BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sebagai
bagian dari filsafat, aksiologi secara formal baru muncul pada sekitar abad
ke-19. Aksiologi mempunyai kaitan dengan axia yang berarti nilai atau berharga.
Menurut Mautner (dalam Wiramihardja, 2006: 155), aksiologi mulai digunakan
sebagaimana adanya saat ini oleh Lotze, Brentano, Husserl Scheeler dan Nicolai
Hartmann. Dalam filsafat Yunani kuno, tema aksiologi lebih banyak berhubungan
dengan masalah-masalah yang konkret, seperti api, udara dan air. Masalah nilai
ini meliputi dua hal penting yaitu ada (being) dan nilai (value).
Ilmu
tidak saja menjelaskan gejala-gejala alam untuk pengertian dan pemahaman. Namun
lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi factor-faktor yang terkait dalam gejala
tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Misal, ilmu
mengembangkan teknologi untuk mencegah banjir. Bertrand Russell menyebut
perkembangan ini sebagi peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi.
Dalam tahap manipulasi inilah maka masalah moral muncul kembali namun dalam
kaitan dengan factor lain. Kalau dalam tahap kontemplasi masalah moral
bersangkutan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi ini
berkaitan dengan masalah cara penggunaan pengetahuan ilmiah atau secara
filsafat dapat dikatakan, dalam tahap pengmbangan konsep terdapat masalah moral
yang di tinjau dari segi ontology keilmuan sedangkan dalam tahap pengembangan
konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan.
B. Rumusan
masalah
a)
Pegertian aksiologi
b)
Dilema Moral dan
Perkembangan Ilmu dan Teknologi
c)
Tanggung Jawab
Sosial Ilmuan Teori dan Penerapan
d)
Nilai merupakan
Kualitas Empiris yang Tidak Dapat Didefinisikan
e)
Nilai sebagai
Obyek Suatu Kepentingan
f)
Teori Pragmatis
Mengenai Nilai
g)
Nilai sebagai
Esensi
h)
Ilmu, nilai dan
keadaan bebas nilai
i)
Ilmu Terapan dan
Masalah Perkembangan Nilai
C. Tujuan
Makalah
ini dibuat bertujuan untuk memberikan sebuah pegetahun dan ilmu bagi
mahasiswa/i STIAB JINARAKKHITA pada khususnya dan pada umumnya utuk masyarakat
luas yang selalu belajar untuk memperole ilmu pegetahuan dibidang filsafat umum
ini, salah satu untuk menjadi orang yang sukses adalah dega belajr dan belajar
sehingga dapat diperoleh pegetahun yang dapat diterapkan dalam masyarakat luas.
D. Manfaat
Semoga
degan adanya makalh ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa STIAB dan dijadikan
sebagai acuan belajar, hingga dapat dijadikan ilmu untuk memperoleh pegetahuan
yang baik.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aksiologi
Aksiologi
ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau
dari sudut pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992). Nilai yang dimaksud adalah
sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa
yang dinilai.
B.
Dilema Moral dan Perkembangan Ilmu dan Teknologi
Ilmu
tidak saja menjelaskan gejala-gejala alam untuk pengertian dan pemahaman. Namun
lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi factor-faktor yang terkait dalam gejal;a
tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Misal, ilmu
mengembangkan teknologi untuk mencegah banjir. Bertrand Russell menyebut
perkembangan ini sebagi peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi.
Dalam tahap manipulasi inilah maka masalah moral muncul kembali namun dalam
kaitan dengan factor lain. Kalau dalam tahap kontemplasi masalah moral
bersangkutan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi ini
berkaitan dengan masalah cara penggunaan pengetahuan ilmiah atau secara
filsafat dapat dikatakan, dalam tahap pengmbangan konsep terdapat masalah moral
yang di tinjau dari segi ontology keilmuan sedangkan dalam tahap pengembangan
konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan.
Peradaban
manusia bergerak seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Berkat kedua
hal tersebut, pemenuhan kebutuhan manusia menjadi lebih mudah dan cepat. Namun,
terdapat sisi buruk dari imu yaitu sejak dalam tahap pertama pertumbuhannnya
ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk
menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasai
mereka. Mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat
dogmatik maka dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Konsep ilmiah
yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi. Ilmu
tidak saja bertujuan untuk menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan
pengertian dan pemahaman tetapi bertujuan untuk memanipulasi faktor-faktor yang
terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang
terjadi.
Dihadapkan
pada masalah moral maka ilmuwan dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu
golongan pertama dan golongan kedua. Golongan pertama yaitu golongan yang
menginginkan agar ilmu harus netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis
maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan
terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya. Adapun golongan kedua
merupakan golongan yang berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai
hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan penggunaannya, bahkan
pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas
moral. Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu seperti pada
saat era Galileo, sedangkan golongan kedua berusaha menyesuaikan kenetralan
ilmu berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan kedua mendasarkan
pendapatnya pada beberapa hal: ilmu secara faktual telah dipergunakan secara
destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua Perang Dunia yang
mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan,
ilmu telah berkembang dengan pesat sehingga ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi penyalahgunaan ilmu telah berkembang,dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki, seperti kasus revolusi genetika.
ilmu telah berkembang dengan pesat sehingga ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi penyalahgunaan ilmu telah berkembang,dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki, seperti kasus revolusi genetika.
C.
Tanggung Jawab Sosial Ilmuan
Etika
keilmuan merupakan etika normatik yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang
dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu
pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuan dapat menerapkan
prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk
kedalam perilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuan yang
mempertanggungjawabkan keilmuannya. Etika normative menetapkan kaidah-kaidah yang
mendasari pemberian penilaian terhadap perbuataan-perbuatan apa yang seharusnya
dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang
bertentangan apa yang seharusnya terjadi.
Nilai
dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral.
Bagi seorang ilmuan nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi
penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuan yang baik atau belum.
Tugas
seorang ilmuan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas
dasar rasionalitas dan metidologis yang tepat agar dapat dipergunakan oleh
masyarakat. Di bidang etika tangguna jawab seorang ilmuan adalah bersifat
objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam
pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kasalahan.
D.
Teori dan Penerapan
Kattsoff
(2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat dijawab
dengan tiga macam cara yaitu:
- Subyektivitas yatu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung dari pengalaman.
- Obyektivisme logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
- Obyektivisme metafisik yaitu nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan.
Situasi
nilai meliputi empat hal yaitu pertama, segi pragmatis yang merupakan suatu
subyek yang memberi nilai. Kedua, segi semantis yang merupakan suatu obyek yang
diberi nilai. Ketiga, suatu perbuatan penilaian. Keempat, nilai ditambah
perbuatan penilaian.
Nilai
mempunyai bermacam makna seperti: mengandung nilai, yang artinya berguna
merupakan nilai, yang artinya baik, benar atau indah mempunyai nilai yang
artinya merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan
orang mengambil sikap menyetujui atau mempunyai sifat nilai tertentu memberi
nilai, yang artinya menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai
hal yang menggambarkan nilai tertentu Makna yang dikandung nilai tersebut
menimbulkan tiga masalah yang bersifat umum, seperti: apakah yang dinamakan
nilai itu? apakah yang menyebabkan bahwa suatu obyek atau perbuatan bernilai,
dan bagaimanakah cara mengetahui nilai dapat diterapkan?
E.
Nilai merupakan Kualitas Empiris yang Tidak Dapat
Didefinisikan
Kualitas
merupakan sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek atau suatu segi dari
barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang tersebut dan dapat membantu
melukiskannya. Adapun kualitas empiris didefinisikan sebagai kualitas yang
diketahui atau dapat diketahui melalui pengalaman. Sebagai contoh pengertian
baik, artinya pengertian nilai. Moore (dalam Kattsoff, 2004: 325) mengatakan
bahwa baik merupakan pengertian yang bersahaja, namun tidak dapat diterangkan
apakah baik itu. Pendefinisisan nilai juga didasarkan pada hal-hal lain,
seperti rasa nikmat atau kepentingan. Moore menyebutnya sesat-pikir
naturalistis. Nilai tidak dapat didefinisikan maksudnya nilai-nilai tidak dapat
dipersamakan dengan pengertian-pengertian yang setara. Nilai dapat
didefinisikan dengan cara-cara lain, seperti dengan menunjukkan contohnya
sehingga dapat diketahui secara langsung. Jika nilai merupakan suatu kualitas
obyek atau perbuatan tertentu, maka obyek dan perbuatan tersebut dapat
didefinisikan berdasarkan atas nilai-nilai, tetapi tidak dapat sebaliknya.
Kenyataan bahwa nilai tidak dapat didefinisikan tidak berarti nilai tidak bisa
dipahami.
F.
Nilai sebagai Obyek Suatu Kepentingan
Seringkali
orang tidak sepakat mengenai suatu nilai walapun nilai tersebut sudah jelas.
Apabila seseorang mempertimbangkan tanggapan-tanggapan penilaian yang lain yang
dibuatnya mengenai barang sesuatu atau tindakan maka pasti akan dijumpai
semacam keadaan, perangkat, sikap atau kecenderungan untuk setuju atau
menentang. Dalam hal ini tersedia tiga kemungkinan pilihan yaitu: sikap setuju
atau menentang tersebut sama sekali bersangkut paut dengan masalah nilai sikap
tersebut bersangkutan dengan sesuatu yang tidak hakiki sikap tersebut merupakan
sumber pertama serta ciri yang tetap dari segenap nilai. Kemungkinan pertama
sudah jelas. Kemungkinan kedua berarti bahwa, misalkan sikap tersebut
ditimbulkan oleh suatu kualitas nilai tetapi bukan merupakan bagian dari
hakekatnya. Kemungkinan ketiga berarti bahwa apabila seseorang mengatakan x
bernilai maka dalam arti yang sama dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut
mempunyai kepentingan terhadap x. Sikap setuju atau menentang oleh Perry (dalam
Kattsoff, 2004: 329) disebut kepentingan. Perry juga berpendapat bahwa setiap
obyek yang ada dalam kenyataan maupun pikiran, setiap perbuatan yang dilakukan
maupun yang dipikirkan, dapat memperoleh nilai jika berhubungan dengan
subyek-subyek yang mempunyai kepentingan.
G.
Teori Pragmatis Mengenai Nilai
Dewey
(dalam Kattsoff, 2004: 332) menyatakan bahwa nilai bukanlah sesuatu yang dicari
untuk ditemukan. Nilai bukanlah suatu kata benda atau kata sifat. Masalah nilai
berpusat pada perbuatan memberi nilai. Dalam Theory of Valuation, Dewey
mengatakan bahwa pemberian nilai menyangkut perasaan dan keinginan. Pemberian
nilai juga menyangkut tindakan akal untuk menghubungkan sarana dan tujuan.
Dengan
kata lain, pemberian nilai berkaitan dengan bahan-bahan faktual yang tersedia
dan berdasarkan bahan-bahan tersebut, perbuatan-perbuatan dan obyek-obyek dapat
dihubungkan dengan tujuan-tujuan yang terbayang. Dapat disimpulkan bahwa
pemberian nilai adalah ketentuan-ketentuan penggunaan berkaitan dengan kegiatan
manusia melalui generalisasi-generalisasi ilmiah sebagai sarana mencapai
tujuan-tujuan yang diharapkan.
H.
Nilai sebagai Esensi
Apabila
nilai sudah sejak semula terdapat di segenap kenyataan, dapat dikatakan bahwa
tidaklah terdapat perbedaan antara apa yang ada (eksistensi) dengan apa yang
seharusnya ada. Yang sungguh-sungguh ada yaitu apa yang ada kini dengan yang
mungkin ada (apa yang akan ada). Jika nilai bersifat intrinsik, maka nilai apa
yang akan ada merupakan kelanjutan belaka dari apa yang seharusnya ada. Apabila
nilai merupakan ciri intrnsik semua hal yang bereksistensi maka dunia ini
merupakan dunia yang baik, kerena di dalamnya tidak mungkin terdapat keadaan
tanpa nilai. Dengan demikian maka masalah adanya keburukan di dunia terhapus karena
memperoleh pengingkaran. Sesungguhnya nilai-nilai ada dalam kenyataan, namun
tidak bereksistensi. Berhubung dengan itu, nilai-nilai tersebut haruslah
merupakan esensi-esensi yang terkandung dalam barang sesuatu serta
perbuatan-perbuatan. Pandangan ini erat hubungannya dengan pandangan Plato dan
Aristoteles (Kattsoff, 2004: 337) mengenai forma-forma. Sebagai esensi, nilai
tidak bereksistensi, namun ada dalam kenyataan. Nilai-nilai mendasari sesuatu
dan bersifat tetap.
I. Ilmu, nilai dan keadaan bebas
nilai
Pada
zaman dulu pengadilan inkuisisi Galileo selam kurang lebih 2’5 Abad
mempengaruhi proses perkembangan berfikfir di Eropa, yang pada dasarnya
mencerminkan pertarungan antara ilmu yang ingin terbebas dari nila-nilai diluar
bidang keilmuan dan ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan yang ingin menjadikan
nilai-nilai sebagai penafsiran metafisik keilmuan.
Dalam
kurun ini para ilmuan berjuang untuk menegakan ilmu yang berdasarkan penafsiran
alam sebagaimana adanya semboyan ilmu yang bebas nilai setelah pertarungan
kuranglebih 250 tahun, maka para ilmuan mendapatkan kemenangan. Setelah saat
itu ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitiannya dalam rangka
mempelajari alam sebagaimana adanya. Konflik seperti inipun terjadi terhadap
ilmu-ilmu social dimana berbagai ideology mencoba mempengaruhi metafisik
keilmuan.
Kejadian
ini sering terulang kembali dimana sebagian metafisik keilmuan dipergunakan
dari ajaran moral yang terkandung dalam ideology tertentu bukan seperti yang
dituntut hakikat keilmuan. Mendapatkan otonomi terbebas dari segenap nilai yang
bersifat dogamatik ini, maka dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya.
Pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif kemudian disusul dengan
penerapan konsep-konsep ilmiah pada masalah-masalah praktis. Sehingga konsep
ilmiah yang bersifat abstrak dapat berwujud konkrit yang berupa teknologi.
J. Ilmu Terapan dan Masalah
Perkembangan Nilai
Seringkali
orang tidak sepakat mengenai suatu nilai walapun nilai tersebut sudah jelas.
Apabila seseorang mempertimbangkan tanggapan-tanggapan penilaian yang lain yang
dibuatnya mengenai barang sesuatu atau tindakan maka pasti akan dijumpai
semacam keadaan, perangkat, sikap atau kecenderungan untuk setuju atau
menentang.
Nilai
bukanlah sesuatu yang dicari untuk ditemukan. Nilai bukanlah suatu kata benda
atau kata sifat. Masalah nilai berpusat pada perbuatan memberi nilai. Dalam
Theory of Valuation, Dewey mengatakan bahwa pemberian nilai menyangkut perasaan
dan keinginan. Pemberian nilai juga menyangkut tindakan akal untuk
menghubungkan sarana dan tujuan.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Aksiologi
ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau
dari sudut pandang kefilsafatan. Dalam arti tertentu, jika nilai merupakan
esensi yang dapat ditangkap secara langsung, maka sudah pasti hubungan antara
nilai dengan eksistensi merupakan bahan yang sesuai benar bagi proses pemberian
tanggapan dan.
Ilmu
tidak saja menjelaskan gejala-gejala alam untuk pengertian dan pemahaman. Namun
lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi factor-faktor yang terkait dalam gejala
tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Misal, ilmu
mengembangkan teknologi untuk mencegah banjir. Bertrand Russell menyebut
perkembangan ini sebagi peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi.
Dalam tahap manipulasi inilah maka masalah moral muncul kembali namun dalam
kaitan dengan factor lain. Kalau dalam tahap kontemplasi masalah moral
bersangkutan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi ini
berkaitan dengan masalah cara penggunaan pengetahuan ilmiah atau secara
filsafat dapat dikatakan, dalam tahap pengmbangan konsep terdapat masalah moral
yang di tinjau dari segi ontology keilmuan sedangkan dalam tahap pengembangan
konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan.
A.
SARAN
Pendidikan sangatlah penting apalagi pada
zaman modern saat sekarang ini. Karena dengan
pendidikan seseorang dapat merubah daya pikir dan memiliki keterampilan
sesuai dengan bidang masing-masing. Setelah pembaca membaca hasil makalah yang
tentunya masih banyak kekurang ini tentunya memiliki sedikit gambaran
tentang aksiologi dan ilmu filsafat.
DAFTAR
PUSTAKA
http://ahfadh.wordpress.com/
S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar