleh Bhikkhu Vajhiradhammo
A. Pengantar
Terkadang kita mendengar kata berdana atau menyumbang, bagi sebagian
besar orang masih merupakan hal yang terkadang menjengkelkan. Anggapan berdana
hanyalah hal yang sia-sia, tidak ada manfaatnya sama sekali serta merupakan
bentuk kerugian belaka, membuat orang yang akan berdana berpikir seribu kali
dan berdana tidak iklas. Dan kekurang-pengertian tentang berdabna membuat kita
ragu, tidak terarah dalam berdana sehingga tidak meberikan manfaat yang
optimal.
Semua mahluk ingin hidup bahagia, untuk itu kita harus banyak berbuat
baik. Cara pertama kita berbuat baik adalah berdana. Berdana dengan pengertian
yang benar, yaitu, mengerti bahwa berdana itu merupakan perbuatan baik, akan
lebih memberikan makna daripada berdana tanpa pengertian yang benar.
Orang yang berdana dengan pengertian benar, bahwa perbuatannya tersebut akan
memberikan manfaat yang besar dan dapat membantu dalam membersihkan batin
mereka, akan lebih bermanfaat bagi mereka dan lebih memacu untuk berbuat baik
sebanyak mungkin dalam kehidupan ini.
Sebetulnya berdana merupakan kebajikan yang paling mudah dilaksanakan
oleh siapa juga, baik seorang yang super sibuk, atau bahkan seorang penjahat
sekalipun kalau mau bisa melakukannya. Kebajikan bukan untuk orang tertentu
saja, akan tetapi bagi siapa pun juga yang mau melakukan perbuatan baik.
Berdana adalah suatu pemberian, baik materi, uang, tenaga, perlindungan,
rasa aman, pikiran ataupun nasehat kepada seseorang atau organesasi yang
membutuhkan secara suka rela tanpa paksaan dan tidak mengharap imbalan. Berdana
adalah berkorban. Dalam agama Buddha berdana bukanlah suatu hal yang harus atau
diwajibkan, tetapi berdana merupakan dasar dari kesadaran dan pengertian si
pemberi itu sendiri. Dana dapatlah diartikan sebagai pemberian sedekah, yang
mengingatkan kita pada pemberian kepada orang miskin atau orang yang berada
pada keadaan yang patut untuk dibantu. Namun dalam ajaran agama Buddha, dana
mempunyai arti yang lebih kepada si miskin maupun si kaya, baik sokongan atau
persembahan.
B. Macam – Macam Dana
Dana dapat di
golongkan dengan berbagai macam yaitu, (1)Amise dana adalah dana yang diberikan
dalam bentuk materi, seperti uang, makanan, pakaian, obat-obatan dan lainya.
Amise dana adalah perbuatan baik untuk membantu mereka yang membutuhkan seperti
korban bencana alam, kelapar, kebakaran, dan lainya. (2) Dhammadana adalah perbuatan baik
atau pengorbanan yang di berikan dengan memberikan penerangan, khotbah, ceramah
atau mengajar Dhamma kepada seseorang atau orang banyak. Dana Dhamma ini adalah
amal kebajikan yang paling tinggi dan besar manfaatnya. (3) Mahatidana adalah
bentuk pengorbanan yang besar untuk memperjuangan kebenaran, misalnya para
pahlawan rela berkorban dan memberikan amal bakti kepada bangsa dan negaranya,
dengan mengorbankan jiwa dan raganya. (4) Attidan adalah seperti pengorbanan
yang dilakaukan oleh seorang Bodhisatva, misalnya Sidharta Gotama, beliau iklas
mengorbankan dan rela meningalkan kesenangan duniawi, meninggalkan semua yang
dicintainya, karena ia mencari jalan untuk membebaskan umat manusia yang
menderita. Sang Buddha telah memberikan amal baktinya kepada umat manusia
dengan membabarkan dhamma-nya tanpa mengenal lelah dan tanpa pamrih untuk
kebahagiaan semua mahluk.
C. Manfaat Berdana
Dengan berdana berarti kita menanam kebajikan yang pasti menumbuhkan
kebahagiaan. Sang Buddha bersabda “gemar berdana, memiliki sila yang baik,
dapat mengendalikan diri adalah timbunan harta yang terbaik. Inilah harta yang
disimpan paling sempurna. Tidak mungkin hilang, tidak ada yang bisa mencuri
atau pun mengambilnya, serta walaupun kita meninggal kelak harta ini tetap kita
bawa”. Kalau kita meninggal yang kita bawa hanyalah kamma-kamma kita saja,
harta yang lainnya tertinggal.
Di zaman dulu ada seorang umat Buddha yang cantik, dermawan, kaya raya
bernama Visakha. Suatu hari ia sedang mengipasi mertuanya yang sedang makan
mewah. Ketika itu juga lewat seorang bhikkhu yang sedang pindapata dan berhenti
di depan rumah mertuanya untuk menerima dana makanan.
Mertuanya tidak suka berdana. Visakha merasa tidak enak, lalu berkata,
“maafkan Bhante, hari ini tidak ada dana makanan, karena mertua saya sedang
makan sisa-sisa makanan”. Mertuanya marah besar, “makanan yang mewah dengan
piring emas begini dikatakan makanan sisa, maka mertuanya sangat marah menantu
yang tidak baik.
Visakha disidangkan dan para sesepuh dipanggil. Visakha membuat
pembelaan, “mertua saya bias saja kaya raya dan makmur, itu disebabkan karena
perbuatan baiknya pada masa yang lampau. Saya percaya pada hokum kamma. Kalau
pada kehidupan yang lampau ia tidak suka melakukan kebajikan, tidak pernah melakukan
kebajikan, tidak mungkin ia sekarang menjadi kaya raya. Tetapi sekarang mertua
saya tidak mau melakukan perbuatan kebajikan yang baru, berarti ia makan
makanan sisa dari kebajikan dimasa yang lampau. Kalau sisa perbuatan baik di
masa lalu telah habis ia akan menderita. Maka saya katakana ia makan makanan
sisa-sisa saja dimasa lalunya.
Sang Buddha bersabda; “ siapa yang suka berdana dia akan disukai dan
dicintai”. Inilah manfaat yang langsung dan nyata di nikmati pada kehidupan
sekarang ini. Wajah molek, suara merdu, mempunyai kekuasaan, kaya atau terlahir
di alam surga atau brahma, semua itu diperoleh kalau seseorang suka berbuat
baik, termasuk berdana. Kamma tidak bias dihilangkan atau dihapus begitu saja,
kamma pasti menghasilkan akibat. Namun kamma burukpun bisa memberikan akibatnya
juga.
Sebagai contonya, segemggam garam yang dimasukan ke dalam semangkok air
telah membuat air semangkok itu menjadi berubah rasanya asin. Tak dapat
diminum. Berbeda dengan segenggam garam yang dimasukan ke dalam segentong air,
maka air itu tidak terasa begitu asin. Jadi kalau kita banyak berbuat, kalau
ada kamma buruk kta masuk, kita tidak akan merasa sakit atau menderita yang
besar. Namun kalau kita jarang melakukan kebajikan, kalau kamma buruk lagi
berbuah tentunya akan merasa sangat menderita sekali. Bila batin kita bersih,
kita tak akan mungkin melakukan kejahatan. Berarti kita tak mungkin memetik
kamma buruk, maka manfaat yang paling utama adalah mengikis kekotoran batin.
Sudah sifat yang alami kita hidup untuk selalu melepas dan berpisah.
Melawan bearti menyiksa diri sendiri. Kitalah yang mestinya untuk selalu
menyesuaikan diri dengan sifat alam. Kita menarik nafas saja untuk dilepaskan.
Kalau hanya ingin menarik nafas saja tentunya kita akan tersiksa. Pasti pernah kita
merasakan kehilangan, berpisah, dengan apa yang sangat kita sukai, atau di
cintai, bahkan kalau kita mati pun baik itu harta, kedudukan, semua akan
terlepas dari kita. Kalau tidak rela akibatnya sudah pasti penderitaan dan
kesedihan, serta stress bahkan bisa menjadi gila atau lebih jauh kalau kita
terlalu terikat dan tolol. Karena ditinggalkan orang yang sangat dicintai, kita
tentunya mencoba menyusul keliang kubur, bunuh diri.
Dana juga dapat bermanfaat sesuai dengan macamnya, (1) Amisa-dana berarti
dana materi yang temasuk uang, makanan, dan lainya. Buah pahalanya kemakmuran,
kesejahteraan materi dan kemurahan rejeki. (2) Abhaya-dana merupakan dana maaf,
memberikan rasa aman, damai, membebaskan rasa bersalah, cemas, takut, membantu
mahluk lain sehingga bebas dari bahaya atau pembunuhan. Memberikan pahala
membuat hidup ini bebas dari rasa takut, was-was dan gelisah, sehingga hidup
ini pun terasa aman dan sejahtera. (3) Dhamma-dana dalam bentuk sumbangan atau
pemberian pengetahuan tentang dhamma. Dengan jalan menasehati, berkhotbah,
meluruskan pandangan yang salah, mencetak buku-buku dhamma, yang merupakan
kamma baik yang akan menghasikan timbulnya kebijaksanaan dan pengetahuan.
Kalau kita suka berdana, melepaskan, maka kalau ada problematika, masalah
kehidupan, rasa benci, kejengkelan, kesedihan, juga bakal mudah untuk kita
lepaskan. Hidup menjadi ringan, tentram, dan melegakan serta damai. Inilah
harapan semua orang.
D. Dana Menurut Kitab Suci Tri Pitaka
Sesuatu yang memang tidak dapat dipungkiri bahwa ajaran Sang
Buddha bukan hal yang harus dihafalkan, jelaslah dapat dirasakan dalam
kehidupan sehari-hari, tanpa kita mengerti makna yang terkandung didalamnya
kita pun tak dapat tahu tentang ajaran tersebut. Dan kita sendiri yang akan
berusaha.
Sebagai umat Buddha hendaknya memiliki pengertian terhadap dana, bukan
merasa takut. Dimana berdana merupakan proses dasar dalam berbuat jasa atau
kebajikan. Jika kita ingin memperoleh pahala yang baik, dari perbuatan berdana
tentunya perlu diketahui bagaimana cara untuk melakukannya dengan benar. Karena
itulah kita harus memiliki bekal pengetahuan atau petunjuk untuk meyakinkan
bahwa kita mengerti apa yang patut dan tidak patut dilakukan, berkenaan dengan
hal itu.
Untuk berdana mula-mula kita menyiapkan sesuatu yang akan didanakan, yang
harus diperoleh dengan cara yang benar sehingga dana tersebut bersih dan suci
secara moral. Tentunya terdapat berbagai obyek yang pantas untuk didanakan,
yang dijelaskan dalam Kitab Suci Tipitaka (Sutta Pitaka atau kumpulan khitbah Sang
Buddha, Vinaya Pitaka atau kumpulan peraturan-peratuan dan Abhidhamma Pitaka
atau kumpulan ajaran Sang Buddha yang lebih tinggi dan sangat rumit). Untuk
lebih jelasnya dana dapat dipelajari berdasarkan kitab suci agama Buddha.
E. Dana Dalam Kitab Suci
Sutta Pitaka
Dalam Sutta Pitaka dana dapat
dibedakan menjadi sepuluh macam yaitu; makanan, pakaian atau jubah, kendaraan
atau fasilitas transportasi, bunga, dupa, wangi-wangian, keset atau tikar,
bahan-bahn untuk alas, obat-obatan, dan lampu atau penerangan. Kesepuluh jenis dari persembahan tersebut
dapat dipersembahkan kepada sesama manusia dan binatang pada umumnya. Tetapi
binatang mereaka hanya dapat menerima beberapa jenis dari dana tersebut.
Sebagai contoh apabila kita memiliki
beras, tetapi kita tidak dapat memberikannya kepada kerbau, karena kerbau tidak
makan beras. Sebaliknya kita akan mempersembahkan barang-barang tersebut kepada
manusia, seperti orang yang cacat, tuna netra, tuna runggu, cacat mental, fakir
miskin, yatim piatu, korban bencana alam, banjir topan, paceklik, peperangan,
dan lainnya. Kesepuluh jenis barang ini dapat di danakan atau disumbangkan
kepada mereka yang mengalami kesulitan sebagai amal atau dermawan secara umum
dengan maksud untuk meringankan beban penderitaan orang lain atau mahluk lain
dan untuk mendapatkan atau menumbuhkan kebahagiaan yang lebih besar.
F. Dana Dalam Kitab
Suci Vinaya Pitaka
Di dalam Vinaya Pitaka, dana terdiri
dari empat macam yang dipersembahkan kepada para Bhikkhu Sangha dan
Samaneraatau samanerika, yang disebutkan adalah Nisaya atau empat macam
kebutuhan pokok ynag dibutuhkan di dalam kehidupan sebagai viharawan dan tentunya tergantung akan empat kebutuhan
tersebut, diantaranya; (1) Civara atau jubah. (2) Pindapatta atau makanan dan
minuman. (3) Senasana atau fasilitas tempat tinggal. (4) Bhesajja atau
obat-obatan dan peralatan medis lainya.
Selain keempat jenis dana ini maka
sebaliknya adalah merupakan kebutuhan tambahan yang diperlukan oleh Bhikkhu
sangha dan para samanera atau samaneri. Sebagai umat Buddha seharusnya mengerti
apa yang patut dan yang seharus dilakukan untuk mendukung kehidupan suci
khususnya kebutuhan bagi para samana (biarawan). Banyak umat yang tidak
mengerti dan memahami dalam berdana secara benar dalam menyokong kebutuhan Bhikkhu
Sangha, yaitu dengan cara;
1.
Cara mempersembahkan jubah. Jubah merupakan kebutuhan bagi
para Bhikkhu yang pertama. Jubah adalah kain kuning yang dikenakan oleh para
Bhikkhu sangha dan samanera atau samanerika, yang terdiri dari jubah luar,
jubah dalam serta perlengkapan lainya seperti sarung mandi, selimut, handuk, dan sapu tangan.
2.
Mempersembahkan makanan dan minuman kepada bhikkhu sangha,
hal ini perlu diketahui bahwa makanan dan minuman adalah yang patut dan
memperhatikan wyang akan mempersembahkan, dengan demikian akan memberikan
manfaat bagi si pemberi dana dan juga bhikkhu yang menerimanya.
3.
Mempersembahkan fasilitas atau tempat tinggal, seperti kuti,
atau tempat tinggal para bhikkhu, ruang pembabaran dhamma, ruang belajar, ruang
makan bersama, ruang uposatha atau ruang baktisala serta kamar mandi dan
fasilitas vihara yang lainya.
4.
Mempersembahkan dana berupa obat-obatan, merupakan bentuk
persembahan untuk membantu menyembuhkan penyakit dan meringankan penderitaan
para bhikkhu atau umat yang sedang sakit misalnya. Jalan manapun yang ditempuh
untuk membebaskan penderitaan mahluk lain atau orang lain akan memperoleh
pahala kebajikan dari perbuatan yang telah dilakukannya.
G. Dana Dalam Kitab
Suci Abhidhamma Pitaka
Di dalam Abhidhamma, dana dapatlah digolongkan menjadi enam kelompok
menurut dasar indera kita yaitu; (1) Dana dari persepsi penglihatan mata atau
obyek yang terlihat, apabila seseorang melihat sesuatu yang indah dan bermaksud
untuk di danakannya. (2) Dana dari persepsi pendengaran atau telinga, ketika
mendengarkan orang lain bercakap akan pergi berdana, latihan meditasi di suatru
vihara ataupun ditempat-tempat keagaman lainnya maka bermaksud untuk berbuat
demikian. (3) Dana dari persepsi penciuman melalui hidung atau obyek yang
berbau harum, jika seseorang mencium sesuatu yang harum, misalnya bunga-bunga
dan wewangian lainnya, kemudian ia merasa senang untuk mebawanya dan
dipersembahkan kepada patung Buddha. (4) Dana dari persepsi rasa atau lidah,
biasanya berbentuk makanan yang nikmat dan lezat dan bermaksud untuk
mempersembahkannya kepada bhikkhu sangha atau samanera dan juga kepada umat
awam laninya, dengan tujuan untuk berbuat kebaikan atau jasa bagi dirinya untuk
memberikan bantuan kepada orang lain. (5) Dana dari sentuhan fisik atau obyek berwujud
lainya, misalnya pakaian, alat duduk atau tidur, akomodasi serta fasilitas
lainya, dan berniat untuk berbuat jasa dengan mempersembahkannya kepada bhikkhu
sangha atu para samanera, atau membagikannya kepada orang lain. (6) Dana dari
sentuhan batin atau obyek pemikiran batin, hal ini berarti memberikan sentuhan
emosional kepada kelima kelompok tersebut dan kemudian merasa bahagia dan
bermaksud untuk selalu berbuat jasa dengan benda-benda atau hal-hal tersebut
dengan mempersembahkannya kepada para bhikkhu dan samanera, juga kepada umat
awam lainya.
H. Cara Berdana Yang Benar
Dana yang kita persembahkan atau kita danakan akan dapat bermanfaat kalau
berdana dengan terarah, baik dan benar. Untuk itu ada tiga cara yang benar yang
harus diperhatikan dalam berdana yaitu:
I. Cetana atau niat atau kehendak dan pikiran yang mendahului sebelum
berbuat jasa tersebut. Niat seseorang untuk berdana ada bermacam-macam. Ada
yang muncul karena kematangan batin melihat kesulitan orang lain, bisa karena
pengertian dhamma yang dimiliki tentang hukum karma, atau niat untuk mengurangi
kekotoran bathin (keserakahan, dan kebencian) niat berdana bisa juga muncul
karena ingin dipuji, menjadi kaya, ataupun malah karena keterpaksaan. Kalau
niat kita tulus maka ditengah dan dibawah juga akan diperoleh tujuan baik
tentunya tanpa pamrih, tetapi sebagai manusia biasa masih belum mencapai
kesucian, wajar saja apabila memiliki rasa pamrih, tentunya memiliki pamrih
yang baik. Dalam berdana pikiran kita harus iklas baik sebelum dan sesudah mapun
proses berdana itu selesai. Dari ketiga sat ini yang paling penting adalah
setelah berdana. Kita harus melakukannya suatu perbuatan baik itu dengan
perasan yang senang dan iklas. Ini akan lebih baik apabila pada waktu berdana
tidak mendasari dengan pikiran yang iklas sebelum, saat berbuat mapun sesudah
berdana.
II.Vatthu. Barang yang di danakan hendaknya di dapat dengan cara yang
tidak melanggar norma- norma agama
maupun badan hukum pemerintah lainya.
III. Puggala. Penerima dna
hendaknya orang yang mempunyai moral yang baik. Sang Buddha pernah ditanya
“Apakah benar Sang Buddha mengajarkan bahwa berdana kepada orang yang tidak bermoral itu tidak ada gunannya ?” Sang Buddha menjawab “Aku tidak pernah
mengajarkan bahwa berdana itu tidak ada gunanya. Meskipun memberikan dana
makanan kepada seekor anjing pun itu merupakan perbuatan baik dan bermanfaat.
Tetapi jika dibandingkan berdana kepada orang yang mempunyai moral yang baik,
jasa atau pahalanya akan jauh lebih besar daripada kepada orang yang tidak
bermoral. Inilah yang kuajarkan”.
Dana kepada bhikkhu, guru, orang tua disebut Puja Dana. Dana sebagai
persembahan, penghormatan. Tidak sama nilainya dengan berdana kepada orang yang
miskin, bawahan kita. Ini disebut Anugaha Dana. Berdana sebagai hadiah,
anugrah. Makin suci orang yang menerima dana, makin besarlah jasa yang
diperolehnya. Itulah tiga hal yang harus diperhatikan dalam melakukan
berdana.
I. Kesimpulan
Bahwa dana merupakan perbuatan yang baik yang hendak dilakaukan oleh
masyarakat Buddhis. Dengan berdana akan memperoleh kebahagiaan didalam
kehidupan sekarang maupun kehidupan yang akan dating. Didalam melakukan berdana
hendaknya diseretai dengan pikiran, kehendak atau cetana yang baik, tulus
iklas, bermurah hati, penuh pikiran cinta kasih dan kasih saying sehingga akan
memperoleh suatu akibat yang baik pula. Seperti seorang petani yang menaman padi, ditanam ditempat yang subur,
akan memngakibatkan buah yang baik.
Berdana kepada Sangha memang merupakan suatu kebajikan yang sangat tinggi
namun tidaklah mudah untuk dilaksanakan sebagai misalnya jika seseorang
bermaksud berdana kepada Sangha, dapatkah keyakinan dirinya sebagai pemberi
dana tetap tidak berpengaruh kendatipun yang hadir mewakili Sangha adalah hanya
seorang Samanera/samaneri atau bhikkhu/bhikkhuni. Apabila hal ini dapat membuat
perubahan niat dan pikiran seseorang untuk berdana, maka itu tidak dapat lagi
disebut berdana kepada Sangha. Karena dalam keadaan bagaimanpun, apakah yang
mewakili Sangha itu para bhikkhu yang telah mencapai kesucian atau bhikkhu yang
silanya kurang baik, pahala berdana kepada Sangha akan tetap sama dan jauh
melampai berdana kepada bhikkhu berdasarkan diri pribadi.
Reffrensi
Drs. Teja S.M. Rasyid, 1994, Materi Pokok Kitab Suci
Vinaya Pitaka II, Dirjed Bimas Hindu dan Buddha dan Universitas Terbuka,
Jakarta.
Bhikkhu Bodhi, 2000, Mengapa Berdana, Wisma Sambodhi, Klaten
Phra Ajahn Plien Panyapatipo, 1991, Cara Yang Benar Dalam
Berdana, Mutiara Dhamma, Bali.
Majalah Jalan Tengah edisi 9 Febuari 1991, Vihara Dhammacakka
Jaya, Jakarta.
Yan Saccakiriyaputta, 1993, Kunci Rahasia Kehidupan,
Dhamma-Dana, Singaraja.
MAKNA MASA VASSA, KATHINA DAN SIRIPADA PUJA
Oleh Bhikkhu Vajhiradhammo
Yassa danena silena, Sangyamena damena ca, Niddhi sunihito hoti,
Itthiya purisassa va.
Gemar berdana dan memiliki
moral yang baik, dapat menahan nafsu serta mempunyai pengendalian diri, adalah
timbunan harta yang terbaik bagi seorang wanita maupun pria. (Nidhikhanda
Sutta, 6)
A. Pendahuluan.
Hari Kathina dirayakan tiga bulan tiga bulan sesudah hari Asadha, perayaan ini diselengarakan para umat Buddha sebagai ungkapan perasaan Kathannukatavedi atau menyadari perbuatan yang telah dilakukan oleh para bhikkhu Sangha. Berdana lebih mulia lagi disertai dengan melakukan kebajikan. Apalagi berdana itu dipersembahkan dengan pikiran yang bersih akan mendapatkan kebahagiaan batin yang luar biasa. Untuk itu diperlukan latihan, tidak bias sehari dua hari.
Cara untuk mempertahankan atau mengembangkan agar batin bersih adalah dengan merenungkan kebajikan atau Dhamma Sang Buddha. Dapat memacakan paritta-paritta suci seperti Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati. Jangan terlalu banyak kalau perlu Buddhanussati saja. Dan apabila direnungkan akan menghasilkan ketenangan yang lama kelamaan membuat pikiran kita menjadi tenang, damai, dan tidak ada masalah Kehidupan manusia tidak lepas dari hubungan antar sesamanya, ia masih membutuhkan bantuan atau dukungan dan dorongan dari pihak lainnya. Demikian pula umat mempunyai hubungan yang sangat erat terhadap para bhikkhu, salah satu adalah menyokong kebutuhannya (Sigalovada Sutta, Digha Nikaya III, 31).
Apakah kebutuhan para Bhikkhu sangha itu ? Mengenai hal tersebut ada empat macam kebutuhan pokok yaitu : pakaian (jubah), makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan, itu adalah kebutuhan pokok. Oleh karena itu para umat Buddha menyokonya dengan berdana, seperti halnya pada hari Kathina. Setelah masa Vassa (berdiam di satu masa vassa atau musim hujan selama tiga bulan lamanya). Setelah selesai ada hari yang disebut pavarana mengundang para bhikkhu untuk menahkiri Vassa dengan mengadakan pavarana bersama-sama yaitu saling mengundang bhikkhu lain untuk memberikan nasehat atau memberikan maaf, barang kali ada kesalahan. Kemudian ada hari yang disebut hari Kathina didalam ajaran Sang Buddha.
Berdana kepada siapa ? Sang Buddha pernah dituduh oleh seorang, apakah benar Sang Bhagava mengajarkan bahwa berdana kepada orang yang tidak mempunyai moral itu tidak berguna ? Sang Buddha menjawab, “ Aku tidak pernah mengajarkan bahwa berdana itu tidak ada gunanya. Meskipun orang membuang sisa-sisa makanan dari panci atau mangkok kedalam sebuah tambak atau telaga dan mengharap agar para mahluk dapat memperoleh makanan, perbuatan ini pun merupakan sumber dari kebaikan, apalagi dana yang diberikan kepada sesama manusia” inilah yang Sang Tathagatta ajarkan (Anggutara Nikaya III, 57). “Sang Buddha menyatakan berdana kepada adalah lebih besar jasanya” .Di dalam Velumakkha Sutta disebutkan bahwa “berdana kepada orang yang bermoral lebih besar jasanya akan lebih tinggi dari pada orang yang tidak memiliki moral, kepada Sotapana adalah lebih besar daripada orang yang bermoral, kepada Sakadagami lebih besar dari seratus Sotapana, kepada seorang Anagami lebih besar dari seratus Sakadagami. Kepada Arahat lebih besar dari seratus dari Anagami. Kepada Pacekkha Buddha lebih besar seratu dari seorang Samasammbuddha adalah lebih besar dari seratus berdana kepada Pacekkha Buddha. Berdana kepada Sangha lebih besar jasanya dari berdana kepada seorang Sammasambuddha. Dana kepada Sangha tak pernah sia-sia, sekalipun sampai seratus tahun lamanya”.
B. Terjadinya Vassa
Pada zaman dahulu dari negara tidak bepergian selama musim hujan,
misalnya pedangan ternak yang merngadakan perjalanan yang jauh untuk menjual ternaknya, mereka harus menetap
selama musim hujan pada suatu tempat karena jalan-jalan berlumpur dan tanah
menjadi gembur sehingga tidak mudah
untuk melakukan perjalan.
Bhikkhu pada awalnya adalah penerang sempurna dari pertapa Gautama yang
sangat sedikit dan bila musim hujan tiba mereka akan selalu berhenti untuk
tidak melakukan perjalanan dan masing-masing mengambil tempat tinggal
sendiri-sendiri untuk menempatkan tradisi ini sepanjang tahun dalam musim hujan
tidak dibuat oleh Sang Buddha. Tetapi ketika jumlah pertapa atau Bhikkhu
bertambah banyak, beliau membuat tradisi bagi para bhikkhu harus bertempat
tinggal selama musim hujan tiba dan tidak bebergian kemana-mana selama tiga
bulan lamanya, maka di namakan hal itu menetap untuk musim hujan. Dengan
berbagai permasalhan yang muncul pada saat itu bahwa pad musim hujan banyak
tumbuh-tumbuhan yang mulai bersemi dan binatang kecil banyak yang bermunculan.
Mengakibatkan tumbuh-tumbuhan yang ditanam oleh para petani pada musim hujan
banyak yang rusak terinjak-injak oleh para serombongan bhikkhu yang selalu
mengadakn perjalanan.
Melihat peristiwa tersebut banyak masyarakat yang mengkritiknya dengan
mengatakan “mengapa para bhikkhu Sakyaputta selalu mengadakan perjalanan pada
musim dingin, panas, dan hujan sehingga mereka menginjak tunas-tunas muda,
rerumputan dan mengakibatkan binatang-binatang yang kecil mati terinjak ?.
Tetapi para petapa yang tidak baik dalam melaksanakan vinaya, mereka menetap
selama musim hujan.
Mendegar keluhan masyarakat tersebut, beberapa orang bhikkhu menghadap
Samng Buddha dan melaporkan kejadian tersebut. Sang Buddha kemudian memberikan
keterangan yang masuk akal dan bersabda, “Para bhikkhu, saya izinkan kalian
untuk melaksanakan masa vassa”. Mereka
kemudian menayakan hal itu kepada Sang Buddha kapan dimulai masa vassa itu dan
berapa banyak masa periodenya ?
Menurut penangalan lunar yang mengadakan di mulainya musim hujan
dinamakan vassupaniyika. Di dalam Vinaya pali, ada dua waktu yang ditetapkan
untuk vassa, yaitu purimika-vassupaniyika (waktu pertama untuk memasuki vassa)
dan waktu atau periode kedua adalah pacchima-vassupaniyika (hari memasuki vassa
periode terahkir). Untuk memasuki masa vassa ditetapkan pada bulan purnama yang
telah lewat satu hari menurut ilmu perbintangan Asadha, yaitu hari pertama
bulan pudar pada kedelapan dan hari untuk memasuki periode terahir vassa
ditetapkan pada bulan purnama sebulan kemudian, yaitu hari pertama dari bulan
menyusut bulan sembilan dalam ilmu perbintangan Asadha.
Bagi para bhikkhu yang memasuki vassa harus mempunyai tempat tinggal
berteduh yang ada pintu dan dapat dibuka dan ditutup untuk melindungi diri
mereka. Bhikkhu dilarng untuk menghuni tempat-tempat yang tidak sesuai untuk
bertempat tinggal, misalnya : tempat untuk penyimpanan mayat, di bawah sebuah
paying, tenda kain dibawah kuti, di dalam bejana, di bawah pohon yang besar,
dalam pohon yang berlubang atau di tanggul sebuah pohon yang besar.
Mengenai upacara untuk memasuki vassa, dalam Kitab Pali hanyalah
dikatakan bagi seorang bhikkhu harus memutuskan atau bertekad untuk hidup di
vihara selama tiga bulan. Selama masa vassa bagi para bhikkhu harus berlatih
dengan tenang dan dilarang untuk membuat peraturan yang tidak sesuai dengan
dhamma. Selaui itu ada peraturan yang harus dilaksanakan dan dijalankan oleh
para bhikkhu selama masa vassa yaitu : tidak meninggalkan tempat tinggal selama
lebih tujuh hari yang disebut sattaha karaniya (tujuh hari untuk apa yang harus
dikerjakan) atau sattha pendek. Jika tidak, maka vassa bhikkhu itu tidak
berlaku lagi. Seorang bhikkhu
diperbolehkan meninggalkan tempat apabila mempunyai tujuan untuk mengunjungi
ayah, ibu atau bhikkhu-bhikkhu lain yang sakit, mencegah seorang bhikkhu yang
lainya untuk lepas jubah dan ia dating untuk menasehatinya agar tetap bertahan
dalam latihannya, mencari bahan-bahan untuk membangun vihara yang hancu dan
yang terahir memberikan keyakian terhadap umat yang ingin meningkatkan
kusala-kamma.
Selain kepentingan tersebut bagi para bhikkhu diperbolehkan untuk pergi
apabila ada hal-hal yang tidak layak untuk bertahan ditempat itu dalam
menjalankan masa vassanya. Dimana para bhikkhu yang tidak dapat tinggal lebih
lama dan harus pergi maka masa vassa mereka rusak akan tetapi mereka tidak
jatuh dalam apatti (kesalahan) apabila tempat ia tinggal selama masa vassa ada
bahaya. Dalam kitab suci pali bahaya tersebut adalah para bhikkhu diganggu oleh
binatang buas, perampok, atau hantu-hantu. Pondok-pondok mereka terbakar, atau
hanyut oleh bencana alam, sulitnya untuk mendapatkan dana makanan, ada para
wanita yang menganggunya, terjadinya suatu perpecahan dalam sangha dimana
bhikkhu berusaha untuk mendamaikannya. Tiga bulan masa vassa seorang bhikkhu di
ahkiri dengan pavarana, para bhikkhu berkesedian untuk dikeritik dan setelah
itu selesai dilanjutkan dengan upacara Kathina pun telah tiba.
C. Masa Vassa Para Bhikkhu
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan masa vassa ini,
dalam Kitab Suci Tipitika bagian Vinaya Pitika, Mahavagga Vassupaniyikakkhandhaka,
Sang Buddha bersabda, :
“Anujanami
Bhikkhave vassane vassam upagantum dwe
Ma bhikkhave
vassupaniyikaya purimika pacchimika
Aparajju-gataya
asalhiya purimika upagantabha”
Artinya : Secara jelas ringkas bahwa masa vassa haruslah dilaksanakan
oleh para Bhikkhu. Selama masa vassa itu terdapatlah hari yang pertama untuk
memulai dan terdapat hari penutup guna mengahkirinya.
Masa vassa menurut tradisi pada musim penhujan bagi para
bhikkhu harus berdiam diri disuatu tempat dan mentaati aturan-aturan vassa.
Massa vassa ini berlangsung selama 90 hari dimulai sehari sesudah purnama-sidhi
bulan kedelapan (Asalhamasa) dan diahkiri pada purnamasidhi bulan kesebelas
(Assajujamasa), menurut system perhitungan sekarang jatuh pada bulan oktober.
Menurut tahun kabisat, dimana terdapat bulan Asalha ganda, maka dengan
sendirinya masa vassa dimulai sehari sesudah purnamasidhi bulan Asadha yang
kedua dan bukan yang pertama. Hari Asadha kala purnama-sidhi adalah patokan,
untuk memulai masa vassa. Masa vassa dimulainya bila memasuki konstelasi
Asadha, namun pada tahun kabisat haruslah dimulai 30 hari kemudian. Malam
menjelang hari penutupan masa vassa yaitu dikala purnama-sidhi bulan assayuja,
yang diselenggarakan pavarana dan upacara persembahan yang secara umum dengan
hari Kathina. Upacara Kathina akan berlangsung mulai hari pertama bulan
menyusut (tanggal 16) bulan Assyuja sampai purnama-sidhi, namun ini hakekatnya
akan berlangsung selama satu bulan untuk memberi kesempatan pada umat guna
mempersembahkan dana kepada Sangha.
Sebelum hari Asadha, para bhikkhu sangha sudah mulai berikran untuk
memasuki masa vassa dalam berdiam diri selama tiga bulam di vihara yang mereka
tempati. Meskipun hari bepergian menginap selama tujuh hari berturu-turut, maka
masa vassa menjadi gugur dan dianggap tidak ada vassa. Masa kebhikkhuan seorang
bhikkhu dari tradisi Theravada, tergantung
berapa lama dalam menjalani masa vassa itu dengan baik. Bisa saja bagi seorang bhikkhu yang sudah
menjadi bhikkhu selama 10 tahun namun baru menjalani lima vassa.
D. Upacara Pavarana
Di Vihara dapat dilaksanakan upacara Kathina secara benar apabila di
vihara tersebut terdapat paling sedikitnya ada empat bhikkhu yang menjalani
masa vassa selama 90 hari secara sempurna, tidak termasuk samanera. Bagi para
bhikkhu yang telah melaksanakan masa vassa tersebut sebelumnya melakukan
Parisudhi (pensucian batin), dengan cara mengakui kesalahan-kesalahan yang
telah diperbuatnya baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Sesudah itu
mereka bersama melakukan pembacaan patimokha atau pembacaan peraturan -
peraturan bagi para bhikkhu.
Upacara yang terpenting dalam memutuskan rantai masa vassa adalah upacara
Pavarana yang diselengarakan oleh para bhikkhu yang ber-vassa di tempat itu,
dengan cara mereka menyatakan kesiapan dan kesediaannya pada hari terahkir
vassa tersebut untuk menerima kritikan, saran dan nasehat serta umpan balik
dari para bhikkhu yang senior guna kemajuan batin yang lebih untuk mereka
didalam latihannya.
Pavarana yang berasal dari umat adalah sebagai peryataan kepada bhikkhu
tertentu terhadap kesediaannya menjadi seponsor dan membantu kebutuhannya untuk
suatu jangka waktu tertentu ataupun untuk waktu yang tak terbatas.
E. Sejarah Kathina
Sekilas tentang istilah Kathina berasal dari sebilah bambu atau kayu yang
dibuat kerangka dimana kain yang akan dijahit dikembangkan terlebih dahulu.
Bhikkhu yang tidak trampil untuk menjahit, melakukan dengan cara demikian. Sang
Buddha mengizinkan perpanjangan waktu untuk membuat jubah. Biasanya waktu dalam
pembuatan jubah hanya pada waktu terahkir bulan dari masa vassa atau musim
hujan dibulan kathika. Jika jubah lagi dikerjakan, maka batas itu diperpanjang
sepanjang musim dingin. Terlebih lagi dalam pembuatan jubah bhikkhu merupakan
peristiwa yang bersejarah.
Bagi para bhikkhu yang akan melaksanakan kathina harus melaksanakan vassa
selama tiga bulan penuh lamanya di satu vihara (avasa) dengan lima atau lebih
bhikkhu lainya. Kain yang diserahkan kepada sangha cukup membuat ticivara dan
sangha setuju dalam satu hari juga menginformasikan kepada bhikkhu yang
diberikan kepada Sangha untuk menyatakan terima kasih atau anumodhana. Kain
tersebut tidak diperkenankan kain yang bukan miliknya, misalnya kain pinjaman,
atau yang diperoleh dengan tidak benar, tentunya kain yang digunakan itu adalah
kain yang didapat secara wajar. Kain itu harus segera dibuat jubah, tidak boleh
disimpan semalam. Kain yang telah disimpan satu malam tidak boleh di gunakan
untuk kain kathina.
Sangha yang memberikan jubah yang harus paling tidak lima bhikkhu dan
tidak boleh kurang dari lima bhikkhu karena salah satu ditunjuk untuk menerima
kain kathina dan menjahitnya menjadi jubah dan empat lagi membentuk Sangha.
Atthakatha Acariya yang menyusun menjelaskan bahwa kain kathina harus diberikan
kepada Sangha kepada bhikkhu yang memakai jubah yang lusuk (tua) jika banyak
bhikkhu yang demikian, maka kain Kathina diberikan kepada Bhikkhu yang memiliki
vassa yang lebih tinggi. Apabila bhikkhu sama masa vassanya, maka kain kathina
diberikan kepada bhikkhu maha purissa.
F. Upacara Kathina
Serangkain Kathina telah hadir dihadapan kita sebagai rasa syukur dan
terima kasih para umat kepada para bhikkhu yang telah selesai menjalani masa
vassa, maka dipersembahkannya pada bhikkhu sangha sebuah kain untuk dipotong
dan dijahit menjadi jubah, yang disebut jubah Kathina (Kathina-Chivara).
Upacara khusus tersebut dinamakan Kathina-pinkama. Dalam prosedurnya menurut
Vinaya adalah sebagai berikut.
1.
Adalah hak Sangha untuk menentukan apakah upacara Kathina
dilaksanakan atau tidak.
2.
Bila dikehendaki, maka dipilihnya seorang bhikkhu untuk
menerima persembahan kain untuk dibuat jubah dari umat.
3.
Kain putih yang dipersembahkan dalam prosedur formalitas pada
hari Kathina, oleh bhikkhu Sangha diserahkan oleh bhikkhu maka terpilihlah
untuk diukur, dipotong dan dijahit sesuai vinaya dan menjadi jubah. Proses ini
dibantu oleh Bhikkhu lainya, sesudah selesai, jubah putih tersebut dicucu,
dicelup warna kuning dan dikeringkan. Semua prosedur itu harus dilakukan dalam
satu hari, dari pagi hingga petang.
4.
Jubah-jubah tersebut setelah selesai dikerjakan siap untuk
dibagi oleh Sangha, dalam suatu upacara, pada seorang yang berhak menerimanya.
Hak para bhikkhu yang bervasa di vihara tersebut atas jubah Kathina.
5.
Pada malam harinya, bhikkhu yang terpilih dengan mengenakan
jubah Kathina menempati dampar dan kemudian berkhotbah dan berterima kasih apa
umat atas dukungannya pada Sangha.
Dalam
upacara ini sangat penting dengan tujuan untuk kemanunggalan antara Sangha dan
umat sebagai pendukunya dalam menjalani kehidupan ke-bhikkhuan (Pisungsung).
Disamping itu dalam upacara Kathina ini mendorong seorang bhikkhu yang baik dan
taat dalm sila dan Vinaya serta bagi umat untuk taat dan patuh kepada sila,
yant telah disabdakan oleh Sang Buddha “Engkaulah yang harus meningatkan dan
memeriksa diri sendiri, Oh para bhikkhu bila dapat menjaga dirimu dengan baik
dan selalu sadar maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan”
G. Sanghadana
Di suatu vihara apabila tidak memenuhi syarat diselengarakan upacara Kathina,
maka umat dapat menyelenggarakan Sanghadana atau chivaradana. Sanghadana adalah
segala bentuk dana (uang atau barang-barang kebutuhan pokok bagi para bhikkhu)
yang dipersembahkan pada Sangha melalui seorang atau beberapa bhikkhu,
sedangkan chivaradana adalah persembahan berupa jubah bhikkhu. Apabila
persembahan dana dipersembahkan kepada Sangha, maka umat dengan tegas
menyatakan hal itu sebagai Sanghadana. Sang Buddha bersabda, “berdana pada
sangha mempunyai nilai-dhamma yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
berdana pada bhikkhu ataupun pada pribadi Sang Buddha sendiri”.
Hal ini berbeda dengan dana persembahan yang khusus diberikan pada
seorang atau beberapa bhikkhu penerima dan bukan pada Sangha. Upacara Kathina
diselenggarakan dengan ataupun tanpa kehadiran bhikkhu, maka perlu diperhatikan
umat adalah :
1.
Seluruh dana yang dipersembahkan harus diserahkan pada Sangha
tanpa syarat, misalnya dipotong lebih dahulu oleh panitian untuk kegiatan
vihara atau pandita.
2.
Tidak dibenarkan sebelum berdana, memberikan isyarat pada
sangha, bahwa dana yang terkumpul akan dibagi dengan vihara atau panitia.
3.
Bhikkhu yang menerima dana atas Sangha wajib untuk
menyerahkan secara utuh kepada Sangha dan tidak dibenarkan untuk mengambilnya
demi kepentingan sendirinya atau membagikannya pada orang lain, tanpa seizin
Sangha.
Atas keputusan Sangha dan
yang terkumpul sebagian atau seluruhnya di danakan kembali untuk kepentingan
Sangha atau berbagai macam kegiatan dan keperluan lain yang dibutuhkan oleh
vihara atau Sangha.
H. Dana Kathina
Sebagai umat Buddha hendaknya memiliki pengertian terhadap dana, bukan
merasa takut. Dimana berdana merupakan proses dasar dalam berbuat jasa atau
kebajikan. Jika kita ingin memperoleh pahala yang baik, dari perbuatan berdana
tentunya perlu diketahui bagaimana cara untuk melakukannya dengan benar. Karena
itulah kita harus memiliki bekal pengetahuan atau petunjuk untuk meyakinkan
bahwa kita mengerti apa yang patut dan tidak patut dilakukan, berkenaan dengan
hal itu.
Dalam Sutta Pitaka dana dapat
dibedakan menjadi sepuluh macam yaitu; makanan, pakaian atau jubah, kendaraan
atau fasilitas transportasi, bunga, dupa, wangi-wangian, keset atau tikar,
bahan-bahn untuk alas, obat-obatan, dan lampu atau penerangan. Kesepuluh jenis dari persembahan tersebut
dapat dipersembahkan kepada sesama manusia dan binatang pada umumnya. Tetapi
binatang mereaka hanya dapat menerima beberapa jenis dari dana tersebut.
Sebagai contoh apabila kita memiliki
beras, tetapi kita tidak dapat memberikannya kepada kerbau, karena kerbau tidak
makan beras. Sebaliknya kita akan mempersembahkan barang-barang tersebut kepada
manusia, seperti orang yang cacat, tuna netra, tuna runggu, cacat mental, fakir
miskin, yatim piatu, korban bencana alam, banjir topan, paceklik, peperangan,
dan lainnya. Kesepuluh jenis barang ini dapat di danakan atau disumbangkan
kepada mereka yang mengalami kesulitan sebagai amal atau dermawan secara umum
dengan maksud untuk meringankan beban penderitaan orang lain atau mahluk lain
dan untuk mendapatkan atau menumbuhkan kebahagiaan yang lebih besar.
Di dalam Vinaya Pitaka, dana terdiri
dari empat macam yang dipersembahkan kepada para Bhikkhu Sangha dan Samanera,
yang disebutkan adalah Nisaya atau empat macam kebutuhan pokok, dalam kehidupan
sebagai viharawan tentunya tergantung akan empat kebutuhan tersebut,
diantaranya; (1) Civara atau jubah. (2) Pindapatta atau makanan dan minuman.
(3) Senasana atau fasilitas tempat tinggal. (4) Bhesajja atau obat-obatan dan
peralatan medis lainya.
I. Siripada Puja
Siripada puja merupakan wujud untuk memberikan
penghormatan (memuja) tapak kaki Sang Buddha, biasanya dilakukan pada waktu
purnama-sidhi di bulan Kathika. Secara ringkas dapat diuraikan secara sekila
mengenai tradisi siripada puja.
Pada suatu kesempatan, Sang Buddha mengunjungi
Y.A. Punna Mantaniputta di Sunaparanta. Dalam perjalanan itu beliau singgah
ditepi sungai Nammada di dekat gunung Saccabandha. Pada saat itu Raja Naga
muncul memberikan penghormatan yang luar biasa kepada Sang Buddha untuk
meninggalkan tapak kaki mulia (Siripada Valanja) sebagai obyek pemujaan Sang
Buddha berkenan dengan permohonan tersebut. Beliau membuat jejak tapak kaki di
atas batu keras ditepi sungai Nammada. Karena kekuatan kesaktinan yang luar
biasa, meskipun di batu yang keras jejak tapak kaki Sang Buddha tampak jelas,
lengkap dengan tanda-tanda istimewa seorang maha sempurna. Tanda utama di
anatara tanda-tanda yang terdapat pada kaki Sang Buddha adalah guratan
Dhammacakha (roda dhamma) ditengah-tengahnya. Inilah salah satu terdapat 32
tanda istimewa (maha lakhana) yang terdapat pada jasmani seorang
Sammasambuddha. Guratan roda Dhamma ini melambangkan sebagai petunjuk “ikutilah
jejak mulia Sang Buddha” atau “Ikutilah Dhamma”.
Sirpada ini dijag dan dihormati oleh para naga
sebagai obyek pemujaan kepada Sang Buddha. Cukup susah untuk dapat melihat
Siripada di sungai tersebut karena tertutup oleh arus sungai yang deras. Selain
siripada di sungai Nammada dalam kitab-kitab kronik tercatat bahwa masih
terdapat 4 siripada di tempat lain yang dipercaya dibuat langsung oleh Sang
Buddha.
Pada jaman dahulu pada bulan di bulan kattika
masyarakat menunggu saat air sungai pasang karena musim hujan, mempersembahkan
puja kepada Siripada di sungai Nammada. Hal ini dikarenakan bagi mereka yang
tinggal jauh dari tempat Siripada, sulitnya perjalanan menuju tepi sungai
tempat Siripada. Maka mereka mempersembahkan puja dari jauh dengan bantuan arus
sungai yang sedang pasang tersebut. Mereka membuat semacam bunga teratai yang
harum, dupa dan juga penerangan (lilin/pelita). setelah bulan muncul di langit
mereka berbondong-bondong menuju tepi sungai Nammada. Setelah memanjatkan
Siripada Puja Gatha, Amisa puja (bunga, dupa dan lilin) ini ribuan berkali-kali
membawa udara harum mengikuti arus sungai menuju tempat Siripada.
Sampai sekarang tradisi ini masih dilakukan oleh masyarkat di India,
Nepal,Myammar, Thailad dan beberapa tempat di Indonesia. Meskipun jauhdari
sungai Nmmada, mereka bias mengapungkan Mamisa puja tersebut di sungai-sungai,
danau atau bahkan di kolam-kolam vihara dengan niat yang tulus untuk memuja
Sang Buddha. Ini adalah salah satu cara untuk memberikan penghormatan kepada
Guru Agung junjungan kita Sang Buddha Gautama.
J. Kesimpulan
Hari Suci Kathina adalah suatu bentuk upacara keagamaan dalam agama
buddha yang terpenting. Dimana uamt buddha mendapatkan satu kesempatan untuk
membaktikan dirinya kepada Sangha dengan memberi persembahan, seperti jubah,
dana makan, obat-obatan, serta keperluan yang lainnya dalam mendukung kehidupan
dan kelestarian Sangha serta Buddha Dhamma. Sebab itu kathina juga sebagai hari
bakti umat buddha kepada sangha.
Ada beberapa hal yang tidak dapat kita pisahkan
dengan hari kathina tersebut, yaitu hari persembahan jubah kepada Sangha setiap
setahun sekali, setelah para bhikkhu sangha melakukan latihan diri selama masa
vassa selama tiga bulan. Massa vassa adalah suatu bentuk latihan dan
penggemblengan diri pribadi bhikkhu untuk berlatih pendalaman dhamma melalui
meditasi, memanjatkan paritta-paritta suci, introspeksi diri dan lainya. Serta
umat buddha mendapat kesempatan dalam berdana paramita kepada Sangha. Karena
dana yang diberika kepada Sangha pada waktu bulan kathina sangat tinggi
nilainya, dan merupakan benih kebajikan pada ladang yang subur. Oleh karena
itu, marilah kita tanamkan kembali benih yang kita miliki di saat yang istimewa
ini dengan berdana kepada Sangha. Adapun syarat yang harus dipenuhi agar dana
yang kita persembahkan ini menjadi dan yang bermanfaat, yaitu dana yang dipersembahkan tentunya berasal
dari hasil perbuatan yang baik dan di dasari dengan kehendak yang baik sebelum,
pada saat, serta setelah berdana sehingga dana yang kita persembahkan kepada
yang patut menerimanya, akan membawa banyak manfaat.
Begitu pula hari kathina adalah saat yang tepat untuk mengikuti keteladanan dan kegigihkan seorang manusia dalam perjuangan mencapai kesempurnaan atas usaha sendiri. Siddharta bukanlah seorang manusia yang lahir dari dunia mistik, tetapi beliau adalah manusia yang berjuang membangun dirinya secara utuh demi kemanusiaan dan keberhasilan dan beliau telah berhasil. Sejak peristiwa agung penerangan sempurna itulah dikenal sebagai Buddha Sakyamuni. Perjuangan, pengabdiannya dipersembahkan kepada dunia ini adalah kekuatan keyakinan bagi umat Buddha yang tiada habisnya.
Siripada puja merupakan wujud untuk memberikan
penghormatan (memuja) tapak kaki Sang Buddha, biasanya dilakukan pada waktu
purnama-sidhi di bulan Kathika. Secara ringkas dapat diuraikan secara sekila
mengenai tradisi siripada puja.
Ia yang memberikan semua mahluk hidup dimana saja berada, dengan penuh
belas kasihan dan cinta kasih, berikanlah, ia berseru bagaikan guntur yang
mengelegar dan bergemuruh membasahi dan mengisi seluruh permukaan bumi.
Demikian pula hendaknya ia yang selalu berusaha mengumpulkan kekayaan dengan
halal lalu mempersembahkan makanan dan minuman kepada yang membutuhkannya akan
membawa kebahagiaan. Semoga dengan kebajikan yang diperbuatnya tumbuh subur
dengan baik diladang yang subur, hidup bersusila maka perkembangan dalam hidup
ini akan melahirkan di alam yang berbahagia tanpa kesulitan apapun.
Reffrensi :
Buku Panduan
Rangkaian Kathina Dana dan Siripada Puja 2547 BE/ 2003, Di Vihara Buddha
Prabha, Yogyakarta.
Bhikkhu Bodhi,
2000, Mengapa Berdana, Wisma Sambodhi, Klaten
Buku Pegangan
Bhikkhu, 2000, Medan.
Drs. Teja S.M.
Rasyid, 1994, Materi Pokok Kitab Suci Vinaya Pitaka II, Dirjed
Bimas Hindu dan Buddha dan Universitas Terbuka, Jakarta.
Cunda J. Supandi, 1997, Dhammapada, Karaniya,
Jakarta
Herman S. Endro
SH. ,1997, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996 – 2026, Yayasan
Dharmadiepa Arama, Jakarta.
Phra Ajahn
Plien Panyapatipo, 1991, Cara Yang Benar Dalam Berdana, Mutiara Dhamma, Bali.
Nyanaponika
Thera dan Bhikkhu Bodhi, 2001, An Anthology of Suttas From The Anguttara
Nikaya, Wisma Meditasi dan pelatihan
Majalah Jalan
Tengah edisi 9 Febuari 1991, Vihara Dhammacakka Jaya, Jakarta.
Yan
Saccakiriyaputta, 1993, Kunci Rahasia Kehidupan, Dhamma-Dana, Singaraja.
PERLINDUNGAN MENURUT PANDANGAN
AGAMA BUDDHA
Oleh
: Bhikkhu Vajhiradhammo
A. Pendahuluan
Suatu hal yang sangat baik dalam kehidupan kita untuk mengembangkan
kebajikan dan bermanfaat bagi kemajuana diri adalah hidup sesuai dengan dhamma,
seperti menjalankan kehidupan suci, melaksanakan kebaktian, membaca paritta,
mantra, maupun sutra, berlatih meditasi, suka berdana, memohon sila dan dhamma
dan lain sebagainya. Itulah suatu ajaran yang membawa kepada kebahagiaan yang
telah di babarkan oleh Sang Buddha. Dalam kesempatan ini kita akan membahas
mengenai suatu perlindungan dalam agama Buddha. Apa yang sebenarnya dinamakan
dengan perlindungan itu ? mengapa kita sering mencari suatu perlindungan ? dan
apa kata Sang Buddha mengenai suatu perlindungan itu ? Inilah yang akan kita bahas
bersama pada kesempatan ini.
Sudah menjadi suatu hal yang umum bahwa setiap manusia selalu berusaha
untuk mencari suatu perlindungan, tidak perduli apakah dia orang yang kaya,
miskin, tinggi, pendek, besar atau kecil dan apakah ia laki-laki atau perempuan,
bahkan dari agama apapun juga. Kepada siapa mereka berlindung, hal ini
tergantung pada keyakinan mereka masing-masing individu itu sendiri.
Sebagai umat Buddha seharusnya tahu kepada siapa kita harus berlindung ?
Apakah kepada Buddha, Dhamma dan Sangha ? Atau mungkin kepada para dewa atau
dewi di alam surga ? Mungkinkah itu terjadi dalam kehidupan kita. Kalau begitu
marilah kita belajar Buddha Dhamma bukan hanya mengenal kulit luarnya saja,
tetapi lebih jauh kedalam, itu lebih bagus dan tentun di perlukan suatu
pemahaman yang lebih baik. Kalau kita hanya mengenal kulit luarnya saja dalam
Buddha Dhamma maka akan kebinggungan dalam mencari suatu perlindungan itu, yang
penting datang ke vihara, sembahyang tancap hio itu pikirnya sudah beres
semuanya.
Sementara yang lain ada yang masih kebingungan dalam mencari suatu
perlindungan. Penganut kepercayaan yang lain dengan penuh keyakina untuk
mempropagandakan “percayalah kepadaNya maka engakau akan selamat”.
Ahkirnya kita sendiri yang merasa kebinggungan untuk mendengarkan dari berbagai
arah yang tak menentu. Namun saya yakin Anda semua pasti setuju bahwa keyakinan
kepada perlindungan itu tidak cukup ditimbulkan dari hasil propaganda saja,
akan tetapi harus melalui proses berpikir yang positif. Sekarang kita telah
satu-persatu secara positif, sehingga kita yakin seyakin-yakinya, tidak secara
membuta atau terpengaruh dari rayuan dan propaganda yang ada di luar, sekarang
siapakah yang sebenarnya menjadi perlindungan itu.
B. Mengapa Mencari
Perlindungan ?
Hal ini dapat kita contohkan, seorang anak kecil yang berlari-lari
mencari ibunya sambil berteriak, “Bu…..kakak jahat, Bu !” Dibelakangnya tampak
sang kakak mengejarnya sambil, mengacungkan kepalan tangannya. Sementara Si
adik kecil meminta suatu perlindungan kepada ibunya. Orang kekar dan jago
bertinju pun juga ingin mencari suatu perlindungan dengan mencari tukang pukul
dan sejenisnya, sebab merasa takut dan merasa cemas akan keselamatannya.
Bukan hanya kepada mahluk-mahluk yang dapat dilihat saja kita mencari suatu
perlindungan. Tetatpi juga kepada mahluk yang tidak terlihat, bahkan yang tidak
diketahui secara keberadaanya. Kita mencari perlindunga, yakni dengan anggapan
bahwa mahluk tersebut mampu untuk menyelesaikan dan mengatasi segala masalah
kita serta memberikan kebahagia. Berbagai fakta menunjukan bahwa banyak sekali
orang yang takut pada masa depannya. Berbagai upaya ia lakukan untuk menangkal
hal-hal yang buruk (sial), mulai dari mendatangi tukang ramal, dukun, dengan
mengantongi berpuluh-puluh jimat, bersembahyang meminta-minta keselamatan di
vihara, klenteng, ataupun ditempat-tempat yang dianggap keramat, serta berbagai
upaya yang lainnya ia lakukan.
Ini semua dilakukan untuk lebih menenangkan perasaan yang merasa takut
atau was-was, jika memang demikian adanya, alangkah sia-sianya bagi mereka yang
mengantungkan atau memasrahkan ketenangan dirinya hanya pada beberapa kalimat
doa atau pada beberapa kantong jimat yang Cuma berisikan kembang maupun bentuk
tulisan-tulisan. Tetapi pada saat dimana yang mereka harapkan melalui
doa-doanya itu tidak tercapai, timbullah penderitaan, penyesalan, putus asa,
kekecewaan dan sebagainya. Memang sungguh sulit menghilangkan pandangan seperti
itu. Bukan hanya dalam kehidupan sekarang ini kita terikat dengan bentuk ritual
dan upacara- upacara seperti itu, tetapi juga dengan bentuk ketahayulan yang
sudah berjuta-juta sampai tak terhitung berapa kali kita mengalami bentuk
kelahiran, kemelekatan yang masih ada didalam kehidupan kita. Dengan demikian,
kita sekarang inilah saat yang paling tepat, selagi kita terlahir sebagai
manusia dan mengenal dhamma untuk menghapus setahap demi setahap pandangan
salah itu. Sungguh sulit untuk dapat terlahir sebagai manusia, sungguh sulit
kehidupan manusia, sungguh sulit untuk mendengarkan ajaran kebenaran, begitu
pula sungguh sulit munculnya seorang Buddha (Dhammapada, XIV : 182).
Secara umum bahwa manusia mencari perlindungan karena adanya rasa takut,
dan keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan. Apa yang mendasari timbulnya ras
takut dan keinginan untuk mencapai suatu kebahagiaan itu? Pada dasarnya manusia
cenderung untuk memberontak dan tidak merasa puas pada satu kondisi yang
dianggapnya tidak menyenangkan seperti; dicela, tidak disenangi di masyarakat
(nama buruk), dirugikan, berpisah dengan orang yang dicintai, berkumpul dengan
yang dibenci, dan sebagainya. Kondisi batin diatas bisa muncul karena adanya
keserakahan (loba) dan keinginan untuk selalu dalam kondisi yang menyenangkan.
Maka melalui keinginan yang kuat terhadap suatu obyek, akan menimbulkan
penderitaan dan ketakutan. Takut kalau keinginanya tidak tercapai dan takut
untuk mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan
Jelaslah bahwa yang mendasari timbulnya ketakutan adalah lobha, dosa, dan
moha dalam batin. Dari kemelekatan timbul kesedihan, dari kemelekatan timbulah
ketakutan, dari nafsu timbullah kesedihan, dari nafsu timbulah ketakutan, dari keinginan timbulah kesedihan,
dari keinginan timbul ketakutan bagi orang yang terbebas dari kemelekatan dan
keinginan tiada lagi kesedihan dan ketakutan.
C. Perlindungan Dalam Hal
Umum
Perlindungan dalam pandangan umum dapat dikatakan adalah sesuatu yang
dituju dan dapat memberikan suatu ketenangan serta rasa aman, apabila seseorang
merasa susah dan sedih akan hal-hal yang dialaminya maka akan berusaha untuk
mencari suatu ketenangan dan ketentraman. Ketika penduduk Malasiya negara tetangga kita yang semakin
padat, karena semakin banyak tenaga kerja dari Indonesia secara tidak resmi
maka melakukan deportasi dan ahkirnya banyak para tenaga kerja Indonesia yang
terlantar maka dengan penuh kebijaksanaan pemerintah Indonesia berusaha untuk
melindunginya, menanggung biaya penggembalian penduduknya ke asalnya dan
memberikan pengarahan, ketika nilai rupiah anjlok, maka para ibu-ibu rumah
tangga berusaha untuk melindungi hartanya dengan membeli dolar, ketika
seseorang mengalami frustasi dan cemas ia mungkin mencari perlindungan kepada
sahabatnya dan ketika ajalnya datang mendekat, mungkin pula mencari suatu
perlindungan tentang kepercayan adanya surga yang kekal abadi. Tetapi itu semua
bukanlah bentuk perlindungan yang aman atau utama. Karena tidak didasarkan atas
kenyataan dan tidak akan membebaskan kita dari penderitaan.
D. Perlindungan Yang Aman
Orang mencari perlindungan karena adanya rasa takut dan berkeinginan
untuk tenang, tentram dan bahagia, maka sesuatu dapat dikatakan sebagai
perlindungan yang aman jika mampu menghilangkan rasa takut dan memberikan
kebahagiaan seseorang. Untuk mencari perlindungan seperti itu orang dapat
melakukannya dalam dua level, yaitu :
1.Kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yaitu mencari
perlindungan kepada mahluk lain atau yang berada di luar diri sendiri. Mereka
selalu mengharapkan kesejahteraan, keselamatan, usia panjang, dengan memohon
mahluk yang lain, tetapi masih menyakiti dan menyiksa mahluk lain yang lebih
lemah. Memohon untuk terlahir dialam yang berbahagia setelah kematiannya, namun
masih tetap melakukan perbuatan yang tercela dalam hidupnya.
2.Ia menyadari suatu perlindungan yang aman dapat ia cari dari
perbuatannya sendiri. Tak ada sesuatu pun yang timbul tanpa adanya suatu sebab
yang mendahuluinya. Keselamatan, kesehatan, penyakit, penderitaan maupun nama
baik timbul karena suatu perbuatanya sendiri. Mendapatkan kekayaan karena giat
bekerja dan berusaha (faktor masa sekarang),
sering berdana (faktor masa lalu) serta tidak suka mencuri barang orang lain
semua ini tersirat dalam kutipan parita Brhamaviharaparanam, yaitu:
...............Aku
adalah pemilik karmaku sendiri, pewaris karmaku sendiri, terlahir dari karmaku
sendiri, behubungan dari karmaku sendiri, terlindungi oleh karmaku sendiri,
apapun karma yang kuperbuat, baik atau buruk itulah yang akan ku warisi.
Dengan demikian setiap saat penuh dengan pengendalian diri, menyadari
akan hal ini dan menyelidiki kedalam batin sendiri, maka kebahagiaan (Nibbana)
adalah buahnya, yaitu lenyapnya semua kekotoran batin (loba, dosa, moha) yang
berarti pula lenyapnya rasa takut dan tercapainya kebahagian yang sejati,
berada diluar baik dan buruk tak ada rasa pamprih lagi, inilah perlindungan
yang aman.
E. Perlindungan Utama
Dalam Ajaran Sang Buddha
Apa yang dimaksud perlindungan yang utama? Untuk memberikan jawaban atas
pertanyaan ini, Sang Buddha bersabda; “Ia yang berlindung pada Buddha, Dhamma,
dan Sangha dengan penuh kebijaksanaan dapat melihat empat kesunyataan mulia,
yaitu: Dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukkha serta jalan mulia berfaktor
delapan yang menuju akhir dukkha. Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama,
dengan pergi mencari perlindungan seperti itu, orang akan bebas dari
penderitaan (Dhammapada XIV ; 190-192).
Sekarang apa yang dimaksud perlindungan terhadap Buddha? Jika seseorang
pergi berlindung Buddha, maka ia harus
menyadari dan menerima kenyataan bahwa ia pun dapat mencapai apa yang telah
dicapai oleh Sang Buddha. Apa yang telah dicapai oleh Sang Buddha? Sang Buddha
telah mencapai suatu ketenangan, kebahagiaan, kesempurnaan tertinggi dan
Nibbana. Kita pun bisa mencapai ketenangan, kebahagiaan, kesempurnaan tertiggi
dan Nibbana. Yang menjadi suatu pernyataan adalah saat ini bagaimana caranya?
Apakah hanya cukup menyatakan aku berlindung pada Buddha? Tentu tidak! Jawaban
atas pertanyaan ini dapat kita temui dalam perlindungan yang ke dua yaitu
perlindungan terhadap Dhamma.
Suatu ketika Sang Buddha berada dipinggiran sebuah hutan, beliau lalu
mengambil segenggam daun yang berserakan di tanah dan berkata;” Wahai para
Bhikkhu..... yang mana lebih banyak daun yang ada di hutan atau yang ada pada
genggaman saya?”. Bhikkhu pun menjawab daun dihutanlah jauh lebih banyak
Bhante. Sang Buddha melanjutkan “Begitu pula Dhamma yang telah diketahui adalah
sebanyak daun yang ada di hutan tetapi Dhamma yang kuajarkan kepada-Mu hanyalah
bagaikan segenggam daun ini, tetapi ini adalah cukup untuk membebaskan dari
penderitaan”.
Atas dasar pernyataan tersebut jelaslah bahwa Dhamma yang diajarkan oleh
Sang Buddha adalah Dhamma yang merupakan pelindung kita yang ke dua dapat
membebaskan diri kita dari penderitaan
dan mencapai kebahagiaan. Perlindungan terhadap Dhamma berarti berusaha
memahami empat kesunyataan mulia dan melandasi hidup kita dengan jalan mulia
beruas delapan.
Perlindungan kita yang ketiga adalah perlindungan tehadap Sangha. Yang
dimaksudkan perlindungan terhadap sangha adalah menerima dukungan inspirasi
serta bimbingan dari mereka yang melaksanakan jalan mulia beruas delapan,
siapakah mereka? Mereka adalah para Bhikku Sangha baik yang telah mencapai
tingkat kesucian maupun yang belum. Itulah tiga perlindungan yang utama dan
yang aman, perlindungan yang nyata dan dapat diandalkan bagi siapapun mahkluk
di dunia, maka dari itu temukanlah tiga perlindungan ini dan manfaatkan
sehingga penderitaan dapat di ahkirinya dan kebahagiaan tercapai.
Ada sebuah syair yang memperkokoh perlindungan ini dan meningkatkan rasa
keyakinan kita kepada Sang Tri Ratna yaitu :
* Tiada perlindungan lain bagiku Sang Buddha –
lah sesungguhnya perlindunganku
* Tiada
perlindungan lain bagiku Sang Dhamma – lah sesungguhnya perlindunganku * Tiada perlindungan lain bagiku Sang Sangha –
lah sesungguhnya perlindunganku
Berkat kesungguhan peryataan ini semoga
aku/ Anda selamat dan sejahtera.
(Paritta
Saccakriya Gatha).
Ketiga syair inilah yang memiliki esensi yang sama, karena ketiganya
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainya. Sang Buddha mewujudkan Dhamma,
Dhamma dilestarikan oleh Sangha. Sedangkan Sangha adalah siswa Sang Buddha.
Ibaratnya tiga tiang kayu yang saling
menopang dan menyangga dengan baik. Jika
kita berlindung salah satu maka secara otomatis berlindung kepada ketiganya.
Sang Buddha adalah perlindungan yang tertinggi demikian pula Dhamma dan Sangha
dalam sifatnya yang khusus secara masing-masing.
Didalam kesempatan yang lain Sang Buddha menyatakan bahwa diri sendiri
adalah pelindung bagi diri sendiri, mendengar peryataan tersebut mungkin
diantara kita, bertanya-tanya. Apakah pertanyaan tersebut saling berlawanan?
Jika dilihat sepintas tampaklah memang berlawanan tetapi sesungguhnya adalah
tidak. Marilah kita lebih jauh melihat kedepan, jika kita ibaratkan, hidup kita
ini seperti sebuah perjalanan yang melintas hutan samsara, kita mengambil Sang
Buddha sebagai orang-orang yang terus berjalan pada jalan Dhamma sambil
membimbing dan memberikan petunjuk kepada diri kita yang berjalan dibelakang
Sangha.
Diri kita yang dimaksudkan disini adalah diri kita sendiri yang semenjak
lahir hingga dewasa sampai sekarang ini tidak bisa kita tinggalkan dan telah
tergantung pada kita sendiri. Marilah kita simak contoh yang lain, balita
tidaklah mungkin memenuhi kebutuhan hidupnya, orang tuanya haruslah selalu
membantu dan menopang hidupnya, tetapi dalam hal yang penting justru ia harus
tergantung pada diri sendiri, orang tuanya dapat menyediakan makanan dan usaha
yang paling mungkin dilakukan adalah meletakan makanan tersebut dimulut si bayi
tetapi untuk dapat mencerna makanan tersebut si bayi harus berusaha dan
tergantung pada dirinya sendiri. Ketika bayi tersebut berangsur-angsur tumbuh
sehat dan menjadi anak-anak maka tiba waktunya untuk sekolah. Disini kembali orang
tua hanyalah dapat membantu mencarikan uang sekolah, membayar SPP, member uang
jajan, dan keperluan sekolah yang lain. Tetapi dalam hal belajar ia harus
tergantung pada dirinya sendiri, ia harus tergantung pada kemampuan mencerap
kemampuan pelajaran yang diberikan oleh gurunya, orang tua hanyalah dapat
membantunya dalam materi maupun untuk belajar, sejauh mana anak tersebut dapat
mencerap pelajaran itu tergantung pada usaha dan kemampuannya.
Dari contoh-contoh diatas jelaslah sudah bahwa Sang Buddha telah
memberikan suatu petunjuk, Dhamma yang telah diputar, Sangha telah memberikan
contoh dan diri kita sendirilah yang berlatih dalam mengikuti ajaran dan
petunjuk Sang guru. Buddha, Dhamma dan Sangha telah menjadikan pelindung bagi
kita, diri sendiri yang harus menentukan pada kemampuan dan tekat itu untuk
menuju kebahagiaan.
Setelah kita mengetahui bahwa Tisarana telah menjadi perlindungan bagi
kita yang dapat diandalkan, mungkin diantara mereka ada yang berpikir dimanakah
Sang Buddha bersemayam? Kita yang mempelajari sejarah akan mengatakan bahwa
sekarang yang tinggal hanyalah Dhamma dan vinaya. Dhamma dan vinaya yang
menjadi wakil Sang Buddha. Hal ini dinyatakan oleh sendiri Sang Buddha
menjelang Beliau parinibbana. Tetapi diantara kita ada yang berpikir dengan
mengatakan bahwa Sang Buddha telah mencapai kebenaran Dhamma yang kekal. Beliau
ada dan tetap ada selamanya, dimana beliau sekarang? Beliau ada didalam
kebenaran Dhamma yang kekal. Ungkapan tersebut bukanlah tanpa dasar, jika kita
inginkan melihat Sang Buddha kita harus mempraktekan Dhamma, kita harus
melestarikan Dhamma dengan melatih konsentrasi dan membangun suatu
kebijaksanaan. Hingga suatu saat nanti melihat indahnya dhamma (sang jalan)
dengan pandangan yang benar. Sang Buddha telah menyatakan bahwa siapapun yang
dapat melihat kebenaran Dhamma berarti dapat melihat Sang Buddha. Kesaksian
tersebut menegaskan bahwa Sang Buddah
ada dan benar-benar dapat dilihat. Jadi memutuskan untuk berlindungan kepada
Sang Tri Ratna adalah merupakan satu bentuk perlindungan yang bukan berlindung
kepada kekosongan, tetapi Sang Tri Ratna adalah merupakan satu bentuk
perlindungan yang sejati.
Salah satu metode latihan yang dapat kita gunakan untuk berlindung kepada
Sang Buddha adalah dengan merenungakan sifat-sifat luhur yang dimiliki oleh
Sang Buddha yang terungkap dalam syair Paritta Buddhanussati;
“Demikianlah Sang Baghava, Yang Maha Suci yang telah mencapai
peneranganan sempurna, sempurna pengetahuan serta tidak-tanduk-Nya, sempurna
menempuh Sang Jalan (Nibbana), pengenal segenap alam, pembimbing manusia yang
tiada taranya, Guru para dewa dan manusia yang sadar (bangun, yang patut
dimuliakan)........”
Kita harus brlatih dengan baik dalam perenungan ini, sampai dapat
berkonsentrasi maka kegelisahan, kekawatiran, ketakutan dan kekecewaan serta
frustasi akan lenyap adanya sehingga akan tampak jelas cara yang baik untuk
memecahkan masalah yang ada.
Yang terpenting adalah; mempraktekan pikiran da mempertahankan pikiran
juga berada dalam perlindungan Sang Buddha. Pikiran yang berada didalam
perlindungan tersebut akan bersifat hangat dan tidak kesepaian, berani tidak
takut, kuat tidak lemah dan murni tidak keruh. Pikiran tersebut cenderung
memunculkan pandangan benar yan merupakan suatu alat seseorang untuk menuju
kehidupan yang lebih baik.
F. Kesimpulan
Marilah kita berlindung kepada Sang Buddha Guru pembimbing kita dengan
cara berkonsentrasi dan membangun suatu kebijaksanaan sehingga kita dapat
memiliki keyakinan yang kuat, melihat Sang Dhamma yang berarti melihat Sang Buddha.
Ingatlah bahwa Sang Buddha dan ajaranya adalah benar-benar perlindungan kita
yang nyata dan dapat diandalkan serta dibuktikan kebenarannya oleh siapapun
mahluk didunia ini serta para siswanya, yaitu Sang Sangha yang telah
melaksanakan Dhamma dan berupaya teguh pada sila dan vinaya secara sempurna,
bertindak jujur, berjalan dijalan yang benar, penuh tanggung jawab dalam
tindakan serta patut menerima persembahan, ladang yang subur untuk menanan
kebijaksanaan, patut dicontoh. Landasan dari bentuk perlindungan ini adalah
kemampuan yang ada pada setiap orang untuk mencapai tingkat-tingkat kesucian.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa Buddah, Dhamma dan Sangha dalam bentuk
aspeknya sebagai perlindungan yang mempunyai sifat mengatasi keduniawian, dalam
hal ini dapat dikatakan bahwa Buddha, Dhamma dan Sangha merupakan menifestasi
dari pada yang Mutlak, Yang Esa, Yang menjadi tujuan terahkir bagi semua
mahluk. Buddha, Dhamma dan Sangha sebagai Tiratana adalah bentuk kesucian yang
tertinggi yang dapat ditangkap oleh manusia biasa, oleh karena itu diajarka
sebagai perlindungan yang tertinggi oleh Sang Buddha. Jadi Buddha, Dhamma dan
Sangha adalah merupaka bentuk menifestasi perwujudan, pengejawantahan dari
Tuhan Yang Maha Esa dari alam semesta ini, yang di puja dan dianut oleh umat
Buddha di dunia sehingga tercapainya Nibbana. Hal ini hanyalah dapat dicapai
dan dirasakan dengan suatu usaha dan merealisasinya dari kebenaran Dhamma.
Semoga semua mahluk hidup berbahagia.
Sadhu......Sadhu......Sadhu..........
Sumber Pustaka :
Alm. Ven.
Narada Mahathera, 1998, Sang Buddha dan Ajaran-Ajaranya, Yayasan Dhammadipa
Arama, Jakarta.
............,1980,
Kebahagiaan Dalam Dhamma, Majelis Buddhayana Indonesia, Jakarta
Dr. R. Surya
Widya, pandita Sasanadhaja, 2001, Dhammapada, Yayasan Abdi Dhamma Indonesia,
Jakarta
Pandita S.
Widyadharma, 1979, Riwayat Hidup Buddha Gotama, Yayasan Pendidikan Buddhis
Nalanda, Jakarta.
MELEPASKAN DAN BERPISAH
Oleh Sujayanto
Apabila seseorang
membawa beban yang berat dan tidak kuat lagi membawanya, maka jalan
satu-satunya agar ia tidak menderita ialah melepaskan beban itu. Tetapi melepas
beban itu berarti kita harus berpisah, dan dalam kehidupan ini tidaklah mudah,
karena umumnya manusia sangat terikat sekali dengan miliknya. Namun dengan sedikit
pengertian dalam pemahaman dhamma dalam kehidupan sehari-hari hal itu akan
sedikit mudah kita lakukan.
Setiap manusia
akan berusaha mati-matian untuk mempertahankan milik (hartanya) tersebut.
Padahal semua orang mengetahui bahwa miliknya (hartanya) di dunia ini tidaklah
kekal. Terikat atau melekat kepada sesuatu yang tidak kekal pastilah akan
menimbulkan penderitaan.
Sang Buddha
telah menemukan cara yang bijaksana untuk meringankan beban hidup “jangan
memegang erat-erat sesuatu apapun yang ada di dunia ini”. Kalau sudah
waktunya untuk dilepaskan, ya.......lepaskan dengan iklas. Semua berproses
sesuai dengan keadaan dan perubahan di dunia ini tidak ada yang menyimpang dari
Niyama-dhamma (Hukum Karma).
Seekor burung
yang walaupun dipelihara di dalam sangkar emas, dia tetap akan merasa lebih
bahagia bila dilepas dan hidup di alam yang bebas. Begitu pula ketika kita
sakit. Salah satu pertanyaan yang dianjurkan oleh dokter adalah apa yang mudah
untuk melepaskan? Hal yang sangat sulit tentunya. Jadi mudah melepas merupakan
pertanda jasmani yang sehat.
Orang yang
makan terus bisa melepas “buang hajat” tidak akan menderita, namun
apabila pikiran selalu ingin memiliki terus tanpa ada keinginan untuk melepas
“berdana”, batin akan menjadi kikir dan kekikiran tidak akan menimbulkan
kebahagiaan. Sebaliknya Dhamma menyatakan bahwa kikir adalah merupakan penyakit
yang sangat berbahaya. Sang Buddha menyatakan “kekikiran seperti karat pada
sebuah besi yang sedikit demi sedikit akan merusak besi tersebut”. Jadi
sifat kikir yang tidak segera dikikis akan merusak moral seseorang dan akan
menyeret ke alam penderitaan. “seseorang yang berkeyakinan dan melaksanakan
aturan moralnya dengan sempurna yang memiliki kemasyuran dan kekayaan, dimana
saja dia bertempat tinggal disitulah dia akan selalu dihormatinya”
(Dhammapada XXII ; 303).
Kathina-kala
atau masa kathina yang berlangsung selama sebulan penuh merupakan saat yang
sangat tepat bagi umat Buddha untuk melepaskannya, dan melaksanakan kebajikan
melalui berdana. Berdana merupakan cara yang mudah untuk dilakukan oleh siapa
saja yang ingin mengembangkan kebajikan dan untuk mengikis kekotoran batin yang
disebut kemelekatan terhadap milik-lobha (kikir). Dimana berdana adalah
pemberian, baik materi, uang, tenaga, perlindungan, rasa aman, atau nasehat
kepada orang atau organesasi yang membutuhkan secara suka rela tanpa ada
paksaan dan tidak mengharapkan balasan atau imbalan. Berdana adalah berkorban.
Dalam agama Buddha berdana yang baik tentunya berdasarkan pada kesadaran dan
pengertian yang benar dari si pemberi dana itu sendiri.
Karena kurang
mengerti tentang makna yang terkandung dalam ajaran Sang Budhha, maka manusia
pada umumnya akan berbuat yang salah. Bahwa dengan memberikan dana yang mereka
milikinya akan berkurang. Sebaliknya mereka yang berpikiran benar, mengerti
bahwa dengan berdana berarti menanam bibit kebajikan yang akan menjadi “sebab”
untuk melahirkan kebahagian atau “nilai tambah” bagi dirinya sendiri.
Sesungguhnya,
dalam pengertian yang benar dana mempunyai fungsi ganda, yaitu pertama mengikis
kekikiran dan keserakahan, kedua melahirkan nilai tambah atau rejeki di
kemudian hari atau di kehidupan yang akan datang, bahkan juga dalam kelahiran
yang akan datang. Sudah menjadi sifat yang alami dalam kehidupan kita ini untuk
selalu melepaskan dan berpisah. Melawan berarti menyiksa diri sendiri. Kitalah
yang mestinya menyesuaikan diri dengan sifat alam. Kita menarik nafas untuk
dilepas lagi. Kalau kita hanya ingin menarik nafas saja, tidak mau melepaskan
udara yang dihirupnya maka kita akan tersiksa sendiri.
Kita pasti
pernah merasakn kehilangan, berpisah dengan apa yang sangat kita sukai, cintai
baik itu harta, kedudukan, ataupun orang yang kita sayangi dan cintai. Bahkan
kalau kita mati semuanya kita lepaskan. Kalau tidak rela melepaskan, akibatnya
sudah pasti, penderitaan dan kesedihan, serta stress bahkan bisa menjadi gila.
Atau lebih jauh kalau kita terlalu terikat dan tolol karena ditinggal orang
yang sangat kita cintai, kita mencoba menyusul keliang kubur alias bunuh diri.
Untuk
menyelaraskan dengan sifat yang alami, melepas, berpisah, kita perlu melatih
diri melepas dengan cara berdana. Melepas adalah sebagian kecil milik kita.
Sehingga kita tidak perlu shock bila mengalami kehilangan milik kita. Kalau
kita tidak suka melepas, hanyalah mengumpulkan dan mengumpulkan terus, maka
kita juga bakal mengumpulkan problem (timbulah keserakahan), dan
kesedihan....semua itu sulit untuk dilepaskan. Akibatnya hidup kita dibebani
barang-barang busuk itu terus menerus. “walaupun memiliki harta, aset,
kekayaan yang berlimpah, namun dia menikmatinya sendiri, inilah sebab daripada
keruntuhan seseorang” (Sutta-Nipata I ; 6 : 102).
Kalau kita
suka berdana, melepas, maka kalau prblem, masalah, kebencian, kesedihan, juga
bakal mudah kita lepas. Hidup menjadi enteng, tentram dan melegakan serta
damai. Harapan semua orang itulah sebagian manfaat dari berdana yang
diperolehnya.
Dalam ajaran
Sang Buddha, berdana merupakan keharusan yang dilaksanakan bila kita
menginginkan kemajuan lahir dan batin. Berdana bukanlah monopoli bagi orang
yang kaya. Dana juga bukanlah merupakan hadiah dari si kaya dan si miskin, dana
merupakan bentuk paramita yang paling awal dan yang paling mudah untuk di
lakukannya oleh semua orang. Sebelum melaksanakan bentuk paramita-paramita yang
lain. Seperti sebuah tangga, dana merupakan step (anak tangga) pertama yang
harus di injak dalam menaiki tangga berikutnya.
Oleh karena
itu, Sang Buddha setiap membabarkan dhamma kepada umatnya selalu membuka
pembicaraan dengan apa manfaat berdana dan apa tujuan dari berdana.
Setelah hati para umat mulai tenang, terbuka dan siap untuk menerima Dhamma,
barulah Beliau memulai untuk membabarkan Dhamma yang lebih tinggi.
Pada umumnya,
batin manusia sangatlah terikat dengan harta atau miliknya tanpa menyadari
bahwa tidak ada harta duniawi yang kekal. Dimana saja ia menyimpannya suatu
saat akan mengalami suatu perubahan, lenyap dengan berbagai cara. Sang Buddha
memberikan satu cara agar harta yang kita miliki ini menjadi “harta yang
sejati” yaitu dengan mengubahnya menjadi kebaikan atau paramita. Kemana
saja kita mengalami kelahiran “harta sejati” tersebut pastilah akan
menyertainya.
Terdapat suatu
cerita, demikian kisahnya : ada dua orang yang bersahabat baik dan bertemu di
vihara. Pada waktu itu sedang mengikuti upacara Kathina. Seorang dari mereka
turut memberikan dan mempersembahkan dana kepada Sangha. Sedangkan yang lain
lagi orang itu tidah melakukan dana atau persembahan kepada sangha. Bahkan ia
hanyalah sebagai penonton saja. Dalam perjalanan pulang yang tadi berdana
bertanya kepada temannya, “mengapa anda tidak berdana hanyalah sebagai penonton
saja?”
Kawan yang
ditanya menjawab, ”buat apa saya berdana, karena dengan berdana uang yang saya
miliki ini akan berkurang. Bahkan sekarang uangmu tinggal separuh”. Orang yang
berdana memberikan penjelasan, “benar teman, uangku sekarang berkurang bahkan
tinggal separuh akan tetapi uang ini bukanlah milikku, karena uang atau harta
yang aku miliki ini yang belum di pergunakan itu bukanlah milikku yang
sebenarnya. Hanyalah uang atau harta yang kita gunakan ini (kita sumbangkan)
untuk kepentingan umum, menolong orang lain yang sedang membutuhkan bantuan
kita, atau untuk kepentingan vihara dan kelestarian sangha, itulah yang baru
sesungghunya menjadi “milik yang sejati”. Mengapa demikian, karena tidak ada
orang lain yang bisa mencurinya lagi.
Dengan
manggut-manggut tanda mengerti dan malu, kawanya berkata, “jadi sesungguhnya
sekarang anda telah mempunyai milik yang sejati separuh itu tadi, sedangkan
saya belum memiliki apa-apa. Kalau begitu lain waktu dan kesempatan yang akan
datang saya akan berdana sebanyak-banyaknya, supaya “harta yang sejati” yang
kumiliki makin banyak.
Begitulah
perbedaan pandangan yang sering timbul dalam diri manusia masing-masing yang
terlihat melalui “kacamata” Dhamma. Dhamma menuntun kita melihat jauh ke depan
sampai ke alam kelahiran yang selanjutnya. Sedangkan manusia hanya bisa melihat
dalam beberapa pereode kehidupan sekarang ini saja atau secara sekilas saja.“Demikian
besarnya hasil yang diperoleh dari buah kebaikan (paramita). Oleh karena itu
orang bijaksana akan selalu bertekad untuk menimbun harta yang sejati, buah
dari kebajikan adalah kebahagiaan, tak seorangpun dapat mengambilnya,
perampok-perampok tak dapat merampasnya maka lakukanlah perbuatan baik, inilah
harta yang akan selalu mengikutinya” (Khuddakapatha 8).
Dilihat dari
begitu banyaknya manfaat yang bisa didapat dari berdana dan berbuat baik maka
tidaklah mengherankan bila kita baca cerita tentang Visakha, murid langsung
Sang Buddha, bukannya memohon atau meminta berkah materi, rejeki, tetapi justru
memohon agar diberikan hak atau kesempatan yang lebih untuk berdana kepada para
bhikkhu. Bukan umatnya yang dibatasi dalam berdana, tetapi Vinaya (peraturan
tata tertib kebhikkhuan) yang dimiliki para bhikkhu-lah yang secara tidak
langsung membatasi kesempatan pada umat.
Bahkan
dikisahkan, ada dewa yang sampai memakai taktik agar bisa selalu berdana kepada
seorang bhikkhu yang telah meraih kesucian. Syarat untuk menjadi sukses, murah
rejeki, keberuntungan atau hokkie tidak lain dari banyaknya perbuatan baik
(menabur benih), kerja keras, rajin, dan ulet, tekun, hemat, tidak boros dan
jujur. Begitu pula didasari dengan pengertian yang benar serta niat (kehendah
atau cetana), barang yang kita berikan (Vathu) serta penerimanya yang baik
(Punggala). Setiap kejayaan manusia dan kebahagiaan surga, bahkan kesempurnaan
Nibbana, semua itu diperoleh karena perbuatan perbuatan jasa. Inilah hukumnya.
Apa yang
disebut rejeki keberuntungan dan hokkie tidak lain dari pada masaknya
perbuatan/karma baik yang dilakukan/yang ditaburkan pada waktu yang lampau.
Rejeki, bukan berkah yang jatuh dari langit untuk orang-orang tertentu (pilih
kasih) dan tanpa sebab. Segala sesuatu ada sebab adanya penyebabnya. Dan hukum
karma menjelaskan bahwa kita sendirilah yang membuat dan mengembangkan sebab
itu; bukan orang lain atau mahluk lain.
Marilah kita
gunakan kesempatan dalam hidup ini selalu mengumpulkan paramita sebanyak
mungkin yang kita mampu, agar “harta sejati” kita makin bertambah banyak dan
kualitas hidup kita ini akan semakin baik.
Semoga
semua mahluk hidup bahagia.
Sadhu........Sadhu.........Sadhu........
KEMULIAAN DI BULAN MAGHA
Oleh Bhikkhu
Vajhiradhammo
Namo Sanghyang
Adhi Buddhaya
Namo Buddhaya
A. Pendahuluan
Saudara sedhamma, kehidupan ini terus berlangsung dari waktu ke waktu,
hari berganti hari, bulan pun berganti bulan dan tahun terus bertambah. Di
tengah putaran sang waktu, kita sering tenggelam dalam berbagai kesibukan dan
kegiatan sehari-hari, bahkan masing-masing individu atau sekelompok orang
selalu berlomba-lomba untuk mengejar apa yang selalu di inginkan, sehingga
terkadang lupa apa yang semestinya sebagai tujuan dalam kehidupan ini. Dimana
terhanyut oleh segala keindahan dan harapan yang belum pasti membawa
kebahagiaan dalam kehidupan ini. Pada hari ini seolah-olah ditemukan kembali
sebuah waktu yang menurut perhitungan tahunnya hadir lagi, dan mengulangi
perjalanan panjang yang telah kita lalui bersama.
Setiap insan manusia dalam hidupnya pasti menghendaki adanya suatu
kebahagiaan dan kesejahteraan. Terkadang manusia hanyalah terlena dan lelap
oleh segala impian dan ilusi indahnya masa depan yang tak pasti di warnai
dengan penuh kebahagiaan dan kesejahteraan. Jalan emas yang harus dilaksanakan
untuk membangun sebuah pondasi rumah yang megah itu tidak datang secara
tiba-tiba. Namun perlu suatu usaha bekerja yang didasari dengan kemampuan dan
semangat serta persiapan yang matang, sehingga dapat membangun rumah dengan
indah sebagai tempat peristirahatannya yang nyaman. Usaha-usaha itu diperlukan
tidak seperti seseorang dengan menggunakan sebuah komputer, setelah kita
panggil melalui keybord atau papan pengetikan akan mucul yang kita kehendaki
pada tampilan layar sebuah monitor. Begitu pula untuk mendapatkan kebahagiaan
tidaklah cukup dengan sebuah rengekan-rengekan seperti anak kecil, dan tetesan
air mata disaat penderitaan itu datang. Kemudian memohon mahluk adikodrati,
namun selangkah uantuk maju dalam mengembangkan kebajikan atau berbuat baik
sebagai modal untuk menambah kebahagiaan dan kesejahteraan di hari esok yang
cerah.
Tak terasa bulan Magha puja telah kembali hadir dan saat ini kita
tentunya melaksanakan puja bakti bersama secara khusus untuk memyambut hari tersebut
dengan perasaan bahagia. Disinilah ada kebahagiaan tersendiri bagi umat Buddha
untuk berbakti kepada Sang Tri Ratna. Namun sudah sesuaikah yang kita lakukan
selama ini dengan apa yang diteladankan oleh sikap luhur Sang Guru junjungan
kita yaitu Sang Buddha....? Kalau sudah, mari kita tingkatkan terus sikap luhur
dalam kehidupan ini. Kemudian bila belum marilah pada saat ini kita di ingatkan
kembali bersama untuk memulai dan berusaha berlatih agar sedikit demi sedikit
dapat menyesuaikan diri kita dengan sikap luhur Sang Buddha dalam khidupan
sehari-hari, sehingga ada satu perubahan yang lebih baik kehidupan yang
dilaluinya.
B. Peristiwa Penting Bulan
Magha
Pada saat bulan purnama di bulan Magha, mengingatkan kembali seluruh umat
Buddha kepada peristiwa yang bersejarah, yang terjadi dalam kehidupan Sang
Buddha. Suatu peristiwa yang tidak pernah terjadi pada saat kehidupan sekarang
ini dengan perubahan pola kehidupan yang serba moderen serta tantangan
kehidupan manusia yang banyak.
Peringatan Hari Suci Magha Puja kesempatan ini adalah merupakan bentuk
upacara keagamaan khususnya bagi umat Buddha, yakni dengan memperingati dengan
mengadakan kebaktian bersama di vihara-vihara atau cetiya, hendaknya kita juga
meluangkan waktu yang sejarah untuk merenungkan, menghayati serta menjalani apa
sebenarnya hakekat dan makna Hari Suci Magha Puja.
Kurang lebih 30 abad yang lampau pada masa kehidupan Sang Buddha Gautama
di dunia ini, terjadilah peristiwa yang sangat bersejarah di bulan purnamasidhi
di bulan Magha di vihara Veluvanarama (Hutan Bambu)di kota Rajagaha.Peristiwa
besar dan suci di bulan Magha yang sangat istimewa ini ditandai dengan empat
ciri khusus atau tanda yang sangat istimewa yang dikenal dengan Caturrangga
Sannipatta yaitu:
1. Para Bhikkhhu arahat berjumlah
1250 tersebut berkumpul serentak di vihara Veluvanarama tanpa ada kesepakatan
dan perjanjian atau undangan terlebih dahulu. Mereka datang dari berbagai
penjuru dalam waktu yang sama, tempat yang sama dan mempunyai tekad yang sama
pula, yaitu untuk menghaturkan rasa hormat dan bakti kepada Guru Agung Sang Buddha Gautama.
2. Kemudian 1250 Bhikkhu
kesemuanya telah mencapai tingkat kekuatan batin dan telah mencapai tingkat
kesucian tertinggi Arahat (memiliki 6 kekuatan batin).
3. Sejumlah 1250 Bhikkhu
tersebut yang hadir pada pertemuan itu adalah ‘Ehi Bhikkhu Upasampada’ yaitu
para Bhikkhu yang telah menerima pentahbisan langsung dari Sang Buddha Gautama
sendiri.
4. Pada peristiwa yang yang
istimewa dan bersejarah inilah Sang Guru dunia Buddha Gautama menguraikan
Dharma ajaran-Nya yang merupakan intisari dari semua ajaran yang dikenal dengan
Ovada Patimokkha.
C. Makna Di
Bulan Magha
Satu hal yang terpenting pada peristiwa Magha Puja ini Sang Buddha
membabarkan prinsip-prinsip ajara-Nya yang disebut Ovada Patimokha, adalah
suatu khotbah yang sangat mulia yang dibabarkan oleh Sang Buddha kepada para
siswanya dengan sangat ringkas, jelas, padat dan sederhana sekali Beliau dalam
menguraikannya. Tetapi perlu kita ketahui bersama dan kita sadari bahwa didalam
uraian yang ringkas dan sederhana inilah merupakan intisari atau jantung dari
ajaran Agama Buddha (Buddha Dharma). Demikianlah Sang Buddha Gautama
membabarkan Dharma-Nya kepada para siswanya di bulan Magha yakni:
Khanti paramam tapo titikha
Nibbanam paramam vadanti Buddha
Na hi pabbajito parupaghati
Samano hoti param vihethayanto
Artinya:
Kesabaran
adalah cara pertapa yang tertinggi
Nibbana
adalah kebahagiaan yang paling tertinggi
Bukan
seorang pertapa dan bukan pula seorang
Yang
telah meninggalkan kehidupan duniawi
Bila
mereka masih
Menyakiti
dan merugikan orang lain
Menumbuhkan
dan mengembangkan kesabaran di dalam kehidupan sebagai umat Buddha adalah
merupakan suatu hal yang sangat penting yang kita lakukan dan memegang peranan
yang sangat penting dalam meningkatkan kemajuan batin. Seseorang tidak mungkin
dapat melakukan kusala kamma ( perbutan baik), jika kondisi batinnya diliputi
adanya suatu kemarahan, kebencian dan rasa dendam yang membara. Maka
berusahalah untuk selalu mengembangkan suatu kesabaran yang merupakan basis
dalam meningkatkan kualitas batin. Sifat cinta kasih, kasih sayang serta
toleransi dan ketekunan berlatih meditasi, perbuatan baik tidak bisa dilakukan,
sehingga timbul kekerasan, kekejaman dan pemerasan yang mewarnai dalam sikap
dan tingkah laku. Pengembangan kesabaran dalam diri kita akan memudahkan dalam
penggendalian kehidupan kita sesuai dengan sila dan vinaya. Sehinga dalam diri
manusia tidak ada kesempatan lagi untuk melakukan perbuatan yang tidak baik.
Peningkatan batin yang semakin maju, akan mengarahkan diri kita pada munculnya
kebahagiaan. Nibbana adalah kebahagiaan yang tertinggi, yang merupakan akhir
dari perjalanan panjang kehidupan kita ini.
Sang Buddha
Guru junjungan kita telah menunjukkan dan mengajarkan pada kita bagaimana untuk
mencapai kebahagiaan yang mulia itu, yaitu dengan mengembangkan dan
melaksanakan delapan unsur jalan mulia (Arya Attangika Magga) di dalam
kehidupan sehari-hari yang selalu tidak menyakiti atau merugikan orang lain
inilah unsur-unsur jalan kebahagiaan yang mulia, yaitu :
Sabba passa akaranam
Kusalassa upasampada
Sacitta pariyodapanam
Etam Buddhana sasanam
Artinya :
Menghindari semua perbuatan jahat
Mengembangkan perbuatan baik
Membersihkan pikiran sendiri
Inilah ajaran para Buddha
Bila kita renungkan kembali syair dari sabda Sang Buddha ini, ibaratnya
jantung kemanusiaan yang sangat berarti yang merupakan idaman dan impian bagi
setiap manusia dimuka bumi ini, untuk selalu tidak melakukan perbuatan jahat.
Semua ajaran pasti selalu memberikan tuntunan seperti ini sehingga merupakan
suatu cetusan hati manusia yang paling dalam dan murni, karena kejahatan hanya
akan mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan baik bagi pelakunya sendiri
maupun bagi mahkluk-mahkluk lain, akhirnya menjadi penyebab kehancuran atau
rusaknya kehidupan dunia ini. Tetapi mengapa masih banyak orang selalu
melakukan bentuk-bentuk kejahatan di dunia ini? Dan tidak mau menyadari akan
akibatnya. Untuk itu, sudah saatnya kita mengerti semua ini dengan melakukan
perbuatan yang baik serta menyadarkan diri kita yang akan membawa ketentraman
dan kebahagiaan bagi diri kita. Akhirnya dapat pula menyelamatkan dunia dari
kekejaman.
Mengembangkan perbuatan yang baik adalah tuntutan bagi setiap hati nurani
manusia dan juga tuntunan bagi semua ajaran agama. Hal ini akan sulit sekali
dilaksanakan apabila kita tidak berlatih dengan baik dalam sila dan dharma.
Hanya kebaikan yang berdasarkan cinta kasih yang tulus dan murnilah yang akan
mengatasi semua permasalahan kehidupan kita, yang dapat menyelamatkan dunia ini
pula dari kekerasan, kekejaman, dan peperangan, serta peyimpangan-penyimpangan
yang tidak benar. Di dalam kehidupan manusia tentunya tidak mudah untuk
melepaskan kondisi duniawi yang banyak kekurangan dan kelemahan serta hinaan
dan celaan. Tetapi haruslah kita waspada untuk selalu menyadarinya. menyadari
pikiran kita sendiri merupakan ajaran Buddha Dharma yang sangat penting kita
terapkan, karna tidak ada satu pun makhluk lain yang dapat menyadari dan
membersihkan pikiran kita, kecuali diri kita sendiri. Pikiran adalah sumber,
pikiran adalah pelopor dan memimpin, untuk ini sangat penting untuk kita
renungkan bersama dari ketiga baris sair ini yang merupakan pondasi dan inti
sari dari ajaran semua Buddha.
Anupavada, Anupaghato
Patimokkhe Cu sanvaro
Mattannuta Ca bhathasmim
Patanca sayanasanam
Adhicitte ca ayogo
Etam buddhana sasanam
Artinya :
Tidak menghina tidak
menyakiti
Mengendalikan diri selaras
dengan patimokha
Makan secukupnya, sesuai
dengan kebutuhan
Bertempat tinggal/berdiam
ditempat yang sesuai
Barsemangat mengembangkan
keluhuran batin
Inilah ajaran para buddha
Di dalam
sejarah kehidupan Sang Buddha dalam pembabaran Dharma-Nya, tak ada bentuk
kekerasan sedikit pun dalam pengembangan Dharma hingga kini. Sebab Sang Buddha
dan Dharma-Nya ( agama buddha ) adalah ajaran yang sangat agung yang
berdasarkan cinta kasih, kasih sayang dan toleransi tanpa ada paksaan atau pun
pertumpahan darah, bahkan senatiasa berkembang dengan penuh kedamaian dan cinta
kasih kepada semua mahluk.
Tidak menghina merupakan perbuatan yang mulia bagi manusia dalam
kehidupan ini. Ajaran untuk tidak menghina, mencaci atau pun melecehkan agama
atau kepercayaan lain adalah ajaran langsung yang dapat dicontoh dalam
kehidupan Sang Buddha sendiri dan para siswanya di jaman yang lampau (seperti
Raja Asoka). Sang Buddha membabarkan Dharma-Nya mempunyai tujuan untuk selalu
melenyapkan penderitaan dan mendatangkan ketentraman, kedamaian, kesejahteraan
dan kebahagiaan bagi semua makhluk bukan untuk menimbulkan keresahan, ketakutan
dan kesengsaraan bagi makhluk yang lain. Dan selalu ditekankan dalam
pelaksanaan sila(moralitas) dalam kehidupan sehari-hari. Bagi umat buddha sila
bukan merupakan suatu belenggu dalam kehidupan tetapi sila merupakan suatu
benteng, pondasi, pelindung kita dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik
(jahat).
Terkendali dengan aturan dalam kehidupan sehari- hari, melatih hidup
sederhana, tempat tinggal yang sesuai serta memiliki semangat keluhuran batin
merupakan bentuk kemajuan batin yang baik. Dalam Ovada Patimokha seorang
bhikkhu diharapkan berlatih baik dan terkendali sesuai dengan sila (vinaya)
mengingat sila (vinaya) merupakan suatu cara latihan kedisiplinan diri yang
harus dilaksanakan agar dapat menigkatkan kualitas batin kita. Inilah tiga bait
yang sangat sederhana, yang sangat istimewa dan merupakan suatu tuntunan yang
suci dihati sanubari setiap umat manusia.
D. Kesimpulan
Dengan dilandasi kedisiplinan moral (sila) yang telah dikembangkan dengan
baik akan memberikan pahala dan manfaat yang besar, dengan dilandasi samadhi
(pengembangan pikira) yang telah dikembangkan akan membawa kebijaksanaan
(panna) maka pikiran akan terbebas dari semua noda nafsu rendah indriawi.
Kepedulian terhadap peristiwa di bulan Magha bukan sekedar untuk di
dengarkan atau didengung-dengungkan dalam kehidupan ini. Justru sekarang bagi
kita semua adalah sejauh mana kita menerapkan dan melaksanakan serta
merealisasikannya. Realisasi itu sendiri sebenarnya hasil praktek yang nyata.
Tidaklah mungkin dengan tidak menguasai pengembangan batin untuk dapat mencapai
kebijaksanaan.
Untuk mewujudkan bentuk bangunan yang bersetruktur tinggi tidak akan
terbenruk bangunan yang megah dan kuat apabila pondasinya itu sendiri tidak
kuat atau kokoh. Poondasi yang kuat dan kokoh merupakan bentuk dari dasar
bangunan itu sendiri. Demikian pula seseorang yang berusaha untuk mengembangkan
batin yang lebih maju, membutuhkan dasar dan landasan yang kuat dalam latihan
atau praktek pengembangan batin yang baik. Praktek pengembangan batin yang baik
untuk mengetahui semua kondisi. Bagaimana dapat melaksanakan konsentrasi tanpa
dilandasai dengan disiplin moral yang baik. Seperti pohon yang besar tentu
akarnya kuat. Kehidupan dalam melatih diri atau pengembangan batin yang baik perlu akar yang kuat. Akar kehidupan
pengembangan batin (meditasi) adalah kesucian prilaku dan pikiran serta ucapan
yang terkendali. Kalau kita tidak dapat memelihara hal ini tidak akan ada
kemajuannya dalam usaha mengembangkan batinnya.
Semoga dengan sedikit ulasan Dharma dibulan Mgha ini
akan memberikan kemuliaan hati kita dan memberikan sinar yang terang dalam
membuka kaca mata kita yang telah terselumuti oleh debu. Membuka wawasan yang
luas akan Dharma ajaran-ajaran Sang Buddha yang lebih tinggi berdasarkan
prinsip-prinsip kebenaran ajaran suci Sang Buddha (patimokha dan vinaya) dan
menjauhkan pandangan manusia yang bersifat spekulatif semata (salah). Kita
hadirkan kembali makna hari suci Magha Puja ini di dalam kehidupan kita
sehari-hari dengan melatih kesabaran dan memegang teguh sila (vinaya) sebagai
pengendalian diri kita yang lebih baik. Kita tingkatkan perbuatan-perbuatan
yang baik dengan menghancurkan segala bentuk kejahatan sehingga dunia yang kita
tempati ini akan menjadi dunia yang sejuk dan tersenyum memancarkan cinta kasih
dan kasih sayang-Nya. Sehingga Buddha Dharma akan lestari dan begitu juga para
mereka yang memakai jubah Dharma akan tetap jaya sepanjang masa.
Akhirnya pada kesempatan yang berbahagia ini kami ucapkan “Selamat
Hari Suci Magha Puja” di tahun 2003. semoga kita semua semakin teguh dan
mantap maju dalam Dharma. Barang siapa yang memiliki kebijaksanaan sempurna,
para cendikiawan akan diberkahi budi pekerti, terkendali serta ulet dalam
kebaikan, dengan demikian kebijaksanaan mereka pasti dapat menembus kebenaran
ini.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia
Sadhu... sadhu...sadhu...
PENGEMBANGAN
BATIN MELALUI
VIPASSANA DAN SAMATHA BHAVANA
Oleh Bhikkhu Vajhiradhammo
A. Pengertian Bhavana
Bhavana
berarti pemngembangan, yaitu pengembangan batin dalam melaksanakan
pembersihannya. Istilah lain dalam pemakaiannya hampir sama dengan bhavana
adalah samadhi yang berarti pemusatan pikiran pada suatu obyek.
Samadhi yanng
benar (samma samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat
menghilangkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentu-bentuk karma
yang baik, sedangkan samadhi yang salah (micca samadhi) adalah pemusatan
pikiran pada obyek yang dsapat menimbulkan kekotoran pada batin tatkala pikiran
bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang tidak baik.
B. Manfaat Bhavana
Bhavana atau
meditasi yang benar akan memberikan manfaat bagi yang melaksanakannya. Manfaat
yang timbul dalam kehidupan sehari-hari dari praktek melaksanakan meditasi
adalah sebagai berikut:
- Bagi orang yang selalu, sibuk, meditasi akan menolong dia untuk membebaskan diri dari ketegangan, mendapatkan rileksasi dan pelemasan.
- Bagi orang yang sedang bingung, meditasi akan menolong dia untuk menenangkan diri dari kebingungan dan mendapatkan ketenangan yang bersifat sementara maupun permanen.
- Bagi mereka yang mempunyai banyak permasalahan yang tiada putusnya, meditasi akan menolong menumbuhkan ketabahan dan keberanian diri dalam mengembangkan kekuatan untuk menyelesaiakan persoalan.
- Bagi mereka yang kurang percaya diri, meditasi akan membantu untuk mendapatkan kepercayaan pada diri sendiri.
- Bagi orang selalu tidak puas terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya, meditasi akan memberikan perubahan dan pengembangan diri menuju pada kepuasan batin.
- Bagi orang yang memiliki rasa keragu-raguan dan tidak begitu tertarik terhadap agama, meditasi akan menolong dia mengatasi keragu-raguan untuk melihat segi-segi dan nilai-nilai yang praktis dalam membimbing keagamaan.
- Bagi seorang pelajar atau para mahasiswa, meditasi akan menolong untuk menimbulkan dan menguatkan ingatannya serta untuk belajar lebih baik.
- Bagi orang yang kaya, meditasi akan menolong dia untuk dapat melihat sifat dan kegunaan dari kekayaannya itu, bagaimana cara menggunakan kekayaan untuk kebahagiaan diri sendiri dan orang lain.
- Bagi orang yang miskin, meditasi akan menolong dia untuk memiliki rasa puas dan ketenangan serta tidak melampiaskan rasa iri hati terhadap orang lain yang tidak mampu daripadanya.
- Bagi orang yang melaksanakan meditasi dengan sungguh-sungguh, maka nafsu dan emosinya tak mempunyai kesempatan untuk memperbodoh dirinya lagi.
- Bagi orang yang bijaksana, meditasi akan membawa kepada kesadaran yang lebih tinggi dalam pencapaian penerangan sempurna.
- Selanjutnya dalam agama Buddha, meditasi yang benar dapat dipergunakan untuk membebaskan diri dari segala penderitaan, untuk mencapai Nibbana, dll.
Demikianlah
beberapa manfaat yang praktis yang dapat dihasilkan dari latihan meditasi.
Manfaat ini merupakan milik yang akan ditemui dalam pikiran sendiri.
C. Cara Melaksanakan Bhavana
Orang yang
baru belajar dalam melaksanakan meditasi sebaiknya mencari tempat yang cocok,
tempat yang sunyi dan tenang, bebas dari gangguan orang disekitarnya dan bebas
dari gangguan serangga. Pada tahap permulaan hendaknya berlatih di tempat yang
sama, jangan berpindah tempat. Bagi yang mengalami kemajuan meditasi dapatr
dilakukan dimana saja seperti di ruang bakti sala, di kantor, di kebun, di
hutan, di goa, di kuburan maupun ditempat yang ramai.
Waktu untuk
melaksanakan meditasi dapat dipilih sendiri. Biasanya waktu untuk meditasi yang
baik adalah pagi hari antara pukul 04.00-07.00 wib dan malam hari antara pukul
17.00-22.00 wib. Apabila meditasi waktunya telah ditentukan maka waktu tersebut
digunakan khusus untuk meditasi. Dalam melaksanakan meditasi hendaknya harus
kontinyu. Bila meditasi telah mengalami kemajuan dapat dilakukan kapan saja dan
pada setiap waktu.
Dalam memilih
posisi setiap orang mempunyai kebebasan. Biasanya posisi meditasi yang baik
adalah duduk bersila di lantai yang beralas, dengan meletakkan kaki kanan di
atas kaki kiri, dan tangan kanan menumpu tangan kiri dipangkuan. Atau boleh
juga posisi setengah sila, dengan kaki dilipat kesamping. Apabila tidak mungkin
boleh duduk di kursi. Yang penting adalah badan dan kepala harus tegak, tetapi
tidak kaku dan tegang. Duduk dengan santai, jangan bersandar, mata dan mulut
harus tertutup. Selama dalam melaksanakan meditasi berlangsung diusahakan untuk
tidak selalu menggerakkan anggota badan, jika tidak perlu. Namun bila badan jasmani
tidak enak boleh merubah sikap secara perlahan-lahan, disertai dengan perhatian
dan kesadaran penuh. Apabila meditasi mengalami kemajuan dapat dilakukan
berbagai posisi, baik duduk, berdiri, berjalan maupun berbaring.
Sebelum melaksanakan meditasi sebaiknya meminta
bimbingan dari guru meditasi, agar dapat dicapai sukses dalam meditasi dan
sebaiknya membaca paritta-paritta terlebih dahulu. Selanjutnya dilaksanakan
meditasi dengan tekun. Pikiran terpusat pada obyek yang dipilih. Bagi pemula
pikiran akan mengalami kegoncangan atau lari dari obyek, hal ini hendaknya
perlu disadari dan waspada terhadap pikiran. Bila pikiran itu lari dari obyek
disadari bahwa pikiran itu lari dari obyek, dan cepat kembali kepada obyek
semula. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka kemajuan dalam
meditasi akan diperoleh.
D. Pembagian Bhavana
Meditasi atau bhavana
dapat dibagi menjadi dua macam : yaitu :
1. Samatha Bhavana, berarti
pengembangan ketenangan batin
2. Vipassana Bhavana, berarti
pengembangan pandangan terang.
Diantara kedua jenis bhavan ini terdapat perbedaannya
:
a. Tujuannya
Samatha bhavana merupakan
pengembangan batin yang bertujuan untuk ketenangan. Dalam samatha bhavana,
batin terutama pikiran terpusat dan tertuju pad suatu obyek. Jadi pikiran tidak
berhamburan ke segala penjuru, pikiuran tidak berkeliaran kesana ke mari, pikiran tidaklah melamun dan mengembara tanpa
tujuan.
Dengan
melaksanakan Samatha Bhavana, rintangan-rintangan batin tidaklah dapat
dilenyapkan secara menyeluruh. Jadi kekotoran hanyal dapat diendapkan, seperti
batu yang besar yang menekan rumput hingga tertidur ditanah. Dengan demikian,
Samatha Bhavna hanya dapat mencapai tingkata-tingkatan konsentrasi yang disebut
jhana-jhana, dan mencapai berbagai bentuk kekuatan batin.
Sesungguhnya
pikiran yang tenang bukanlah tujuan yang terahkir dari meditasi. Ketenangan
pikiran hanyalah salah satu keadaan yang diperlukan untuk mengembangkan
pndangan terang atau Vipassana Bhavana.
Vipassana
Bhavan merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk mencapai pandangan
terang. Dengan melaksanakan Vipassana Bhavana, kekotoran batin dapat disadari
dan kemudian dibasmi sampai keakar-akrnya, sehingga orang yang melakukan
Vipassn Bhavana dn melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewjrnya, bahwa hidup
ini dicengkram oleh anicca (ketidakkekalan), dukkha (derita), dan anatta (tanpa
aku yang kekal). Dengan demikian, Vipassana Bhavana dapt menuju ke arah
pembersihan batin, pembebasan sempurna, pencapaia Nibbana.
Sesungguhnya
telah ditulis dalam kitab suci bahwa hanya dengan pandangan terang inilah kita
dapt mensucikan diri kita, dan tidak dengan jalan yang lain.
b. Obyeknya
Obyek yang dipakai dalam Samatha Bhawana ada 40
macam. Obyek-obyek itu adalah sepuluh kasina, sepuluh asubha, sepuluh anussati,
empat appamanna, satu harapatikulasanna, satu catudhatuvavatthana, dan empat
arupa. Sebaliknya, obyek yang dipakai dalam Vipassana Bhavana adalah nama dan
rupa (batin dan jasmani) atau empat satipatthana
c. Penghalang
Dalam
melaksanakan Samatha Bhavana, pada umumnya orang yang bermeditasi sering
mendapatkan gangguan atau halanga dan rintangan, yaitu lima nivarana dan
sepuluh paliboda. Dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, terdapat pula
rintangan-rintangan yang dpt menghambat perkembangan pandangan terang, yang
disebut sepuluh vipassanupakilesa.
E. Pengertian Samatha Bhavana
Samatha
Bhavana adalah pengembangan batin untuk mencapai ketenangan batin. Perkembangan
dari ketenangan, adalah menuju pada pemusatan pikiran yang penuh, dalam
mencapai penembusan meditasi. Dalam pemusatan pikiran pada obyek secara
sistematik akan dapat menghasilkan ketenanagan menuju kepada
tingkatan-tingkatan jhana.dengan demikian terbasminya penglihatan dari kelima
indriya dalam sementara waktu. Kemudian dalam gerakan-gerakan pikiran yang
berliku-liku akan menjadi lebih reda dalam tingkatn yang pertama, dan akan
hilang sama sekalidalam tingkatan yang selanjutnya.
Dalam meditasi
Samatha Bhavana ada 40 macam obyek meditasi. Obyek-obyek meditasi ini dapat
dipilih salah satu yang sekiranya cocok dengan sifat atau pribadi seseorang.
Pemilihan ini dimaksudkan untuk membantu dalam mempercepat perkembangannya dan
dibantu oleh seorang guru.
F. Obyek Meditasi Samatha
Bhavana
Dalam
melaksanakan meditasi Samatha Bhavana ada 40 macam obyek meditasi. Obyek
meditasi itu dapat dipilih salah satu yang sekiranya cocok dengan sifat yang
sesuai dengan pribadinya. Pemilihan ini dimksudkan untuk perkembangan bagi yang
belajar meditasi. Keempat puluh macam obyek meditasi itu adalah :
a.
Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda), yaitu :
1.
Pathavi kasina (wujud tanah)
2.
Apo kasina (wujud air)
3.
Tejo kasina (wujud api)
4.
Vayo kasina (wujud udara atau angin)
5.
Nila kasina (wujud warna biru)
6.
Pita kasina (wujud warna kuning)
7.
Lohita kasina (wujud warna merah)
8.
Odata kasina (wujud warna putih)
9.
Aloka kasina (wujud cahaya)
10. Akasa kasina (wujud
ruangan terbatas)
b.
Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran), yaitu :
1.
Uddhumataka (wujud mayat yang membengkak)
2.
Vinilaka (wujud mayat yang berwarna kebiru-biruan)
3.
Vipubbaka (wujud mayat yang bernanah)
4.
Vicchiddaka (wujud mayat yang terbelah di tenghanya)
5.
Vikkahayitaka (wujud mayat yang digerogoti binatang-binatang)
6.
Vikkhittaka (wujud mayat yang telah hancur lebur)
7.
Hatavikkhittaka (wujud mayat yang busuk dan hancur)
8.
Lohitaka (wujud mayat yang yang berlumuran darah)
9.
Puluvaka (wujud mayat yang dikerubungi oleh belatung)
10. Atthika (wujud tengkorak)
c.
Sepuluh annussati (sepuluh macam perenungan), yaitu :
1.
Buddhanussati (perenungan terhadap Buddha)
2.
Dhammanussati (perenungan terhadap Dhamma)
3.
Sanghanussati (perenungan terhadap Sangha)
4.
Silanussati (perenungan terhadap sila)
5.
Caganussati (perenungan terhadap kebajikan)
6.
Devatanussati (perenungan terhadap mahluk-mahluk agung atau
dewa)
7.
Maranussati (perenungan terhadap kematian)
8.
Kayagatasi (perenungan terhadap badan jasmani)
9.
Anapanasati (perenungan terhadap pernapasan)
10. Upasamanussati (perenungan
terhadap Nibbana atau Nirvana)
d.
Empat appamanna (empat keadaan yang tidak terbatas) yaitu :
1.
Metta (cinta kasih yang universal, tanpa pamrih)
2.
Karuna (belas kasihan)
3.
Mudita (perasaan simpati)
4.
Upekkha (keseimbangan batin)
e.
Satu aharapatrikulasanna (satu perenungan terhadap makanan
yang menjijikan)
f.
Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur
yang ada di dalam badan jasmani)
g.
Empat arupa (empat perenungan tanpa materi), yaitu :
1.
Kesinugaghatimakasapannatti (obyek ruangan yang sudah keluar
dari kasina)
2.
Akasanancanyatana-citta (obyek kesadaran yang terbatas )
3.
Natthibhavapannatti (obyek kekosongan)
4.
Akincannayatana-citta (obyek bukan pencerapan pun tidak bukan
pencerapan)
3. Lima Macam Nivarana
Lima macam
nivarana berarti rintangan atau
penghalang batin yang penghalang batin yang selalu menghambat perkembangan
pikiran. Nirvana ini ada lima macam, yaitu :
- Kamachanda (nafsu-nafsu keinginan)
- Byapada (kemauan jahat)
- Thina-middha (kemalasan dan kelelahan)
- Uddhacca-kukkucca (kegelisahan dan kekawatiran)
- Vicikiccha (keragu-raguan)
4. Sepuluh Macam Palibodha
Palibodha berarti gangguan
dalam meditasi yang menyebabkan batin gelisah dan tidak mampu memurtuskan
pikiran pada bentuk obyek. Palibodha ini ada sepuluh macam, yaitu :
- Avasa (tempat tinggal)
- Kula (pembantu dan orang yang bertanggung jawab)
- Labha (keuntungan)
- Gana (murid dan teman)
- Kamma (pekerjaan)
- Nati (orang tua)
- Addhana (perjalanan)
- Abadha (penyakit)
- Gantha (pelajaran)
- Iddhi (kekuatan gaib)
5. Enam Macam Carita
Carita berarti
sifat, perangai atau prilaku. Di dalam Abhidhamma, terdapat pengembangan
sifat-sifat secara umum yang berdasarkan atas keadaan batin manusia, yaitu
manusia itu dapat dibagi menjadi enam golongan berdasarkan sifat-sifat yang
dimiliki, yaitu :
1.
Orang yang keras nafsu lobhanya (Ragacarita).
2.
Orang yang keras kebenciannya (Dosa)
3.
Orang yang bodoh (dungu, Mohacarita)
4.
Orang yang tebal keyakinannya (Saddhacarita)
5.
Orang yang bijaksana, pandai (Buddhacarita)
6.
Orang yang Suka melamun
(Vitakkacarita)
- Tiga Macam Nimitta
Nimitta berarti suatu
pertanda atau gambarn yang ada hubungannya dengan perkembangan obyek meditasi.
Nimitta ini ada tiga macam, yaitu :
- Parikamma-Nimitta (gambaran batin pemula dari bentuk obyek dalam keadaan yang sebenarnya, seperti patung Buddha kemudian dibayangkan dalam pikiran)
- Uggaha-Nimitta (gambaran batin mencapai suatu obyek yang diambil dalam meditasi, kemudian dibayangkan dalam pikiran, seperti patung Buddha, mula-mula dilihat dan dibayangkan dalam pikiran)
- Patibhaga-Nimitta (gambaran batin yang berlawanan dari suatu obyek yang telah melekat pad pikiran, terpeta dengan nyata, tetap, jernih, jelas, terbebas dari gangguan, dan gambaran tersebut dapat dapat dibesarkan serta dikecilkan menurut kemamuannya atau gambaran pantulan dari obyek yang dipakai, yang bentuk gambaran itu berubah menjadi bersinar terang di dalam batin).
7. Tiga Macam bhavana
Dalam
meditasi, terdapat tiga macam tingkatan-tigkatan untuk dapat mrmperoleh
perkembangan batin, yaitu :
- Parikamma-Bhavana (perkembangan batin tingkat pendahuluan atau pikiran baru di pusatkan pada obyek yang dipakainya yaitu : dari keempat puluh macam obyek meditasi yang sesuai)
- Upacara-Bhavana (bentuk perkembangan batin yang telah siap untuk memasuki dalam pemusatan pikiran pada obyek tau pendekatan konsentrasi pada obyek, yang sebaiknya dopakai adalah obyek delapan anusati yaitu : Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati, Silanussati, caganussati, devanussati, Marananussati dan Upasamanussati)
- Appana-Bhavana (perkembangan batin yang telah terpusat pada obyek atau pikiran yang telah berdiam dalam obyek dengan jangka waktu yang lama menurut kehendaknya, karena konsentrasi yang penuh dan mantap telah tercapainya. Disamping dari bentuk nivarana telah dapat diatasinya maka faktor-faktor daripada jhana mulai timbul berperan yaitu : vitakka, vicara, piti, sukkha, dan ekaggata).
8. Pengertian Jhana
Jhana berarti bentuk
kesadaran/pikiran yang terpusat dan melekat kuat pada obyek meditasi
(kammatthana), yaitu kesadarn/pikiran terkonsentrasi pada obyek dengan kekuatan
appana-samadhi (konsentrasi yang mantap, yaitu kesadarn/pikiran yang
terkonsentrasi pada bentuk obyek yang kuat).
Jhana
merupakan keadaan batin yang sudah di luar aktifitas panca indra. Hal ini hanya
dapt dicapai dengan usaha yang tekun, ulet, dan lainya. Kemudian aktifitas
semua indera berhenti, tidak ada bentuk kesan-kesan maupun penglihatan yang
muncul perasaan badan jasmani. Jhana hanya dapat mampu untuk menekan atau
mengendapkan kekotoran batin untuk sementara waktu. Ia tidak dapat melenyapkan
kekotoran batin. Untuk sementara waktu jhana dapat berubah atau merosot, karena
jhana tidaklah kekal. Jadi jhana merupakan alat pembasmi nivarana, yaitu
vitakka membasmi thina-mida, vicara membasmi viccikiccha, piti membasmi
byapada, sukha membasmi uddhacca-kukkucca, dan ekaggata membasmi kamachanda.
9. Faktor-Faktor Jhana
Untuk dapat memasuki
jhana-jhana, timbullah faktor-faktor jhana yang memberikan dalam suasana bagi
tiap-tiap jhana itu. Faktorpfaktor jhana ada lima macam yaitu :
- Vitakka, yaitu penopang pikiran yang merupakan perenungan permulaan untuk memegang obyek.
- Vicara ialah gema pikiran, keadaan pikiran dalam memegang suatu obyek. Jadi vitakka dan vicara adalah merupakan kedua keadaan dari suatu proses yang berkelanjutan. Kedua keadaan itu diumpamakan seperti lonceng yang dipukul sekali maka akan timbul suatu bunyi yang bergema. Bunyi lonceng pada saat timbul bunyi itulah vitakka, sedangkan gema dari bunyi lonceng itu adalah vicara. Demikian pula dalam melakukan meditasi, suasan pikiran pada saat permulaan memegang obyek disebut vitakka, sedangkan saat suasana pikiran yang telah berhasil memegang obye dengan kuat disebut vicara.
- Piti, ialah kergiuran atau kenikmatan.
- Sukha, ialah kebahagian yang tak terhingga. Antara piti dan sukha terdapat pula keadaan yang khas yaitu apabila perasaan dalam berjalan merasa sangat haus, kemudian ia menemukan sebuah sumber air, maka akan merasa gembira, senang, dan tergiur melihatnya. Perasaan senang itu merupakan piti dan kegiuran yang menimbulkan keterbebasan dari tekanan perasaan. Selanjutnya, setelah ia minum itu, maka perasaannya berubah setelah meminum air itu, maka perasaan akan menjadi nikmat dan segar. Perasaan ini merupakan sukha.
- Ekaggata ialah bentuk pemusatan pikiran yang kuat, sehingga kekotoran batin tidak mampu mengganggu lagi.
10. Tingkatan-Tingkatan Jhana
Tingkatan-tingkatan
jhana menurut Sutta Pitaka, terdapat delapan tingkatan, yaitu empat rupa jhana
dan empat arupa jhana, sedangkan menurut Abhidhamma Pitaka terdapat sembilan
tingkatan jhana, yaitu lima rupa jhana dan empat arupa jhana.
Tingkatan-tingkatan jhana menurut Abhidhamma, terdiri dari
- Tingkatan jhana ialah jhana tingkat pertama. Keadaan batinnya terdiri dari lima corak, yaitu vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekaggata.
- Dutiya-jhana ialah jhana tingkat kedua. Keadaan batinnya terdiri dari empat corak yaitu vicara, piti, sukha, dan ekaggata.
- Tatiya-jhana ialah jhana tingkat ketiga. Keadaan batinnya terdiri dari tiga corak yaitu piti, sukha, dan ekaggata.
- Catuttha-jhana ialah tingkat jhana keempat. Keadaan batinnya terdiri dari dua corak yaitu sukha dan ekaggata.
- Pancama-jhana ialah jhana tingkat yang kelima. Keadaan batinnya terdiri dari dua corak yaitu upekkha dan ekaggata.
- Akasanancayatana-jhana ialah keadaan dari konsepsi kesadarn yang tanpa batas.
- Vinnanancayatana-jhana ialah keadaan dari konsepsi kesadaran yang tak terbatas.
- Akincannayatana-jhana ialah keadaan dari konsepsi kekosongan.
- Nevasannasannayata-jhana ialah keadaan dari konsepsi bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan. (Pandit J. Kaharuddin, diktat Citta, (tanpa tempat dan tanpa tahun) halaman 39-40.
Kemudian
tingkatan-tingkatan jhana menurut Sutta Pitaka, terdiri dari :
1.
Pathama-jhana ialah jhana tingkat yang pertama, dimana
nivarana telah dapat diatasi dengan seksama. Faktor-faktor jhana yang timbul
adalah vicara, piti, sukha, dan ekaggata.
2.
Dutiya-jhana ialah jhana tingkat kedua, dimana vitakka dan
vicara mulai lenyap, karena kedua faktor ini bersifat kasar untuk jhana kedua.
Faktor jhana yang timbul ini adalah piti, sukha, dan ekaggata.
3.
Tatiya-Jhana, ialah jhana tingkat yang ketiga dimana piti
mulai lenyap dan karena ada faktor yang masih terasa kasar untuk jhana yang
ketiga. Faktor jnana yang masih ada adalah sukkha dan ekaggata.
4.
Catuttha-jhana ialah jhana tingkat keempat dimana sukha mulai
lenyap karena ada faktor dari ekaggata dan ditambah dengan upekha (keseimbangan
batin).
5.
Akasanancayatana-Jhana.
6.
Vinnancayatana-Jhana.
7.
Akincannayatana-Jhana.
8.
Nevasannanasannayatana Jhana.
Untuk mencapai
pathama-jhana, obyek yang harus dipakai dalam melaksanakan Samatha Bhavana
adalah sepuluh asubha dan satu kayagatanussati.
Untuk mencapai
dutiya-jhana, tatiya-jhana, dan catuttha-jhana, obyek yang harus diambil dalam
melaksanakan Samatha Bhavana ialah tiga appamanna (metta, karuna, dan mudita).
Untuk mencapai
pancama-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana
ialah satu upekkha.
Untuk mencapai
empat arupa-jhana, obyek yang harus dipakai dalam melaksanakan Samatha Bhavana
adalah satu upukkha.
Untuk mencapai
empat arupa-jhana yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana adalah
empat arupa.
11. Lima Macam Vasi
Vasi berarti keahlian atau
kemahiran atau kemampuan untuk mengolah jhana. Jika seseorang telah mencapai
jhana tingkatan pertama, kemudian ia untuk mencapai jhana-jhana berikutnya,
maka ia memiliki lima macam vasi. Kelima macam vasi tersebut adalah :
1.
Avajjana-vasi, yaitu keahlian dalam pemikiran untuk memasuki
jhana menurut kehendaknya.
2.
Samapaijana-vasi yaitu keahlian dalam memasuki jhana.
3.
Adhitthana-vasi yaitu keahlian dalam menentukan berapa lama
yang hendak berada dalam jhana.
4.
Vutthana-vasi yaitu keahlian dalam keluar dari jhana.
5.
Paccavekkhana-vasi yaitu keahlian dalam peninjauan terhadap
jhana.
12. Enam Macam Abhinna
Abhinna
berarti keampuan atau kekuatan batin yang luar biasa, atau tenaga batin.
Abhinna dapat timbul dalam diri orang yang telah mencapai jhana-jhana, dimana
jhana tingkat keempat yang merupakan dasar untuk timbulnya abhinna ini. Namun
kesemuanya ini tergantung dari kekuatan kusala-karma dari kehidupan yang
lampau. Mengenai obyek dari meditasi yang dapat menimbulkan abhinna adalah
hanya sepuluh kasina.
Abhinna itu
ada enam macam dan dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu abhinna yang
duniawi dan lokuttara. Abhinna yang duniawi (lokiya-abhinna) terdiri atas lima
macam, yaitu :
1.
Iddhividhanana, seringg disebut sebagai kekuatan gaib atau
kekuatan megis atau kesaktian. ini terbagi ata beberapa macam, yaitu :
a.
Adhitthana-iddhi, ialah kemampuan untuk mengubah diri dari
satu menjadi banyak atau sebaliknya.
b.
Vikubbana-iddhi, ialah kemampuan untuk merubah bentuk,
seperti menjadi anak kecil, raksasa, ular, atau membuat dirinya menjadi tidak
tampak.
c.
Manomaya-iddhi, ialah kemampuan menciptakan dengan
menggunakan pikliran, seprti menciptakan istana, taman, harimau, wanita yang
cantik, dan lain-lain.
d.
Nanavidhivipphara-iddhi, ialah kemampuan untuk menembus
ajaran melalui pengetahuan.
e.
Samadhivipphara-iddhi, ialah kemampuan memancarkan melalui
konsentrasi, yaitu :
-
Kemampun menembus dinding, pagar, gunung.
-
Kemampun menyelam kedalam bumi bagaikan menyelam ke dalam
air.
-
Kemampun berjalan di atas air bagaikan berjalan di atas tanah
yang padat.
-
Kemampun terbang di atas angkasa seperti burung.
-
Kemampun melawan api.
-
Kemampun menyentuh bulan dan matahari dengan tangan.
-
Kemampun memanjat puncak dunia sampai ke alam Brahma.
2.
Dibbasoitanana (telinga dewa), ialah kemampuan untuk
mendengar suara-suara dari alam yang lain, yang jauh maupun yang dekat.
3.
Cetopariyanana atau paracittavijanana, ialah kemampuan untuk
membaca pikiran mahluk yang lain.
4.
Dibbacakkhunana atau cutupapatanana (mata dewa), ialah
kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan muncul lenyapnya mahluk-mahluk yang
bertumimbal lahir sesuai dengan kekuatan karmanya masing-masing.
5.
Pubbenivasanussatinana, ialah kemampuan untuk mengingat
tumimbal lahir yang lampau dari diri sendiri dan orang lain.
Abhinna yang
diatas duniawi (lokuttara-abhinna) hanya ada satu macam, yaitu asavakkhayanana,
ialah kemampuan untuk memusnahkan kekotoiran batin. Pemusnahan kekotoran batin.
Pemusnahan kekotoran batin ini akan membimbing ke arah kesucian tertinggi atau
arahat (perlu kita sadari bahwa sebagai umat Buddha bukanlah untuk mencari
kekuatan gaib dan kemujijatan dalam melaksanakan meditasi tetapi tujuan ahkir
dari kebebasan-Nibbana).
C. Vipassana Bhavana
1.
Obyek Vipasana Bhavana.
Dalam
melaksanakan Vipassana Bhavana, obyeknya adalah nama dan rupa (batin dan
materi) atau pancakhandha (lima kelompok faktor kehidupan), atau pancakhandha
(lima kelompok faktor kehidupan). Ini dilakukan dengan memperhatikan
gerak-gerik nama dan rupa terus menerus, sehingga dapat melihat dengan nyata
bahwa nama dan rupa itu dicengram oleh anicca, dukkha dan anatta.
Pancakkhandha
itu terdiri atas : rupa-khandha (kelompok jasmani), vedana-khandha (kelompok
perasaan), sanna-khandha (kelompok pencerapan), sankhara-khandha (kelompok
bentuk pikiran), dan vinnana-khandha (kelompok kesadaran). Sesungguhnya
pancakhandha itu adalah mahluk.
2.
Empat Macam Satipatthana
Empat macam satipatthana
itu adalah pancakkhandha, atau nama dan rupa itu sediri. Sesungguhnya yang akan
berkembang dalam latihan Vipassana itu ialah perhatian yang tajam dan kesadaran
yang kuat, yaitu :
a.
Kaya-nupassana (perenungan terhadap badan jasmani).
Salah satu
contoh yang paling baik dan populer dan praktis tentang meditasi dengan obyek badan jasmani ialah
anapanasati (menyadari keluar masuknya nafas tidak perlu ditekan paksa pada
pernafasan atau dibuat-buat, tetapi bernafaslah secara biasa dan wajar). Cara
yang lain dalam meditasi yang terpenting adalah sadar dan waspada terhadap
segala sesuatu yang dilakukan, ketika berjalan, berdiri, duduk, atau berbaring,
sewaktu membungkuk dan melencangkan badan, serta melihat ke muka dan ke
belakang, ketika berpakaian, makan, dan minum, atau yang lainnya. Hal ini tidak
bermaksud untuk menyiksa diri tetapi mengendalikan badan dengan penuh
kesadaran.
b.
Vedana-nupassana (perenungan terhadap perasaan).
Perenungan
terhadap perasaan yang sedang dialami secara obyektif, baik perasn yang sedang
dialami secara obyektif, baik perasaan senang maupun tidak senang, maupun acuh
tak acuh terhadap perasaan yang dialminya. Kemudian direnungakan bagaimana ia
timbul, berlangsung dan kemudian lenyap kembali. Perasaan yang harus
dikewndalikan oleh akal dan kebijaksanaan, agar perasaan itu tidak
membangkitkan bermacam-macam bentuk emosi. Apabila perasaan telah dapat diatasi
dengan cepat, maka batin menjadi bebas, tidak terikat oleh apapun di dalam dunia
ini.
c.
Citta-nupassana (perenungan terhadap pikiran)
Perenungan
terhadap segala gerak-gerik pikiran apabila masih dihinggapi hawa nafsu atau
terbebas daripadanya, maka semua itu harus disadari. Pikiran harus diarahkan
pada kenyataan hidup saat ini. Masalah
yang telah lewat atau yang akan datang tidak boleh terlalu dipikirkan saat ini.
Karena akan selalu membuang banyak energi yang tidak ada manfaatnya. Jadi
pikiran harus diamati dan disadari agar menjadi bebas dan tidak terikat.
d.
Dhamma-nupassana (perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran)
Disini yang
perlu untuk direnungan bentuk-bentuk pikiran dengan sewajarnya, pertenungan
terhadap lima macam rintangan, berbagai macam kelompok faktor kehidupan
(pancakkhandha), dua belas ayatana, satta bojjhanga, cattari ariya saccani.
3.
Sepuluh Macam Vipassanupakilesa
Vipassanupakilesa
adalah kekotoran batin atau rintangan yang menghambat dalam perkembangan
pandangan terang, dimana dalam melaksanakan Vipassana Bhavana ada sepuluh macam
Vipassanupakilesa, yaitu :
1.
Obhasa, ialah sinar-sinar yang gemerlapan, yang bentuknya dan
keadaanya bermacam-macam, yang kadang-kadang merupakan pemandangan yang
menyenangkan.
2.
Piti, ialah kegiuran, yang merupakan bentuk perasaan yang
nyaman dan nikmat. Piti ini ada lima macam menurut keadaanya, yaitu :
a.
Khudaka Piti ialah kegiuran yang kecil, yang suasananya
seperti bulu badan yang terangkat atau merinding.
b.
Khanika Piti, ialah kegiuran yang sepintas lalu menggerakan
badn.
c.
Okkantika Piti, ialah kegiuran yang menyeluruh dalam suasana
meriang diseluruh badan, seperti ombak lautan yang tak bertepi.
d.
Ubbonga Piti, ialah kegiuran yang mengangkat, yang
memunculkan suasana seolah-olah mengangkat badan naik ke udara.
e.
Pharana Piti, ialah kegiuran yang menyerap seluruh badan yang
suasana seluruh badan seperti terserap oleh perasaan yang menakjupkan.
3.
Passadi, ialah ketenangan batin yang seolah-olah orang telah
mencapai penerangan sejati.
4.
Sukha ialah perasan yang bahagia, yang seolah-olah telah
bebas dari penderitaan.
5.
Saddha ialah keyakinan yang kuat dan harapan agar setiap
orang juga seperti dirinya.
6.
Paggaha ialah usaha yang selalu giat, dan lebih giat lagi
dalam berusaha semestinya.
7.
Upatthana ilaha ingatan yang tajam, sering muncul, dan
menganggu perkembangan kesadaran, karena tidak memperhatikan saat yang sekarang
ini.
8.
Nana ialah pengetahuan yang sering muncul dan menganggu
jalannya meditasi.
9.
Upekkha ialah keseimbangan batin dimana pikiran tidak mau
bergerak untuk menyadari proses-prosesnya yang muncul.
10. Nikanti ialah perasaan
puas terhadap obyek-obyek.
Sepuluh Macam
Vipassanupakilesai ini biasanya timbul dalam perkembangan Sammasana-Nana, yaitu
nana yang ketiga.
4.
Empat Macam Vipallasa-Dhamma
Vipallasa-Dhamma
berarti kekhayalan, kepalsuan, kekeliruan yang berkenaan dengan paham yang
menganggap suatu kebenaran sebagai suatu kesalahan yang menganggap suatu
kebenaran sebagai suatu kesalahan dan kesalahan sebagai suatu kebenaran.
Vippalasa-Dhamma ini ada empat macam dan yang harus dibasmi dengan melaksanakan
empat macam satipathana yaitu :
- Subha-Vipallasa yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang tidak cantik sebagai cantik, dan dapat dibasmi dengan melaksanakn kaya-nupassana.
- Sukha-Vipallasa ialah kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang diderita sebagai bahagia dan hal ini hanya dapat dibasmi dengan melaksanakan vedana-nupassana.
- Nicca-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang tidak kekal sebagai kekal, hal ini hanya dapat dibasmi dengan melaksanakan citta-nupassana.
- Atta-Vipallasa yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang tanpa aku sebagai aku, hal ini hanya dapat dibasmi dengan melaksanakan Dhamma-nupassana.
- Enam Belas Macam Nana
Nana berarti
sebagai pengetahuan. Apabila dengan tekun melaksanakan Vipassana Bhavana maka
akan berkembang nana di dalam dirinya, keenam macam daripada nana itu adalah :
- Nama-Rupa Pariccheda Nana ialah pengetahuan mengenai perbedaan nama (materi) dan rupa (batin).
- Paccaya Pariggaha Nana ialah pengetahuan mengenai hubungan sebab dan akibat dari nama dan rupa.
- Sammasana Nana ialah pengetahuan yang menakjupkan nama dan rupa sebagai Tilakkhana yaitu anicca, dukkha dan anatta.
- Udayabbaya Nana ialah pengetahuan dari timbul dan lenyapnya nama dan rupa.
- Bhanga Nana ialah pengetahuan mengenai ketakutan yang berkenaan peleburan dan pelenyapan nama dan rupa.
- Bhaya Nana ialah pengetahuan mengenai ketakutan yang bekenaan dengan sifat nama dan rupa.
- Adinava Nana ialah pengetahuan mengenai kesedihan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.
- Nibbida Nana ialah pengetahuan mengenai keengganan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.
- Muncitukamyata Nana ialah pengetahuan mengenai keinginan untuk mencapai kebebasan.
- Patisankha Nana ialah pengetahuan mengenai penglihatan akan jalan yang menuju kebebasan, yang menimbulka keputusan untuk melatih secara terus menerus dengan semangat.
- Sankharupekkha Nana ialah pengetahuan mengenai keseimbangan tentang semua bentuk-bentuk kehidupan.
- Anuloma Nana ialah pengetahuan mengenai penyesuaian dari Ariya-Sacca sebagai persiapan untuk memasuki sang jalan (magga) dan untuk mencapai pala (hasil) dari magga dalam mendekati Nirvana dengan melalui anicca, dukkha dan anatta.
- Gotrabu Nana ialah pengetahuan mengenai pemotongan keadaan duniawi dan Nirvana sebagai obyek dari pikiran.
- Magga Nana ialah pengetahuan mengenai penembusan terhadap magga, dimana kilesa telah lenyap.
- Phala Nana ialah pengetahuan mengenai pembabaran phala yang merupakan hasil dari penembusan terhadap magga, dan Nirvana sebagai obyek batinya.
- Paccavekkhana Nana ialah pengetahuan mengenai peninjauan terhadap sisa-sisa kilesa ataukekotoran batin yang masih ada.
D. Kesimpulan
Denagan pemaparan tersebut
di atas, dapatlah disimpulkan dan diketahui betapa besarnya pengaruh bhavana
dalam kehidupan manusia, terlebih-lebih pada zaman yang serba moderen ini.
Dimana dunia yang kacau balau ini, bhavana akan mendatangkan ketenangan
pikiran. Lebih jauh lagi, bhavana akan menimbulkan pandangan yang terang dan
pembersihan dari kekotoran batin yang akan menuju kepada pembebasan (Nirvana).
Bhavana
berarti pengembangan batin dan pemusatan pikiran pada obyek. Bhavana ini ada
dua macam yaitu Samatha Bhavana bertujuan untuk mencapai ketenhga batin dan Vipassana
Bhavana adalah bertujuan untuk mencapai pandangan yang terang.
Dalam Samatha
Bhavana ada empat puluh macam obyek yang harus dipahami dalam bermeditasi, dan
dapat dipilih sesuai dengan sifatnya dan yang cocok untuk yang bersangkutan.
Kemudian dalam melaksanakan Vipassana Bhavana ada empat macam obyek meditasi
yang disebut dengan satipatthana. Keempat macam obyek ini harus disadari oleh
orang yang akan melaksankan meditasi untuk meningkatkan kemajuan batinya.
Sumber
Buku :
Mahavirothavro, Samma Samadhi/meditasi I (alih bahasa Bhikkhu
Chaluai Sujivo Thera), Vajra Dharma Nusantara, Jakarta 2001
Jhinapiya Thera, Mengapa bermeditasi, Pemuda Tridharma
Indonesia, Jakarta, 1976
Khaharuddin J. Pandita, Bhavana, Yayasan Buddhayana, Jakarta,
1981
Ven Mahasi Sayadaw, 40 Mata Pokok Dalam Meditasi Buddhis,
Buddhis Magazines Press, Surabaya, 1959
............., Buku Pelajaran Agama Buddha Untuk SLTA (Kelas
II), Ariya Surya Chandra,1997
KONSEP MASYARAKAT BUDDHIS, HUKUM DAN HAK – HAK ASASI
MANUSIA MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA
Oleh Bhikkhu Vajhiradhammo
A. Konsep Masyarakat Buddhis
Kehidupan
manusia selalu berupaya untuk memperhatikan nilai-nilai, kemampuan, martabat,
kebebasan dan kesejahteraan. Sebagai petunjuk atas sikap Buddha terhadap
kepentingan dalam masyarakat Buddhis selalu mengedepankan kebenaran, keadilan
dan kejujuran serta belas kasih sebagai ciri dalam konsep masyarakat Buddhis.
Menuju pada kedisiplinan, yang menyangkut segi duniawi dan spiritual untuk
dapat dipraktekan dengan suatu usaha. “Demi untuk kesejahteraan, kebahagiaan
dan kebahagiaan banyak orang, demi kasih sayang bagi dunia, demi kebaikan dan
kedamaian serta kebahagiaan para dewa dan manusia” (D. iii.127) sebagai dasar
merupakan sikap kedisiplinan moralitas dan etika dalam masyarakat.
Sebagai
umat Buddha yang berada di tengah-tengah masyarakat yang luas, sangat erat
hubungannya dengan segala bentuk kehidupan sosial. Suatu pandangan yang berat
sebelah apabila mengatakan Agama Buddha hanya bersangkut-paut dengan pembebasan
diri sendiri, terhadap kehidupan spiritual. Kemudian mendorong orang untuk
melepaskan diri sama sekali dari keterlibatan kehidupan vihara atau
mengasingkan diri, tanpa memperdulikan orang lain dan tanpa berbuat sesuatu
yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat.
Sang
Buddha dan Bhikkhu meninggalkan keramaian masyarakat dengan tujuan untuk
memperoleh pengertian yang baru mengenai kehidupan. Untuk mendapatkan kedudukan
mereka yang menguntungkan di luar masyarakat diharapkan akan dapat mempengaruhi
masyarakat yang ditinggalkan, sehingga untuk bersama-sama merenungkan keadaan
atau permasalahan masyarakat yang dihadapinya, mengembangkan dan mengendalikan
pikiran menuju cita-cita dalam kehidupan ini yang lebih baik.
Kehidupan
masyarakat Buddhis, interaksi pribadi dan masyarakat adalah sangat berkaitan
dan saling mendukung, karena kemajuan pribadi tidak bisa terlepas dengan
keadaan orang lain. Hal ini ditekankan oleh Buddha dalam pembinaan terhadap
para pengikutnya, maka seorang sarjana Buddha, Gokhale, menerangkan bahwa
perkembangan masyarakat Buddhis berlangsung dalam tiga tahapan yaitu :
1.
Tahap Isolasi dimana seseorang meninggalkan kehidupan
berumah tangga, mengasingkan diri dengan tujuan untuk melatih diri dalam
kehidupan pengembangan spritual menuju pembebasan “selagi kehidupan rumah
tangga merupakan tekanan, kehidupan bertapa bagaikan menghirup udara yang segar
dan bebas” (A. II.208; M.I.344).
2.
Tahap Bergaul dengan terbentuknya Sangha, yang
berhubungan dengan umat perumah tangga merupakan kehidupan yang harmonis yang
saling mendukung menuju cita-cita pembebasan ahkir kehidupan “Perumah-tangga
maupun mereka tak perumah-tangga, pada dasarnya saling bergantung satu sama
lain, bersama-sama mencapai pemahaman Dhamma yang sejati, keadaan batin yang
tentram, damai,.......dan bahagia yang diharapkan” (It. II.112).
3.
Tahap Transformasi, dimana Agama Buddha sebagai kekuatan
spiritual dan sosial yang menggariskan pada etika, aturan dan hukum tingkah
laku kehidupan sosial, hal ini tentunya disesuaikan dengan etika sosial
masyarakat yang ada (Wowor Cornelis. 1997 : 11).
Buddha Dhamma tidak mengajarkan
manusia untuk melarikan diri dari bentuk kenyataan hidup yang wajar, melainkan
mendorong untuk menghadapi dan menyelesai permasalahan hidup dengan baik serta
bijaksana. Dalam konteks komunitas masyarakat Buddhis selalu berhubungan
bersama dan bersosial, dimana kehidupan bermasyarakat setiap orang secara
langsung maupun tidak langsung saling berhubungan satu dengan yang lainya yang
sangat erat sekali.
Berdasarkan pada bentuk pandangan
diatas, sang Buddha dalam pembinaan kehidupan masyarakat Buddhis, baik perumah
tangga maupun kehidupan tanpa perumah tangga selalu menggariskan etika sosial
atas dasar persaudaraan dan kasih sayang yang timbal balik antar sesama mereka
dalam hubungan sosial, serta terus menerus mendorong mereka mengembangkan
tenggang rasa, agar dapat hidup berdampingan secara damai dan bahagia. Dengan
demikian kesejahteraan perumah tangga diperhatikan oleh Sang Buddha. Itulah
sebabnya banyak ajaran Buddha selalu berhubungan dengan para umat
perumah-tangga sebagai pengikut yang setia dalam memenuhi kebutuhan hidup demi
kesejahteraan itu melaksanakan dan hidup sesuai dengan ajaran Buddha.
B. Hukum Sebagai Aturan
Hukum merupakan landasan atau
aturan dalam kehidupan manusia sehingga dapat hidup saling berdampingan satu
sama lain dengan penuh kedamaian dan ketentraman. Hukum menurut W. Luypen, yang
sering kali dikemukakan adalah sedikit-dikitnya sebagai kasih sayang,
sedikit-dikitnya merupakan etika dalam mengayomi kehidupan ini, hukum sebagai
kasih sayang berkaitan erat tentang hubungan-hubungan pribadi, dari seseorang
dengan orang-orang lain yang pada dasarnya sangat terbatas jumlahnya namun pada
kekhususannya perorangan. Bahkan secara makro hubungan orang-orang yang hidup
bersama dan tak dapat dikenal bersama-sama dapat berhubungan dengan baik, dalam
suatu ikatan hukum. Di sini sesungghunnya hukum juga merupakan etika yang
bergerak dalam suasana rasa saling menghormati sesama manusia pada umumnya.
Namun hukum bukan kasih sayang. Namun hukum adalah suatu lembaga sosial yang
menentang segala bentuk penindasan dan yang mengembangkan suatu hubungan
pegakuan akan kebebasan setiap orang. Tujuan itu tiada berbatas, walaupun dalam
pelaksanaanya yang sesungguhnya dia memang selalu tetap terbatas (Scheltens
1984 : 69).
Hukum
dalam kenyataanya merupakan pelaksanaan keadilan yang minimal, namun hukum juga
ditujukan pada kadar maksimum keadilan, tetapi karena faktor-faktor lain yang
harus dihadapi oleh hukum pada dasarnya, yaitu kemungkinan teknis, persetujuan
dan juga struktur peristiwa yang terjadi dan yang dihadapi oleh setiap
individu. Pada saat ini dunia dalam keadaan kacau, nilai etika diputarbalikan.
Kekuasaan skeptisisme materialistis telah mengubah pisau bedahnya pada konsep
tradisional yang dianggap sebagai kualitas manusia. Karena etika berhubungan
dengan tindakan manusia yang berkaitan dengan dirinya dan sesamanya.
Ajaran
Buddha mengenai hukum berkaitan erat dengan hukum perbuatan yang tidak bisa
terlepas dari ajaran mengenai hukum ketergantungan (paticca-samuppada). Hukum
tersebut dalam bentuk aslinya menerangkan kondisi sebab-akibat yang menyebabkan
penderitaan manusia, juga kondisi-kondisi yang menghasilkan lenyapnya
penderitaan. Secara ringkas ajaran Buddha dalam dari segala hal yang mempunyai
sebab, Sang Tathagata menerangkan sebabnya, dan juga lenyapnya sebab itu.
Itulah ajaran seorang manusia pertapa yang Agung. Dalam sisi lain Buddhisme
menekankan pada prinsip kehidupan yang sosial dalam etika.
Etika
umat Buddha bukanlah patokan asal-asalan yang ditemukan orang untuk tujuan
manfaat sendiri, namun etika umat Buddha juga tidak berlandaskan pada adat
sosial yang berubah tetapi pada hukum alam yang tidak berubah. Nilai-nilai
etika umat Buddha pada hakekatnya adalah bagian dari alam dan hukum tetap sebab
dan akibat (karma). Fakta sederhana bahwa etika umat Buddha berakar hukum alam
membuat prinsip-prinsip berguna dan tetap diterima oleh dunia modern.
Etika
umat Buddha bertujuan praktis menuntun orang menuju ahkir kebahagiaan yang
tertinggi. Dalam umat Buddha menuju pembebasan yang dilakukan dengan realisasi,
setiap individu dianggap bertanggung jawab untuk keberuntungan dan kerugian
sendiri dalam pemahaman dan usahanya. Keselamatan umat Buddha merupakan hasil
pengembangan moralitas setiap individu sebagai usaha pembebasan. Secara
konsekwen etika umat Buddha bukan merupakan perintah apa pun yang memaksa
manusia untuk mengikutinya. Buddha telah menasehati manusia mengenai kondisi
yang paling bermanfaat maupun yang tidak bermanfaat dalam jangka panjang
(Dhammananda Sri 2002 : 182).
Perbedaan
antara yang baik dan buruk di dalam Buddhisme sangat sederhana, semua tindakan
yang memiliki akar dalam ketamakan, kebencian, dan keserakahan yang timbul dari
keegoisan. Tindakan ini tercela atau buruk (akusala karma). Semua tindakan yang
berakar dalam kemurahan hati, kasih sayang dan kebijaksanaan itu mulia (kusala
karma) kriteria baik dan buruk berlaku pada aksi pikiran, ucapan dan perbuatan
yang dilakukannya.
C. Pengertian Hak – Hak Asasi Manusia
Hak
asasi manusia berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kondratnya,
jadi hak-hak yang dimiliki sebagai manusia. Maka kita tidak boleh mengecualikan
kelompok-kelompok manusia tertentu. Sudah melekat pada pengertian hak-hak sasai
manusia itu sendiri, bahwa hak-hak asasi manusia harus dipahami dan di mengerti
secara universal. Memerangi atau menentang universalitas hak-hak asasi manusia
berarti memerangi dan menentang hak-hak asasi manusia. Hak-Hak Asasi Manusia
merupakan kewenangan yang melekat pada manusia sebagai manusia, yang harus
diakui dan dihormati oleh sesama manusia maupun pemerintah dimana ia tinggal.
Manusia
mempunyai derajat yang luhur sebagai manusia. Manusia mempunyai budi pekerti
dan karsa yang merdeka. Manusia sebagai manusia memiliki martabat dan derajat
yang sama dan dengan demikian memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
sama. Jadi Hak-Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak fundamental yang melekat
pada kodrat manusia sendiri dalam kemanusiaanya. Kemanusiaan setiap manusia
bernilai sangat tinggi dan unik. Kemanusiaan setiap manusia merupakan suatu ide
yang luhur dan menghendaki supaya manusia dapat mengembangkan dirinya.
Pengembangan diri ini sebagai manusia adalah tujuan hidup manusia. Hak-hak ini
ditegaskan adalah universal, dimana ada manusia disitu pasti ada hak-hak asasi
manusia dan harus dihargai dan dijunjung tinggi (Setiardja Gunawan 11993 : 25).
Sikap
tersebut merupakan langkah pendekatan dalam kehidupan pengembaraan sebagai
manusia untuk saling hidup bertoleransi. Nasehat Sang Buddha adalah mari kita
hidup dengan bahagia, tidak membenci mereka yang membenci kita. Di antara
mereka yang membenci kita, mari kita hidup bebas dari membeci. Mari kita hidup
dengan bahagia dan bebas dari penyakit. Mari kita hidup dengan bahagia dan
bebas dari ketamakan, di antara mereka yang tamak.
Buddhisme
memandang Hak-hak asasi manusia tidak hanya menyangkut interaksi-aksi antar
umat manusia, tetapi berhubungan dengan alam sekitar. Apabila alam sekitarnya
rusak maka umat manusia akan menghadapi malapetaka. Tidakkah alam juga memasuki
hak asasi sendiri ? Agama Buddha sangat menaruh perhatian terhadap hak asasi
setiap bentuk kehidupan hingga mahluk sekecil apa pun. Agar persoalan Hak asasi
manusia dapat didudukkan pada tempatnya secara benar. Manusia harus memiliki
internal yang bersifat spiritual, bebas dari keserakahan, kebencian dan
kebodohan atau pandangan yang keliru. Tentunya mereka selalu berjuang untuk
menegakkanya dan tidak boleh dipengaruhi oleh perasaan benci dan permusuhan.
D. Prinsip Hak Asasi Manusia
Setiap pernyataan hak-hak asasi
manusia sesungguhnya martabat yang terkandung didalamnya yang dikemukakan
sebagai bentuk prinsip dasar hukum. Martabat manusia ini diperoleh manusia dari
kebebasan maupun kemandiriaanya. Karena manusia dapat memiliki hidupnya, maka
pemiliki itu pun harus dipercayakan kepadanya. Landasan hak-hak asasi manusia
merupakan tolak ukur setiap penindasan horizontal diantara manusia, tapi juga
melarang campur tangan pemerintah yang terlalu banyak dalam kehidupan pribadi.
Prinsip
hak-hak asasi manusia mengukuhkan pada tiap hak manusia. Seperti diakui R.
Marcic dengan mengikuti G. del Cecchio, hak setiap manusia. Sama sucinya dengan
hak jutaan manusia. Prinsip hak tersebut memberikan kepada hukum dasar
kemanusiaan murni, landasan etika manusiawi yang umum. Berdasarkan hal ini
sebenarnya setiap landasan hukum yang teokratis ditolak. Apa yang dinyatakan
sebagai hukum, tidak boleh diambil dari wahyu, kepercayaan atau teologi. Hukum
harus menciptakan suatu masyarakat antara sesama manusia, apa pun juga
keyakinannya, dia merupakan razim tenggang rasa sepenuhnya. Hanya yang tak
dapat dibiarkan ialah penindasan, sikap tak tenggang rasa, sikap tak menghargai
manusia (Scheltens 1984 : 69).
Hak
asasi manusia bukan hanya memiliki pengertian yang anivokal (bermakna satu)
yang harus diartikan analoga dimana ada kesamaan dan titik perbedaan serta
memiliki kategori dimana hak-hak yang dimiliki setiap warga negara dari negara
yang bersangkutan (hak-hak warga negara) dan hak-hak yang pada dasarnya
dimiliki semua yang berdomisili di negara yang bersangkutan (Krisnanda 2003 :
466).
Kenyataanya,
menurut Grotius, semua bagsa menerima prinsip-prinsip yang sama, harus ada
sesuatu sebab yang umum. Sebab umum itu adalah sensus communis, akal sehat.
Secara rasional pula prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam hukum ialah setiap
orang memiliki kecenderungan untuk hidup bersama orang lain dengan damai.
Kecenderungan ini lepas dari karsanya, sebagai landasan obyek seluruh hukum.
Secara deduktif dapat disimpulkan empat prinsip dasar dari prinsip pokok yang
menjadi pilar seluruh sistem hukum alam, yaitu :
1.
Prinsip “milikku” dan “milikmu”. Milik orang lain harus
dihormati dan dihargai.
2.
Prinsip kesetiaan pada janji.
3.
Prinsip ganti rugi, kalau kerugian itu karena kesalahan
orang lain.
4.
Prinsip perlunya hukum karena pelanggaran atas hukum alam
dan hukum-hukum lainya (Setiardja Gunawan 1993 : 82).
Berdasarkan hukum alam yang telah
terdapat dalam bentuk prinsip obyektif, memunculkan juga dalam hak secara
subyektif manusia. Menurut Grotius hak-hak subyektif itu mencakup tentang (1)
hak untuk menguasai dirinya sendiri, yaitu hak kemerdekaan, (2) hak untuk
menguasai orang lain, seperti kekuasaan orang tua terhadap anak mereka, (3) hak
untuk menguasai harta miliknya (Setiardja Gunawan 1993 : 83).
Teori etika umat Buddha terungkap
secara praktis dalam berbagai prinsip atau disiplin yang merupakan panduan umum
untuk menuju arah kemana untuk melangkah menuju keselamatan ahkir. Walaupun
banyak dari prinsip ini dinyatakan dalam bentuk yang negatif, kita tidak boleh
berpikir bahwa moralitas umat Buddha terdiri dari penahanan diri dari kejahatan
saja tanpa diimbangi dengan perbuatan yang baik. Moralitas yang ditemukan dalam
prinsip itu dapat dirangkum dalam tiga prinsip yang sangat sederhana,
“Hindarilah kejahatan, berbuatlah kebajikan, sucikan pikiran inilah nasehat
yang telah diberikan oleh semua Buddha” (Dh. XIV, 183).
E. Pendekatan Agama Buddha Terhadap Hukum
Walaupun peranan mereka sangat
penting, namun peraturan, hukum dan rumusan hak hasil konvensi masyarakat sama
sekali bukanlah jaminan mutlak terhadap kualitas kehidupan manusia dan
perkembangan kebijaksanaan umat manusia serta masyarkat yang adil. Kecuali
kalau peraturan-peraturan ini secara hakiki bersesuaian dengan hukum alam,
diterapkan dengan niat yang baik serta dengan pemahaman tentang tatanan
masyarkat, demi pembelajaran dan pengembangan anggota masyarakat jika jika
tidak, maka mereka takkan mampu menjadi sarana yang dapat menuntun anggota
masyarkat menuju sasaran ahkir yang damai.
Buddhisme
mengakui bahwa hukum dan rumusan hak masyarkat sebelumnya telah menciptakan
ketertiban dalam masyarakat yang mungkin sebelumnya kacau balau. Di dalam
peraturan-peraturan tersebut membantu meningkatkan kesejahteraan baik individu
mupun kolektif. Namun betapapun bermanfatnya ini, bahwa Buddhisme mempunyai
pandangan tentang peraturan, hukum, pegangan hukum dan rumusan hak yang dibuat
manusia hanylah berupa kebenaran (realitas) sekunder. Kecuali kalau mereka
berlandaskan prinsip-prinsip “Dhamma” (hukum, realitas yang sesungguhnya, sebab
akibat yang benar), serta telah diselami oleh orang-orang yang memiliki
pemahaman mendalam atas prinsip-prinsip demikian. Bila tidak, pengembangan
kualitas manusia yang bermakna serta ihwal hidup berdampingan secara damai di
antara sesama manusia baik secara local maupun lingkungan dimana demokrasi
telah menciptakan ketegangan diantara beragam unsure yang bersifat multi
dimensi dan oleh karena itu sangat memerlukan persatuan masyarakat.
Hukum
realitas menurut Buddhisme ada dua tingkat realitas, yaitu sosial dan hakiki,
dimana keduannya memiliki hubungan kausal dan hukum tersendiri. Realitas hakiki
berlaku dimana saja, keberadaannya tidak tergantung pada umat manusia, tetapi dapat
diselami melalui kebijaksanaan manusia (panna). Realitas sosial, di pihak lain,
merupakan kontruksi manusia dimana pegertian dan pelaksaannya bergantung pada
kesepakatan di antara orang-orang yang menciptakannya. Karena umat manusia baik
secara individu maupun secara kelompok tidak dapat hidup terpisah dari alam,
oleh karena itu salah satu persyaratan untuk memperoleh tatanan sosial yang
efektif adalah mempelajarai hukum-hukum di alam serta bijaksana menerapkannya
dalam penciptaan atau perancangan peraturan, hukum dan rumusan hukum hak
masyarakat. Kalau kontruksi sosial ini tidak ini berlandaskan hukum-hukum alam,
maka tatanan sosial bukan hanya memiliki cacat tetapi juga menjadi dangkal dan
tidak berati (Scheltens 1984 : 71).
Hidup
didalam lingkungan demikian, orang-orang pasti akan merasa terasingkan,
terkucilkan, putus asa atau tertekan, sehingga mungkin mereka akan kehilangan
vitalitas dan kesnggupan untuk mengambil tindakan bagi perbaikan hidup maupun
lingkungan mereka. Oleh karena itu esensi peraturan, hukum dan rumusan sosial
harus secara terus menerus dinilai dan selalu diawasi kembali. Tolak ukurnya
adalah hukum-hukum alam.
Buddhisme
memandang terhadap hukum, peraturan dan pegangan hukum maupun rumusan hak masyarakat yang bermakna bukan
hanya harus mencakup kebenaran hukum alam, tetapi juga mampu mendorong orang
meningkatkan kualitas diri. Sebagaimana dalam Sangha komunikasi para bhikkhu,
terhadap peraturan, hukum dan rumusan hak ditetapkan secara seksama agar para
bhikkhu memiliki kesempatan sebesar-besarnya untuk mencapai kondisi batin yang
lebih baik. Pemahaman yang lebih dalam lagi melalui meditasi, realisasi serta
usaha belajar yang giat (Dhammananda Sri 2002 : 185).
Dalam
komunitas demikian, peraturan, hukum dan rumusan hak walaupun oleh kalangan
luar tampak seperti sangat mengekang, namun oleh anggota komunitas Sangha
dipandang sebagai pelajaran atau latihan bagi penyempurnaan diri. Walaupun
Buddhisme mengakui bahwa komunitas demikian mungkin mendekati ideal kalau tidak
mau mengatakan ideal, namun tetap diusahakan adanya hukum, peraturan, pegangan
hukum dan rumusan hak yang positif, yang dapat membantu orang-orang
mengembangkan jasmani dan batin yang sehat serta bijaksana, daripada hanya
menjalankan hukum, peraturan, legalitas dan rumusan hak yang negatif, yang
hanya berkisar pada pengukuhan dan penyingkiran serta mengesampingkan belaka.
F.
Hak – Hak Asasi Manusia Dalam Kesejahteraan Manusia
Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia adalah ihwal dimana umat manusia datang berkumpul bersama dan
bersepakat bahwa setiap individu harus diperlakukan secara terhormat, dengan
penuh pertimbangan dan perlindungan serta diperbolehkan untuk mendapatkan
kesejahteraan dalam menjalani kehidupannya atau dengan kata lain setiap
individuharus diperlakukan dengan “cara yang terbaik”. Umat manusia di sini
meliputi orang-orang di segenap tataran dunia yaitu yang bergabung dalam
perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1945, yang berasal
dari beraneka ragam negara di dunia ini, yang bersepakat dan menetapkan
perundang-undangan di mana setiap individu dapat mengajukan tuntutan secara sah
dan memiliki hak dan perlindungan yang baik. Dimana peraturan
perundang-undangan tersebut dapat menjamin dan berfungsi sebagai standar
kesejahteraan seseorang karena memungkinkannya untuk menjangkau kebaikan dan
semua yang patut untuk di dapatkannya (Payuttho 2000 : 66).
Dari
hasil penjelasan yang tampak dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan peroduk umat
manusia beradab dan berbudaya yang peduli terhadap kehidupan sesamannya, yang
peduli terhadap suka duka sesamannya. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
mencerminkan suatu kesadaran akan pentingnya peraturan dan perundang-undangan
yang dapat dijadikan sebagai landasan hidup bersama yang harmonis dimana
merupakan lambang kemajuan peradaban manusia.
Walaupun
boleh dikatakan Perserikatan Bangsa Bangsa adalah sebagai perakarsa dalam
lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dimana sejarahnya tersebut penuh dengan pelanggaran dan penindasan hebat
yang terorganesir dan sistematis yang juga merupakan pelopor moral dalam
meletakkan dasar-dasar peraturan dan perundang-undangan Hak Asasi Mnusia (HAM)
seperti tampak dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang telah
disepakati bersama (Payuttho 2000 : 71).
Untuk
pelanggaran yang terjadi di antara sesama umat manusia antara masyarakat yang
berbeda, dapat dilihat dengan jelas pada sejarah penjajahan Barat di masa
lampau. Warga negara yang daerahnya dijajah mengalami penindasan dan kekerasan
(hak asasi mereka telah dirampasnya). Dengan melihat pelanggaran yang terjadi
maka muncullah bentuk perjuangan umat manusia untuk berkumpul bersama-sama
dalam merumuskan perundang-undangan mengenai Hak Asai Manusia. Sehingga orang
barat memiliki keahlihan dalam merancang peraturan dan perundang-undangan untuk
melindungi hak mereka sendiri serta mencegah hak mereka dilanggar oleh pihak
lainya.
Faktor
utama penyebab lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah untuk
mencegah pelanggaran hak asasi, sehingga dapat diharapkan dan berfungsi sebagai
alat untuk mencegah orang lain saling menggangu, menjamin seseorang untuk tidak
sesuka hati mencabut kesempatanan orang lain dalam bertahan hidup atau memiliki
kesempatan terbaik untuk eksis dan dapat menjangkau keuntungan dan semua
kebaikan yang ada di dalam masyarakat atau di dunia. Sehingga masalah Hak Asasi
Manusia akan terjaga dan tidak berahkir cukup di sini saja.
Permasalahan
Hak Asasi Manusia bukan saja berhubungan dengan manusia akan tetapi dekat
sekali dengan alam sekitar. Sesungguhnya dengan memperhatikan lebih dekat
terhadap alam sekitar bertujuan untuk
membuat kehidupan manusia menjadi lebih bahagia. Umat manusia lebih peduli
terhadap lingkungan menjadi lebih bahagia. Umat manusia peduli terhadap lingkungan
hidup dan alam karena mereka peduli terhadap diri mereka. Melindungi lingkungan
hidup adalah juga melindungi diri mereka, memungkinkan manusia bertahan hidup
dan hidup bahagia. Apabila alam sekitar dirusak, maka umat manusia akan
menghadapi malapetaka. Walaupun manusia pada dasarnya menduduki dan menjadikan
tanah sebagai sumber kekayaan atas milik hak mereka. Namun permasalahannnya
adalah bagaimana manusia memperlakukan hak milik mereka dan apakah hal tersebut
menimbulkan kerusakan pada tanah airnya atau dunia.
Sebagai
contoh dalam membesarkan anak, orang tua tidak hanya bertindak berdasarkan hak
asasi anak. Tetapi bahkan memberi lebih banyak daripada standar minimum yang
menjadi hak anak tersebut. Orang tua menjaga anak mereka penuh cinta kasih dan
kasih sayang bukan hanya secara khusus memikirkan sekedar hak asasi anak.
Dengan alam pikiran seperti “orang tua yang memperlakukan anaknya” maka umat
manusia akan mampu untuk hidup secara harmonis.
Bentuk
permasalahan yang muncul dalam hak asasi manusia khususnya hubungan anak dan
orang tua, sebagai contoh di Amerika Serikat bahwa apabila orang tua salah
dalam memperlakukan anak mereka, maka anak-anak dapat memanggil polisi atau
memberitahu seorang guru untuk memanggilkan polisi dan menahan orang tua mereka.
Konsep hak asasi manusia merupakan satu sisi dari sebuah mata uang atau hanya
mengukur tingkat kemajuan tertentu dari umat manusia dan pada kenyataanya
terjadi sekenario ekstrim dimana sejumlah masyarakat tidak saling menghormati
kehidupan, keselamatan dan kebebasan, pelanggaran terhadap kehidupan, hak milik
dan kebebasan serta kemerdekaan pribadi senantiasa terjadi. Sebaliknya dibagian
masyarakat lainnya, hak-hak selalu dituntut, hidup semata-mata menuntut hak
asasi.
Kedua
ekstrim tersebut sama-sama menimbulkan masalah. Bagi mereka yang tidak
mempedulikan hak orang lain, jelas sekali akan menimbulkan persoalan dan akan
sangat merugikan masyarakat umat manusia. Bagi umat Buddha, tentu saja bisa
mengambil manfaat dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang di
dalamnya mengandung prinsip dasar serta butiran-butiran praktek yang baik.
Dengan meperbandingkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dengan Pancasila
(Buddhis). Dapat dilihat bahwa Pancasila berfungsi sebagai tonggak utama
masyarakat. Apabila umat manusia bertindak sesuai dengan kelima sila tersebut
maka tidak perlu lagi akan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Bila diamati
lebih mendalam sejumlah ketentuan yang dinyatakan dalam pengejawantahan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dari Pancasila ini terhadap Sigalovada
Sutta, disamping mencerminkan enam arah yang berhubungan pada arah timur atau
arah depan (melambangkan ibu dan ayah), arah selatan atau arah kanan
(melambangkan hubungan guru dan murid), arah barat atau arah belakang (melambangkan
hubungan orang tua dan anak), arah utara atau arah kiri (melambangkan hubungan
dengan sahabat-sahabat), arah bawah melambangkan hubungan pelayan dan pekerja
dan arah atas melambangkan hubungan pertapa dan guru-guru spiritual (Payuttho
2000 : 78).
Dalam
bentuk pendekatan Buddhisme, ketentuan yang terdapat dalam Deklarasi Universal
Hak Asasi hakikatnya memiliki prinsip yang sama dengan Pancasila Buddhis dan
enam arah. Namun dalam masyarakat hal ini belum cukup, yang merupakan standar
sosial minimum setidak-tidaknya dapat melindungi dunia agar tidak terbakar
dengan kobaran api. Memungkinkan manusia untuk tinggal bersama. Mengembangkan
kehidupan manusia menuju taraf yang tinggi melalui sila, samadhi dan panna. Hak
asasi manusia itu ibaratnya masih dalam taraf pada sila.
Harus di ingat bahwa
Pancasila atau sila ada dalam tataran etika, konsep Hak Asasi Manusia ini
merupakan tinjauan dari sudut perlindungan orang lain. Dengan bentuk
penekanannya pada perlindungan dan penuntutan hak asasi. Dengan melihat cara
pandang demikian saja akan menghadirkan etika negatif Hak Asasi Manusia. Karena
itulah perlu mengembangkannya dengan etika yang positif, yang konstruktif. Jadi
Hak Asasi Manusia dalam Deklarasi Universal Hak Asai Manusia merupakan dasar,
landasan yang memungkinkan umat manusia menjalani kehidupan yang bajik serta
hidup dalam kedamaian dan keharmonisan.
G. Simpulan
Setiap kehidupan manusia dapat timbul rasa
takut, merasa bersalah, takut disalahkan oleh orang lain, takut terhadap hukum,
dan juga takut menghadapi akibat-akibat yang tidak diinginkan dalam kehidupan
yang akan datang (A.II, 121). Perasaan ini merupakan langkah pengontrol
kehidupan sosial yang bersumber dari hati nurani. Prinsip moral yang menyangkut
kehidupan manusia berkaitan dengan hai nurani adalah tahu malu (hiri) dan takut
akan akibat perbuatan yang salah (ottappa) yang merupakan cahaya dalam
menerangi dan melindungi dunia ini (A.I, 51).
Kebenaran
Dharma merupakan pertentangan nilai dari kebaikan dan kejahatan atau cinta
kasih dan kebencian, sebagai tema yang mendasar. Orang melakukan kebaikan dan
menyingkirkan kejahatan dengan penuh cinta kasih berdasarkan kehendak yang
membawa akibat sebagai hasil dari sebab yang telah terjadi yaitu karma. Karma
bukanlah hukum pembalasan, tetapi hukum alam.
Pemahaman
demikian bagi umat Buddha dalam perkembangan dan kemajuan diri, memiliki batin
yang luhur (Brahma-vihara), yang melaksanakan pancasila. Pelaksanaan pancasila
berarti menghargai dan melindungi hak-hak asai manusia (HAM).lebih dari pada
itu hak manusia tentunya memiliki kewajiban. Apa yang dimaksud dengan kewajiban
seorang anggota masyarakat buddhis, yang dikemukakan oleh Buddha dalam
Sigalovada-sutta sebagai pemujaan dan melindungi keenam arah. Walaupun hak
asasi manusia diakui tanpa keharusan tentunya berhubungan dengan kewajiban
orang yang bersangkutan, sebagai hubungan atau konsep kehidupan masyarakat
buddhis.
Pengalaman
mengajarkan bahwa orang yang melaksanakan kewajibannya terhadap pihak lain akan
mendapatkan dirinya terlindungi dan hidup dengan aman di dalam kehidupann
masyarakat.
Dalam
menciptakan hidup seseorang lebih baik, sekaligus dunia penuh kedamaian,
sebagaimana yang dikemukakan kepada Kutadhanta, Buddha mengajarkan bentuk
pengorbanan sosial demi kesejahteraan banyak orang. Ia menukar kurban bagi para
dewa menjadi kurban rakyat kecil yang membutuhkan pertolongan.
Reffrensi :
Cornelis Wowor, 1997, Pandangan Social Agama Buddha, Arya Surya Candra,
Jakarta.
Krisnanda Wijaya-Mukti, 2003, Wacana Buddha-Dhamma, Yayasan
Sharma Pembangunan, Jakarta.
Gunawan Setiardja, 1993, Hak-Hak Asasi Manusia Ideology Pancasila,
Kanisius, Semarang
Phra Dhammapitaka (Payutto), 2000, Hak Asasi Keharmonisan Atau
Disintegrasi Social, Asosiasi Rajamuni Samiromo, Medan.
Sri Dharmananda,2002, Keyakinan Umat Buddha, Karaniya, Jakarta.
Scheltens,
1984, Pengantar Filsafat Hukum, Erlangga, Jakarta.
KEYAKINAN DALAM BUDDHA DHAMMA
Oleh Bhikkhu Vajhiradhammo
A.
Pendahuluan.
Sebagai umat beragama Buddha, dalam upaya untuk dapat menghayati dan
mengamalkan Buddha-Dhamma secara bulat dan utuh hendaknya dapat memahami ajaran
Buddha dengan baik. Dasar kerangka dalam memahami ajaran Buddha ini adalah
memilki keyakinan, sila dan bakti yang kuat. Tiga kerangka dasar agama Buddha
ini merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lainnya. Selaku umat Buddha pun wajib memilki iman yang ada di
dalam agama Buddha disebut saddha yang berarti keyakinan, kepercayaan yang
dimilki oleh umat buddha. Berdasarkan atas pengertian yang benar, bukan
kepercayaan yang membuta yang tidak berdasarkan atas pengertian yang benar.
Banyak orang lain kebingungan dalam mencari suatu keyakinan. Sebagai
penganut kepercayaan yang lain dengan penuh keyakinan untuk mempropagandakan “percayalah
kepadaNya maka engakau akan selamat”. Ahkirnya diri sendiri yang merasa
kebinggungan untuk mendengarkan dari berbagai arah yang tak menentu. Namun saya
yakin Anda semua pasti setuju bahwa keyakinan kepada perlindungan itu tidak
cukup ditimbulkan dari hasil propaganda saja, akan tetapi harus melalui proses
berpikir yang positif. Sekarang pelajari dengan baik satu-persatu secara
positif, sehingga merasa yakin seyakin-yakinya, tidak secara membuta atau
terpengaruh dari rayuan dan propaganda yang ada di luar, sekarang siapakah yang
sebenarnya menjadi pedoman dalam belajar ajaran Buddha?
Memilki keyakinan adalah suatu kewajiban yang mengarah pada praktek nyata
dalam pengembangan moralitas (sila) dalam kehidupan sehari-hari. “Memiliki
pengetahuan luas dalam sila adalah salah satu dari saddhama (keyakinan teguh pada dhamma) yang membuat seseorang dapat
menyingkirkan kejahatan, mengembangkan kebajikan, menyingkirkan perbuatan
bernoda, mengembangkan perbuatan yang tak bernoda, dan menuntun diri menuju
kesucian” (A. 1V.27). Sila adalah perbuatan
yang baik, yang dilakukan melalui pikiran, ucapan dan perbuatan badan jasmani
yang tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain bakkan mahluk yang lainnya.
Manusia susila menurut agama Buddha ialah manusia yang dapat berkata dan
berbuat serta berpenghidupan yang benar.
Selanjutnya sebagai umat Buddha wajib memahami dan melaksanakan tata
kebaktian dan upacara agama Buddha, yang termaktup dalam ajaran tentang bakti.
Bakti merupakan bentuk ritual, puja bakti, sembahyang yang semua dimilki oleh
setiap agama menuju pada tata kebaktian, tata ritual maupun tata upacara dalam
agama. “Buddha juga menganjurkan agar manusia memiliki rasa kepercayaan diri,
hidup saleh, bersemangat dan tidak bermalas-malasan, waspada seimbang dan
memiliki pengertian benar baik melalui pikiran, ucapan dan perbuatan”
(A.V.335).
B.
Pengertian Keyakinan.
Keyakinan (saddha-bahasa pali atau sradha-bahasa sanskerta) memilki makna
sebagai keyakinan yang nyata atau kepercayaan yang benar (Confidet). Dalam
ajaran Buddha sesungguhnya menekankan suatu kepercayaan yang timbul oleh suatu
yang nyata pula. Inilah yang disebut saddha, atau dapat diartikan sebagai
keyakinan yang telah mencakup pengertian percaya didalamnya. Jadi kata saddha
itu dapat diartikan sebagai (1) keyakinan (2) kepercayaan-benar (3) keimanan
dalam bakti.
Saddha bukanlah suatu kepercayaan yang membuta, melainkan suatu
kepercayaan seperti yang dimilki para siswa dalam sekolah menengah, dimana
siswa-siswa yakin akan adanya atom dan molekul. Tetapi mereka tidak dapat
membuktikannya. Mereka menerima itu karena percaya kepada sarjana yang telah
menguraikannnya. Tetapi kepercayaan ini disebut kepercayaan membuta. Karena
kepercayaan juga akan timbul bilamana tidak dapat melihat sesuatunya dengan
betul dan nyata. Saddha (keyakinan) akan timbul bilamana dapat melihat
sesuatunya dengan betul dan nyata. Tetapi harus dipahami dan diingat bahwa
saddha ini bukanlah suatu kepercayaan seperti yang dimengerti orang pada
umumnya.
Buddha mengajarkan agama yang bebas dari otoritas adikodrati, dan menolak
ketergantungan manusia pada kekuatan diluar diri sendiri. Keyakinanj ini
seharusnya timbul dan berkembang bukan karena takut, tetapi karena memilki
pengertian yang benar. Agama Buddha juga tidak mengenal dikotomi antara akal
dan iman. Iman yang bertentangan dengan akal sehat tak ada bedanya dari
tahayul.
Keyakinan ini adalah kepercayaan atau iman yang berdasarkan
kebijaksanaan. Apa yang diajarkan oleh Buddha sebagai kebenaran yang mutlah,
bukan sesuatu yang masih diragukan atau samara-samar. Tetapi agama Buddha juga
tidak dimulai dengan iman yang membuta atau tanpa dasar (amulika-saddha).
Melalui suatu proses pengembangan hipotesis dan pengujian pengalaman pribadi.
Iman seperti ini berahkir dengan pengukuhan dan kepastian yang disebut iman
rasional tidak kekanak-kanakan (akaravati-saddha).
Keyakinan dalam agama Buddha bukan keyakinan yang membuta berdasarkan
dogma-dogma. Apabila tidak dilaksanakan membawa manusia pada alam neraka.
“Keyakinan dalam Buddha yang paling utama adalah keyakinan kepada Buddha,
keyakinan pada jalan mulia berunsur delapan, keyakinan kepada ketiadaan hawa
nafsu (Viraga) atau Nibbana yang dinyatakan juga sebagai dhamma dan keyakinan
kepada Ariya-Sangha, persaudaraan orang-orang suci” (A.II:34). Buddha
memberikan petunjuk terhadap keyakian adalah datang dan buktikan. Perbuatan
yang memberikan dampak kebahagiaan harus tetap dilaksanakan, tetapi perbuatan
yang membawa penderitaan jangan dilakukan. Buddha menolak ajaran pandangan yang
salah berdasarkan keyakianan yang membuta, dilakukan oleh kaum titiya dan
carvaka yang menggangap bahwa kehidupan manusia akan mengalami kebahagiaan dan
hidup hanya sesaat atau tubuh adalah sumber penderitaan dan harus disiksa.
Menurut Asangga keyakinan itu
mengandung tiga unsur, yaitu (1) keyakinan yang kuat akan sesuatu hal, (2)
menimbulkan kegembiraan yang mendalam terhadap sifat-sifat yang baik, (3)
harapan untuk memperoleh sesuatu dikemudian hari. Keyakinan yang kuat bukan
berarti sebatas percaya seperti yang lazim dikenal oleh kebanyakan orang. Keyakinan
disini menekankan aspek melihat, memahami dan mengetahui. Persoalan akan
percaya akan timbul apabila kita tidak dapat melihat sesuatu dengan jelas.
Begitu melihat dengan sendiri dengan jelas, pada saat itu pula tidak ada lagi
persoalan percaya atau tidak. Dalam ajaran yang bersifat ehipasiko, yang selalu
kita temukan adalah melihat atau membuktikan, sehingga keyakinan memiliki
kepastian, bukan percaya kepada sesuatu yang masih belum jelas benar.
Seseorang yang kuat dalam keyakinan tetapi lemah dalam kebijaksanaan akan
memilki keyakinan yang fanatik dan tanpa dasar. Seseorang yang kuat dalam
kebijaksanaan tetapi lemah dalam keyakinan akan mengetahui bahwa ia bersalah
jika berbuat jahat, tetapi sulit untuk menyembuhkannya bagaikan seorang yang
berpenyakitan disebabkan oleh obat itu sendiri. Bila keduanya telah seimbang,
seseorang akan memiliki keyakinan hanya memilki dasarnya. Dengan memilki
keyakinan kepada Buddha, ada yang berhasil mencapai tujuan, ada yang sedang
mendekati tujuan, namun tidak sedikit pula yang tidak berubah nasibnya, Buddha
hanya menunjukan jalan. Orang boleh percaya, tetapi kalau tidak menempuh jalan
itu sendiri tidak akan sampai ketempat tujuan, dan orang yang menyimpang dari
petunjuk jalan akan tersesat jalan ahkirnya sulit mencapai tujuan. Kegembiraan
terhadap sifat yang baik akan ditemukan pada orang-orang yang memiliki
pengertian dan kebijaksanaan. Tidak mungkin orang percaya karena takut dapat
merasakannya. Dan sesuatu pengharapan dari sikap moral manusia mencapai
kesempurnaan lewat jalan kebijaksanaan dan pemusatan pikiran yang bersih dari
dorongan yang keliru.
Sariputra memberikan kesaksian bagaimana seseorang dapat memiliki
keyakinan yang sempurna kepada Tathagatha dan tidak meragukan ajaran-Nya.
Keyakian diuji dengan mengendalikan indria. Dengan keyakianan ini, semangat
kesadaran, konsentrasi, kebijaksanaan yang terus menerus. “Sebelumnya aku hanya
mendengar hal ini, sekarang aku hidup dengan mengalaminya sendiri, kini dengan
pengetahuan yang dalam, aku mampu menembusnya dan membuktikan secara jelas dan
sendiri keindahan itu telah hadir” (S. V : 226).
C. Kekuatan
Keyakinan.
Keyakinan atau kepercayaan adalah kekayaan terbaik yang dapat dimilki
oleh seseorang (S.I,41). Kekayaan yang dimaksudkan tidak hanya harta benda,
tetapi juga sukses dalam kehidupan bersosial,
hingga dapat dilahirkan kembali dialam-alam surga, sebagai puncak dapat
mencapai Nibbana. Orangyang tak tergoyahkan dalam keyakinan mempunyai banyak
kebajikan yang diharga oleh orang-orang yang mulia, akan terus maju dan
berkembang menuju kepantai seberang sehingga lenyaplah segala kekotoran batinya
(S.V’396).
Keyakinan dapat merubah penderitaan menjadi bahagia. Dalam rumusan
sebab-akibat yang saling bergantungan dijelaskan bahwa; penderitaan menimbulkan
keyakinan, keyakinan menimbulkan rasa gembira,
rasa gembira menimbulkan rasa terpesona, rasa terpesona menimbulkan
ketenangan, ketenangan menimbulkan kebahagaiaan, kebahagiaan menimbulkan pemusatan pikiran, pemusatan
pikiran menimbulkan pengetahuan dan pandangan akan segala hal sebagaimana
adanya, pengetahuan dan pandangan akan segala hal sebagaimana adanya
menimbulkan kejenuhan, kejenuhan menimbulkan ketiada nafsuan; ketiada nafsuan
akan menimbulkan pembebasan, pembebasan menimbulkan pemadaman atau tiada lagi
kelahiran kembali. Inilah tujuan ahkir dicapai oleh para arahat (S.II’32).
Menjelang parinibbana, Buddha menyatakan bahwa dengan memilki keyakinan,
mereka yang melakukan ziarah atau melihat atau menghormati stupa Buddha, akan
merasa tenag dan bahagia, keyakinan yng kuat akan membuatnya terlahir kembali
di alam surga kemudian hari (D.II’140-142). Pikiran mendahului segala sesuatu.
Dengan pikiran kita akan mengontrol segala perbuatan dan ucapan seperti
bayangan perbuatan yang didasarkan keyakinan tak pernah meninggalkan orang yang
terlahir kembali dialam surga atau alam manusia. Hal ini seperti khasus saat
meninggalnya Matthakundalini saat menjelang ajalnya tiba menaruh keyakinan yang
kuat kepada Buddha, dan mampu mendorong karma baiknya terlahir di alam surga Tavatimsa
(DhpA.2).
Nagasena menjelaskan kepada Raja Milinda bahwa cirri dari keyakinan
adalah memilki ketenangan dan langkah maju dengan pasti. Ketika keyakinan
muncul, ia akan mampu menghancurkan segala halangan. Tanpa penghalang pikiran
akan menjadi tenang, terang dan bersih. Langkah maju ini juga diukur dari
praktewk maditasi, sehingga mencapai apa yang belum dicapai, mengatasi apa yang
belum teratasi, merealisasi apa yang belum terealisasi (Miln.34).
Keyakinan ini akan memberikan kekuatan dalam diri karena (1) stiap
individu melihat kejadian yang sebenarnya (Ehipassiko), sehingga benar-benar
menimbulkan keyakinan, (2) karena memilki kepercayaan kepada orang yang
mengajarkan Dhamma dari Buddha maka kepercayaan dan keyakinan itu timbul
setelah membaca dan mempelajari riwayat hidup Sang Buddha dan kemudia
menghayati dan mengamalkan ajaran-Nya. (3) karena melihat gejala-gejala atau
tanda-tanda yang muncul, maka mengetahui peristiwa yang akan terjadin. Ketiga
hal ini dapat menimbulkan keyakinan yang terpenting dari pembuktian dan
pengalaman (Ehipassiko) yaitu datang, melihat dan mengalaminya sendiri.
Buddha menjelaskan kepada para siswanya agar meneliti, memahami ajaran
Beliau sehingga mengerti akan kebenarannya tanpa ragu. “Karena itu, warga
Kalama, janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu, atau
oleh karena sesuatu yang sudah merupakan tradisi, atau sesuatu yang
didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang tertulis dalam
kitab-kitab suci, juga apa yang dikatakan sesuai dengan logika atau kesimpulan
belaka, juga apa yang dikatakannya telah direnungkan dengan seksama, juga apa
yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu, atau karena ingin menghormati
seorang pertapa yang menjadi gurumu…tetapi terimalah kalau engkau sudah membuktikannya
sendiri akan membawa banyak manfaat yang lama” (A.III.65).
D. Pokok
Dasar Keyakinan.
Beriman kepada Buddha berarti memilki keyakinan pada penerangan dari sang
Tathagatha (Tathagatabodhi-saddha). Keyakinan ini juga erat hubungannya dengan
hukum karma atau perbuatan (Kamma-saddha), keyakinan terhadap akibat dari karma
(vipaka-saddha), keyakinan bahwa setiap mahluk memiliki karma masing-masing dan
bertanggung-jawab atas perbuatannya sendiri (kammassakata-saddha). Buddha mengajarkan hukum sebab musabab yang
alami dari semua fenomena di alam semesta bekerja menurut salah satu dasar ilmu
hukum alam yaitu hukum psikologi (citta niyama), hukum fisika (utu niyama),
hukum biologi (bija niyama), hukum moral (kamma niyama), dan
hukum alam semesta (dhamma niyama) (DA.II.432).
Buddha juga mengenalkan hukum sebab musabab
yang saling bergantungan dalam fenomena manusia. Buddha menjelaskan untuk
memperleh kemajuan dan perkembangan serta kesejahteraan haruslah di ciptakan
aturan-aturan, norma-norma, hukum-hukum dan bahkan mengubah yang sudah
merupakan tradisi. Menempatkan suatu aturan melalui penyelidikan yaitu baik dan
buruknya, apakah menimbulkan kesakitan (byapada) untuk diri sendiri
maupun orang lain atau kedua-duanya,maka hal demikian adalah buruk dan baik (akusala-kusala) (M.I.414).
sebagai umat Buddha wajib memiliki keyakinan yang disebut sebagai Sad
Saddha, (1) Keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa yaitu Sanghyang Adi
Buddha. (2) Keyakinan terhadap Tiratana/Tri Ratna (Buddha Dhamma dan Sangha.
(3) Keyakinan terhadap adanya Bodhisattva, Arahat. (4) Keyakinan terhadap
adanya Hukum Kesunyataan. (5) Keyakinan terhadap Kitab Suci yaitu Ti
Pitaka/Tripitaka. (6) Keyakinan terhadap adanya Nibbana (Nirvana) sebagai
tujuan terahkir umat Buddha.
Umat Buddha (khususnya di Indonesia) berkeyakinan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dan menyebut Tuhan Yang Maha Esa berbeda-beda tetapi pada hakekatnya
adalah satu dan sama. Sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa, antara lain Sanghyang
Adi Buddha, Hyang Tathagata, Ynag Esa dan sebagainya walaupun sebutan itu
berbeda, namun hakekatnya Tuhan Yang Maha Esa adaNya. “Ketahuilah O para
bhikkhu, bahwa ada sesuatu yang tidak menjelma, Yang tidak tercipta, Yang
mutlak, duhai para bhikkhu, apabila tidak ada yang tidak dilahirkan, Yang tidak
menjelma, Yang tidak tercipta, Yang mutlak, maka tidak akan mungkin kita akan
dapat bebas dari kelahiran, dari penjelmaan, pemunculan dari sebab yang lalu”
(Ud.VIII,3).
Keyakinan terhadap Tiratana/Tri Ratna sebagai tiga mustika yang sangat
berharga sekali dimana, Buddha telah menunjukkan jalan menuju pembebasan mutlak
(Nibbana) yang harus menjalaninya andalah dalam menuju kehidupan yang bahagia.
Dhamma yang diajarkan Buddha sungguh
sistematik, realistis, mudah diselami oleh semua mahluk, indah pada awalnya, indah
pada pertengahannya dan juga indah pada ahkirnya. Dhamma berarti kebenaran dari
hukum kesunyataan, hukum kebenaran (dhamma niyama) yang sesuai logika. Dhamma
ini diibaratkan sebagai rakit yang dapat digunakan sebagai alat menyebargi
lautan penderitaan agar sampai ke pantai seberang. Sangha yang memberikan
perkembangan yang besar dalam sejarah Buddha-Dhamma hingga sekarang ini, menunjukkan adanya
keterlibatan bhikkhu Sangha sebagai inspirasi pada keyakinan terhadap kebenaran
Buddha.
Keyakinan terhadap adanya
Bodhisattva, Arahat yang memilki sifat-sifat luhur (paramita) membawa
kebahagiaan lahir dan batin. Sifat luhur ini adalah (1) amal kebajikan dan
pengorbanan untuk kepentingan Dhamma (danaparamita). (2) sifat luhur dalam
kemurnian hati nurani yang senantiasa mendorong untuk berbuat baik
(Silaparamita). (3) Semangat mendorong dan selalu aktif berkarya, bekerja,
berusaha dan belajar (Viryaparamita). (4) Menumbuhkan kesabaran dalam
menghadapi segala macam permasalahan dan tantangan (Ksantiparamita). (5)
mengembangkan pikiran menuju kebijaksanaan dalam Samadhi yang tenang
(Dhyanaparamita). (6) Selalu berkata, berpikir dan berucap yang benar
(Prajnaparamita). Inilah sifat luhur yang dimilki oleh bodhisattva (calon
Buddha) dan para arahat segala perbuatan, pikiran dan ucapannya membawa
kebahagiaan.
Menurut pandangan agama Buddha Kesunyataan (sacca) berarti apa yang sesungguhnya,
dalam bahasa sansekerta disebut satya artinya fakta yang tidak dapat dibantah. Empat Kesunyataan Mulia (catari ariya saccani) merupakan intisari
ajaran Buddha ada empat kesunyataan sebagai dasar ajaran Buddha yang berhubungan denga
apa yang disbut makhluk. Menyadari kesunyataan adalah menyadari dan menembus ke
dalam sifat sejati keberadaan, termasuk pengetahuan penuh akan diri sendiri.
Jika mengenali bahwa semua benda atau fenomena itu bersifat fana, tidak
memuaskan, dan tidak mengandung kenyataan inti apapun, namun kebahagiaan sejati
dan abadi tidak dapat ditemukan dalam kepemilikan materi dan pencapaian
duniawi, kebahagiaan sejati dicari hanya melalui pemurnian mental dan
pengembangan kebijaksanaan.
Sebagai umat Budhha beryakinan terhadap kebenaran Kitab Suci yaitu Ti
Pitaka/Tripitaka, walaupun baru ditulis 400 tahun setelah Sang Buddha maha
parinibbana. Namun kebenaran dari kitab suci Tri Ppitaka ini dapat dijamin
kebenarannya, karena ditulis oleh para siswa Buddha yang telah mencapai tingkat
kesucian arahat. Suatu ketika Sang Buddha berada dipinggiran sebuah hutan,
beliau lalu mengambil segenggam daun yang berserakan di tanah dan berkata;”
Wahai para Bhikkhu..... yang mana lebih banyak daun yang ada di hutan atau yang
ada pada genggaman saya?”. Bhikkhu pun menjawab daun dihutanlah jauh lebih
banyak Bhante. Sang Buddha melanjutkan “Begitu pula Dhamma yang telah diketahui
adalah sebanyak daun yang ada di hutan tetapi Dhamma yang kuajarkan kepada-Mu
hanyalah bagaikan segenggam daun ini, tetapi ini adalah cukup untuk membebaskan
dari penderitaan”.
Keyakinan terhadap adanya Nibbana
(Nirvana) sebagai tujuan terahkir umat Buddha, adalah suatu keadaan yang telah
diajarkan oleh Buddha. Nibbana adalah yang pasti padamnya keinginan nafsu
(tanha) telah lenyap total. Seperti api telah padam karena kehabisan bahan
baker. Nibbana adalah padam karena keinginan nafsu, ikatan-ikatan nafsu
kekotoran batin, Nibbana adalah kesunyataan abadiyang tidak dilahirkan tidak
termusnahkan, ada dan tidak berubah. Nibbana juga disebut sebagai asankhata
dhamma, keadaan gelap yang hanya diketahui jika diketahui telah adanya terang.
Menyadari dukkha berarti menyadari asal mula dukkha, lenyapnya dukkha, dan
jalan untuk menuju lenyapnya dukkha. Lenyapnya dukkha berarti pula lenyapnya
sedih dan gembira, padam segala kekotoran bati, nafsu duniawi.
E. Nilai
Religius Keyakinan Sebagai Perlindungan.
Langkah awal yang diambil oleh setiap umat Buddha dalam memasuki jalan
keselamatan adalah menyatakan keyakinannya dengan pengakuan berlindung kepada
Triratana (Tisarana) “Aku berlindung kepada Buddha (Budddham saranam gacchami),
aku berlindung kepada Dhamma (Dhamma saranam gacchami), dan aku berlindung
kepada Sangha (Sangham saranam gacchami)” . berlindung kepada Triratna adalah
yakin dengan sepenuh hati kepada Triratna sebagai pembawa inspirasi, penuntun
hidup, bahkan menjadi tujuan hidup. Buddha bersabda; “Ia yang berlindung pada Buddha,
Dhamma, dan Sangha dengan penuh kebijaksanaan dapat melihat empat kesunyataan
mulia, yaitu: Dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukkha serta jalan mulia
berfaktor delapan yang menuju akhir dukkha. Sesungguhnya itulah perlindungan
yang utama, dengan pergi mencari perlindungan seperti itu, orang akan bebas
dari penderitaan (Dhammapada XIV ; 190-192).
Jelas bahwa pergi berlindung kepada Buddha bukan suatu sikap yang
positif, pasrah pada kehendak di luar diri sendiri. Buddha mengajarkan agar
kita tidak menyandarkan nasib kepada mahluk lain, dan menjadi pelindung bagi
diri sendiri dan berpegang teguh pada kebenaran Dhamma. “Peganglah
teguh Dharmma sebagai pelita, Peganglah teguh Dharma sebagai pelindungmu, ...”
dengan hal itu berarti seseorang menjadi pelita dan pelindung bagi diri
sendiri, sehingga tidak menyandarkan nasib kepada makhluk lain (D.II. 100).
Aspek keyakinan yang disertai pernyataan berlindung ini mempunyai arti
dalam tiga aspek, (1). Aspek kemauan, yang menghendaki adanya kesadaran dan tindakan
yang aktif, bukan pasif menunggu berkah dari atas; (2) aspek pengertian, yang
menghendaki pemahaman terhadap hakekat perlindungan dan perlunya perlindungan,
yang memberikan harapan dan yang menjadi tujuan; (3) aspek perasaan, yang
mengandung unsur percaya keiklasan, syukur dan cinta kasih, yang menimbulkan
bakti, mendorong pengabdian dan memberikan ketenangan, kedamaian, semangat,
kekuatan dan kegembiraan dalam hidupnya.
Buddha memiliki pengaruh religius yang sangat besar pada waktu
kehidupannya setelah pencapaian penerangan sempurna. Masuknya lima pertapa
teman seperjuangan Sidharta Gautama ahkirnya menjadi pengikut Buddha setelah
mendapatkan ajaran tentang kebenaran mulia bahwa fenomena kehidupan ini telah
tersimbak dan hanya mereka yang masih memiliki banyak kekotoran batin dapat
menikmati dan melaksanakan Dhamma hingga mencapai pembebasan.
Pergi berlindung kepada Buddha mengandung makna menjunjung tinggi Buddha
yang diyakini yang telah mencapai penerangan sempurna dengan kekuatan sendiri
Paritta Buddhanussati, “Demikianlah
Sang Baghava, Yang Maha Suci yang telah mencapai peneranganan sempurna,
sempurna pengetahuan serta tidak-tanduk-Nya, sempurna menempuh Sang Jalan
(Nibbana), pengenal segenap alam, pembimbing manusia yang tiada taranya, Guru
para dewa dan manusia yang sadar (bangun, yang patut dimuliakan)........”
mengingat pula bahwa setiap orang mempunyai benih-benih kebuddhaan dalam
dirinya dan dapat menjadi buddha. Sebagai perlindungan bukanlah diri pribadi
pertapa Gotama, melainkan para buddha sebagai menifestasi bodhi (Kebuddhaan)
yang mengatasi duniawi.
Berlindung kepada Dhamma berarti menjunjung tinggi Dhamma yang tiada lain
dari kebenaran yang mutlak. Dalam pengertian sebagai hukum yang menguasai atau
yang mengatur alam semesta, Dhamma melindungi bagi mereka yang melaksanakan
kebenaran. Dhamma sebagai pelindung tidak berupa kata-kata yang tertulis dalam
kitab suci atau konsep pemikiran manusiayang masih dicengkarm oleh nafsu
duniawi, melainkankesucian, Nibbana yang dicapai pada akhir jalan.
Perlindungan tehadap Sangha yang dimaksudkan adalah menerima dukungan
inspirasi serta bimbingan dari mereka yang melaksanakan jalan mulia beruas
delapan, Mereka adalah para Bhikkhu Sangha yang telah mencapai tingkat
kesucian. Itulah tiga perlindungan yang utama dan yang aman, perlindungan yang
nyata dan dapat diandalkan bagi siapapun mahkluk di dunia, maka dari itu
temukanlah tiga perlindungan ini dan manfaatkan sehingga penderitaan dapat di
ahkirinya dan kebahagiaan tercapai dengan baik. Pernyataan yang memperkokoh
perlindungan ini dan meningkatkan rasa keyakinan kepada Sang Tri Ratna adalah
syair Paritta Saccakriya Gatha “Tiada
perlindungan lain bagiku Sang Buddha–lah sesungguhnya perlindunganku, Tiada
perlindungan lain bagiku Sang Dhamma–lah sesungguhnya perlindunganku, Tiada
perlindungan lain bagiku Sang Sangha–lah sesungguhnya perlindunganku”.
G.
Kesimpulan
Untuk menjalani kehidupan beragama tentunya kita harus mempunyai suatu
keyakinan atau jika secara awam, biasa disebut sebagai iman. Yang dalam Agama
Buddha, hal ini sering disebut sebagai Saddha. Keyakinan, kepercayaan yang kita
miliki sebagai umat Buddha ini hendaknya jangan sampai menjadi suatu
kepercayaan yang membuta, namun harus dilandasi dengan adanya suatu pengertian
yang benar.
Oleh karena
menyelam/menembus empat kesunyataan mulia ini, orang tidak tahu apa yang baik (kusala) dan tidak baik (akusala), maka
orang menjadi menderita. Orang yang belum menembus empat kesunyatan mulia dapat
diumpamakan dengan orang buta. Karena tidak dapat melihat, si buta
kadang-kadang berada di jalan salah. Suatu ketika ia tiba di tempat tujuannya
dan suatu ketika pula ia tersesat sama sekali, meraka yang tidak menembus empat
kesunyatan mulia ini berada dalam kegelapan batin (avijja), tidak dapat melihat Jalan yang menuju ke akhir derita.
Banyak hal yang tidak dianggap sebagai kebahagiaan oleh mereka, ibarat racun
dianggap sebagai obat, maka dari itu mereka menderita. Orang-orang yang
batinnya dikeruhkan oleh nafsu-nafsu duniawi sukar untuk mengerti hukum sebab akibat
yang saling bergantungan (hukum patticca
samuppada). Tetapi sukar, didalam dunia ini masih terdapat makhluk-nakhluk
yang batinnya tidak begitu gelap dan mereka akan mengerti kesunyataan (D.16, S.56.11, M.26).
Jadi, dengan adanya pengertian tersebut jelaslah bagi kita semua jelas
menghormati Buddha, Dhamma, dan Sangha (Tiratana) serta para Bodhisattva adalah
untuk menambah keyakinan kita dalam menjalani kehidupan sebagai umat Buddha.
Itulah salah satu fungsi penghormatan yang telah diajarkan oleh Sang Buddha
yang merupakan salah satu dari berkah utama. Seperti yang dapat kita temukan
bersama dalam Maégala
Sutta bait pertama yang berbunyi sebagai berikut “Asevana ca balanaç, panditanañca sevana; pìja ca pìjaniyanaç,
Etamaégalamuttamaé Tidak bergaul dengan orang sesat, bergaul dengan orang
bijak, memuja kepada yang patut dipuja; inilah berkah utama” (Maégala Sutta. I).
Semoga Semua Makhluk hidup berbahagia terbebas dari segala
penderitaan
Sabbe Satta Dukkha Pamucantu, Sabbe Satta Bhavantu
Sukhittata.
H. Reffrensi.
......., 1980, Kebahagiaan
dalam Dhamma, Majelis Buddhayana Indonesia, Jakarta.
Ingersah, 2002,
Hubungan antara Bhikkhu dan umat Buddhis, Vihara Dhamma Metta Arama, Pekan
Baru.
Krishnanda
Wijaya-Mukti, 2003, Wacana Buddha-Dhamma,
Ekayanan Buddhis Centre, Jakarta.
Mulyadi
Wahyono, SH , 2002, Pokok – Pokok Dasar Agama Buddha, Departemen Agama
Republik Indonesia, Jakarta.
Surya Widya
pandita Sasanadhaja, 2001, Dhammapada, Abdi Dhamma Indonesia, Jakarta.
Teja S.M.
Rashid, 1997, Sila dan Vinaya, Buddhis
Bodhi, Jakarta.
Woodrvold
Translit, 1989, The Book Of The Gradual Saying’s (Anguttara-Nikaya),
Pali Text Society Oxford, London.
Ven. Narada
Mahathera, 1998, Sang Buddha dan AjaraNya Bagian I dan II, Yayasan
Dhammadipa Arama, Jakarta.
Ven, Piyadassi
Mahathera,……..,Theravada Buddhism, Present Situation, W.B.F. Unity Of
Diversity, Thailand.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar