Selasa, 20 November 2012

kamma

APAKAH YANG DIMAKSUD KAMMA ?
Bhikkhu Vajhiradhammao

Pada hari ini, saya akan mencoba untuk menguraikan tentang hukum kamma. Kadang-kadang umat Buddha salah mengerti tentang hukum kamma, seolah-olah hukum kamma itu tidak adil. “kok, saya ini sudah sudah berbuat baik, berbuat kebajikan, membantu ke vihara, berdana, berusaha tidak berbuat yang tidak baik. Katanya siapa yang selalu berbuat baik dialah yang menerima buah kebahagiaan. Tapi apa yang saya perbuat itu kok yang saya terima malah sebaliknya”. Dari peristiwa yang dialaminya maka hukum kamma dianggap tidak adil. Ini merupakan pandangan yang salah sekali sebagai umat Buddha
.
Hukum kamma disebut juga hukum sebab akibat, jadi tidak ada suatu akibat yang terjadi tanpa di awali oleh sebab. Ada sebab lalu timbul akibat. Akibat itu menajdi sebab yang baru sehingga timbul akibat baru. Demikian seterusnya, rangkaian sebab dan akibat ini tidak bisa dipisahkan bagi manusia yang masih memiliki banyak keinginan.
Menurut ajaran Sang Buddha, kamma atau perbuatan akan menimbulkan akibat karena diawali dengan cetana (kehendak). Oleh karena ada niat, kemudian niat itu terus timbul dalam pikiran, dan selanjutnya berwujud dalam bentuk ucapan dan perbuatan badan jasmani. Nah ! inilah yang disebut hukum kamma, yang akan menimbulkan akibat.
Kalau kita berbuat tanpa disertai dengan niat maka tidak akan timbul akibat. Seperti yang dikisahkan pada jaman Sang Buddha, ada seorang bhikkhu yang bernama Bhikkhu Cakkhupala.
Dalam suatu masa vassa ia bertekad, “selama vassa ini (selama tiga bulan lamanya) saya tidak akan berbaring”. Karena tekadnya itu hingga menimbulkan mata sakit, dia tetap tidak mau berbaring. oleh karena itu, obat mata yang di teteskan di matanya selalu mengalir keluar. Ahkirnya mata Bhikkhu Cakkhupala menjadi buta. Beliau ahkirnya suka bermeditasi dengan cara berjalan. Karena matanya  buta, dalam melakukan meditasi itu ia menginjak banyak semut, cacing, kecoak, dan lainya sebagainya hingga mati. Hal ini dilaporkan kepada Sang Buddha. Lalu Sang Buddha  memangil Bhikkhu Cakkhupala dan bertanya, “Apakah engkau ada niat untuk membunuh mahluk yang telah kau injak itu ?”  “Bagaimana saya punya niat untuk membunuhnya, Sang Buddha, mata saya buta”. “Oh, kalau demikian itu bukan kamma, karena tidak ada niat”.
Banyak bhikkhu yang tidak tidur selama masa vassa tetapi nyatanya banyak yang sehat matnya. Lalu Sang Buddha menerangkan bagaimana rangkaian perbuatan yang telah dilakukan sehingga menyebabkan perbuatan yang telah dilakukan sehingga menyebabkan kebutaan pada bhikkhu Cakkhupala.
Diceritakan pada suatu masa kehidupannya yang lampau, bhikkhu Cakhhupala pernah menjadi seorang tabib yang bias mengobati orang sakit mata. Sejak jaman dahulu jika orang mau berobat harus ada imbal baliknya, dokter yang mengobatinya harus dibayar. Demikianlah, ada seorang pembantu yang ingin berobat tapi ia tidak punya uang. Kalau dia mengatakan terlebih dahulu bahwa ia tidak punya uang, mungkin nanti tidak diobatinya, tapi setelah sembuh ia tidak mau bayar. Ia lantas pura-pura masih sakit.
“Aduh, tabib bagaimana mata saya ini belum bisa melihat dengan jelas ?” Sang tabib menjawab, “baiklah, saya akan melanjutkan pengobatannya, matamu agar normal kembali”.
Sang tabib sebenarnya tahu bahwa pasienya sudah sembuh tapi berpura-pura masih sakit. Secara diam-diam ia menyimpan dendam. “orang ini, matanya sudah sembuh tapi dia berkata masih sakit, agar tidak membayar biaya pengobatannya”.
Tabib itu tidak tahu kalau pasienya itu hanyalah seorang pembantu yang miskin. Sang tabib memberikan obat lagi, obat yang mengandung racun, dan dengan dendamnya ia mengatakan dalam hatinya, “Rasakan kamu nanti akibatnya, sudah sembuh bilang belum sembuh.”
Dengan obat yang mengandung racun itu, si pembantu (pasienya) menjadi buta. Ahkirnya sang tabib pun memetik akibatnya, setelah menjadi bhikkhu pun dia masih memetik buahnya. Dia pernah membuat buta orang lain, ia kemudian menjadi buta. Pada saat itu ia sudah mencapai kesucian, matanya buta tetapi batinya sudah terang, sudah melihat Dhamma.
Inilah kamma, ada niat, berusaha dilakukan dan berhasil dilakukan. Sehingga menimbulkan akibat dan yang dinamakan kamma.
Ada empat macam kamma menurut fungsinya. Kamma ini tidak dapat berjalan sendiri tanpa ada factor-faktor yang lainya. Kamma tersebut sangat menentukan, tetapi factor yang lain juga menentukannya. Tidak bias tumbuh sendiri. Yaitu
·   KAMMA YANG MENYEBABKAN KELAHIRAN SESUAI DENGAN MACAM DAN SIFATNYA. KAMMA JENIS INI HARUS DISERTAI DENGAN FAKTOR LAIN YANG DAPAT MENUNJANGNYA.
Misalnya, bagi mahluk hidup yang lahir melalui kandungan, factor pendukungnya adalah adanya ayah dan ibu yang mengadakan hubungan badaniah, bertemunya benih sel seperma dan sel telur yang terjadi proses pembuahan. Proses pembuahan itu adanya patisandhi vinnana (getaran kesadaran) yang masuk.
Mahluk yang melalui telur juga ada faktor pendukungnya. Adanya proses pembuahan tadi, kemudian ada telur yang keluar, ada betina yang mengeraminya akhirnya menetas.
Para dewa mempunyai perkecualian. Factor yang menunjang adalah kebajikan. Karena banyak berbuat baik maka seseorang dapat terlahir di alam dewa. Demikian pula mahluk yang menderita yang lahir di alam yang menyedihkan karena banyak berbuat yang jahat.

·   KAMMA YANG BERFUNGSI MEMBANTU MEMPERLEMAHKAN APA YANG TELAH DIHASILKAN OLEH KAMMA DI ATAS.
Mengapa mahluk itu lahir ? Mahluk tersebut karena ia mempunyai simpann kamma. Jadi menurut agama Buddha tidak benar kalau kita mengatakan bahwa bayi yang baru itu masih suci. Kadang-kadang kita berpendapat kalau bayi yang baru lahir kemudian meninggal pasti masuk surga karena ia masih suci, dia belum pernah berbuat apa-apa. Menurut pandangan agama Buddha pendapat tersebut merupakan pengertian yang salah, karena bayi tersebut – walaupun belum sempat berbuat kamma dalam kelahiran yang baru ini – telah mempunyai simpanan kamma dari kehidupan-kehidupan sebelumnya.

·   MENURUT KEKUATAN BERBUAHNYA KAMMA, YAITU
Simpanan kamma itu memang tidak kelihatan. Tidak seperti simpanan yang berbentuk fisik yang kita miliki. Suatu waktu, sesuai dengan kondisinya kamma itu pasti akan berbuah. Sebagai perumamaan, kita mempunyai simpanan bibit padi, tapi kondisinya tidak menunjang – kemarau panjang, tidak ada hujan – maka bibit itu tetap tidak dapat berbuah atau tumbuh, tetapi begitu dating musim hujan bibit yang ditanam itu akan tumbuh dan akhirnya berbuah.

·   KAMMA YANG BERFUNGSI UNTUK MENGHANCURKAN, YAITU
Kamma ini merupakan jenis yang hampir sama dengan kamma yang melemahkan, karena fungsinya menentang atau melemahkan, sesuatu yang sudah ada. Akan tetapi, kamma ini mempunyai kekuatan yang besar daripada penghancur.
Kini marilah kita lihat bersama kamma menurut jangka waktunya, jadi kamma itu mempunyai jangka waktu sesuai dengan situasi dan kondisinya.

·   ADA ORANG YANG BERBUAT DAN LANGSUNG MENDAPATKAN HASILNYA DALAM KEHIDUPAN INI, BAHKAN SEPONTAN MERASAKAN AKIBATNYA.
Ada sebuah cerita. Ada seorang pengembala yang juga seorang pembohong. Suatu hari ia ingin membuat sebuah kejutan, karena ia mengembala setiap hari kok begitu-begitu terus. “Bagaimana caranya, ah………saya akan berbohong”. Gembala ini lalu berteriak-teriak, “Ada harimau, ada harimau makan domba !” Penduduk desa dating berbondong-bondong menolongnya, “Mana harimau-nya, mana harimau-nya ?” Si gembala tertawa terpingkal-pingkal, “Wah, saya berhasil membohongi mereka”.
Hal yang sama itu diulanggi untuk kedua kalinya. Penduduk dating lagi berbondong-bondong ingin menolongnya, tapi tidak ada harimau. Sang gembala tertawa karena berhasil membohongi yang lainya lagi. Tetapi ketika dia minta tolong untuk yang ketiga kalinya karena ada harimau sungguhan yang datang memangsa dombanya, tidak ada seorang pun yang datang untuk menolongnya. Orang-orang berpikir, “Paling-paling dia bohong lagi seperti kemarin”. Ahkirnya, semua dombanya habis mati dimakan harimau. Ini adalah akibat kamma yang langsung berbuah, dalam hal ini karena ia suka berbohong.
·   KAMMA BIASA BERBUAH SPONTAN BIAS JUGA BERBUAH PADA KEHIDUPAN-KEHIDUPAN BERIKUTNYA.
Seperti suatu contoh yang kita ketahui, Agulimala. Ia pernah memotong jari dan membunuh orang sekian banyak, tapi pada zaman itu ia bias bertemu dengan Sang Buddha – menjadi bhikkhu dan mencapai kesucian.
Pada suatu waktu ketika berpindapata ia ada orang melempar anjing dengan batu dan kena kepalanya. Karena Agulimala sudah mencapai tingkat kesucian arahat, maka dengan penuh kesabaran ia mengusap kepalanya dengan menahan sakit. Ia tidak marah. Dengan kepala yang berdarah ia langsung menghadap Sang Buddha menceritakan apa yang dialaminya. Sang Buddha mengatakan, “sabar, sabar, ini memang kamma mu, dulu kamu pernah berbuat yang setimpal seperti yang kau terima sekarang ini”.

·   KAMMA YANG BARU BERBUAH SETELAH BERKALI-KALI KEHIDUPAN., YAITU
Oleh karena itu jika kita berbuat baik sekarang kita jangan terlalu mengharap cepat berbuah sepontan. Jkadi kita harus mengerti bahwa kita berbuat baik itu pasti akan ada akibatnya, tapi kita tidak perlu mengharap-harap, tidak meminta-minta, menunggu-nunggu. Jadi berusah dan berbuat yang baik, perbuatan baik itu pasti ada buahnya.
Kalau kita menunggu, meminta-minta, dan mengharap, akan menimbulkan pandanagan yang salah. Apa yang kita nikmatinya, rasakan sekarang adalah hasil dari apa yang diperbuat kitayang lampau. Lalu kita menanam terus karena berbuat bajik itu membawa kita pada kebahagiaan pada kehidupan kini maupun kehidupan-kehidupan yang berikutnya.

·   KAMMA YANG TIDAK MEMBUAHKAN AKIBAT, YAITU
Sebenarnya bukan berarti kamma itu terhapus atau hilang, tetapi dapat diumpamakan jika kita mempunyai garam satu genggam atau gula satu genggam dan dimasukkan kedalam air dibak mandi. Maka air didalam bak mandi tidak terasa asin atau manis. Dan kita tidak mungkin dapat mencari dimana garam atau gula itu. Ini adalah perumpamaan dari ahosi kamma.
Sekarang kamma menurut berat ringannya, atau sesuai dengan kekuatan kamma yang telah dilakukannya, yaitu

·   PERBUATAN PALING BERAT YANG DISEBUT GARUKA KAMMA.
Perbuatan yang tidak baik, yang paling berat disebut akusala garuka kamma. Ad lima macam akusala garuka kamma yaitu (1) membunuh ibu, (2) membunuh ayah (3) memecah-belah sangha, (4) melukai tubuh seorang Buddha (5) membunuh Arahat.
Ini adalah akusala kamma )perbuatan buruk) yang tidak ada ampun lagi bagi pelakunya. Pelakunya pasti akan terlahir kembali dan tinggal di alam neraka selama berkalpa-kalpa walaupun dia melakukan berbgai jenis perbauatn baik lainya. Seperti Devadatta yang menggulingkan batu ketika Sang Buddha akan lewat hingga Beliau terluka. Setelah meninggal Devadatta terlahir di Neraka Avici.
Demikian juga dengan Ajatasattu yang membunuh ayah kandungnya sendiri. Dia terlahir di alam neraka avici setelah meninggal dunia walaupun dalam masa kehidupannya-setelah membunuh ayahnya- dia banyak melakukan kebajikan kepada Sang Buddha dan Sangha.
Ada juga kamma paling berat-yang terbaik yang disebut kusala garuka kamma, yaitu pencapaian jhana, suatu pencapaian dalam tingkat meditasi. Terdapat delapan jenis jhana yang dapat dicapai yakni empat tingkat rupajhana dan empat tingkat arupajhana. Seseorang yang telah mencapai tingkat jhana, apabila meninggal dunia akan terlahir di alam jhana sesuai dengan tingkat yang telah dicapainya.
Dari dua jenis Garuka Kamma ini, tentu kusala kamma yang paling sulit dicari dan akusala kamma yang paling mudah untuk dilakukan. Dan dari lima jenis akusala garuka kamma yang ada, di jaman sekarang hanya tinga akusala garuka kamma yang tersisa dan dapat dilakukan oleh seseorang yakni membunuh ibu, membunuh ayah, dan memecah belah sangha. Melukai seorang Buddha tidak mungkin dilakuakn karena tidak ada pada saat ini lagi, dan membunuh Arahat juga sulit karena sangat jarang sekali untuk lahir seorang Arahat karena sangat jarang untuk lahir seorang Arahat di jaman sekarang ini.
Membunuh orang tua (ayah dan ibu) dapat dilakukan oleh siapa saja. Tetapi untuk memecah belah sangha, pada umumnya hanya dilakukan oleh seorang bhikkhu. Memecah belah sangha sulit dilakukan oleh seorang umat awam yang menjalani kehidupan sebagai perumah tangga.

·   ASANNA KAMMA
Asana Kamma adalah kamma yang diperbuat oleh seseorang pada saat menjelang kematian atau dapat juga berupa perbuatan yang pernah dilakukan sebelumnya, dan biasanya muncul melalui pikiran. Orang yang akan meninggal dunia itu melihat nimitta (gambaran batinnya), dia melihat macam-macam hal yang sesuai dengan perbuatan dengan sangat jelas.
Ada suatu cerita, seseorang yang dalam hidupnya menjadi seorang tukang jagal babi, ketika si penjagal babi akan meninggalkan dia melihat kunci, pintu grendel, pisau yang tajam, ia berteriak-teriak seperti babi yang mau mati. Inilah asana kammma, yang timbul dalam batin seseorang karena dia ingat akan perbuatan-perbuatannya yang lalu. Oleh karena itu, kalau mau meninggal dunia, hendaknya mengingat hal-hal yang baik saja.

·   KAMMA KEBIASAAN
Selanjutnya adalah yang disebut Bahula kamma, kamma kebiasaan. Jika asana kamma tidak mempengaruhi orang yang mau meninggal, yang muncul dan menentukan kelahiran berikutnya adalah kamma kebiasaan-bahula kamma.
Bagaimana kebiasaan orang itu hidup itulah yang akan membawanya pada kelahiran selanjutnya. Ada suatu contoh, di jaman Sang Buddha ada seorang Arahat. Sekalipun sudah mencapai tingkat Arahat, ia masih mempunyai kebiasaan jelek. Kalau ada gundukan tanah-walaupun kecil-ia pasti ambil ancang-ancang dan melompatnya. Kalau selokan kecil, da ambil ancang-ancang dan melompat.
Ada umat yang bertanya kepada Sang Buddha; mengapa demikian ? Lalu Sang Buddha menerangkan dengan pengertian yang dimengerti dengan pengertian oleh si penanya. Bhikkhu ini dalam kehidupan yang lalu pernah lahir menjadi kera, dan dalam kelahiran berikutnya menjadi manusia, kebiasaan loncat-loncat itu tidak bisa dihilangkan. Jadi kamma kebiasaan ini muncul pada kehidupan berikutnya, si pembuat itu tidak menyadari bahwa ia selalu berbuat yang kurang pantas. Jadi hendaknya kita selalu banyak untuk berbuat yang baik, jangan pupuk kebiasaan yang buruk.
Maka kita mengerti hokum kamma secara benar, bahwa kamma itu bias berbuah sekarang, bias berbuah di masa yang akan dating dalam kehidupan ini juga bias berbuah pada kehidupan-kehidupan berikutnya.
Oleh karena itu kita jangan salah mengerti, “saya ini sudah setiap minggu dating ke vihara berdana, kok malah sial, dagangan juga rugi, mau pinjam tidak dipercaya lagi, anak sakit keras, rumah banjir, dimana letak keadilan hokum kamma itu”
Ya……….tunggu dulu, belum waktunya berbuah ! jadi jangan anggap bahwa kamma itu tidak adil. Kammma itu adil, karena tidak mungkin kammma itu berbuah berbarengan, sekalipun kelihatannya bebarengan tetapi sebenarnya ada tenggang waktunya yang kita tidak bias merasakannya. Teruskanlah berbuat kebajikan, perbuatan baik pasti akan ada buahnya. Itu pasti ! 














PERAN BHIKKHU SANGHA DALAM MENINGKATKAN
KEYAKINAN UMAT BUDDHA

Oleh : Bhikkhu Vajhiradhammo

A. Pendahulan
Semua umat Buddha yang telah menjalankan hidupnya menjadi bhikkhu-bhikkhuni, wajib menagggalkan kehidupan duniawi dan bertempat tinggal dilingkungan tempat ibadah (vihara) yang disebut kuti (tempat tinggal para anggota Sangha). Selain menjalani kehidupan sebagai Bhikkhu-bhikkhuni, juga mengabdikan demi kepentingan perkembangan agama Buddha, membabarkan dhamma ajaran Sang Buddha dengan penuh cinta kasih.  
Sangha merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam perkembangan ajaran Buddha. Dimana sangha adalah bagian dari kesatuan Tri Ratna dari tiga mustika, “ Jika engkau berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha perasaan takut, khawatir, cemas, tidak akan muncul” (S. I ; 220). Buddha sebagai kesadaran yang tertinggi, Dhamma merupakan kebenaran dan Sangha sebagai person yang memiliki jiwa Kebuddhaan. Sangha terbentuk pada waktu kehidupan Sang Buddha dan beliau sendiri menjadi ketua sangha pada waktu itu. Sangha pada kehidupan Sang Buddha sebagai perantara dalam penyebaran ajaran kebenaran tentang Dhamma. Pengikut Buddha yang semakin banyak bukan lain adalah pengaruh keyakinan yang muncul melalui ajaran siswa-siswa Buddha yang menyebar ke berbagai daerah untuk mengajarkan Dhamma.
Ajaran Buddha setelah Mahaparinibbana Sang Buddha, dilanjutkan oleh para siswa-siswa utama melalui konsili-konsili yang menghasilkan kumpulan ajaran Buddha berdasarkan khotbah, aturan dan peristiwa yang terjadi pada waktu kehidupan Sang Buddha. Penyebaran ajaran Buddha memberikan banyak kontribusi kemakmuran pada berbagai negara. Raja Asoka yang terkenal dengan pedangnya dan selalu ingin menguasai negara-negara yang sebelahnya, namun setelah mendengarkan ajaran Sang Buddha, kemudia menjadi pengikut Buddha dan berperang bukan dengan senjata tajam melainkan dengan kebenaran Dhamma.
Sangha berperan sebagai perubah nilai psikologis pada manusia. Orang yang melihat kehidupan dan  perbuatan para Bhikkhu yang terlatih dalam sila, memberikan kesejukan hati dan rasa damai. Kegembiraan ini muncul dalam diri manusia yang selalu memberikan penghormatan dan keyakinan terhadap Sangha. Dimana para bhikkhu-bhikkhuni yang selalu memberikan dampak yang baik dalam bertindak.
Perlindungan merupakan ciri utama Sangha sebagai kesadaran tinggi dalam kebuddhaan, memberikan satu perubahan yang besar terhadap perumah tangga untuk menyelamatkan dari ketakutan dan kekhawatiran menmgenai kehidupan dunia. Sangha memberikan rasa aman dan sebagai sifat kebijaksanaan pada kesucian yang dilakukan seseorang dalam sifat perlindungan yang dimiliki berdasarkan pada Ariya Sangha sebagai pengertian falsafah kesucian. Sebagai tempat menanam kebajikan yang merupakan ladang subur bagi perumah tangga, sebab sangha memiliki moralitas yang tinggi dalam sila dan vinaya.
Sangha sebagai guru dalam moralitas dan membimbing perumah tangga dan sebagai perlindungan dalam Buddha Dhamma. Walaupun setelah Mahaparinnibbana Sang Buddha, para Bhikkhu Sangha terjadi corak perbedaan dalam berbagai aspek penerapan vinaya ataupun ajaran Dhamma dari Buddha Gautama. Awalnya bhikkhu adalah sebagai manusia biasa yang melatih diri dalam moralitas dan kebajikan, menunjukan eksistensi dalam pengaktualisasian diri dalam latihan untuk mencapai tingkat kesucian. Disisi yang lain bhikkhu sebagai penganut Buddha yang memiliki peran untuk menyebarkan Dhamma, menyebarkan kebenaran agar para mahluk yang lain memperoleh kesempatan dalam menjernihkan kekotoran batin dengan ajaran Dhamma Sang Buddha. Sehingga prinsip melatih diri sebagai seorang pertapa tidak ditinggalkan, sembari memberikan ajaran kepada para perumah tangga.
Perbedaan pendapat dari kalangan bhikkhu memberikan dampak yang berbeda pula, tetapi sebagai tiang perlindungan dan penerus ajaran Buddha. Sangha merupakan penuntun dan figure untuk keyakinan umat perumah tangga. Berdasarkan aktualisasi diri bhikkhu, menjadikan pertanyaan bagi diri kita, apakah para bhikkhu dalam kenyataannya sekarang ini masih bisa memberikan kontribusi terhadap keyakinan kepada perumah tangga dalam perkembangan agama Buddha.        

B. Sangha dalam agama Buddha
Sangha dalam agama Buddha diibaratkan sebagai sebuah ladang yang subur dalam menghasilkan panen yang berlimpah. Karena itu benih-benih perbuatan yang berjasa yang ditanam pada sangha adalah sebuah ladang yang subur, dimana hasil yang berrlimpah dapat diharapkan. Umat Buddha meyakini bahwa pemberian dana yang diberikan kepada mereka yang sungguh-sungguh melaksanakan kehidupan suci akan membawa pahala yang lebih besar tetapi tidak membawa pahala yang besar bila diberikan kepada orang yang tidak memiliki moralitas yang baik. Buddha menasehati bahwa bentuk pemberian makanan kepada  seratus Paccekha Buddha, pahalanya akan lebih besar apabila ia memberikan makanan kepada seorang Sammasambuddha yang telah mencapai penerangan sempurna. Jika makanan diberikan kepada para anggota Sangha yang dipimpin oleh sang Buddha, pahalanya akan lebih besar apabila ia mendirikan sebuah vihara yang dapat digunakan oleh para bhikkhu sangha.  
Sangha memiliki dua makna, yakni secara sammuti adalah sebagai personal  duduk dalam sangha yang bertekan melatih diri dalam moralitas untuk meraih kebijaksanaan, yang belum mencapai tingkat kesucian sedangkan Sangha secara paramatta adalah tingkat kesucian pada sottapana, sakadagami, anagami dan arahat atau Ariya Sangha dalam persaudaraan para bhikkhu-bhikkhuni yang telah mencapai tingkat kesucian. Keberadaan Sangha selalu memberikan nilai kebaikan yang tinggi bagi perumah tangga. Penjelasannya Buddha kepada pemuda bernama Sigala memberikan nasehat fungsi Sangha terhadap umat perumah tangga yakni sebagai pembimbing dan pengajar dalam kehidupan para perumah tangga.
Sangha adalah sebagai bagian dari tiga mustika yang memiliki tempat khusus dalam perkembangan agama Buddha. Sangha merupakan bagian perlindungan agama Buddha dalam kelangsungan penyebaran Dhamma setelah Mahaparinibban Sang Buddha. “Seseorang yang telah pergi berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha akan melihat kebenaran yang mulia dengan pengetahuan yang benar” (Dhp. XIV : 190). Secara harfiah Sangha adalah persaudaraan suci para Bhikkhu-bhikkuni. Persaudaraan suci para bhikkhu-bhikkhuni terbentuk pada kehidupan Buddha. Persaudaraan para bhikkhu-bhikkhuni dengan Sang Buddha sebagai kepala dalam persamuan Sangha, memberikan banyak inspirasi tentang kebenaran pada jaman kehidupan pertapa di India yang tersesat dengan pandangan yang salah.
Praktek pembabaran Dhamma dengan kebijaksanaan memberikan implikasi terhadap perolehan kebahagiaan bagi para pengikut ajaran Dhamma dan memberikan petunjuk terhadap jalan kebahagiaan menuju pembebasan. Masuknya lima petapa pada waktu pertama kali sehingga terbentuklah Sangha pertama, yang menunjukan bahwa keyakinan terhadap kebenaran Dhamma dengan penembusan sendiri menjadi aspek tauladan bagi umat perumah tangga dan pertapa, bahwa Buddha memiliki kekuatan yang sangat besar dalam memberikan inspirasi keyakinan agar manusia selalu berbuat kebajikan.
Berkembangnya ajaran Buddha keberbagai negara dengan perantara para Bhikkhu sebagai penyebar ajaran Buddha dan sebagai pewaris pelaksanaan Dhamma menujukkan adannya keyakinan para umat kepada Dhamma sebagai penerimaan Dhamma, sebagai model hidup untuk memperoleh kebahagiaan. Sangha pada saat ini telah menunjukkan eksistensinya yang besar dalam upaya penyadaran umat perumah tangga kepada ajaran Buddha sebagai kebenaran yang  mulia. Di Indonesia telah berdiri beberapa kelompok Sangha berdasarkan aturan pada vinaya yang berbeda dan ajaran sumber kitab yang berbeda pula. Keberagaman sangha di Indonesia atau di seluruh belahan dunia secara esensial memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai kumpulan orang yang melatih diri dalam vinaya dan upaya untuk pembabaran Dhamma kepada umat manusia yang masih banyak dicengkram oleh derita karena kekotoran batinya.
Seseorang yang mempunyai kehendak, tekad dan keinginan kuat untuk memilih hidup menjadi bhikkhu merupakan pilihan yang sangat luhur dan mulia. Menjadi bhikkhu memerlukan perjuangan yang keras, tekun, ulet dan dengan sungguh-sungguh melatih hidup suci sehingga apa yang menjadi cita-citanya dapat tercapai pada kehidupan sekarang. Prosedur untuk menjadi bhikkhu, juga sangat panjang, mulai dari samanera sampai menjadi bhikkhu. Banyak sekali rintangan dan godaan dari luar yang selalu diwaspadainya. Karena Sang Buddha berpesan “berjuanglah dengan sungguh-sungguh, O para bhikkhu, dan waspadalah serta penuh kebajikan ! dengan sekuat tenaga, jagalah pikiran sendiri ! siapa yang mengikuti dhamma dan vinaya dengan baik dan tekun akan mampu mengahkiri penderitaan hidup”.
Kalau seorang bhikkhu memegang terguh pesan Sang Bbuddha, maka para bhikkhu akan tabah menghadapi semua penderitaan, bahaya dan godaan demi tercapainya pemadaman keinginan, penyadaran ahkir dari penderitaan dan menuju pengetahuan yang sempurna. Seperti siswa Sang Buddha Y.A. Sariputra dengan tegas dan lantang mengatakan tekad yang kuat dalam latihan dan tidak akan pernah menggunakan cara-cara rendah yang dicela oleh Sang Buddha. Jika para bhikkhu sekarang ini mempunyai tekad dan kehendak seperti Y.A. Sariputera, kemungkinan tidak ada seorang bhikkhu yang menanggalkan jubahnya.
Dimasa sekarang seseorang yang telah puluhan tahun menjalani kehidupan sebagai bhikkhu dan melaksanakan peraturan vinaya dengan baik, ada kemungkinan untuk melepaskan jubahnya dengan berbagai macam alasan, karena itu adalah hak setiap diri pribadi manusia dalam latihan. Setelah kembali ditengah-tengah masyarakat iapun menjalani hidup berumah tangga. Ini sama halnya dengan para mahasiswa yang mempertahankan diri untuk belajar, para pekerja yang bekerja keras untuk mencari nafkah secara jujur, tetapi perjuangannya kandas ditengah jalan dengan berbagai macam hambatan dan rintangan yang tidak mampu untuk dilewatinya.
Seorang bhikkhu, melepaskan jubah dan kembali dalam kehidupan perumah tangga adalah sesuatu yang wajar dan diaggap sesuatu yang biasa. Karena menjadi bhikkhu hanya merupakan suatu latihan biasa. Selain itu tidak ada peraturan yang sifatnya mengikat yang seharusnya seseorang untuk menjadi bhikkhu selama hidupnya. Tetapi bagi umat awam, yang mempunyai pengetahuan Dhamma pas-pasan atau bagi umat yang baru mengerti ajaran Buddha, kemungkinan sulit sekali untuk menerima kenyataan ini, karena ia begitu hormat, bakti, bermurah hati dan selalu membantu kegiatan yang berkenaan dengan kepentingan Sangha. Rasa kecewa akan selalu menyelimutinya, tatkala ia mengetahui bahwa mantan bhikkhu tempat ia berbakti itu ternyata sudah menikah. Maka ia mulai mereka-reka penaggalan jubahnya karena tidak kuat menahan godaan wanita. Padahal tidak setiap pribadi bhikkhu melepaskan jubahnya karena alasan tersebut. Tetapi perlu direnungkan lebih mendalam, bahwa setiap permasalahan yang muncul selalu ada batas kemampuan bagi seseorang dalam menyingkapinya, dan mantan bhikkhu pun tidak serendah yang menjadi bayangan. Sehubungan dengan hal tersebut Y.A. Ananda menanyakan kepada Sang Buddha, tentang bagaimanakah cara bhikkhu bersikap terhadap (wanita) permasalahan tersebut ? Sang Buddha menasehatinya “Jangan lihat mereka, Ananda, tetapi Bhante bagaimana kalau kita melihat mereka ? maka jangan bicara kepada mereka, Ananda. Namun bhante, bagaimana kalau kita harus berbicara dengan mereka ? maka dalam hal ini, Ananda, engkau harus selalu waspada”.

C. Aspek – aspek Kehidupan Sangha
Banyak orang masih belum menyadari bahwa Dhamma kebenaran yang dibabarkan Sang Buddha tidak dapat berubah pada situasi apa pun. Aturan vinaya tertentu juga termasuk dalam kategori yang sama dan tidak dapat berubah pada kondisi apa pun. Tetapi beberapa aturan vinaya lain dapat berubah untuk mencegah ketidaknyamanan yang tidak semestinya. Dhamma dan vinaya tidak sama. Hal ini dari beberapa bhikkhu mengamati tradisi tertentu dengan kaku seakan-akan hal itu merupakan prinsip yang religius yang penting. Walaupun yang lainya tidak dapat menemukan kepentingan atau pengertian religius dalam prakteknya.
Sangha dalam berbagai aspek fisik memiliki kelemahan seperti manusia biasa. Sehingga menimbulkan perpecahan dalam beberapa kelompok pada waktu kehidupan setelah Mahaparinibbana Sang Buddha yang merupakan dinamika dalam kelanjutan dari upaya penyebaran ajaran Buddha Dhamma. Sangha dalam wujudnya demi perkembangan agama Buddha mampu meningkatkan keyakinan yang memiliki beberapa aspek kehidupan sangha, yang membawa keberuntungan positif bagi perumah tangga, diantaranya:
1. Aspek model.
  Sangha merupakan pewaris dan pelaksana ajaran Buddha, melalui sikap latihan moralitas dan tingkah laku dalam kehidupan. Mampu memunculkan inspirasi kepada umat perumah tangga dalam menemukan kebenaran berdasarkan aspek model yang diberikan oleh bhikkhu sangha. Keberhasilan sangha dalam mengemban misi kelangsungan penyebaran dhamma merupakan peran utama para Bhikkhu-bhikkuni dalam misinya sebagai pertapa yang menumbuhkan kembali sikap dan pandangan manusia yang salah menjadi manusia yang memiliki keyakinan kepada Dhamma sebagai pegangan hidup dalam merealisasi kebahagiaan.
Sangha memberikan efek kedamaian bagi orang yang melihat kualitas moralnya berkat kekuatan Dhamma dan kebijaksanaan yang dimilikinya bagi setiap pribadi bhikkhu-bhikkhuni. Pengendalian ini memberikan kekuatan yang luar biasa terhadap lingkungannya. Bhikkhu Sangha dalam prakteknya mengendalikan idrianya sebagai acuan utama para bhikkhu sangha dalam berpikir berbuat, maupun berbicara. Berjalan dalam sila dan vinaya merupakan moralitas yang tinggi yang dapat memberikan kedamaian dan kekuatan kebijaksanaan.
Beberapa sifat dan sikap bhikkhu sangha sebagai pertapa kepada para perumah tangga adalah mencegah anggota keluarga untuk berbuat jahat, menganjurkan untuk selalu berbuat kebaikan, mengajarkan dhamma ajaran kebenaran Sang Buddha yang baru, yang belum diketahuinya atau didengarnya serta menjelaskan dengan baik. Bhikkhu sangha sebagai tempat untuk menanam jasa bagi perumah tangga yang menuju pada kebahagiaan.

2. Aspek keyakinan
Keyakinan para siswa Buddha tumbuh setelah melihat Bhikkhu sebagai model utama dalam moralitas memberikan rasa damai dan kesejukan pikiran. “Keyakinan atau kepercayaan adalah yang terbaik yang dapat dimiliki seseorang”  (S. I : 41). Sangha dalam ini hanya memberikan keyakinan kepada perumah tangga untuk memperkokoh dan memberikan landasan dalam hal pola prilaku sebagai panutan. Buddha dan para bhikkhu sangha adalah pembimbing menuju pada realisasi diri terhadap kebahagiaan.  Dengan memiliki keyakinan kepada Sangha, ada yang berhasil mencapai tujuan, namun tidak sedikit pula yang tidak berubah nasibnya. “Para bhikkhu sangha sebagai siswa Buddha hanya menunjukan jalan seperti Buddha, hasilnya jelas tergantung kepada orang yang mendapat petunjuk” (M. III, 4-6).
Aspek keyakinan yang disertai pernyataan berlindung ini mempunyai arti dalam tiga aspek, (1). Aspek kemauan, yang menghendaki adanya kesadaran dan tindakan yang aktif, bukan pasif menunggu berkah dari atas; (2) aspek pengertian, yang menghendaki pemahaman terhadap hakekat perlindungan dan perlunya perlindungan, yang memberikan harapan dan yang menjadi tujuan; (3) aspek perasaan, yang mengandung unsure percaya keiklasan, syukur dan cinta kasih, yang menimbulkan bakti, mendorong pengabdian dan memberikan ketenangan, kedamaian, semangat, kekuatan dan kegembiraan.

3. Aspek perlindungan
keyakinan muncul mendalam bagi seseorang yang telah mengerti Dhamma yang akan memberikan perlindungan yang sejati terhadap kehidupan menuju kebahagiaan. Keberadaan bhikkhu sangha memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kebahagiaan para perumah tangga sebagai kekuatan moralitas. “Setelah melatih diri dengan baik, ia sangat sulit memperoleh perlindungan, sesungguhnya diri sendiri yang menjadi pelindung bagi dirinya” (Dhp. XII : 160).
Ungkapan perlindungan terhadap sangha menjadi acuan utama dalam upacara ritual agama Buddha. peryataan perlindungan bukan berlindung kepada personal sebagai manusia, tetapi kepada sifat moralitas dan kesucian pada bhikkhu sangha. Pelindung kepada sifat kebuddhaan yang dimiliki oleh setiap manusia adalah percaya pada Buddha sebagai sifat kesadaran dan kesempurnaan. Dan aspek dhamma sebagai bentuk kebenaran pada hukum kesunyataan. Namun yang menjadi aspek perlindungan sebetulnya adalah perlindungan kepada diri sendiri yang telah memiliki pemahaman hakekat kebenaran dan kesucian yang ada pada diri setiap seorang. “Karena itu Ananda, jadikanlah pelita bagi dirimu sendiri. Jangan menyandarkan dirimu pada perlindungan dari luar. Peganglah dharma sebagai pelita. Peganglah dengan teguh dhamma sebagai pelindung. Jangan mencari perlindungan di luar dirimu” (D. II ; 100).
Berkembangnya pengikut Buddha merupakan dasar keyakinan yang muncul dalam pegalaman Sang Buddha, dalam pembabaran Dhamma kepada Bhikkhu Sangha. Keyakinan ini berkat keterlibatan Sangha sebagai aspek psikologis dan falsafah yang berarti kesadaran pada tingkat kesucian, diwujudkan oleh umat perumah tangga melalui perlindungan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Ungkapan perlindungan kepada sangha sebagai kesadaran jiwa pada realisasi kebenaran. Keyakinan yang mendalam pada manusia yang menyatakan perlindungan kepada Sangha. Perlindungan kepada Sangha dalam Tisarana memberikan arti bukan pada person Bhikkhu melainkan pada ariya Sangha sebagai wujud kesucian. 

D. Karakteristik Bhikkhu Sangha.
Secara moralitas bhikkhu sangha maupun umat perumah tangga terikat dengan sila dan vinaya dalam aturan kedisiplinan. Suatu latihan kedisiplinan dan aturan yang ditetapkan dan diberlakukan apabila telah terjadi peritiwa dan didukung dengan alasan-alasan yang akurat. Dengan demikian orang-orang tidak akan memprotesnya. Sebab didukung dengan bukti-bukti yang otentik. Sang Buddha menetapkan peraturan vinaya untuk pertama kalinya di vesali dan diberlakukanya setelah Bhikkhu Sudinna dari desa Kalandaka, melakukan hubungan seksual dengan mantan istrinya, untuk memenuhi keiginan orang tuanya yang mengharapkan keturunan sebagai penerus silsilah keluarganya.
Tanpa kedisiplinan sila dan vinaya, kehidupan manusia  akan menjadi morat-marit, bagaikan kehidupan binatang liar yang hidup dihutan belantara. Tata tertib dalam agama Buddha ditetapkan bukan hanya untuk menciptakan kedamaian dalam masyarakat, ketentraman berbagsa dan bernegara, maupun dalam lingkungan Sangha tetapi lebih dari pada itu, digunakan sebagai landasan untuk mengembangkan batin bagi yang melaksanakannya. Namun seringkali orang menganggap peraturan adalah beban dan ikatan yang membatasi kebebasan. Padahal, “Sila dan Vinaya sebenarnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Sang Buddha dalam ajarannya, merupakan alat atau rakit untuk menyeberangi lautan menuju kepantai seberang, perlu untuk menyelamatkan diri, bukan untuk dijadikan beban” (M, I : 135). Justru sila dan vinaya dibutuhkan oleh mereka yang ingin mencapai kebebasan. Dengan mematuhi sila dan vinaya orang akan mampu melepaskan dirinya dari ikatan belenggu nafsunya sendiri. Sehingga berhasil menyelamatkan dirinya sendiri dan mencapai kebebasan-Nibbana.
Sila dan Vinaya membawa ketertiban, kerukunan, kedamaian dan kemajuan social. Ketika Sang Buddha menetapkan vinaya kepada para siswaNya, Buddha mengemukakan sejumlah fungsi peraturan, yaitu (1) untuk kebaikan Sangha, menjamin kelangsungan hidup atau eksistensi Sangha, (2) mendatangkan kesejahteraan bagi Sangha, mengurangi rintangan dalam latihan, dan menciptakan keharmonisan serta kedamaian, (3) mengendalikan mereka yang berkelakuan buruk, (4) melindungi mereka yang berprilaku yang baik, (5) melenyapkan kekotoran batin (killesa) yang telah ada sekarang, (6) mencegah munculnya kekotoran batin yang baru kemudian dikemudian hari, (7) meyakinkan mereka yang tidak percaya dan membahagiakan, (8) menigkatkan keyakinan mereka yang telah mendengar dhamma, (9) untuk menegakkan Dharma, yang bertahan lama bila vinaya dilaksanakan dengan baik, (10) untuk menegakkan disiplin sehingga memberikan manfaat bagi semua mahluk (A. V ; 70).
Pelaksanaan sila dan vinaya dengan baik akan memunculkan karakteristik yang menonjol dari seorang bhikkhu diantaranya kemurnia dalam sila dan vinaya, kemiskinan dalam suka rela hidup kesederhanaan, kerendahan hati, pelayanan tanpa mementingkan dirinya sendiri, penuh pengendalian diri, kesabaran, welas asih dan tidak membahayakan. Bhikkhu diharapkan menjalankan empat jenis morallitas utama yaitu (1) patimokkha-sila atau kode etika moralitas fundamental sangha dalam menghindari hal-hal yang dilarang oleh Sang Buddha, (2) Indriyasamvara-sila moralitas yang berhubungan dengan penahanan-indria, (3) ajivaparisuddhi-sila yang berhubungan dengan kesucian penghidupan, (4) paccayannisstia-sila yang berhubungan dengan latihan pengembangan spiritual dalam menggunakan empat kebutuhan pokok.
Penetapan vinaya tidak untuk kebaikan sangha saja, melainkan juga untuk kebaikan seluruh umat. Dengan menjalankan vinaya secara baik, para bhikkhu-bhikkhuni  akan memperoleh sokongan perumah tangga. Vinaya akan memusnahkan para bhikkhu sangha yang beritikat buruk. Dharma akan terpelihara dengan baik dengan adanya kelestarian Sangha. Sangha ini terpelihara karena adanya vinaya yang ditaati. Mengajarkan dhamma tanpa vinaya, sama artinya dengan mengajarkan jalan tanpa menunjukkan bagaimana cara memulai dan menempuhnya. Sebaliknya vinaya tanpa dharma hanya merupakan suatu peraturan kosong yang sedikit manfaatnya. “Pelaksanaan sila dan vinaya dengan baik merupakan tindakan yang bebas dari penyesalan (avippatisaro) sebagai tujuan dan buahnya” (A. V ; 1). Dengan memiliki sila dengan baik seseorang akan dicintai, dihormati, dan dihargai oleh orang lain (M. I, 33). Dalam Mahaparinibana-sutta dihadapan perumah tangga Buddha mengemukakan manfaat dari pelaksanaan sila; (1)membuat orang bertambah kaya, (2) mendatangkan nama baik, (3) menimbulkan rasa percaya diri dalam pergaulan dengan berbagai golongan manusia, (4) memberikan ketenangan disaat menghadapi kematian, (5) setelah meninggal dunia akan terlahir dialam surga (D. II, 86).
Seseorang yang memasuki persamuan sangha dan menerima pentahbisan sebagai samanera-bhikkhu pemula, ia mulai terikat untuk mematuhi sepuluh sila samanera dan 75 sekiya, dengan kode disiplin tertentu untuk menjalani hidup sampai ia menerima penthabisan yang lebih tinggi-upasampada menjadi seorang bhikkhu. Bhikkhu pemula wanita disebut samaneri dan yang telah penuh-upasampada disebut bhikkhuni.
Seorang bhikkhu terikat untuk menjalankan empat jenis moralitas utama tersebut yang terdiri dari 227 aturan disamping beberapa aturan kecil yang lainya, untuk bhikkhuni 311 aturan. Peraturan mengenai kehidupan selibat sampai pencapaian spiritual adalah penting dan harus dipatuhi secara ketat. Jika melanggar salah satu aturan dalam peraturan sangha, itu diaggap sebagai “pecundang” dalam komunitas Sangha. Hak-hak religius tertentu dicabut dari komunitas sangha. Dalam hal ini yang melanggar, tentunya menghadapi banyak konsekuensi lainya dan memperbaiki sesuai dengan berat ringanya pelanggaran.
Kehidupan bhikkhu sangha tidak ada sumpah bagi seorang bhikkhu. Ia menjadi bhikkhu berdasarkan kehendaknya sendiri untuk menjalani kehidupan suci selama ia suka atau sebatas kemampuan yang dimilikinya. Karena itu ia tidak perlu merasa terjebah oleh sumpah yang pernah ia ucapkan dalam upacara upasampada-nya, dan menjadi munafikm karena ia sendiri dapat memutuskan apakah ia ingin mematuhi aturan atau tidak. Ia bebas untuk meninggalkan kehidupan komunitas Sangha kapan pun dan dapat menjalani cara hidup perumah tangga sebagai umat Buddha biasa apabila hal itu ia menginginkan. Ia juga dapat kembali memasuki komunitas sangha lagi kapan pun ia mau, namu ada peraturan yang perlu ditaati, aturan yang sama pula diterapkan untuk para bhikkhuni dalam latihan sebagai biara.

E. Peran dan Nilai Religius Sangha
Munculnya sangha sebagai pewaris Dhamma yang memiliki peranan yang sangat penting dalam penyebaran Dhamma. Setelah para bhikkhu mencapai 60 orang arahat, Sang Buddha mengumpulkan para bhikkhu dan mengutusnya untuk menyebarkan Dhamma kesegala penjuru. O para bhikkhu, pergilah berkelana, demi kebaikan semua mahluk, demi kesejahteraan, kebahagiaan cinta kasih dan kasih sayang dunia ini, dan demi kebahagiaan dan kebaikan para dewa dan manusia, janganlah kalian pergi bersamaan kearah sama. Babarkanlah para bhikkhu, Dhamma yang indah dan mulia pada awal, pertengahan dan pada akhirnya. Baik yang tersirat maupun yang tersuart. Ajarkanlah kehidupan luhur. Dimana ada manusia yang matanya terselimuti oleh sedikit debu-debu, jika tidak mendengarkan Dhamma akan terjatuh. Mereka itulah yang akan memahami Dhamma. Laksanakan tugas mulia ini, kibarkanlah bendera kebijaksanaan. Ajarkanlah Dhamma, bekerja demi kebaikan semua mahluk.
Peran Sangha dalam pembabaran ajaran Buddha mulai dengan penyebarannya enam puluh para bhikkhu arahat dalam meneruskan ajaran Dhamma pada kehidupan Sang Buddha. sangha sebagai figure yang melaksanakan Dhamma mendapatkan simpati para dewa dan manusia yang ingin mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan ini. Kisah pertapa Kondana setelah Sang Buddha menguraikan khotbah dhamma yang pertama, langsung memperoleh mata dhamma, karena dapat mengerti dengan jelas makna khotbah tersebut sehingga beliau mencapai tingkat kesucian sotapanna dan disebut Anna Kondana artinya bhikkhu yang mengerti. Y.A. Sariputra mendapatkan keyakinan hanya mendengarkan tentang ajaran Buddha melalui ajaran yang sederhana bahwa segala sesuatu tiada yang kekal, pasti memiliki sebab dan akibatnya sehingga Sariputra mengeri Dhamma dan mencapai tingkat kesucian.
Buddha memiliki pengaruh religius yang sangat besar pada waktu kehidupannya setelah pencapaian penerangan sempurna. Masuknya lima pertapa teman seperjuangan Sidharta Gautama ahkirnya menjadi pengikut Buddha setelah mendapatkan ajaran tentang kebenaran mulia bahwa fenomena kehidupan ini telah tersimbak dan hanya mereka yang masih memiliki banyak kekotoran batin dapat menikmati dan melaksanakan Dhamma hingga mencapai pembebasan.
Persaudaraan suci para bhikkhu telah terbentuk pada kehidupan Buddha. persaudaraan para bhikkhu dengan sang Buddha sebagai kepala dalam sangha, memberikan inspirasi tentang kebenaran. Praktek pembabaran Dhamma dengan kebijaksanaan memberikan implikasi terhadap pencapaian kebahagiaan bagi para pengikut ajaran Dhamma dan memberikan petunjuk dalam kehidupan menuju Nibbana.
Moralitas Sangha memberikan peran dalam aspek psikologis bagi orang yang melihatnya dan dinyatakan mampu dalam pengendalian diri terhadap orang-orang yang tidak teguh. Bagi para bhikkhu lain dan umat perumah tangga akan dapat merasakan kebahagiaan dengan para bhikkhu sangha yang melaksanankan sila dan vinaya dengan baik, melatih diri dalam upaya pembebasan terkesan sangat simpatik dan memberikan kesejukan jiwa. Nilai religius muncul dalam keterlibatan Sangha terhadap kebenaran Dhamma, diwujudkan dengan penghargaan dan perlindungan. Secara fisik, sangha sebagai kumpulan para bhikkhu sangha, umat perumah tangga memiliki rasa dan sikap ramah tamah, memiliki uacapan yang baik, pikiran yang terkendali, serta menuntun dalam sikap dan perbuatan kejalan kebenaran.
Hubungan antara bhikkhu Sangha dengan umat merupakan hubungan yang bersikap moral religius dan sifatnya timbal balik sebagaimana yang telah dijelaskan Sang Buddha dalam Sigalovada Sutta; umat perumah tangga (umat Buddha) hendaknya menghormati bhikkhu sangha dengan cara; (1) membantu dan memperlakukan mereka dengan perbuatan yang baik, kata-kata yang ramah (2) pikiran yang penuh kasih saying, (3) selalu membuka pintu untuk mereka masuk (4) dan memberikan keperluan dalam hidupnya. Sebaliknya para bhikkhu yang mendapatkan penghormatan demkian akan mencintai umatnya dengan cara; (1) mencegah mereka berbuat jahat, (2) menganjurkan mereka untuk berbuat baik, (3) mencintai mereka dengan penuh kasih saying, (4) megajarkan dhamma yang belum mereka dengar dan menjelaskan dhamma dengan baik, (5) menunjukan jalan menuju pembebasan.
Para bhikkhu yang sungguh-sungguh menjalankan Dhamma-vinaya merupakan sahabat yang sangat baik (kalyana mitta) guru dhamma yang melestarikan ajaran agama Buddha, yang patut mendapatkan pelayanan dan penghormatan. Dimana ia berada pada orang yang tekun dalam pelaksanaan kebaikan, semangat dan berusaha untuk melayani semua kebutuhannya. Karena nilai religius sesuatu kebenaran merupakan suatu kebenaran yang universal. Orang-orang yang dengan sungguh melaksanakan Dhamma-vinaya akan menjadi orang yang bijaksana, tidak sombong, sederhana, bebas dari keserakahan, kemarahan, kemelekatan, senantiasa tenang, penuh tenggang rasa, bersemangat dan tanpa keinginan untuk memperoleh nama dan kemasyuran diri sendiri. Kesempatan baik bagi perumah tangga dalam menanam kebajikan dengan menopang kehidupan para bhikkhu sangha. 
Sebaliknya umatpun dapat berpaling dari bhikkhu sangha yang melakukan pelanggaran vinaya, dengan cara tidak melayani, tidak menghormati, dan tidak memberikan persembahan makanan karena bhikkhu sangha tersebut telah lalai melakukan kewajibannya. Sehingga membuat nama buruk. Jika seorang bhikkhu masih menyakiti orang lain dan hidup sama seperti perumah tangga, maka sesungguhnya ia bukanlah seorang samana.
Mengingat kehidupan bhikkhu sangha tidak meminta kepada umat, maka sebaliknya umat seyogyanya menanyakan hal-hal yang dibutuhkan oleh bhikkhu sesuaia dengan keperluan dan tidak bertentangan dengan peraturan kebhikkhuan. Karena kehidupan bhikkhu tergantung dari pemberian umat, jadi ia harus merasa puas, tidak memilih atau meminta sesuatu tertentu dari umat kecuali umat menawarkan kesempatan dalam pengembangan karma baiknya.  Melalui perbuatan baik berdana kepada sangha pada setiap hari kathina. Ada empat kebutuhan pokok bagi para bhikkhu sangha yaitu; jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan serta sarana yang lain yang mendukung dalam kehidupan sangha.  Peran religius sangha memberikan perkembangan yang besar dalam sejarah Buddha-Dhamma  hingga sekarang ini, menunjukkan adanya keterlibatan bhikkhu Sangha sebagai inspirasi pada keyakinan terhadap kebenaran Buddha.

F. Penutup
Sangha memiliki peran yang sangat penting terhadap pelestarian dan pembabaran Dhamma ajaran Sang Buddha. kebajikan moralitas yang menjadikan acuan dalam berpikir, bertindak, berucap yang positif sebagai seorang pertapa yang memberikan rasa damai dan bahagia. Sehingga menimbulkan keyakinan yang mendalam pada diri orang yang mengenal Dhamma.
Keyakinan dalam agama Buddha bukan keyakinan yang membuta berdasarkan dogma-dogma. Apabila tidak dilaksanakan membawa manusia pada alam neraka. “Keyakinan dalam Buddha yang paling utama adalah keyakinan kepada Buddha, keyakinan pada jalan mulia berunsur delapan, keyakinan kepada ketiadaan hawa nafsu (Viraga) atau Nibbana yang dinyatakan juga sebagai dhamma dan keyakinan kepada Ariya-Sangha, persaudaraan orang-orang suci” (A. II : 34). Buddha memberikan petunjuk terhadap keyakian adalah datang dan buktikan. Perbuatan yang memberikan dampak kebahagiaan harus tetap dilaksanakan, tetapi perbuatan yang membawa penderitaan jangan dilakukan. Buddha menolak ajaran pandangan yang salah berdasarkan keyakianan yang membuta, dilakukan oleh kaum titiya dan carvaka yang menggangap bahwa kehidupan manusia akan mengalami kebahagiaan dan hidup hanya sesaat atau tubuh adalah sumber penderitaan dan harus disiksa.
Menurut Asangga keyakinan itu mengandung tiga unsur, yaitu (1) keyakinan yang kuat akan sesuatu hal, (2) menimbulkan kegembiraan yang mendalam terhadap sifat-sifat yang baik, (3) harapan untuk memperoleh sesuatu dikemudian hari. Keyakinan yang kuat bukan berarti sebatas percaya seperti yang lazim dikenal oleh kebanyakan orang. Keyakinan disini menekankan aspek melihat, memahami dan mengetahui. Persoalan akan percaya akan timbul apabila kita tidak dapat melihat sesuatu dengan jelas. Begitu melihat dengan sendiri dengan jelas, pada saat itu pula tidak ada lagi persoalan percaya atau tidak. Dalam ajaran yang bersifat ehipasiko, yang selalu kita temukan adalah melihat atau membuktikan, sehingga keyakinan memiliki kepastian, bukan percaya kepada sesuatu yang masih belum jelas.
Kegembiraan terhadap sifat yang baik akan ditemukan pada orang-orang yang memiliki pengertian dan kebijaksanaan. Tidak mungkin orang percaya karena takut dapat merasakannya. Dan sesuatu pengharapan dari sikap moral manusia mencapai kesempurnaan lewat jalan kebijaksanaan dan pemusatan pikiran yang bersih dari dorongan yang keliru. Sariputra memberikan kesaksian bagaimana seseorang dapat memiliki keyakinan yang sempurna kepada Tathagatha dan tidak meragukan ajaran-Nya. Keyakian diuji dengan mengendalikan indria. Dengan keyakianan ini, semangat kesadaran, konsentrasi, kebijaksanaan yang terus menerus. “Sebelumnya aku hanya mendengar hal ini, sekarang aku hidup dengan mengalaminya sendiri, kini dengan pengetahuan yang dalam, aku mampu menembusnya dan membuktikan secara jelas dan sendiri keindahan itu telah hadir” (S. V : 226).

Refrensi
......., 1980, Kebahagiaan dalam Dhamma, Majelis Buddhayana Indonesia, Jakarta.
Ingersah, 2002, Hubungan antara Bhikkhu dan umat Buddhis, Vihara Dhamma Metta Arama, Pekan Baru.
Krishnanda Wijaya-Mukti, 2003, Wacana Buddha-Dhamma, Ekayanan Buddhis Centre, Jakarta.
Mulyadi Wahyono, SH , 2002, Pokok – Pokok Dasar Agama Buddha, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta.
Sri Dharmananda, 2002, Keyakinan Umat Buddha, Karaniya, Jakarta
Surya Widya pandita Sasanadhaja, 2001, Dhammapada, Abdi Dhamma Indonesia, Jakarta.
Teja S.M. Rashid, 1997, Sila dan Vinaya, Buddhis Bodhi, Jakarta.
Woodrvold Translit, 1989, The Book Of The Gradual Saying’s (Anguttara-Nikaya), Pali Text Society Oxford, London.
Ven. Narada Mahathera, 1998, Sang Buddha dan AjaraNya Bagian I dan II, Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta.
Ven, Piyadassi Mahathera,……..,Theravada Buddhism, Present Situation, W.B.F. Unity Of Diversity, Thailand

































PESAN WAISAK 2548 / 2004
Oleh : Bhikkhu Vajhiradhammo

Namo Sangyang Adi Buddhaya
Namo Buddhaya

Setiap tahun makna Tri Suci Waisak kembali mengingatkan semua insan, terutama insan Buddhis di mana pun mereka berada. Tiga peristiwa penting yang terkandung di bulan Waisak adalah, Pangeran Siddharta Gotama lahir 623 SM, Pertapa Siddharta Gotama mencapai Penerangan Agung 588 SM, dan Buddha Gotama wafat, Parinibbana 543 SM. Ajaran Sang Buddha dalam kepentingan masyarakat disebut dan dikenal juga sebagai agama. Di setiap saat Tri Suci Waisak tiba, yang selalu menjadi perenungan tentang ajaran Sang Buddha sebagai agama adalah bahwa umur agama berbeda dengan umur manusia. Perbedaannya, manusia tambah lama umurnya, bertambah tua usianya, semakin lemah kekuatannya, semakin dekat saat kematiannya. Akan tetapi umur agama, tambah lama, tambah tua usia, semakin bertambah kuat, kokoh keberadaannya, semakin banyak pengikutnya, dan semakin luas jangkauan perkembangannya.
Hingga saat ini, ajaran Sang Buddha masih dikenal, bahkan semakin terkenal di berbagai muka bumi belahan dunia. Pesan-pesan Sang Buddha secara rinci ditujukan ke semua mahluk untuk mencapai kedamaian dalam hidupnya. Maka, meskipun Sang Buddha telah meninggalkan dunia dua puluh lima abad yang lampau, namun suara Sang Buddha masih jelas didengar, petunjuknya masih bisa diikuti, perilakunya masih memberi tauladan agung dalam sejarah kemanusiaan di segala zaman.
Tujuan ajaran Buddha mencapai kedamaian dengan cara menghapus penderitaan. Kini ajaran Buddha semakin diminati, oleh karena setiap makhluk pasti tidak ingin dirinya hidup menderita. Sedangkan telah jutaan tahun manusia mencari jawaban pasti kapan penderitaan berakhir. Namun. meskipun telah tak terhitung berapa banyak cara dicurahkan hanya untuk mencari jawaban pasti untuk mengakhiri penderitaan, toh tetap penderitaan tidak mau dilebur dan dikubur begitu saja oleh manusia. Sebab hampir setiap orang selalu memberi jawaban, bahwa penderitaan datang dari luar diri sendiri. Sehingga harus mencari kekuatan dari luar diri sendiri cara mengakhiri penderitaan.
Dari ketergantungan seseorang pada kekuatan di luar diri sendiri, secara tidak disadari akan berakibat semakin melemahkan potensi diri sendiri. Yang sebenarnya potensi diri sungguh luar biasa mengagumkan bilamana seseorang dapat memberdayakan. Hanya karena ketidaktahuan bahwa setiap pribadi memiliki potensi diri, maka banyak orang selalu menyandarkan diri pada kekuatan lain di luar dirinya sendiri. Tidak tahu kalau objek itu pasif, yang aktif subjek. Tidak tahu bahwa barang siapa suka menggantungkan diri kepada yang lain, suatu ketika akan menggantung dirinya sendiri jika tidak ada yang lain. Tidak tahu bahwa siapapun tidak akan merubah dirnya selama diri sendiri tidak mau berubah. Dari ketidaktahuannya itu sehingga menjadi kebiasaan seseorang selalu mencari pelindung dari luar diri sendiri, agar aman tidak diganggu orang lain, tetapi tidak melindungi dirinya sendiri yang lebih sering mengganggu orang lain.
Oleh karena hampir semua orang sangat tidak biasa dengan cara berpikir Buddhis, ajaran Sang Buddha yaitu mawas diri sendiri dengan sebuah perenungan. Kini dunia merana, di muka bumi tempat kita lahir, hidup, dan mati, setiap hari tidak pernah kosong dari tindak kekerasan yang berujung penderitaan. Akibat dari ulah manusia masa kini yang tidak pernah mengawasi dirinya sendiri dengan perenungan, sebaliknya hanya biasa mengawasi diri orang lain disertai tuduhan. Padahal menuduh, mengiri, mengeluh, menuding, hanyalah menambah deretan jumlah masalah muncul. Untuk itu, dari hari ke hari, makhluk-makhluk merasa semakin sempit ruang geraknya, gersang jiwanya, kering air kasih sayang antar sesama. Sehingga sebuah kedamaian hidup tinggal impian. Sang Buddha tidak mengajarkan kepercayaan-kepercayaan takhayul, atau mengikatkan diri kepada kekuatan-kekuatan gaib di luar diri agar bebas dari penderitaan. Tidak menganjurkan untuk mengeluh, menuduh, dan menuding sekeliling sebagai sebab semua penderitaan yang menimpa. Melainkan menunjukkan jalan untuk mengakhiri penderitaan dengan cara mawas diri, dengan sebuah perenungan.
 Peristiwa itu bukanlah hal yang begitu saja bisa terjadi pada setiap kehidupan manusia, tetapi peristiwa yang sekaligus pula menandai kehadiran nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber pada Penerangan Sempurna.
Nilai-nilai kemanusiaan universal sesungguhnya adalah jati diri kemanusiaan setiap manusia, yaitu kasih sayang kepada sesama makhluk hidup (karuna) dan kebijaksanaan (pañña). Tetapi keluhuran jati diri itu bukan merupakan keadaan yang begitu saja tumbuh berkembang pada diri manusia sejak dilahirkan. Nilai-nilai kemanusiaan harus diwujudkan melalui upaya penghayatan Dhamma yang lebih intensif, dan bukan hanya menjalani formal-ritualistik semata.
Penghayatan Dhamma yang tercermin dalam perubahan sikap dan perilaku bagi setiap umat Buddha sesungguhnya adalah inti gerakan reformasi terhadap pikiran kita. Pikiran manusia seringkali dibiarkan untuk dikuasai oleh keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin (moha). Keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin sangat merugikan bagi siapa pun juga, sebab kekotoran batin itu merupakan pemicu berkembangnya perilaku negatif. Pada hakikatnya perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotis yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat berawal dari kekotoran batin tersebut. Tindakan-tindakan kerusuhan, kekerasan, penghasutan juga disebabkan oleh pikiran yang dirasuki keserakahan, kebencian dan kegelapan batin itu. Apalagi dengan tidak adanya kepastian hukum, pelegalan terhadap penguasaan materi, hal-hal itu menyebabkan keserakahan berkuasa di mana-mana, keserakahan menjadi tujuan hidup, dan kebencian akan sangat mudah menyusul timbul bila pada saat-saat tertentu ternyata manusia tidak dapat lagi atau terhalang dalam memuaskan keinginan keserakahannya.
Dalam sinar terang Dhamma, bagi kita yang masih mempunyai pemikiran sehat, sangat jelas tampak bahwa permasalahan di atas yang kemudian melahirkan berbagai krisis di tanah air ini adalah merupakan permasalahan yang dibuat dan terdapat dalam diri kita, manusia sendiri. Oleh karena itu, manusia pulalah yang sebenarnya harus bertanggung jawab untuk memperbaiki dan menyelesaikan. Sama sekali tidak ada alasan bagi kita untuk menyerah kalah, patah semangat dalam memperbaiki keadaan hidup ini, dalam menegakkan kembali dengan sekuat tenaga keadilan, kehangatan persaudaraan, dan kesejahteraan bangsa serta negara ini. Guru Agung kita, Buddha Gotama, mengingatkan dalam Dhammapada syair 160:
"Diri sendiri sesungguhnya adalah majikan bagi dirinya sendiri, karena siapa pula yang menjadi majikan bagi dirinya? Setelah seseorang dapat melatih dirinya dengan baik, maka ia akan memperoleh suatu perlindungan yang amat sukar diperoleh."
Tidak bisa ditawar-tawar lagi, ataupun dipungkiri, bahwa menjadi kewajiban kita bersama, setiap umat Buddha dan semua umat beragama, untuk berjuang melenyapkan keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin, dalam pikiran kita masing-masing dan sekaligus juga berjuang sekuat tenaga dengan dorongan kasih sayang yang tulus (karuna) untuk mengingatkan, mencegah, ataupun menghentikan saudara-saudara kita yang melakukan tindakan-tindakan kejahatan. Sekali lagi, kejahatan yang merupakan perwujudan kekotoran batin itu sungguh sangat merugikan bahkan menghancurkan peri kehidupan ini, baik diri kita sendiri maupun orang banyak, dan juga memorak-porandakan tata nilai, saat kini maupun masa depan putra putri bangsa.
Reformasi pikiran adalah hal yang penting dan mendesak sekali dilaksanakan terutama dalam pengendaliannya. Karena selama pikiran kita tidak mengalami perubahan mendasar maka segala bentuk kekerasan tidak akan pernah berkurang, apalagi berakhir. Buddha Gotama menunjukkan cara yang tepat, untuk mereformasi pikiran kita, yaitu dengan melatih diri secara terus-menerus dalam kesusilaan (síla), meditasi (samãdhi), dan kebijaksanaan (pañña).
Pekan depan bangsa Indonesia bersama warga negara kita semua akan menyelenggarakan pemilihan umum yang harus kita upayakan semaksimal mungkin menjadi pemilihan umum yang demokratis, jujur, adil, dan aman. Kami mengajak kepada segenap umat Buddha untuk mempersiapkan diri dengan baik dalam menyukseskan pemilu tahun 2004 ini, dengan menggunakan hak pilih sesuai hati nurani kita masing-masing disertai landasan pengertian Dhamma. Jagalah ketenangan suasana serta ketentraman hidup bersama. Sekali-kali jangan mudah tergelincir dengan pancingan-pancingan yang bisa membuat kemarahan, permusuhan, balas dendam, maupun tarikan materi.
Marilah kita junjung nilai kemanusiaan ini, marilah kita selamatkan keluarga kita, dan dunia ini dari ketegangan, kekacauan dan masih banyak lagi untuk disebutkan, dengan memulainya dari diri kita masing-masing, memulai dengan cina kasih yang tulus. Memulai dengan menumbuhkan rasa persahabatan kepada semuanya, kepada semua kehidupan. Sekarang ini dunia dalam kehidupan kita semakin membutuhkan cinta kasih. Pada saat-saat yang keramat ini di bulan waisak, sudah seharusnya kita berterima kasih kepada Guru Besar kita Sang Buddha, karena dalam waktu berkalpa-kalpa sejak Beliau masih sebagai Bodhisatta, Beliau telah berjuang untuk mencapai Penerangan Sempurna. Dan dari Penerangan Sempurna yang telah Beliau capai itulah kita mengenal Dhamma. Selama 45 tahun penuh Beliau mengabdi, membabarkan Dhamma untuk kebahagiaan semua umat manusia. Mengangkat derajat kehidupan kita. Dan berbahagialah kita yang sampai saat ini masih bisa menemui Dhamma yang luhur itu.
Umat Buddha, wujudkanlah perilaku yang baik, hiduplah sesuai Dhamma dalam kehidupan sehari-hari secara pribadi, di tengah keluarga maupun dengan sesama. Marilah kita bekerja sama bahu-membahu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang universal untuk semua orang.  "Kesejahteraan hidup lazim terjadi, kemerosotan hidup pun lazim terjadi; ia yang mencintai Kebenaran (Dhamma) akan memperoleh kesejahteraan dan ia yang tidak menyukai Kebenaran akan mengalami kemerosotan." (Sutta Nipäta 92).
Di saat kita merayakan waisak, di saat ini pula kita mengenang kembali tiga peristiwa dalam kehidupan Guru junjungan kita, marilah dengan semangat waisak kita tingkatkan kewaspadaan dalam kebersamaan untuk menjaga kehidupan bermoral.
Selamat hari waisak 2548/2004. semoga dengan berkah kehidupan ini, marilah kita bangun kehidupan kita masing-masing lahir dan batin. Karena dengan mulai membangun dari diri kita masing-masing, maka berarti juga membangun keluarga dan masyarakat dimana kita hidup secara bersama-sama. Sungguh bahagia, dapat membangun lahir dan batin dalam negara adalah berkah utama.
Semoga semua mahluk hidup berbahagia.
Sandu……sadhu…….sadhu…….
















PROFESIONAL GURU DALAM STRATEGI PEMBELAJARAN TERHADAP PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR SISWA
Oleh Sujayanto

A. Latar Belakang Masalah
Mengapa manusia perlu belajar? Ini merupakan suatu pertanyaan yang wajar dan memewrlukan dijawab bahwa tak ada mahkluk hidup yang sewaktu dilahirkan sedemikian tidak berdaya. Begitu juga sebaliknya tak ada manusia lain di dunia ini yang setelah dewasa mampu menciptakan apa yang telah diciptakan manusia tanpa belajar. Seandainya bayi yang baru lahir  tidak mendapatkan bantuan dari orang dewasa yang lain, tidak belajar, niscaya ia akan binasa. Ia tidak mampu hidup sebagai manusia jika ia tidak dididikatau diajar oleh manusia.
Guru adalah merupakan orang yang dapat menolong seseorang menjadi lebih pandai, maka peranan guru dalam belajar dan pembelajaran disini sangat penting. Guna menciptakan manusia yang lebih paandai walupun dalam belajar sangat membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan bertahun-tahun, hingga seseorang itu mampu mengapai apa yang telah dia cita-citakan.
Seorang guru harus dituntut agar memiliki pengetahuan yang cukup dan mampu mengembangkan serta mentransferkan ilmu yang mereka miliki kepada anak didiknya agar apa yang mereka peroleh mampu mereka serap. Sehingga guru juga harus mampu memahami dan dapat menilai setiap karakter siswa yang mereka didik.

B. Pengertian Pembelajaran dan Belajar Siswa
Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu kalau padanya terjadi suatu perubahan tertentu, misalnya dari yang belum tahu menjadi tahu, dari yang tidak dapat naik sepeda motor menjadi dapat naik sepeda motor, dari yang tidak tahu sopan santun menjadi seseorang yang santun, dari yang tidak bisa berbahasa inggris menjadi mahir berbahasa inggris dan lain sebagainya.
Dari uraian tersebut di atas dapat di identifikasi ciri-ciri kegiatan yang disebut “Belajar” yaitu: (1) Belajar adalah aktivitas yang menghasilkan perubahan pada diri individu yang belajar, baik aktual maupun potensi. (2) Perubahan itu pada dasarnya berupa didapatkannnya kemampuan baru, yang berlaku dalam waktu yang relati lama. (3) Perubahan itu terjadi karena  berusaha.
Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap suatau situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang ( misalnya kelelahan, pengaruh obat dan sebagainya) (Hilgard dan Bower).
Belajar adalah suatu perubahan  didalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian (witherington). Faktor-faktor penting yang sangat erat hubungannya dengan proses belajar ialah: kematangan, pennyesuaian diri atau adaptasi, menghafal atau mengingat, pengeertian, berfikir, dan latihan
Strategi belajar dan pembelajaran dapat diartikan sebagi kegiatan guru untuk memikirkan dan mengupayakan terjadinya konsisten antara aspek-aspek dari komponen pembentukan sistem instrusional, dimana unntuk itu guru harus menggunakan siasat tertentu dalam kelancaran proses belajar mengajar suatu kombinasi yang tersusun, meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembelajaran. Kemudian belajar adalah menambah dan mengumpulkan sejumlah perngetahuan, yang terpenting pendidikan intelektual atau belajar adalah proses perubahan di dalam diri manusia, apabila setelah belajar tidak terjadi perubahan dalam diri manusia, maka tidaklah dapat dikatakan bahwa padanya telah  berlangsung proses belajar (Zainal Agib. 2002: 43). Hal ini tentunya diberikan kepada anak-anak pelajaran untuk menambah pengetahuan yang dimiliki, sumber motivasi belajar, terutama dalam menghafalkannya.

C. Pengembangan Profesi Guru
Dalam pengembangan profesi seorang gur melalui tahap-tahapyanng juga membutuhkan waktu yang sangat lama, karena seorang guru yang profesional juga tidak langsung menjadi seorang guru yang profesional itu semua ia peroleh jga dari proses belajar yang membutuhkan waktu yang sangat lama bahkan bertahun-tahun lamanya.
Dalam rangka meningkatkan mutu, baik mutu profesional guru, maupun mutu layanan, guru harus pula meningkatkan sikap profesionalnya. Pengembangan sikap profesional ini didapat dilakukan melalui baik masih dalam dunia pendidikan Prajabatan maupun setelah bertugas( dalam jabatan) yang telah mereka miliki. Peningkatan ini dapat dilakukan secara formal melalui kegiatan mengikuti penataran, loka karya, seminar, dan melalui media massa televisi, radio, koran, dan majalah maupun publikasi lainnya (Soetjipto,1999: 54).

D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Belajar
Dalam belajar tentunnya ada faktor-faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar itu adalah:
1.      Faktor yang berasal dari luar diri pelajar (lingkungan)
a.       Faktor-faktor Non sosial. (faktor yang disebabkan oleh keadaan cuaca udar, suhu, waktu, tempat, alat-alat yang dipakai dalam kegiatan belajar, tempat sekolah harus jauh dari kebisingan lalu lintasatau jalan ramai, banguna harus selalu nyaman dalam melakukan kegiatan belajar.
b.       Faktor-faktor Sosial Dalam Belajar (Faktor manusia (sesama manusia), yang dapat menganggu proses belajar, banyak orang yang selau hilir mudik kesana kemari .
2.      Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri si pelajar
a.        Faktor-faktor Psikologi Dalam Belajar ( faktor-faktor fisilogi yang disebabkan melaui keadaan tonus jasmani pada umumnya dan keadaan fungsi-fungsi fisiologi tertentu).
b.      Faktor-faktor Psikologi Dalam Belajar (adanya kelengkapan dalam kegiatan belajar mengajar) (, ; 233).
Selain yang tersebut di atas juga ada faktor lain yang mempengaruhi siswa dalam belajar, karena setiap masing-masing individu berbeda. Faktor-faktor tersebut adalah:
1.      Bahan pengajaran yang tidak sesuai dengan bakat, perkembangan, secara singkat kebutuhan anak.
2.      Guru yang kurang kemampuan rokhani dan jasmaninya (misalnya kurang pengetahuan,  keterampilan kurang, kurang dedikasi, kkurang berwibawa dan sebagainya).
3.      Situasi keluarga yang kkurang  baik (misalnya keluarga kurang harmonis, ekononi lemah atau kurang, dan sebagainya).
4.      Lingkungan hidup yang menghambat (misalnya tidak sehat karena sampah, banjir, pencemaran udara dan air pabrik, mobil, kepadatan pendudu, rumah sempit dan sebagainya).
5.      Adat istiadat masyarakat yang menhambat pergaulan yang tak teratur, kebudayaan yang rendah dan sebagainya).
6.      Kondisi pribadi anak, rokhani dan jasmaninya anak yang tidak cukup (AG. Soejono, 1980: 174)
Juga ada faktor lain yang mempengaruhi belajar pada anak yaitu:
1.      Faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri yang disebut faktor individual dan
2.      Faktor yang ada di luar individu yang disebut faktor kemaatangan, pertumbuhan, kecerdasan, latihan, motivasi. (Drs. M. Ngalim Purwanto ,1998: 102).
Dari faktor-faktor yang terrsebut di atas tentunya ada cara-cara untuk mengatasikesulitan-kesulitan atau faktor-faktir yang mempengaruhi belajar adalah sebagai berikut:
1.      Keadaan Jasmani (Belajar itu memerlukan tenaga, agar dapat tercapai hasil belajar yang baik maka keadaan jasmani perlu dijaga, apabila badan kurang sehat,  kurang makan,  kurang tidur maka seorang anak tidak dapat belajar atau menerima pelajaran dengan baik atau tidak dapat belajar dengan efektif).
2.      Keadaan Emosional dan Sosial (Seorang anak yang merasa jiwanya tertekan, takut akan kegagalan dalam menjalankan tugasnya, seorang anak yang tidak mempunyai teman atau dikucilkan dalam sekolahnya maka ia tidak dapat belajar dengan efektif).
3.      Keadaan Lingkungan (Tempat belajar hendaknya tempat yang tenang, jauh dari kebisingan, jangan diganggu oleh perangsang-perangsang dari sekitar, karena belajar membutuhkan konsentrasi yang kuat).
4.      Memulai Pelajaran (Dalam permulaan suatu pelajaran terkadang kita sering merasakan kelambanan, malas dan sering menunda-nunda tugas atau suatau pelajaran, untuk mengusir atau mengatasi hal itu maka kita harus membuat tekad atau buat perintah pada diri kita sendiri untuk segera memulai pekerjaan tersebut).
5.      Membagi Tugas (Apabila kita ingin melakukan segala sesuatu hendaknya dimulai dengan hal-hal yang paling mudah terlebih dahulu agar tugas tersebut dapat terselesaikan tepat waktunya, karena apabila kita mengambil tugas yanng berat terlebih dahulu maka hal itu hanya akan membuang-buang tenaga dan belum tentu dapat terselesaikan).
6.      Adakan Kontrole (selidikilah kembali tugas pada akhir pelajaran, apakah hasil itu baik menggembirakan maupun tidak menggembirakan atau kurang baik. Maka itu akan memerlukan latihan khusus).
7.      Pupuk Sikap Yang Optimis (Sikap optimis akan sangat membantu dalam belajar maupun dalam menyelesaikan tugas).
8.      Waktu Bekerja (Waktu yang kita butuhkan dengan penuh perhatian yaitu selama empat puluh menit. Maka hendaknya kita sewaktu belajar harus mempunyai tekad untuk tidak meninggalkan tempat duduk kita selama empat puluh menit, dengan mennyeleweng dari waktu yang telah kita tentukan berarti kegagalan atau kekalahan yang kita peroleh).
9.      Buatlah Suatu Rencana Kerja (segala sesuatu yang ingin kita lakukan, maka terlebih dahulu kita harus membuat suatu rencana, agar dengan suatu rencana kerja yang telah kita susun dengan baik tersebut maka niscaya kita akan mencapai hasil yang maksimal).
10.  Menggunakan Waktu (Kita hendaknya menggunakan waktu itu dengan efisien, karena dengan lewatnya waktu maka hilanglah sudah kesempatan itu dan tidak mungkin terulang lagi).
11.  Belajar Keras Tidak Merusak (Dengan  belajar penuh konsentrasi tidak merusak, melainkan menggunakan waktu tidur untuk belajar itu yang akan merusak badan kita).
12.  Cara Mempelajari buku (Sebelum kita melihat keseluruhan atau membaca keseluruhan isi dari buku tersebut maka kita terlebih dahulu melihat daftar isi terlebih dahulu, karena daftar isi  merupakan gambaran atau garis besar tentang isi buku tersebut).
13.  Mempertinggi Kecepatan Membaca (Dengan kecepatan membaca akan dapat membantu kelancaran dalam belajar, sseorang pelajar hendaknya harus mampu mencapai kecepatan membaca sekurang-kurangnya 200 kata permenit).
14.  Jangan Hanya Membaca Belaka (Kita dalam membaca buku jangan hanya sekedar membaca saja isi dari buku tersebuut, hendaknya kita harus mengikuti jalan pikiran si pengarang atau dengan membaca sambil berfikir).
15.  Cegah “Cramming” (Hindarilah kita dalam penundaan suatu tugas-tugas, jangan kita belajar secara dadakan ataau lembur. Misalnya apabila besok paginya kita akan menghadapi test  dan pada malam harinya kita baru belajar).
16.  Membuat Catatan (Setelah kelima belas itu kita jalani aatau kita lakukan, maka selanjutnya kita harus membuat suatu catata-catatan kecil agar memudahkan kita dalam belajar) (S. Nasution, 1982: 54).

E. Tujuan Pembelajaran dan Belajar Siswa 
Guru merupakan kunci suksesnya  pembelajaran dan belajar siswa, karena gurulah yang menguasai lapangan dimana para siswa setiap hari berada. Guru adalah pengelola ruang kelas dan sekaligus pengelola proses pembelajaran murid, guru juga merupakan pengelola sebagian terbesar kehidupan siswa di sekolah-sekolah. Maka guru mempunnyai tujuan pembelajaran dan belajar siswa yang ingin dicapai. Tujuan tersebut adalah: Membantu siswa yang mengalami kesulitan- kesulitan belajar yang disebabkan
1.      Keterlambatan akademik (Siswa yang memiliki intelegensi yang cukup tinggi, tetapi tidak dapat memanfaatkannya secara optimal).
2.      Ketercepatan dalam belajar (Siswa yang memiliki bakat akademik yang cukup tinggi).
3.      Sangat lambat dalam belajar ( Siswa yang memiliki bakat yang kurang memadai dan mendapatkan perhatian yang khusus atau pendidikan atau pengajaran yang khusus).
4.      Kurang motivasi dalam belajar (Siswa yang kurang mempunyai semangat dalam belajar dan sering bermalas-malasan).
5.      Bersikap dan berkebiasaan buruk dalam belajar (Siswa sering menunda-nunda tugas, mengulur-ulur waktu, membenci guru, tidak mau bertanya  untuk hal yang tidak ia ketahui dan sebagainya).
Tujuan pembelajaran dan belajar siswa terjadi adanya interaksi antara guru dengan siswa, siswa aktif dalam kegiatan belajar mengajar begitu juga dengan seorang guru mau dan merupakan kewajibannya dalam memberikan materi kepada anak didik mereka, agar dapat tercapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.


F. Peranan Profesional Guru Dalam Kependidikan
Dalam dunia pendidikan guru mempunyai peranan yang sangat penting yang sesuai dengan jabatan atau bidang yang mereka miliki atau mereka sandang. Peranan guru dalam dunia pendidikan adalah: Seorang guru bertugas mengajarkan apa yang telah mereka miliki kepada siswa dan memberikan nilai kepada siswa dalam bentuk pemberian evaluasi atau pemberian tugas sesuai dengan materi yang telah disampaikan oleh guru.  
Bahwa seorang guru dipandang sebagai manager atau organisatir yang mengorganisasi kegiatan pencapaian tujuan dengan menggerakkan orang lain dan dengan menggunakan alat-alat tertentu, maka seorang guru juga dituntut untuk memiliki kemampuan-kemampuan tertentu yang dianntaranya yaitu:
1.      Seorang guru harus betul-betul memahami masalah-masalah yang berkenaan dengan tugasnya.
2.      Mampu menyusun program pengajaran
-          Merumuskan tujuan instruksional
-          Mengembangkan bahan pengajaran
-          Memilih dan mengembanngkan media serta metode pengajaran
-          Memilih dan memanfaatkan sumberbelajar yang sesuai dengan GBPP
-          Mengembangkan dan mengelola kegiatan belajar mengajar.
3.      Mampu melaksanakan penilaian terhadap proses dan hasil belajar
4.      Mampu membimbing siswa
5.      Mampu menyelenggarakan ketenntuan administrasi sekolah
6.      Mampu berinteraksi dengan teman sejawat dan anggota masyarakat
7.      mampu mengembangkan kepribadian sebagai warga negara indonesia (Cornelis Wowor, 1997: 40).

G. Kesimpulan

Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap suatau situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang ( misalnya kelelahan, pengaruh obat dan sebagainya). Belajar adalah suatu perubahan  didalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian.
Selain yang tersebut di atas juga ada faktor lain yang mempengaruhi siswa dalam belajar, karena setiap masing-masing individu berbeda. Faktor-faktor tersebut adalah:
1.      Bahan pengajaran yang tidak sesuai dengan bakat, perkembangan, secara singkat kebutuhan anak.
2.      Guru yang kurang kemampuan rokhani dan jasmaninya (misalnya kurang pengetahuan,  keterampilan kurang, kurang dedikasi, kkurang berwibawa dan sebagainya).
3.      Situasi keluarga yang kurang  baik (misalnya keluarga kurang harmonis, ekononi lemah atau kurang, dan sebagainya).
4.      Lingkungan hidup yang menghambat (misalnya tidak sehat karena sampah, banjir, pencemaran udara dan air pabrik, mobil, kepadatan penduduk, rumah sempit dan sebagainya).
5.      Adat istiadat masyarakat yang menghambat pergaulan yang tak teratur, kebudayaan yang rendah dan sebagainya).
6.      Kondisi pribadi anak rokhani dan jasmaninya anak yang tidak cukup.
Strategi dalam belajar dan mengajar yang mendukung dalam proses pembelajaran tentunya berdasarkan pada bentuk pendekatan yang dapat dikemukakan strategi ekspositori, discovery, konsep dan cara belajar siswa aktif. Berdasarkan pada pengelompokan siswa dan kecepatan tiap siswa, dalam pengelompokan itu tentunya berdasarkan atas kemampuan maupun persamaan minat dan tujuan dalam proses menigkatkan pembelajaran. Sebagai klasifikasi tersebut kita dapat memiliki strategi yang sesuai untuk bidang pengajaran yang dirancang. Pemilihanya strategi tersebut harus mengingatkan kriteria, baik melalui efisiensi, efektifitas, evaluasi serta unsur keterlibatan siswa pada umumnya.

Reffrensi:

Noehi Nasution, 1995, Psikologi Pendidikan, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta.
Soejono, 1980, Didaktik Metodik Umum, Bina Karya, Bandung
S. Nasution, 1982, Didaktik Asas-Asas Mengajar, Jemmars, Bandung
M. Ngalim Purwanto, 1998, Psikologi Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Cornelis Wowr, 1997, Wawasan Keagamaan Guru, Jakarta.
DIGNOSIS KESULITAN BELAJAR SISWA
DALAM PENDEKATAN BUDDHA DHAMMA

Oleh : Bhikkhu Vajhiradhammo

A. Pendahuluan
Proses belajar terjadi karena adanya interaksi siswa dengan lingkungannya. Oleh karena itu, lingkungan perlu diatur sedemikian rupa sehingga timbul reaksi siswa ke arah perubahan tingkah laku yang diinginkan. Perngaturan lingkunan tersebut meliputi suatu kebutuhan siswa, karakteristik siswa, perumusan tujuan, penentuan pelajaran, pemilihan strategi yang sesuai, serta media pembelajaran yang diperlukan. Jadi rangkaian tersebut merupakan bentuk strategi pembelajaran dalam meningkatkan kualitas pendidikan salah satu unsur yang penting dipahami oleh guru. Seorang guru tentunya harus dituntut secara profesional untuk dapat menampilkan keahliannya dalam kelas, maupun kemampuan menguasai materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa. Salah satu bentuk komponen siswa itu adalah untuk menyampaikan pelajaran bagi siswa menuju bentuk keberhasilan yang lebih baik, diperlukan suatu cara atau sterategi belajar-mengajar. 
  Dalam kegiatan belajar dan pembelajaran sebagai bentuk sistem interaksional antara siswa dengan komponen yang lainya. Guru sebagai penyelenggara kegiatan belajar dan pembelajaran, hendaknya memikirkan dan mengupayakan terjadinya interaksi siswa dengan komponen yang lainya secara optimal. Berinteraksinya siswa dengan komponen yang lainya secara optimal ini tentunya dapat mengefektifkan kegiatan belajar dan mengajar.
Dengan demikian strategi belajar dan pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan guru dan mengupayakan terjadinya konsistensi antara aspek-aspek dari komponen pembentukan sistem interaksional, dimana untuk itu guru menggunakan siasat tertentu. Karena sistem interaksional itu merupakan suatu kegiatan, maka pemikiran dan pengupayaan pengkonsistensian dalam aspek-aspek komponennya tidak hanya sebelum dilaksanakan tetapi juga pada saat dilaksanakan.

B. Pengertian belajar

Pada perkembangan sekarangan ini belajar merupakan masalah setiap orang. Hampir setiap kegemaran, ketrampilan, dan sikap manusia dibentuk dan dikembangkan karera adanya suatu belajar. Kegiatan inilah yang dimaksudkan dalam suatu belajar. Kegiatan belajar dapat dilakukan dimana saja. Sekolah merupakan salah satu tempat yang tepat dalam proses belajar yang dapat diusahakan dengansengaja untuk menyajikan pengalaman bagi para siswa, sehingga mereka dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan yang formal, dalam proses kegiatan menuntut persiapan adanya persiapan kemampuan tersendiri.
Bagi setiap siswa belajar adalah suatu keharusan untuk mengenal dan memahami sebagaimana yang berhubungan dengan belajar itu sendiri. Ada beberapa yang perlu diketahui dalam belajar tersebut. Belajar dipandang dalam segi tradisional dimana dapat menambah dan mengumpulkan sejumlah pengetahuan yang terpentig dalam peningkatan intelektual khususnya dalam pengembangan pendidikan bagi siswa. Sedangakan ahli pendidikan moderen merumuskan belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang buru berkat pengalaman dan latihan. Misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, timbulnya suatu pengertian baru serta berkembangnya sifat-sifat sosial, susila, dan emosional (Zaenal Aqib; 2002 : 42).
Belajar merupakan suatu kegiatan mental yang tidak dapat di saksikan dari luar. Sedangkan belajar terjadinya dalam diri seseoprang dapat diketahui secara langsung hanya dengan mengamati orang itu bahkan hasil belajar orang itu tidak langsung kelihatan. Bahkan hasil belajar orang itu tidak langsuhg kegiatan,tanpa orang itu melakukan sesuatu yang menampakan kemampuan yang telah diperoleh melalui belajar. Maka berdasarkan prilaku yang disaksikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa seseorang telah belajar. Misalnya sikap menghormati sang merah putih pada waktu upacara kenaikan bendera, menyatakan diri dalam mengambil posisi tubuh tegak lurus, sambil mengarahkan pandangan kebendera yang sedang dikibarkan. Dari prilaku ini, yang diamati orang lain diketahui atau disimpulkan bahwa orang itu  telah belajar suatu sikap. Sikap itu adalah kemampuan internal yang bersipat mental tau psikis. Karena itu tidak mungkin mengetahui secara pasti apakah kemampuan internal itu ada, kecuali bila orang bertindak atau berbicara. Misalnya pula, seseorang sebenarnya “pandai” dan “terampil” sekali main organ. Kepandaian itu berupa kemampuan internal yang bersifat kognitif, “ketrampilan” dan kecekatan itu berupa kemampuan inrternal pula, namun tergolang bidang belajar ketrampilan motorik. Dengan berbicara saja dengan orang itu, orang tidak dapat nmengetahui bahwa kenalannya itu mampu main organ bahkan pengakuan “saya dapat main organ”belumlah memberikan bukti yang pasti. Barulah, setelah orang itumulai main sebuah organ, ketrampilannya diketahui secara pasti dan ditariklah kesimpulan, bahwa orsng itu mesti pernah belajar dan sekarang mempunyai kemampuan itu. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa “hasilk belajar”tidak jatuh sama dengan “prestasi”(performance). Didalam hasil mbelajar menampakkan diri. Selama potensi atau kemampuan internal tidak diwujudkan dalam suatu bentuk prilaku, sulitlah diperoleh kepastian tentang apa yang telah dipelajari.
Belajar terjadi dalam interaksi dengan lingkungan, dalam bergaul dengan orang, dalm memegang benda dan dalam menghadapi peristiwa manusia belajar. Namun tidak sembarang berada ditengah-tengah lingkungan, menjamin adanya proses belajr. Orangnya harus aktif sendiri, melibatkan diri dengan segala pimikiran,kemauan dan perasaannya. Misalnya, setiap guru mengetahui dari pengalaman bahwa kehadiran siswa dalam kelas, belum berarti siswa sedang belajar, selama siswa tidak mmelibatkan diri, dia tidak akan belajar. Maka, supaya terjadi belajar, dituntut orang melibatkan diri, harus ada interaktif. Aktifitas boleh berupa aktifitas mental saja, yang tidak disertai gerak-gerik jasmani, boleh bjuga terjadi aktifitas  jasmani yang yang didalamya mental seseorang terlibat.
Jadi dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, “belajar”pada manusia bol;eh dirumuskan sebagai berikut “sautu aktifitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pengetahuan, ketrampiulan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas”.(W.S. Winkel, 1991 : 36).

C. Sebab-Sebab Kesulitan belajar siswa

Penyebab timbulnya kesulitan-kesulitan siswa dalam belajar memang beeraneka macam  ragamnya. Kalau kita kaitkan penyebabnya itu dengan faktor-faktor yang berperan dalam belajar, sekiranya penyebab itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yang besar, yaitu sebab internal (yang berasal dari diri anak yang belajar) dan sebab yang eksternal yaitu yang bersumber dari luar diri anak yang belajar. Sebab internal misalnya, kemampuan, motivasi, daya pengindraan, emosi, dan kebiasaan, sedangkan sebab-sebab dari eksternal dapat berupa lingkungan belajar, kualitas proses belajar atau tuntutan dari keluarga.
Sesuai dengan faktor-faktor di atas, maka kesulitan-kesulitan siswa dalam belajar yang ditunjukan oleh hasil belajar yang rendah, dapat disebabkan oleh berbagai hal, yaitu rendahnya kemampuan intlektual anak, kurangnya motivasi dalam belajar,kurangnya minat dalam belajar, usia yang masih muda dan kecil, kehidupan sosial yang kurang mendukung, kebiasaan belajar yang kurang baik, daya ingat yang rendah, terganggunya alat-alat indera, proses belajar-mengajar yang tidak teratur dan kurang adanya dukungan dari lingkungan dalam belajar. Dengan berpegang kepada sebab-sebab tersebut, seorang pendidik akan dapat lebih berhati-hati dalam menilai kemampuan murid-muridnya. Ia akan menjadi lebih berlapang dada dalam menghadapi murid-muridnya yang mengalami kegagalan mencapai tujuan yang ditetapkan. Kemudian ia tidak segera mengambil keputusan bahwa anak itu telah gagal dalam kemampuan intlektual yang rendah.
Untuk melakukan diagnosis kesulitan belajar, dalam rangka menolong murid-murid untuk memperbaiki hasil belajarnya ada tiga langkah, yaitu mencari dan menjelaskan munculnya kesulitan belajar, menetapkan status murid dalam belajar dan Menganalisa penyebab dari kesulitan belajar. Agar dapat menganalisa dalam kesulitan belajar, bagi seorang guru diperlukan pengetahuan yang memadai tentang gejala-gejala kesulitan belajar serta tahap-tahap perkembangan siswa. Pengalaman juga merupakan faktor penentu dalam keberhasilan seorang guru dalam mengidentifikasi kesulitan bagi anak muridnya (Noehi Nasution, 1995 : 27).
Menelaah/menetapkan status siswa dilakukan dengan tiga langkah yaitu, menetapkan tujuan yang harus dicapai murid, menguji ketrampilan tujuan tersebut dengan menggunakan alat penilaian yang tepat, serta menetapkan pola pencapaian murid dengan melihat perbedaan antara tujuan dengan pencapaian murid. Informasi tentang kemampuan murid di bidang lain juga diperlukan hingga status murid yang lengkap berupa kelemahan dan kekuatannya dapatlah diketahui.
Munculnya penyebab dalam kesulitan belajar merupakan puncak dalam ketrampilan belajar yang baik. Pada tahap ini guru perlu sangat berhati-hati karena sebab yang keliru yang akan menumbuhkan perbaikan yang keliru pula. Kemungkinan akan mengakibatkan murid menjadi korbanya. Ada Tiga hal yang perlu diperhatikan bagi seorang guru dalam tahapan menumbuhkan ketrampilan belajar pada anak adalah (a). Gejala yang hampir sama dapat menimbulkan penyebab yang berbeda (b). Sebab yang sama dapat menimbulkan gejala yang tidak sama, (c). Penyebab kesulitan belajar menimbulkan belajar yang semakin sullit dan (d).  Kurang adanya dukungan dan pengarahan orang tua di rumah.

 

D. Metode Belajar Yang Praktis

Dalam belajar untuk mencapai suatu keberasilan di butuhkan suatu cara atau metode yang praktis untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman hidupnya.Dalam kegiatan ini mmerupakan suatu kegiatan yang edukatif akan terwujud apabila tuijuan yang mengikat kegiatan itu tercapai atau dapat dikuasai oleh siswa.
Jadi metode adalah suatu cara yang di dalam pungsinya merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan. Kegiatan ini terjadi dua arah antara guru dengan siswa yang diikat dengan suatu tujuan. Dalam pengembangan metode tersebut banyak cara atau metode dalam interaksi yang dapat di gunakan dalam membina tingkah laku belajar edukatif dalam berbagai perietiwa interaktif. Untuk menetapkan metode interaktif tersebut guru harus menetapkan lebih dahulu metode apa yang baik dan cocok. Untuk mengerjakan hal ini memerlukan suatu acuan atau beberapa faktor yang utamanya adalah menentukan tujuan yang akan dicapai.
Untuk dapat mencappai tujuan tersebut guru harus melakukan beberapa bentuk klegiatan interaktif seperti : penyampaian impormasi, penciptaan dialog, peningkatan ketrampilan, pemantapan pengalaman, penetapan musyawarah, pengujian kemahiran, perluasan crawala dan pemupukan kebersamaan dalam sifat kegotong royongan.
Dalam menciptaklan interaktif edukatif guru dapat memberikan batasan-batasan sejauh mana kemungkinan untuk mencapai tujuan, hal ini dibutuhkan berbagai macam metode interaktif yang dapat mendukung dalam peningkatan proses belajar siswa. Metode-metede yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
1.       Metode ceramah, adalah sebuah bentuk interaksi yang melalui penerangan, penuturan secara lisan oleh seorang guru terhadap seorang siswa, lat utama interaktif edukatif ini yang di gunakan adalah bahasa lisan. Secara umum dalam pemberian imformasi melalui metode ceramah wajkar digunakan dengan adanya fakta, pendapat yang terdapat dalam sumber-sumber buku atau bahan bacaan sehinga mendukung terjadinya interaktif langsung antara guru dan siswa. Guru akan mengenalakan pokok materi yang berhubungan dengan hasil interaktif sebelum dan sesudahnya.
2.       Metode tanya jawab,merupakan suatu bentuk interaktif yang dapat digunakan didalam proses pembelajaran sehingga akan dapat menciptakan terjadinya interaktif yang akan merangsang siswa dalam kegiatan pembelajaran dan akan mendukung siswa terpusat pada materi yang disampaikan.
3.       Metode diskusi adalah bentuk pemecahan suatu masalah yang didukung dengan pemikiran untuk mencapai pemecahan suatu masalah hal ini didukung dengan adanya musyawarah bersama sehingga diskusi itu dapat mengahasilakan sutatu keputusan. Dimana diskusi melalui interaktif guru merupakan peranan terpenting dalam diskusi untuk menjalakan itu dengan baik di perlukan sebagai seoarang pemimpin, dalam berjalannya suatu diskusi, sebagai dinding dalam pemecahan suatu masalah dan penunjuk jalan.
4.       Metode meningkatan ketrampilan melalui latihan adalah suatu bentuk interaksi melalui latihan dalam meningkatkan ketrampilan harus diperlukan bentuk latihan yang kontiyuatau be4lanjut sehingga diperoleh hasil yang sempurna. Hal ini tentunya akan merespon setiap siswa dan guru menyadari terciptanya ketrampilan itu dibutuhkan waktu yang relatif lama. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengembangan ketrampilan itu adalah sebagai berikut :
a.       bentuk tindakan ketrampilan yang bersipat otomatis.
b.      Memiliki wawasan yang luas yang mencerminkan sikap siswa dalam pengembangan kegiatan belajar
c.       Nilai yang di perlukan dalam diagnotis bagi pemula akan semp[urna abila berlatih dengan baik, menguasai dan mengembangkan tingkat penguasaan selanjutnya
d.      Pada tarap latihan awal adalah ketepatan berupa kecepatan akhirnya tercapai dalam membetuk kesatuan.
e.       Menggunakan waktu yang singkat  dan latihan yang tepat.
f.       Latihan didukung dengan suasana aman dan damai.
g.       Tingkat latihan disesuaikan dengan tingkat kemampuan individu.
5.        Metode demokrasi dan eksperimen adalah suatu bentuk interaktif edukatif yang dapat memecahkan suatu permasalahan bagi siswa berkaitan dengan prosesnya, dan dapat membuktikan kebenaran melalui pengamatan edukatif. Dalam melaksanakan demonstrasi siswa diharapkan partisipasi aktif, diperlukan suatu proses dan cara belajar yang baik. Sedangkan interaktif ini didukuinung oleh guru dalam menjelaskan dan siswa mencatat maka terjdilah interaksi belar mengajar melalui metode eksperimen, sehingga siswa aktif dalam mengambil belajar yang baik. Untuk menerapkan metode eksperimen sebagai metode interaktif  edukatif perlu di perhatikan beberapa saran sebagai berikut :
a.       tujuan yang dilakukan eksperimen kepada siswa, maka siswa dapat mengetahui jawaban dari hasil eksperimen
b.      musyawarah bersama mengenai langkah-langkah dalam pemecahan suatu masalah melalui eksperimen yang didukung oleh bahan-bahan, variabel yang terkendali dan hal  lain yang perlu dicatat
c.       mendukung siswa dalam mendapatkan bahan yang dibutuhkan.
d.      Kegiatan eksperimen telah berlansung akan merangsang siswa dalam membandingkan hasil eksperimen secara kelompok atau perorangan maka terjadilah bentruk perbedaan yang terjadi dalam hasil diskusi
6.       Metode pengujian melalui pelaksanaan tugas adalah bentuk pengujian kemampuan siswa dalam pelaksanaan tugas atau belajar dan mampu mempertanggungjawabkannya, hal ini mengadakan intraksi edukatif dalam pelaksanaan tugas bertujuan untuk merangsang siswa dalm berusaha, memupuk inisiatif melalui kegiatan kurikuler dan kurikuler.
7.       Metode memperluas wawasan melalui karya wisata adalah bentuk bimbingan guru kepada siswa untuk mengunjungi tempat-tempat tertentu yang mendukung dalam pengembangan belajar. Secara langsung melalaui bentuk pengamatan, obyek permasalahan, pemahan secara integral dengan karya wisata.
8.       Metode kegotongroyongan dan kerja kelompok adalah mengadakan interaktif edukatif melalui kerja kelompok dalam kebersamman untuk mencapai tuijuan belajar tentunya didukung oleh beberapa hal :
a.       anggota yang mengrti kelompoknya
b.      pembagian tugas secara adil berdasarkan kemampuan anggota yang ada sehingga dapat menyelesaikan tugas yang baik.
c.       Kerja kelompok secara terarah sehingga dapat mendidik anggotanya.
d.      Hasil pemecahan suatu masalah dapat tercapai melalui motivasi.
e.       Guru mencegah perselisihan atau persaingan dalam kegiatan kelompok
f.       Guru harus menguasai variabel kelompok baik secara individu maupun umun yang berhubungan dengan emosional.
Kedelapan metode interaktif belajar mengajar inilah akan memberikan gambaran sejauh mana terjadinya komonikasi dan interaksi antara siswa dan guru dalam mencari suatu pemecahan masalah untuk meningkatan belajar siswa dan guru untuk mengajar (Sri Anita Wiriawan ; 1995 : 160).

E. Peranan Bealajar dalam Diri Siswa.
Tentunya dalam belajar itu juga mengalami sebuah proses yang sangat kompleks sekali. Proses belajar itu adalah sangat kompleks akan tetapi dapat juga dianalisa dan diperincikan dalam bentuk prinsip-prinsip atau asas-asas belajar. Hal ini perlu diketahui agar memiliki pedoman dan teknik belajar yang baik, iantaranya;
1.              Belajar itu harus bertujuan dan terarah. Tujuan menuntutnya dalm belajar untuk mencapai harapan-harapanya.
2.              Belajar memerlukan bimbingan, baik bimbingan dari guru atau buku pelajaran itu sendiri.
3.               Belajar memerlukan pemahaman atas hal-hal yang dipahami dan dipelajari sehingga memunculkan pengertian yang baik.
4.              Belajar memerlukan latihan dan ulangan atau evaluasi agar apa yang dipelajarinya dapat dikuasainya.
5.              Belajar adalah suatu proses aktif dimana terjadi saling pengaruh secara dinamis antara murid dengan lingkungan.
6.              Belajar tentunya harus disertai dengan keinginan dan kemamuan yang kuat untuk mencapai tujuan
7.              Belajar dianggap berhasil apabila telah sanggup menerapkan kedalam bidang praktek sehari-hari dengan baik (Zaenal Agib ; 2002 :42).

 

F. Kesulitan Dalam Belajar Siswa.

Untuk melakukan diagnosis kesulitan belajar, dalam rangka menolong murid-murid untuk memperbaiki hasil belajarnya ada tiga langkah, yaitu : (1) Mengidentifikasi munculnya kesulitan belajar (2) menelaah/menetapkan status murid (3) memperkirakan penyebab kesulitan belajar
Agar dapat mengidentifikasikan kesulitan belajar, bagi seorang guru diperlukan pengetahuan yang memadai tentang gejala-gejala kesulitan belajar serta tahap-tahap perkembangan siswa. Pengalaman juga merupakan faktor penentu dalam keberhasilan seorang guru dalam mengidentifikasi kesulitan muridnya.
Menelaah/menetapkan status siswa dilakukan dengan tiga langkah yaitu, menetapkan tujuan yang harus dicapai murid, menguji ketrampilan tujuan tersebut dengan menggunakan alat penilaian yang tepat, serta menetapkan pola pencapaian murid dengan melihat perbedaan antara tujuan dengan pencapaian murid. Informasi tentang kemampuan murid di bidang lain juga diperlukan hingga status murid yang lengkap berupa kelemahan dan kekuatannya dapatlah diketahui.
Munculnya penyebab dalam kesulitan belajar merupakan puncak dalam kegiatan diagnosis. Pada tahap ini guru perlu sangat berhati-hati karena sebab yang keliru yang akan menumbuhkan perbaikan yang keliru. Kemungkinan akan mengakibatkan murid menjadi korbanya. Status murid yang lengkap merupakan sumber utama dalam memperkirakan penyebab kesulitan belajar. Tiga yang harus diingat guru dalam tahapan tersebut diantaranya (1). Gejala yang sama dapat ditimbulkan oleh sebab yang berbeda (2). Sebab yang sama dapat menimbulkan gejala yang bebeda. (3). Sejumlah sebab dapat berinteraksi menimbulkan kesulitan belajar yang semakin parah (Noehi Nasution, 1995 ; 227).

 

G. Langkah-Langkah Dalam meningkatkan Belajar Siswa

Dalam belajar tentunya mempunyai  cara-cara yang baik untuk mencapai hasil belajar yang baik dalam hal ini saya akan memberikan cara-cara belajar yang baik yang saya ambil dari buku karangan Dra. Tatiek Romlah, MA yaitu sebagai berikut :
1. Cara mengatur waktu
Yang dimaksud dengan mengatur wakatu dan lingkungannya adalah tidak hanya merupakan keterampilan belajar tetapi juga keterampilan hidup yang sangat berharga, karena apa saja yang diperoleh siswa atau seseorang hasilnya dipengaruhi oleh caranya mengatur waktu dan mengendalikan lingkungannya.
Dengan mengatur waktu secara efisien dan efektif individu akan memperoleh keuntungan-keuntungan. Keuntungan-keuntungan itu adalah sebagai berikut; (1) Dapat mengatur kegiatan dengan lebih baik sehingga lebih banyak yang bisa dikerjakannya (2) Dengan belajar secara  teratur individu akan lebih mudah mengingat dan meresapkan apa yang dipelajari. (3) Siap apabila mendapat beban belajar yang lebih berat dijenjang yang lebih tinggi. (4) Mempunyai lebih banyak waktu untuk mengerjakan kegiatan-kegiatan yang disenangi karena tugas-tugas belajarnya dapat terselesaikan tepat waktunya.
Dalam mengatur waktu ada beberapa hal yang harus diperhatikan  baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dalam meningkatkan kualitas belajar bagi siswanya adalah membuat daftar kegiatan sehari-hari, menetapkan waktu belajar, membuat satuan belajar satu jam, mempelajari lebih dahulu bagian yang lebih sukar, mempelajari setiap mata pelajaran sesering mungkin, mengetahui kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan diri, membuat ringkasan, menggunakan waktu senggang untuk belajar, mengganti waktu belajar yang hilang dan mengatur waktu dengan seimbang.

2.  Cara mengatur Lingkungan adalah cara belajar sangat besar pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa atau individu.Yang mana lingkungan belajar terdiri dari lingkungan fisik dan lingkungan psikologi. Lingkungan Fisik adalah kondisi alamiah tempat individu belajar, yang meliputi: ruangan, mmmmmeja kursi belajar, almari atau temapat menyimpan buku pelajaran dan alat-alat pelajaran yang lain, penerangan, hiasan-hiasan dinding, ventilasi udara dan sebagainya. Sedangkan linngkungan Psikologi meliputi kndisi-kondisi dalam diri individu, seperti sikap, kebiasaan, cara berfikir dan sebagainya. Syarat-syarat yang perlu diperhatikan untuk menciptakan lingkungan fisik yang dapat menunjang belajar individu diantaranya menentukan tempat belajar yang tetap, menghindari hal-hal yang menganggu belajar, mengatur tempat belajar, dan mengatur bahan-bahan belajar.

H. Penggunaan Sumber Belajar
Penggunaan sumber-sumber informasi sangat mendukung dalam kegiatan belajar siswa yang juga akan membantu kelancaran dalam belajarnya, karena yang dimaksudkan dalam sumber-sumber dalam belajar siswa adalah sebagai bahan atau buku yanng digunakan sebagai bahan acuan dalam belajar. Dalam penggunaan sumber-sumber  belajar tidak hanya berguna untuk kepentingan akademik, tetapi merupakan ketrampilan umum yang perlu untuk hidup. Kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber yang tepat juga digunakan sebagai yaitu dapat menghemat uang, tenaga dan waktu tanpa memandang apa yang harus dilakukan, dimana kita hidup, atau siapa kita ini. Berikut ini beberapa contoh dalam memanfatkan penggunaan sumber-sember belajar; (1) Dengan menggunakan sebuah media yang ada misalnnya: membaca iklan, selebaran, brosur, mendengarkan radio dan melihat iklan di televisi itu hal yang dapat menghemat keuangan dalam berbelanja barang karena tahu tempat penjualannya barang-barang yang lebih murah bila dibandingkan dengan yang lainnya. (2) Dapat memperoleh faktor yang kita butuhkan dan menginformasikan fakta itu ke masyarakat, negara, atau pihak-pihak yang lainnya. (3) Dapat belajar menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaan yang berkaitan dengan tugas-tugas disekolah dan pribadi, misalnya dalam bidang sains, sejarah, olah raga, sastra, dan bidang apa saja yang menarik minat kita. (4) Dapat menyampaikan dan menyelesaikan  makalah ataupun laporan tugas yang ditugaskan oleh guru secara aktif. (5) Mendapatkan kepuasan pada waktu menelusuri dan menemukan informasi mengenal bidang yang di minati (Tatiek Romlah, 1991 ; 52).
Berbagai sumber belajar yang lainnya tersedia antara lain adalah : perpustakaan, media massa, para ahli bidang studi, dan juga sumber-sumber dalam masyarakat. Beberapa sumber yang mendukung dalam belajar seperti yang telah disebutkan diatas hampir terdapat disetiap kota. Sumber-sember dalam belajar yang baik digunakan untuk sebagai bahan dalam reffrensi, media bacaan dan lainya. 

I. Evaluasi Belajar.
Keberhasilan belajar dan latihan ditandai dengan pemahaman dan kecakapan dalam hal memahami maksud dan tujuan, maupun dalam menjelaskan dan menjabarkan secara rinci serta mampu mempertimbangkan akibat. Cakap memilih kata atau menggunakan bahasa yang tepat, yang mudah dimengerti dengan benar dan mudah untuk dimengerti dengan benar. Memahami intisari atau mampu dalam meringkas, dan meneliti serta menunjukkan penyebabnya. Kelancaran dalam cara penerapannya atau penyelesaian dan dengan bijaksana mampu menguasai persoalan yang muncul secara mendadak.
Pendidikan apa pun bentuk dan tingkatannya menuju kepada suatu perubahan, yakni peningkatan kemampuan di bidang pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Untuk mengevaluasikan kembali perubahan tersebut, dan menentukan taraf yang dicapai diperlukan informasi-informasi yang diperoleh khususnya dari pengukuran. Pengukuran itu diperoleh lewat pengamatan dan ujian atau test. Test dapat dilakukan pada setiap tahapan, khususnya sebelum dan sesudah suatu proses.
Lazimnya test merupakan pertanyaan, soal atau tugas yang diberikan untuk menjawab atau diselesaikan. Test bisa secara lisan maupun tertulis. Untuk materi yang diujikan juga tidak berupa teori tetapi juga bentuk prakteknya. Berdasarkan bentuk pertanyaan, sekarang ini umumnya dikenal dengan test terbuka atau tertutup. Bentuk test terbuka merupakan serangkaian karangan (essy tets) yang cara penilainnya dipandang secara obyektif. Test karangan ini memenuhi pola pertanyaan yang perlu dipertanggung jawabkan dengan uraian atau mungkin pula dengan mempertanyakan balikan. Sedangkan bentuk test tertutup berupa bentuk pertanyaan yang telah tersedia untuk dipilih (structured test). Jenis test ini dapat digolongkan pada pola pertanyaan yang dijawab langsung. Lewat hasil test seorang mengennali kekurangan dan kelebihanya serta kemajuannya (Wijaya Mukti ; 2001 : 13).
Menurut pengertian yang lama, pencapaian tujuan pembelajaran yang berupa prestasi belajar, merupakan hasil dari kegiatan belajar mengajar semata. Dengan kata lain kualitas kegiatan belajar mengajar adalh salah satu faktor penentu bagi hasilnya. Pendapat ini seperti itu kini sudah tidak berlaku lagi. Pembelajaran bukanlah salah satunya faktor yang menentukan prestasi belajar, karena prestasi merupakan hasil kerja yang keadaanya sangat kompleks sekali. Apabila sekolah diumpamakan sebagi tempat mengelola sesuatu dan calon siswa diumpamakan sebagai bahan mentah mak lulusan dari sekolah itu dapat disamakan dengan hasil dari molahan yang sudah siap untuk dipakai atau digunakan. Dalam istilah yang lain terjadinya inovasi yang menggunakan teknologi mak tempat dalam pengelolaanya ini disebut trasnsformasi, dengan adanya input, output, dan umpan balik.
Dengan diadakan penilaian, maka siswa dapat mengetahui sejauh mana dalam tingkat keberhasilannya dalam mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru. Maka penilaian akan mempunyai makna bagi siswa apabila memperoleh hasil yang memuaskan dan hal ini akan menyenangkan, tentunya kepuasan itu ingin diperolehnya lagi dalam kesempatan berikutnya. Akibatnya siswa akan mempunyai motivasi yang cup besar dalam belajar. Namun apabila hal dalam penilaian itu dihasilkan tidak memuaskan maka keadaannya akan sebaliknya siswa akan menjadi putus asa dengan hasil kurang memuaskan yang diterimanya.
Bagi seorang guru dalam makna penilaian tentunya merupakan hasil dalam mengetahui sejauh mana para siswanya dalam menguasai bahan, maupun yang belum dapat menguasai bahan yang diberikanya. Untuk mengetahui apakah materi yang diajarakan itu telah sesuai dengan pelajaran di waktu-waktu yang akan datang dalam tindak perubahan. Kemudian untuk mengetahui apakah metode dalam pengajarannya itu telah tepat atau belum. Jika sebagian besar dari siswa memperoleh hasil yang jelek, diadakan suatu pendekatan atau mencari sebabnya dalam metode yang kurang tepat maka guru akan mawas diri dan mencoba mencari metode lain dalam mengajar.
Dalam mengadakan penilaian dalam pendidikan khususnya sekolah akan diketahui bagaimana hasil belajar siswa-siswanya, dapat diketahui pula apakah belajar yang diciptakan oleh sekolahan sesuai dengan harapan atau belum. Hasil belajar merupakan cermin kualitas sesuatu sekolahan. Sehingga akan dapat memberikan informasi dari guru tentang kurikulum untuk sekolahan itu yang merupakan bahan pertimbangan bagi perancang sekolah untuk masa-masa yang akan datang. Dari hasil penilaian tersebut yang diperoleh dari tahuan ke tahun dapat digunakan sebagai pedoman bagi sekolahan yang sudah memenuhi persyaratan standar atau belum. Untuk pemenuhan standart akan terlihat dari bagusnya angka-angka yang diperoleh siswa (Suharsimi Arikunto ; 2001 : 8).

J. Hasil Penganalisaan Dalam Kesulitan Bealajar.
Menurut pengertian yang lama, pencapaian tujuan pembelajaran yang berupa prestasi belajar, merupakan hasil dari kegiatan belajar mengajar semata. Dengan kata lain kualitas kegiatan belajar mengajar adalah salah satu faktor penentu bagi hasilnya. Pendapat ini seperti itu kini sudah tidak berlaku lagi. Pembelajaran bukanlah salah satunya faktor yang menentukan prestasi belajar, karena prestasi merupakan hasil kerja yang keadaanya sangat kompleks sekali. Apabila sekolah diumpamakan sebagi tempat mengelola sesuatu dan calon siswa diumpamakan sebagai bahan mentah mak lulusan dari sekolah itu dapat disamakan dengan hasil dari molahan yang sudah siap untuk dipakai atau digunakan. Dalam istilah yang lain terjadinya inovasi yang menggunakan teknologi mak tempat dalam pengelolaanya ini disebut trasnsformasi, dengan adanya input, output, dan umpan balik.
Dengan diadakan penilaian, maka siswa dapat mengetahui sejauh mana dalam tingkat keberhasilannya dalam mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru. Maka penilaian akan mempunyai makna bagi siswa apabila memperoleh hasil yang memuaskan dan hal ini akan menyenangkan, tentunya kepuasan itu ingin diperolehnya lagi dalam kesempatan berikutnya. Akibatnya siswa akan mempunyai motivasi yang cup besar dalam belajar. Namun apabila hal dalam penilaian itu dihasilkan tidak memuaskan maka keadaannya akan sebaliknya siswa akan menjadi putus asa dengan hasil kurang memuaskan yang diterimanya.
Bagi seorang guru dalam makna penilaian tentunya merupakan hasil dalam mengetahui sejauh mana para siswanya dalam menguasai bahan, maupun yang belum dapat menguasai bahan yang diberikanya. Untuk mengetahui apakah materi yang diajarakan itu telah sesuai dengan pelajaran di waktu-waktu yang akan datang dalam tindak perubahan. Kemudian untuk mengetahui apakah metode dalam pengajarannya itu telah tepat atau belum. Jika sebagian besar dari siswa memperoleh hasil yang jelek, diadakan suatu pendekatan atau mencari sebabnya dalam metode yang kurang tepat maka guru akan mawas diri dan mencoba mencari metode lain dalam mengajar.
Dalam mengadakan penilaian dalam pendidikan khususnya sekolah akan diketahui bagaimana hasil belajar siswa-siswanya, dapat diketahui pula apakah belajar yang diciptakan oleh sekolahan sesuai dengan harapan atau belum. Hasil belajar merupakan cermin kualitas sesuatu sekolahan. Sehingga akan dapat memberikan informasi dari guru tentang kurikulum untuk sekolahan itu yang merupakan bahan pertimbangan bagi perancang sekolah untuk masa-masa yang akan datang. Dari hasil penilaian tersebut yang diperoleh dari tahuan ke tahun dapat digunakan sebagai pedoman bagi sekolahan yang sudah memenuhi persyaratan standar atau belum. Untuk pemenuhan standart akan terlihat dari bagusnya angka-angka yang diperoleh siswa (Suharsimi Arikunto ; 2001 : 8).

 

K. Kesimpulan

Setiap jenis belajar merupakan suatu proses  belajar yang memiliki kekhususan tersendiri yang membedakannya dari jenis belajar lainnya. Proses belajar berlangsung dalam diri siswa, ini merupakan kejadian intern. Dalam setiap peristiwa yang dialami setiap siswa menjadi satu fase yang dapat membentuk dalam proses belajar ingin  dicapai.
Selain pengaruh intern yang dapat mempengaruhi belajar siswa juga disebabkan oleh kejadian-kejadian dari luar yang dapat menunjang maupun menghambat belajar siswa.
Setiap jenis belajar merupakan suatu proses belajar yang memiliki kekhususannya tersendiri, yang membedakannya dari jenis belajar yang lainya. Proses belajar mengenal urutan fase-fase itu walaupun pelaksanaannya sesuai dengan kekhususannya masing-masing.
Jadi belajar merupakan suatu proses yang dilakukan sepanjang hidupnya. Proses belajar ini akan menjadi lebih efektif apabila individu menguasai teknik-teknik belajar dan dapat mengetahui kesulitan-kesulitan dalam belajar. Dimana proses belajar ini tidak hanya dalam bangku sekolah tetapi juga di dalm masyarakat.
Setelah kita mengetahui seluk-beluk tentang diksi atau pilihan kata hendaknya selalu memelihara dan menyebarluaskan pengetahuan yang kita miliki kepada siapa saja yang ingin belajar berbahasa indonesia secara lisan maupun tulisan sehingga memperkaya pemakainan dalam bahasa indonesia sebagai bahasa persatuan di Nusantara ini dengan baik dan sesuai kaidah berbahasa indonesia yang benar.
Demikianlah hasil rangkuman dalam pembahasan tentang unsur-unsur kalimat serta diksi atau pilihan kat dalam bahasa indonesia. Walaupun sedikit karena keterbatasan kemampuan kami menyadari sepenuhnya jauh dari sempurna, harapan dari kami segala saran dan kritik kami harapkan dan semoga bermanfaat untuk kita semua.

Refrensi

H. Zainal Aqib, 2002, Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran : Jakarta Insan Cempaka
 Noehi Nasution., 1995, Psikologi Pendidikan, Jakarta : Dirjed. BIMAS Hindu dan Buddha.
Tatiek Romlah dan Ella Faridati Zen, 1991, Ketarmpilan - Ketarmpilan Belajar, Malang :  Depdikbud dan IKIP,
Sri Anitha Wiryawan, Noorhadi Th. I. G.A.K. Wardani, 1995, Strategi Belajar Mengajar :
Jakarta Dirjed. BIMAS Hindu dan Buddha.
Suharsimi Arikunto,  2001, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan : Jakarta Bhumi Aksara
Tatiek Romlah, Ella Faridati Zen, 1991, Ketrampilan - Ketrampilan Dalam Belajar : Malang,   Depdikbud dan IKIP.
W.S. Winkel, 1991, Pengntar Pengajaran,  Jakarta : P.T. Gramedia.
Wijaya Mukti, 2001, Pendidikan Dalam Agama Buddha : Bogor Majelis Buddhayana
Indonesia.


PENGERTIAN DANA DALAM KITAB SUCI TRI PITAKA
Oleh Bhikkhu Vajhiradhammo

A. Pengantar

Terkadang kita mendengar kata berdana atau menyumbang, bagi sebagian besar orang masih merupakan hal yang terkadang menjengkelkan. Anggapan berdana hanyalah hal yang sia-sia, tidak ada manfaatnya sama sekali serta merupakan bentuk kerugian belaka, membuat orang yang akan berdana berpikir seribu kali dan berdana tidak iklas. Dan kekurang-pengertian tentang berdabna membuat kita ragu, tidak terarah dalam berdana sehingga tidak meberikan manfaat yang optimal.
Semua mahluk ingin hidup bahagia, untuk itu kita harus banyak berbuat baik. Cara pertama kita berbuat baik adalah berdana. Berdana dengan pengertian yang benar, yaitu, mengerti bahwa berdana itu merupakan perbuatan baik, akan lebih memberikan makna daripada berdana tanpa pengertian yang benar.
Orang yang berdana dengan pengertian benar, bahwa perbuatannya tersebut akan memberikan manfaat yang besar dan dapat membantu dalam membersihkan batin mereka, akan lebih bermanfaat bagi mereka dan lebih memacu untuk berbuat baik sebanyak mungkin dalam kehidupan ini.
Sebetulnya berdana merupakan kebajikan yang paling mudah dilaksanakan oleh siapa juga, baik seorang yang super sibuk, atau bahkan seorang penjahat sekalipun kalau mau bisa melakukannya. Kebajikan bukan untuk orang tertentu saja, akan tetapi bagi siapa pun juga yang mau melakukan perbuatan baik.
Berdana adalah suatu pemberian, baik materi, uang, tenaga, perlindungan, rasa aman, pikiran ataupun nasehat kepada seseorang atau organesasi yang membutuhkan secara suka rela tanpa paksaan dan tidak mengharap imbalan. Berdana adalah berkorban. Dalam agama Buddha berdana bukanlah suatu hal yang harus atau diwajibkan, tetapi berdana merupakan dasar dari kesadaran dan pengertian si pemberi itu sendiri. Dana dapatlah diartikan sebagai pemberian sedekah, yang mengingatkan kita pada pemberian kepada orang miskin atau orang yang berada pada keadaan yang patut untuk dibantu. Namun dalam ajaran agama Buddha, dana mempunyai arti yang lebih kepada si miskin maupun si kaya, baik sokongan atau persembahan.

B. Macam – Macam  Dana

Dana dapat di golongkan dengan berbagai macam yaitu, (1)Amise dana adalah dana yang diberikan dalam bentuk materi, seperti uang, makanan, pakaian, obat-obatan dan lainya. Amise dana adalah perbuatan baik untuk membantu mereka yang membutuhkan seperti korban bencana alam, kelapar, kebakaran, dan lainya. (2) Dhammadana adalah perbuatan baik atau pengorbanan yang di berikan dengan memberikan penerangan, khotbah, ceramah atau mengajar Dhamma kepada seseorang atau orang banyak. Dana Dhamma ini adalah amal kebajikan yang paling tinggi dan besar manfaatnya. (3) Mahatidana adalah bentuk pengorbanan yang besar untuk memperjuangan kebenaran, misalnya para pahlawan rela berkorban dan memberikan amal bakti kepada bangsa dan negaranya, dengan mengorbankan jiwa dan raganya. (4) Attidan adalah seperti pengorbanan yang dilakaukan oleh seorang Bodhisatva, misalnya Sidharta Gotama, beliau iklas mengorbankan dan rela meningalkan kesenangan duniawi, meninggalkan semua yang dicintainya, karena ia mencari jalan untuk membebaskan umat manusia yang menderita. Sang Buddha telah memberikan amal baktinya kepada umat manusia dengan membabarkan dhamma-nya tanpa mengenal lelah dan tanpa pamrih untuk kebahagiaan semua mahluk.

C. Manfaat Berdana

Dengan berdana berarti kita menanam kebajikan yang pasti menumbuhkan kebahagiaan. Sang Buddha bersabda “gemar berdana, memiliki sila yang baik, dapat mengendalikan diri adalah timbunan harta yang terbaik. Inilah harta yang disimpan paling sempurna. Tidak mungkin hilang, tidak ada yang bisa mencuri atau pun mengambilnya, serta walaupun kita meninggal kelak harta ini tetap kita bawa”. Kalau kita meninggal yang kita bawa hanyalah kamma-kamma kita saja, harta yang lainnya tertinggal.
Di zaman dulu ada seorang umat Buddha yang cantik, dermawan, kaya raya bernama Visakha. Suatu hari ia sedang mengipasi mertuanya yang sedang makan mewah. Ketika itu juga lewat seorang bhikkhu yang sedang pindapata dan berhenti di depan rumah mertuanya untuk menerima dana makanan.
Mertuanya tidak suka berdana. Visakha merasa tidak enak, lalu berkata, “maafkan Bhante, hari ini tidak ada dana makanan, karena mertua saya sedang makan sisa-sisa makanan”. Mertuanya marah besar, “makanan yang mewah dengan piring emas begini dikatakan makanan sisa, maka mertuanya sangat marah menantu yang tidak baik.
Visakha disidangkan dan para sesepuh dipanggil. Visakha membuat pembelaan, “mertua saya bias saja kaya raya dan makmur, itu disebabkan karena perbuatan baiknya pada masa yang lampau. Saya percaya pada hokum kamma. Kalau pada kehidupan yang lampau ia tidak suka melakukan kebajikan, tidak pernah melakukan kebajikan, tidak mungkin ia sekarang menjadi kaya raya. Tetapi sekarang mertua saya tidak mau melakukan perbuatan kebajikan yang baru, berarti ia makan makanan sisa dari kebajikan dimasa yang lampau. Kalau sisa perbuatan baik di masa lalu telah habis ia akan menderita. Maka saya katakana ia makan makanan sisa-sisa saja dimasa lalunya.
Sang Buddha bersabda; “ siapa yang suka berdana dia akan disukai dan dicintai”. Inilah manfaat yang langsung dan nyata di nikmati pada kehidupan sekarang ini. Wajah molek, suara merdu, mempunyai kekuasaan, kaya atau terlahir di alam surga atau brahma, semua itu diperoleh kalau seseorang suka berbuat baik, termasuk berdana. Kamma tidak bias dihilangkan atau dihapus begitu saja, kamma pasti menghasilkan akibat. Namun kamma burukpun bisa memberikan akibatnya juga.
Sebagai contonya, segemggam garam yang dimasukan ke dalam semangkok air telah membuat air semangkok itu menjadi berubah rasanya asin. Tak dapat diminum. Berbeda dengan segenggam garam yang dimasukan ke dalam segentong air, maka air itu tidak terasa begitu asin. Jadi kalau kita banyak berbuat, kalau ada kamma buruk kta masuk, kita tidak akan merasa sakit atau menderita yang besar. Namun kalau kita jarang melakukan kebajikan, kalau kamma buruk lagi berbuah tentunya akan merasa sangat menderita sekali. Bila batin kita bersih, kita tak akan mungkin melakukan kejahatan. Berarti kita tak mungkin memetik kamma buruk, maka manfaat yang paling utama adalah mengikis kekotoran batin.
Sudah sifat yang alami kita hidup untuk selalu melepas dan berpisah. Melawan bearti menyiksa diri sendiri. Kitalah yang mestinya untuk selalu menyesuaikan diri dengan sifat alam. Kita menarik nafas saja untuk dilepaskan. Kalau hanya ingin menarik nafas saja tentunya kita akan tersiksa. Pasti pernah kita merasakan kehilangan, berpisah, dengan apa yang sangat kita sukai, atau di cintai, bahkan kalau kita mati pun baik itu harta, kedudukan, semua akan terlepas dari kita. Kalau tidak rela akibatnya sudah pasti penderitaan dan kesedihan, serta stress bahkan bisa menjadi gila atau lebih jauh kalau kita terlalu terikat dan tolol. Karena ditinggalkan orang yang sangat dicintai, kita tentunya mencoba menyusul keliang kubur, bunuh diri.
Dana juga dapat bermanfaat sesuai dengan macamnya, (1) Amisa-dana berarti dana materi yang temasuk uang, makanan, dan lainya. Buah pahalanya kemakmuran, kesejahteraan materi dan kemurahan rejeki. (2) Abhaya-dana merupakan dana maaf, memberikan rasa aman, damai, membebaskan rasa bersalah, cemas, takut, membantu mahluk lain sehingga bebas dari bahaya atau pembunuhan. Memberikan pahala membuat hidup ini bebas dari rasa takut, was-was dan gelisah, sehingga hidup ini pun terasa aman dan sejahtera. (3) Dhamma-dana dalam bentuk sumbangan atau pemberian pengetahuan tentang dhamma. Dengan jalan menasehati, berkhotbah, meluruskan pandangan yang salah, mencetak buku-buku dhamma, yang merupakan kamma baik yang akan menghasikan timbulnya kebijaksanaan dan pengetahuan.
Kalau kita suka berdana, melepaskan, maka kalau ada problematika, masalah kehidupan, rasa benci, kejengkelan, kesedihan, juga bakal mudah untuk kita lepaskan. Hidup menjadi ringan, tentram, dan melegakan serta damai. Inilah harapan semua orang.

D. Dana Menurut Kitab Suci Tri Pitaka

Sesuatu yang memang tidak dapat dipungkiri bahwa ajaran Sang Buddha bukan hal yang harus dihafalkan, jelaslah dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, tanpa kita mengerti makna yang terkandung didalamnya kita pun tak dapat tahu tentang ajaran tersebut. Dan kita sendiri yang akan berusaha.
Sebagai umat Buddha hendaknya memiliki pengertian terhadap dana, bukan merasa takut. Dimana berdana merupakan proses dasar dalam berbuat jasa atau kebajikan. Jika kita ingin memperoleh pahala yang baik, dari perbuatan berdana tentunya perlu diketahui bagaimana cara untuk melakukannya dengan benar. Karena itulah kita harus memiliki bekal pengetahuan atau petunjuk untuk meyakinkan bahwa kita mengerti apa yang patut dan tidak patut dilakukan, berkenaan dengan hal itu.
Untuk berdana mula-mula kita menyiapkan sesuatu yang akan didanakan, yang harus diperoleh dengan cara yang benar sehingga dana tersebut bersih dan suci secara moral. Tentunya terdapat berbagai obyek yang pantas untuk didanakan, yang dijelaskan dalam Kitab Suci Tipitaka (Sutta Pitaka atau kumpulan khitbah Sang Buddha, Vinaya Pitaka atau kumpulan peraturan-peratuan dan Abhidhamma Pitaka atau kumpulan ajaran Sang Buddha yang lebih tinggi dan sangat rumit). Untuk lebih jelasnya dana dapat dipelajari berdasarkan kitab suci agama Buddha.

E. Dana Dalam Kitab Suci Sutta Pitaka
Dalam Sutta Pitaka dana dapat dibedakan menjadi sepuluh macam yaitu; makanan, pakaian atau jubah, kendaraan atau fasilitas transportasi, bunga, dupa, wangi-wangian, keset atau tikar, bahan-bahn untuk alas, obat-obatan, dan lampu atau penerangan.  Kesepuluh jenis dari persembahan tersebut dapat dipersembahkan kepada sesama manusia dan binatang pada umumnya. Tetapi binatang mereaka hanya dapat menerima beberapa jenis dari dana tersebut.
Sebagai contoh apabila kita memiliki beras, tetapi kita tidak dapat memberikannya kepada kerbau, karena kerbau tidak makan beras. Sebaliknya kita akan mempersembahkan barang-barang tersebut kepada manusia, seperti orang yang cacat, tuna netra, tuna runggu, cacat mental, fakir miskin, yatim piatu, korban bencana alam, banjir topan, paceklik, peperangan, dan lainnya. Kesepuluh jenis barang ini dapat di danakan atau disumbangkan kepada mereka yang mengalami kesulitan sebagai amal atau dermawan secara umum dengan maksud untuk meringankan beban penderitaan orang lain atau mahluk lain dan untuk mendapatkan atau menumbuhkan kebahagiaan yang lebih besar.

F. Dana Dalam Kitab Suci Vinaya Pitaka
Di dalam Vinaya Pitaka, dana terdiri dari empat macam yang dipersembahkan kepada para Bhikkhu Sangha dan Samaneraatau samanerika, yang disebutkan adalah Nisaya atau empat macam kebutuhan pokok ynag dibutuhkan di dalam kehidupan sebagai viharawan dan  tentunya tergantung akan empat kebutuhan tersebut, diantaranya; (1) Civara atau jubah. (2) Pindapatta atau makanan dan minuman. (3) Senasana atau fasilitas tempat tinggal. (4) Bhesajja atau obat-obatan dan peralatan medis lainya.
Selain keempat jenis dana ini maka sebaliknya adalah merupakan kebutuhan tambahan yang diperlukan oleh Bhikkhu sangha dan para samanera atau samaneri. Sebagai umat Buddha seharusnya mengerti apa yang patut dan yang seharus dilakukan untuk mendukung kehidupan suci khususnya kebutuhan bagi para samana (biarawan). Banyak umat yang tidak mengerti dan memahami dalam berdana secara benar dalam menyokong kebutuhan Bhikkhu Sangha, yaitu dengan cara;
1.          Cara mempersembahkan jubah. Jubah merupakan kebutuhan bagi para Bhikkhu yang pertama. Jubah adalah kain kuning yang dikenakan oleh para Bhikkhu sangha dan samanera atau samanerika, yang terdiri dari jubah luar, jubah dalam serta perlengkapan lainya seperti sarung  mandi, selimut, handuk, dan sapu tangan.
2.          Mempersembahkan makanan dan minuman kepada bhikkhu sangha, hal ini perlu diketahui bahwa makanan dan minuman adalah yang patut dan memperhatikan wyang akan mempersembahkan, dengan demikian akan memberikan manfaat bagi si pemberi dana dan juga bhikkhu yang menerimanya.
3.          Mempersembahkan fasilitas atau tempat tinggal, seperti kuti, atau tempat tinggal para bhikkhu, ruang pembabaran dhamma, ruang belajar, ruang makan bersama, ruang uposatha atau ruang baktisala serta kamar mandi dan fasilitas vihara yang lainya.
4.          Mempersembahkan dana berupa obat-obatan, merupakan bentuk persembahan untuk membantu menyembuhkan penyakit dan meringankan penderitaan para bhikkhu atau umat yang sedang sakit misalnya. Jalan manapun yang ditempuh untuk membebaskan penderitaan mahluk lain atau orang lain akan memperoleh pahala kebajikan dari perbuatan yang telah dilakukannya.

G. Dana Dalam Kitab Suci Abhidhamma Pitaka
Di dalam Abhidhamma, dana dapatlah digolongkan menjadi enam kelompok menurut dasar indera kita yaitu; (1) Dana dari persepsi penglihatan mata atau obyek yang terlihat, apabila seseorang melihat sesuatu yang indah dan bermaksud untuk di danakannya. (2) Dana dari persepsi pendengaran atau telinga, ketika mendengarkan orang lain bercakap akan pergi berdana, latihan meditasi di suatru vihara ataupun ditempat-tempat keagaman lainnya maka bermaksud untuk berbuat demikian. (3) Dana dari persepsi penciuman melalui hidung atau obyek yang berbau harum, jika seseorang mencium sesuatu yang harum, misalnya bunga-bunga dan wewangian lainnya, kemudian ia merasa senang untuk mebawanya dan dipersembahkan kepada patung Buddha. (4) Dana dari persepsi rasa atau lidah, biasanya berbentuk makanan yang nikmat dan lezat dan bermaksud untuk mempersembahkannya kepada bhikkhu sangha atau samanera dan juga kepada umat awam laninya, dengan tujuan untuk berbuat kebaikan atau jasa bagi dirinya untuk memberikan bantuan kepada orang lain. (5) Dana dari sentuhan fisik atau obyek berwujud lainya, misalnya pakaian, alat duduk atau tidur, akomodasi serta fasilitas lainya, dan berniat untuk berbuat jasa dengan mempersembahkannya kepada bhikkhu sangha atu para samanera, atau membagikannya kepada orang lain. (6) Dana dari sentuhan batin atau obyek pemikiran batin, hal ini berarti memberikan sentuhan emosional kepada kelima kelompok tersebut dan kemudian merasa bahagia dan bermaksud untuk selalu berbuat jasa dengan benda-benda atau hal-hal tersebut dengan mempersembahkannya kepada para bhikkhu dan samanera, juga kepada umat awam lainya.

H. Cara Berdana Yang Benar
Dana yang kita persembahkan atau kita danakan akan dapat bermanfaat kalau berdana dengan terarah, baik dan benar. Untuk itu ada tiga cara yang benar yang harus diperhatikan dalam berdana yaitu:
I. Cetana atau niat atau kehendak dan pikiran yang mendahului sebelum berbuat jasa tersebut. Niat seseorang untuk berdana ada bermacam-macam. Ada yang muncul karena kematangan batin melihat kesulitan orang lain, bisa karena pengertian dhamma yang dimiliki tentang hukum karma, atau niat untuk mengurangi kekotoran bathin (keserakahan, dan kebencian) niat berdana bisa juga muncul karena ingin dipuji, menjadi kaya, ataupun malah karena keterpaksaan. Kalau niat kita tulus maka ditengah dan dibawah juga akan diperoleh tujuan baik tentunya tanpa pamrih, tetapi sebagai manusia biasa masih belum mencapai kesucian, wajar saja apabila memiliki rasa pamrih, tentunya memiliki pamrih yang baik. Dalam berdana pikiran kita harus iklas baik sebelum dan sesudah mapun proses berdana itu selesai. Dari ketiga sat ini yang paling penting adalah setelah berdana. Kita harus melakukannya suatu perbuatan baik itu dengan perasan yang senang dan iklas. Ini akan lebih baik apabila pada waktu berdana tidak mendasari dengan pikiran yang iklas sebelum, saat berbuat mapun sesudah berdana. 
II.Vatthu. Barang yang di danakan hendaknya di dapat dengan cara yang tidak melanggar norma-   norma agama maupun badan hukum pemerintah lainya.
 III. Puggala. Penerima dna hendaknya orang yang mempunyai moral yang baik. Sang Buddha pernah ditanya “Apakah benar Sang Buddha mengajarkan bahwa berdana kepada orang yang  tidak bermoral itu tidak ada gunannya ?”  Sang Buddha menjawab “Aku tidak pernah mengajarkan bahwa berdana itu tidak ada gunanya. Meskipun memberikan dana makanan kepada seekor anjing pun itu merupakan perbuatan baik dan bermanfaat. Tetapi jika dibandingkan berdana kepada orang yang mempunyai moral yang baik, jasa atau pahalanya akan jauh lebih besar daripada kepada orang yang tidak bermoral. Inilah yang kuajarkan”.
Dana kepada bhikkhu, guru, orang tua disebut Puja Dana. Dana sebagai persembahan, penghormatan. Tidak sama nilainya dengan berdana kepada orang yang miskin, bawahan kita. Ini disebut Anugaha Dana. Berdana sebagai hadiah, anugrah. Makin suci orang yang menerima dana, makin besarlah jasa yang diperolehnya. Itulah tiga hal yang harus diperhatikan dalam melakukan berdana.   

I. Kesimpulan
Bahwa dana merupakan perbuatan yang baik yang hendak dilakaukan oleh masyarakat Buddhis. Dengan berdana akan memperoleh kebahagiaan didalam kehidupan sekarang maupun kehidupan yang akan dating. Didalam melakukan berdana hendaknya diseretai dengan pikiran, kehendak atau cetana yang baik, tulus iklas, bermurah hati, penuh pikiran cinta kasih dan kasih saying sehingga akan memperoleh suatu akibat yang baik pula. Seperti seorang petani yang  menaman padi, ditanam ditempat yang subur, akan memngakibatkan buah yang baik.
Berdana kepada Sangha memang merupakan suatu kebajikan yang sangat tinggi namun tidaklah mudah untuk dilaksanakan sebagai misalnya jika seseorang bermaksud berdana kepada Sangha, dapatkah keyakinan dirinya sebagai pemberi dana tetap tidak berpengaruh kendatipun yang hadir mewakili Sangha adalah hanya seorang Samanera/samaneri atau bhikkhu/bhikkhuni. Apabila hal ini dapat membuat perubahan niat dan pikiran seseorang untuk berdana, maka itu tidak dapat lagi disebut berdana kepada Sangha. Karena dalam keadaan bagaimanpun, apakah yang mewakili Sangha itu para bhikkhu yang telah mencapai kesucian atau bhikkhu yang silanya kurang baik, pahala berdana kepada Sangha akan tetap sama dan jauh melampai berdana kepada bhikkhu berdasarkan diri pribadi.
Reffrensi

Drs. Teja S.M. Rasyid, 1994, Materi Pokok Kitab Suci Vinaya Pitaka II, Dirjed Bimas Hindu dan Buddha dan Universitas Terbuka, Jakarta.

Bhikkhu Bodhi, 2000, Mengapa Berdana, Wisma Sambodhi, Klaten

Phra Ajahn Plien Panyapatipo, 1991, Cara Yang Benar Dalam Berdana, Mutiara Dhamma, Bali.

Majalah Jalan Tengah edisi 9 Febuari 1991, Vihara Dhammacakka Jaya, Jakarta.

Yan Saccakiriyaputta, 1993, Kunci Rahasia Kehidupan, Dhamma-Dana, Singaraja.



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



















MAKNA MASA VASSA, KATHINA DAN SIRIPADA PUJA


Oleh Bhikkhu Vajhiradhammo

Yassa danena silena,  Sangyamena damena ca, Niddhi sunihito hoti, Itthiya purisassa va.
Gemar berdana dan memiliki moral yang baik, dapat menahan nafsu serta mempunyai pengendalian diri, adalah timbunan harta yang terbaik bagi seorang wanita maupun pria. (Nidhikhanda Sutta, 6)

A. Pendahuluan.

Hari Kathina dirayakan tiga bulan tiga bulan sesudah hari Asadha, perayaan ini diselengarakan para umat Buddha sebagai ungkapan perasaan Kathannukatavedi atau menyadari perbuatan yang telah dilakukan oleh para bhikkhu Sangha. Berdana lebih mulia lagi disertai dengan melakukan kebajikan. Apalagi berdana itu dipersembahkan dengan pikiran yang bersih akan mendapatkan kebahagiaan batin yang luar biasa. Untuk itu diperlukan latihan, tidak bias sehari dua hari.

Cara untuk mempertahankan atau mengembangkan agar batin bersih adalah dengan merenungkan kebajikan atau Dhamma Sang Buddha. Dapat memacakan paritta-paritta suci seperti Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati. Jangan terlalu banyak kalau perlu Buddhanussati saja. Dan apabila direnungkan akan menghasilkan ketenangan yang lama kelamaan membuat pikiran kita menjadi tenang, damai, dan tidak ada masalah Kehidupan manusia tidak lepas dari hubungan antar sesamanya, ia masih membutuhkan bantuan atau dukungan dan dorongan dari pihak lainnya. Demikian pula umat mempunyai hubungan yang sangat erat terhadap para bhikkhu, salah satu adalah menyokong kebutuhannya (Sigalovada Sutta, Digha Nikaya III, 31).

Apakah kebutuhan para Bhikkhu sangha itu ? Mengenai hal tersebut ada empat macam kebutuhan pokok yaitu : pakaian (jubah), makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan, itu adalah kebutuhan pokok. Oleh karena itu para umat Buddha menyokonya dengan berdana, seperti halnya pada hari Kathina. Setelah masa Vassa (berdiam di satu masa vassa atau musim hujan selama tiga bulan lamanya). Setelah selesai ada hari yang disebut pavarana mengundang para bhikkhu untuk menahkiri Vassa dengan mengadakan pavarana bersama-sama yaitu saling mengundang bhikkhu lain untuk memberikan nasehat atau memberikan maaf, barang kali ada kesalahan. Kemudian ada hari yang disebut hari Kathina didalam ajaran Sang Buddha.

Berdana kepada siapa ? Sang Buddha pernah dituduh oleh seorang, apakah benar Sang Bhagava mengajarkan bahwa berdana kepada orang yang tidak mempunyai moral itu tidak berguna ?  Sang Buddha menjawab, “ Aku tidak pernah mengajarkan bahwa berdana itu tidak ada gunanya. Meskipun orang membuang sisa-sisa makanan dari panci atau mangkok kedalam sebuah tambak atau telaga dan mengharap agar para mahluk dapat memperoleh makanan, perbuatan ini pun merupakan sumber dari kebaikan, apalagi dana yang diberikan kepada sesama manusia” inilah yang Sang Tathagatta ajarkan (Anggutara Nikaya III, 57). “Sang Buddha menyatakan berdana kepada adalah lebih besar jasanya” .Di dalam Velumakkha Sutta disebutkan bahwa “berdana kepada orang yang bermoral lebih besar jasanya akan lebih tinggi dari pada orang yang tidak memiliki moral, kepada Sotapana adalah lebih besar daripada orang yang bermoral, kepada Sakadagami lebih besar dari seratus Sotapana, kepada seorang Anagami lebih besar dari seratus Sakadagami. Kepada Arahat lebih besar dari seratus dari Anagami. Kepada Pacekkha Buddha lebih besar seratu dari seorang Samasammbuddha adalah lebih besar dari seratus berdana kepada Pacekkha Buddha. Berdana kepada Sangha lebih besar jasanya dari berdana kepada seorang Sammasambuddha. Dana kepada Sangha tak pernah sia-sia, sekalipun sampai seratus tahun lamanya”.  


B. Terjadinya Vassa
Pada zaman dahulu dari negara tidak bepergian selama musim hujan, misalnya pedangan ternak yang merngadakan perjalanan yang jauh  untuk menjual ternaknya, mereka harus menetap selama musim hujan pada suatu tempat karena jalan-jalan berlumpur dan tanah menjadi gembur sehingga tidak  mudah untuk melakukan perjalan.
Bhikkhu pada awalnya adalah penerang sempurna dari pertapa Gautama yang sangat sedikit dan bila musim hujan tiba mereka akan selalu berhenti untuk tidak melakukan perjalanan dan masing-masing mengambil tempat tinggal sendiri-sendiri untuk menempatkan tradisi ini sepanjang tahun dalam musim hujan tidak dibuat oleh Sang Buddha. Tetapi ketika jumlah pertapa atau Bhikkhu bertambah banyak, beliau membuat tradisi bagi para bhikkhu harus bertempat tinggal selama musim hujan tiba dan tidak bebergian kemana-mana selama tiga bulan lamanya, maka di namakan hal itu menetap untuk musim hujan. Dengan berbagai permasalhan yang muncul pada saat itu bahwa pad musim hujan banyak tumbuh-tumbuhan yang mulai bersemi dan binatang kecil banyak yang bermunculan. Mengakibatkan tumbuh-tumbuhan yang ditanam oleh para petani pada musim hujan banyak yang rusak terinjak-injak oleh para serombongan bhikkhu yang selalu mengadakn perjalanan.
Melihat peristiwa tersebut banyak masyarakat yang mengkritiknya dengan mengatakan “mengapa para bhikkhu Sakyaputta selalu mengadakan perjalanan pada musim dingin, panas, dan hujan sehingga mereka menginjak tunas-tunas muda, rerumputan dan mengakibatkan binatang-binatang yang kecil mati terinjak ?. Tetapi para petapa yang tidak baik dalam melaksanakan vinaya, mereka menetap selama musim hujan.
Mendegar keluhan masyarakat tersebut, beberapa orang bhikkhu menghadap Samng Buddha dan melaporkan kejadian tersebut. Sang Buddha kemudian memberikan keterangan yang masuk akal dan bersabda, “Para bhikkhu, saya izinkan kalian untuk melaksanakan masa vassa”.  Mereka kemudian menayakan hal itu kepada Sang Buddha kapan dimulai masa vassa itu dan berapa banyak masa periodenya ?
Menurut penangalan lunar yang mengadakan di mulainya musim hujan dinamakan vassupaniyika. Di dalam Vinaya pali, ada dua waktu yang ditetapkan untuk vassa, yaitu purimika-vassupaniyika (waktu pertama untuk memasuki vassa) dan waktu atau periode kedua adalah pacchima-vassupaniyika (hari memasuki vassa periode terahkir). Untuk memasuki masa vassa ditetapkan pada bulan purnama yang telah lewat satu hari menurut ilmu perbintangan Asadha, yaitu hari pertama bulan pudar pada kedelapan dan hari untuk memasuki periode terahir vassa ditetapkan pada bulan purnama sebulan kemudian, yaitu hari pertama dari bulan menyusut bulan sembilan dalam ilmu perbintangan Asadha.
Bagi para bhikkhu yang memasuki vassa harus mempunyai tempat tinggal berteduh yang ada pintu dan dapat dibuka dan ditutup untuk melindungi diri mereka. Bhikkhu dilarng untuk menghuni tempat-tempat yang tidak sesuai untuk bertempat tinggal, misalnya : tempat untuk penyimpanan mayat, di bawah sebuah paying, tenda kain dibawah kuti, di dalam bejana, di bawah pohon yang besar, dalam pohon yang berlubang atau di tanggul sebuah pohon yang besar.
Mengenai upacara untuk memasuki vassa, dalam Kitab Pali hanyalah dikatakan bagi seorang bhikkhu harus memutuskan atau bertekad untuk hidup di vihara selama tiga bulan. Selama masa vassa bagi para bhikkhu harus berlatih dengan tenang dan dilarang untuk membuat peraturan yang tidak sesuai dengan dhamma. Selaui itu ada peraturan yang harus dilaksanakan dan dijalankan oleh para bhikkhu selama masa vassa yaitu : tidak meninggalkan tempat tinggal selama lebih tujuh hari yang disebut sattaha karaniya (tujuh hari untuk apa yang harus dikerjakan) atau sattha pendek. Jika tidak, maka vassa bhikkhu itu tidak berlaku lagi.  Seorang bhikkhu diperbolehkan meninggalkan tempat apabila mempunyai tujuan untuk mengunjungi ayah, ibu atau bhikkhu-bhikkhu lain yang sakit, mencegah seorang bhikkhu yang lainya untuk lepas jubah dan ia dating untuk menasehatinya agar tetap bertahan dalam latihannya, mencari bahan-bahan untuk membangun vihara yang hancu dan yang terahir memberikan keyakian terhadap umat yang ingin meningkatkan kusala-kamma.
Selain kepentingan tersebut bagi para bhikkhu diperbolehkan untuk pergi apabila ada hal-hal yang tidak layak untuk bertahan ditempat itu dalam menjalankan masa vassanya. Dimana para bhikkhu yang tidak dapat tinggal lebih lama dan harus pergi maka masa vassa mereka rusak akan tetapi mereka tidak jatuh dalam apatti (kesalahan) apabila tempat ia tinggal selama masa vassa ada bahaya. Dalam kitab suci pali bahaya tersebut adalah para bhikkhu diganggu oleh binatang buas, perampok, atau hantu-hantu. Pondok-pondok mereka terbakar, atau hanyut oleh bencana alam, sulitnya untuk mendapatkan dana makanan, ada para wanita yang menganggunya, terjadinya suatu perpecahan dalam sangha dimana bhikkhu berusaha untuk mendamaikannya. Tiga bulan masa vassa seorang bhikkhu di ahkiri dengan pavarana, para bhikkhu berkesedian untuk dikeritik dan setelah itu selesai dilanjutkan dengan upacara Kathina pun telah tiba.  



C. Masa Vassa Para Bhikkhu
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan masa vassa ini, dalam Kitab Suci Tipitika bagian Vinaya Pitika, Mahavagga Vassupaniyikakkhandhaka, Sang Buddha bersabda, :
“Anujanami Bhikkhave vassane vassam upagantum dwe
Ma bhikkhave vassupaniyikaya purimika pacchimika
Aparajju-gataya asalhiya purimika upagantabha”
Artinya : Secara jelas ringkas bahwa masa vassa haruslah dilaksanakan oleh para Bhikkhu. Selama masa vassa itu terdapatlah hari yang pertama untuk memulai dan terdapat hari penutup guna mengahkirinya.
Masa vassa menurut tradisi pada musim penhujan bagi para bhikkhu harus berdiam diri disuatu tempat dan mentaati aturan-aturan vassa. Massa vassa ini berlangsung selama 90 hari dimulai sehari sesudah purnama-sidhi bulan kedelapan (Asalhamasa) dan diahkiri pada purnamasidhi bulan kesebelas (Assajujamasa), menurut system perhitungan sekarang jatuh pada bulan oktober.
Menurut tahun kabisat, dimana terdapat bulan Asalha ganda, maka dengan sendirinya masa vassa dimulai sehari sesudah purnamasidhi bulan Asadha yang kedua dan bukan yang pertama. Hari Asadha kala purnama-sidhi adalah patokan, untuk memulai masa vassa. Masa vassa dimulainya bila memasuki konstelasi Asadha, namun pada tahun kabisat haruslah dimulai 30 hari kemudian. Malam menjelang hari penutupan masa vassa yaitu dikala purnama-sidhi bulan assayuja, yang diselenggarakan pavarana dan upacara persembahan yang secara umum dengan hari Kathina. Upacara Kathina akan berlangsung mulai hari pertama bulan menyusut (tanggal 16) bulan Assyuja sampai purnama-sidhi, namun ini hakekatnya akan berlangsung selama satu bulan untuk memberi kesempatan pada umat guna mempersembahkan dana kepada Sangha.
Sebelum hari Asadha, para bhikkhu sangha sudah mulai berikran untuk memasuki masa vassa dalam berdiam diri selama tiga bulam di vihara yang mereka tempati. Meskipun hari bepergian menginap selama tujuh hari berturu-turut, maka masa vassa menjadi gugur dan dianggap tidak ada vassa. Masa kebhikkhuan seorang bhikkhu dari tradisi Theravada, tergantung  berapa lama dalam menjalani masa vassa itu dengan baik.  Bisa saja bagi seorang bhikkhu yang sudah menjadi bhikkhu selama 10 tahun namun baru menjalani lima vassa. 

D. Upacara Pavarana
Di Vihara dapat dilaksanakan upacara Kathina secara benar apabila di vihara tersebut terdapat paling sedikitnya ada empat bhikkhu yang menjalani masa vassa selama 90 hari secara sempurna, tidak termasuk samanera. Bagi para bhikkhu yang telah melaksanakan masa vassa tersebut sebelumnya melakukan Parisudhi (pensucian batin), dengan cara mengakui kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Sesudah itu mereka bersama melakukan pembacaan patimokha atau pembacaan peraturan - peraturan bagi para bhikkhu.
Upacara yang terpenting dalam memutuskan rantai masa vassa adalah upacara Pavarana yang diselengarakan oleh para bhikkhu yang ber-vassa di tempat itu, dengan cara mereka menyatakan kesiapan dan kesediaannya pada hari terahkir vassa tersebut untuk menerima kritikan, saran dan nasehat serta umpan balik dari para bhikkhu yang senior guna kemajuan batin yang lebih untuk mereka didalam latihannya.
Pavarana yang berasal dari umat adalah sebagai peryataan kepada bhikkhu tertentu terhadap kesediaannya menjadi seponsor dan membantu kebutuhannya untuk suatu jangka waktu tertentu ataupun untuk waktu yang tak terbatas. 

E. Sejarah Kathina
Sekilas tentang istilah Kathina berasal dari sebilah bambu atau kayu yang dibuat kerangka dimana kain yang akan dijahit dikembangkan terlebih dahulu. Bhikkhu yang tidak trampil untuk menjahit, melakukan dengan cara demikian. Sang Buddha mengizinkan perpanjangan waktu untuk membuat jubah. Biasanya waktu dalam pembuatan jubah hanya pada waktu terahkir bulan dari masa vassa atau musim hujan dibulan kathika. Jika jubah lagi dikerjakan, maka batas itu diperpanjang sepanjang musim dingin. Terlebih lagi dalam pembuatan jubah bhikkhu merupakan peristiwa yang bersejarah.
Bagi para bhikkhu yang akan melaksanakan kathina harus melaksanakan vassa selama tiga bulan penuh lamanya di satu vihara (avasa) dengan lima atau lebih bhikkhu lainya. Kain yang diserahkan kepada sangha cukup membuat ticivara dan sangha setuju dalam satu hari juga menginformasikan kepada bhikkhu yang diberikan kepada Sangha untuk menyatakan terima kasih atau anumodhana. Kain tersebut tidak diperkenankan kain yang bukan miliknya, misalnya kain pinjaman, atau yang diperoleh dengan tidak benar, tentunya kain yang digunakan itu adalah kain yang didapat secara wajar. Kain itu harus segera dibuat jubah, tidak boleh disimpan semalam. Kain yang telah disimpan satu malam tidak boleh di gunakan untuk kain kathina.
Sangha yang memberikan jubah yang harus paling tidak lima bhikkhu dan tidak boleh kurang dari lima bhikkhu karena salah satu ditunjuk untuk menerima kain kathina dan menjahitnya menjadi jubah dan empat lagi membentuk Sangha. Atthakatha Acariya yang menyusun menjelaskan bahwa kain kathina harus diberikan kepada Sangha kepada bhikkhu yang memakai jubah yang lusuk (tua) jika banyak bhikkhu yang demikian, maka kain Kathina diberikan kepada Bhikkhu yang memiliki vassa yang lebih tinggi. Apabila bhikkhu sama masa vassanya, maka kain kathina diberikan kepada bhikkhu maha purissa.

F. Upacara Kathina
Serangkain Kathina telah hadir dihadapan kita sebagai rasa syukur dan terima kasih para umat kepada para bhikkhu yang telah selesai menjalani masa vassa, maka dipersembahkannya pada bhikkhu sangha sebuah kain untuk dipotong dan dijahit menjadi jubah, yang disebut jubah Kathina (Kathina-Chivara). Upacara khusus tersebut dinamakan Kathina-pinkama. Dalam prosedurnya menurut Vinaya  adalah sebagai berikut.
1.      Adalah hak Sangha untuk menentukan apakah upacara Kathina dilaksanakan atau tidak.
2.      Bila dikehendaki, maka dipilihnya seorang bhikkhu untuk menerima persembahan kain untuk dibuat jubah dari umat.
3.      Kain putih yang dipersembahkan dalam prosedur formalitas pada hari Kathina, oleh bhikkhu Sangha diserahkan oleh bhikkhu maka terpilihlah untuk diukur, dipotong dan dijahit sesuai vinaya dan menjadi jubah. Proses ini dibantu oleh Bhikkhu lainya, sesudah selesai, jubah putih tersebut dicucu, dicelup warna kuning dan dikeringkan. Semua prosedur itu harus dilakukan dalam satu hari, dari pagi hingga petang.
4.      Jubah-jubah tersebut setelah selesai dikerjakan siap untuk dibagi oleh Sangha, dalam suatu upacara, pada seorang yang berhak menerimanya. Hak para bhikkhu yang bervasa di vihara tersebut atas jubah Kathina.
5.      Pada malam harinya, bhikkhu yang terpilih dengan mengenakan jubah Kathina menempati dampar dan kemudian berkhotbah dan berterima kasih apa umat atas dukungannya pada Sangha.
Dalam upacara ini sangat penting dengan tujuan untuk kemanunggalan antara Sangha dan umat sebagai pendukunya dalam menjalani kehidupan ke-bhikkhuan (Pisungsung). Disamping itu dalam upacara Kathina ini mendorong seorang bhikkhu yang baik dan taat dalm sila dan Vinaya serta bagi umat untuk taat dan patuh kepada sila, yant telah disabdakan oleh Sang Buddha “Engkaulah yang harus meningatkan dan memeriksa diri sendiri, Oh para bhikkhu bila dapat menjaga dirimu dengan baik dan selalu sadar maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan”

G. Sanghadana
Di suatu vihara apabila tidak memenuhi syarat diselengarakan upacara Kathina, maka umat dapat menyelenggarakan Sanghadana atau chivaradana. Sanghadana adalah segala bentuk dana (uang atau barang-barang kebutuhan pokok bagi para bhikkhu) yang dipersembahkan pada Sangha melalui seorang atau beberapa bhikkhu, sedangkan chivaradana adalah persembahan berupa jubah bhikkhu. Apabila persembahan dana dipersembahkan kepada Sangha, maka umat dengan tegas menyatakan hal itu sebagai Sanghadana. Sang Buddha bersabda, “berdana pada sangha mempunyai nilai-dhamma yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan berdana pada bhikkhu ataupun pada pribadi Sang Buddha sendiri”.
Hal ini berbeda dengan dana persembahan yang khusus diberikan pada seorang atau beberapa bhikkhu penerima dan bukan pada Sangha. Upacara Kathina diselenggarakan dengan ataupun tanpa kehadiran bhikkhu, maka perlu diperhatikan umat adalah :
1.      Seluruh dana yang dipersembahkan harus diserahkan pada Sangha tanpa syarat, misalnya dipotong lebih dahulu oleh panitian untuk kegiatan vihara atau pandita.
2.      Tidak dibenarkan sebelum berdana, memberikan isyarat pada sangha, bahwa dana yang terkumpul akan dibagi dengan vihara atau panitia.
3.      Bhikkhu yang menerima dana atas Sangha wajib untuk menyerahkan secara utuh kepada Sangha dan tidak dibenarkan untuk mengambilnya demi kepentingan sendirinya atau membagikannya pada orang lain, tanpa seizin Sangha.
Atas keputusan Sangha dan yang terkumpul sebagian atau seluruhnya di danakan kembali untuk kepentingan Sangha atau berbagai macam kegiatan dan keperluan lain yang dibutuhkan oleh vihara atau Sangha.

H. Dana Kathina 
Sebagai umat Buddha hendaknya memiliki pengertian terhadap dana, bukan merasa takut. Dimana berdana merupakan proses dasar dalam berbuat jasa atau kebajikan. Jika kita ingin memperoleh pahala yang baik, dari perbuatan berdana tentunya perlu diketahui bagaimana cara untuk melakukannya dengan benar. Karena itulah kita harus memiliki bekal pengetahuan atau petunjuk untuk meyakinkan bahwa kita mengerti apa yang patut dan tidak patut dilakukan, berkenaan dengan hal itu.
Dalam Sutta Pitaka dana dapat dibedakan menjadi sepuluh macam yaitu; makanan, pakaian atau jubah, kendaraan atau fasilitas transportasi, bunga, dupa, wangi-wangian, keset atau tikar, bahan-bahn untuk alas, obat-obatan, dan lampu atau penerangan.  Kesepuluh jenis dari persembahan tersebut dapat dipersembahkan kepada sesama manusia dan binatang pada umumnya. Tetapi binatang mereaka hanya dapat menerima beberapa jenis dari dana tersebut.
Sebagai contoh apabila kita memiliki beras, tetapi kita tidak dapat memberikannya kepada kerbau, karena kerbau tidak makan beras. Sebaliknya kita akan mempersembahkan barang-barang tersebut kepada manusia, seperti orang yang cacat, tuna netra, tuna runggu, cacat mental, fakir miskin, yatim piatu, korban bencana alam, banjir topan, paceklik, peperangan, dan lainnya. Kesepuluh jenis barang ini dapat di danakan atau disumbangkan kepada mereka yang mengalami kesulitan sebagai amal atau dermawan secara umum dengan maksud untuk meringankan beban penderitaan orang lain atau mahluk lain dan untuk mendapatkan atau menumbuhkan kebahagiaan yang lebih besar.
Di dalam Vinaya Pitaka, dana terdiri dari empat macam yang dipersembahkan kepada para Bhikkhu Sangha dan Samanera, yang disebutkan adalah Nisaya atau empat macam kebutuhan pokok, dalam kehidupan sebagai viharawan tentunya tergantung akan empat kebutuhan tersebut, diantaranya; (1) Civara atau jubah. (2) Pindapatta atau makanan dan minuman. (3) Senasana atau fasilitas tempat tinggal. (4) Bhesajja atau obat-obatan dan peralatan medis lainya.

I. Siripada Puja
Siripada puja merupakan wujud untuk memberikan penghormatan (memuja) tapak kaki Sang Buddha, biasanya dilakukan pada waktu purnama-sidhi di bulan Kathika. Secara ringkas dapat diuraikan secara sekila mengenai tradisi siripada puja.
Pada suatu kesempatan, Sang Buddha mengunjungi Y.A. Punna Mantaniputta di Sunaparanta. Dalam perjalanan itu beliau singgah ditepi sungai Nammada di dekat gunung Saccabandha. Pada saat itu Raja Naga muncul memberikan penghormatan yang luar biasa kepada Sang Buddha untuk meninggalkan tapak kaki mulia (Siripada Valanja) sebagai obyek pemujaan Sang Buddha berkenan dengan permohonan tersebut. Beliau membuat jejak tapak kaki di atas batu keras ditepi sungai Nammada. Karena kekuatan kesaktinan yang luar biasa, meskipun di batu yang keras jejak tapak kaki Sang Buddha tampak jelas, lengkap dengan tanda-tanda istimewa seorang maha sempurna. Tanda utama di anatara tanda-tanda yang terdapat pada kaki Sang Buddha adalah guratan Dhammacakha (roda dhamma) ditengah-tengahnya. Inilah salah satu terdapat 32 tanda istimewa (maha lakhana) yang terdapat pada jasmani seorang Sammasambuddha. Guratan roda Dhamma ini melambangkan sebagai petunjuk “ikutilah jejak mulia Sang Buddha” atau “Ikutilah Dhamma”.
Sirpada ini dijag dan dihormati oleh para naga sebagai obyek pemujaan kepada Sang Buddha. Cukup susah untuk dapat melihat Siripada di sungai tersebut karena tertutup oleh arus sungai yang deras. Selain siripada di sungai Nammada dalam kitab-kitab kronik tercatat bahwa masih terdapat 4 siripada di tempat lain yang dipercaya dibuat langsung oleh Sang Buddha.
Pada jaman dahulu pada bulan di bulan kattika masyarakat menunggu saat air sungai pasang karena musim hujan, mempersembahkan puja kepada Siripada di sungai Nammada. Hal ini dikarenakan bagi mereka yang tinggal jauh dari tempat Siripada, sulitnya perjalanan menuju tepi sungai tempat Siripada. Maka mereka mempersembahkan puja dari jauh dengan bantuan arus sungai yang sedang pasang tersebut. Mereka membuat semacam bunga teratai yang harum, dupa dan juga penerangan (lilin/pelita). setelah bulan muncul di langit mereka berbondong-bondong menuju tepi sungai Nammada. Setelah memanjatkan Siripada Puja Gatha, Amisa puja (bunga, dupa dan lilin) ini ribuan berkali-kali membawa udara harum mengikuti arus sungai menuju tempat Siripada.
Sampai sekarang tradisi ini masih dilakukan oleh masyarkat di India, Nepal,Myammar, Thailad dan beberapa tempat di Indonesia. Meskipun jauhdari sungai Nmmada, mereka bias mengapungkan Mamisa puja tersebut di sungai-sungai, danau atau bahkan di kolam-kolam vihara dengan niat yang tulus untuk memuja Sang Buddha. Ini adalah salah satu cara untuk memberikan penghormatan kepada Guru Agung junjungan kita Sang Buddha Gautama. 

J. Kesimpulan
Hari Suci Kathina adalah suatu bentuk upacara keagamaan dalam agama buddha yang terpenting. Dimana uamt buddha mendapatkan satu kesempatan untuk membaktikan dirinya kepada Sangha dengan memberi persembahan, seperti jubah, dana makan, obat-obatan, serta keperluan yang lainnya dalam mendukung kehidupan dan kelestarian Sangha serta Buddha Dhamma. Sebab itu kathina juga sebagai hari bakti umat buddha kepada sangha.
Ada beberapa hal yang tidak dapat kita pisahkan dengan hari kathina tersebut, yaitu hari persembahan jubah kepada Sangha setiap setahun sekali, setelah para bhikkhu sangha melakukan latihan diri selama masa vassa selama tiga bulan. Massa vassa adalah suatu bentuk latihan dan penggemblengan diri pribadi bhikkhu untuk berlatih pendalaman dhamma melalui meditasi, memanjatkan paritta-paritta suci, introspeksi diri dan lainya. Serta umat buddha mendapat kesempatan dalam berdana paramita kepada Sangha. Karena dana yang diberika kepada Sangha pada waktu bulan kathina sangat tinggi nilainya, dan merupakan benih kebajikan pada ladang yang subur. Oleh karena itu, marilah kita tanamkan kembali benih yang kita miliki di saat yang istimewa ini dengan berdana kepada Sangha. Adapun syarat yang harus dipenuhi agar dana yang kita persembahkan ini menjadi dan yang bermanfaat, yaitu  dana yang dipersembahkan tentunya berasal dari hasil perbuatan yang baik dan di dasari dengan kehendak yang baik sebelum, pada saat, serta setelah berdana sehingga dana yang kita persembahkan kepada yang patut menerimanya, akan membawa banyak manfaat.

Begitu pula hari kathina adalah saat yang tepat untuk mengikuti keteladanan dan kegigihkan seorang manusia dalam perjuangan mencapai kesempurnaan atas usaha sendiri. Siddharta bukanlah seorang manusia yang lahir dari dunia mistik, tetapi beliau adalah manusia yang berjuang membangun dirinya secara utuh demi kemanusiaan dan keberhasilan dan beliau telah berhasil. Sejak peristiwa agung penerangan sempurna itulah dikenal sebagai Buddha Sakyamuni. Perjuangan, pengabdiannya dipersembahkan kepada dunia ini adalah kekuatan keyakinan bagi umat Buddha yang tiada habisnya.

Siripada puja merupakan wujud untuk memberikan penghormatan (memuja) tapak kaki Sang Buddha, biasanya dilakukan pada waktu purnama-sidhi di bulan Kathika. Secara ringkas dapat diuraikan secara sekila mengenai tradisi siripada puja.
Ia yang memberikan semua mahluk hidup dimana saja berada, dengan penuh belas kasihan dan cinta kasih, berikanlah, ia berseru bagaikan guntur yang mengelegar dan bergemuruh membasahi dan mengisi seluruh permukaan bumi. Demikian pula hendaknya ia yang selalu berusaha mengumpulkan kekayaan dengan halal lalu mempersembahkan makanan dan minuman kepada yang membutuhkannya akan membawa kebahagiaan. Semoga dengan kebajikan yang diperbuatnya tumbuh subur dengan baik diladang yang subur, hidup bersusila maka perkembangan dalam hidup ini akan melahirkan di alam yang berbahagia tanpa kesulitan apapun.

Reffrensi :
Buku Panduan Rangkaian Kathina Dana dan Siripada Puja 2547 BE/ 2003, Di Vihara Buddha Prabha, Yogyakarta.
Bhikkhu Bodhi, 2000, Mengapa Berdana, Wisma Sambodhi, Klaten
Buku Pegangan Bhikkhu, 2000, Medan.
Drs. Teja S.M. Rasyid, 1994, Materi Pokok Kitab Suci Vinaya Pitaka II, Dirjed Bimas Hindu dan Buddha dan Universitas Terbuka, Jakarta.
Cunda  J. Supandi, 1997, Dhammapada, Karaniya, Jakarta
Herman S. Endro SH. ,1997, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996 – 2026, Yayasan Dharmadiepa Arama, Jakarta.
Phra Ajahn Plien Panyapatipo, 1991, Cara Yang Benar Dalam Berdana, Mutiara Dhamma, Bali.
Nyanaponika Thera dan Bhikkhu Bodhi, 2001, An Anthology of Suttas From The Anguttara Nikaya, Wisma Meditasi dan pelatihan
Majalah Jalan Tengah edisi 9 Febuari 1991, Vihara Dhammacakka Jaya, Jakarta.
Yan Saccakiriyaputta, 1993, Kunci Rahasia Kehidupan, Dhamma-Dana, Singaraja.












































PERLINDUNGAN MENURUT PANDANGAN
AGAMA BUDDHA

Oleh : Bhikkhu Vajhiradhammo

A. Pendahuluan

Suatu hal yang sangat baik dalam kehidupan kita untuk mengembangkan kebajikan dan bermanfaat bagi kemajuana diri adalah hidup sesuai dengan dhamma, seperti menjalankan kehidupan suci, melaksanakan kebaktian, membaca paritta, mantra, maupun sutra, berlatih meditasi, suka berdana, memohon sila dan dhamma dan lain sebagainya. Itulah suatu ajaran yang membawa kepada kebahagiaan yang telah di babarkan oleh Sang Buddha. Dalam kesempatan ini kita akan membahas mengenai suatu perlindungan dalam agama Buddha. Apa yang sebenarnya dinamakan dengan perlindungan itu ? mengapa kita sering mencari suatu perlindungan ? dan apa kata Sang Buddha mengenai suatu perlindungan itu ? Inilah yang akan kita bahas bersama pada kesempatan ini.
Sudah menjadi suatu hal yang umum bahwa setiap manusia selalu berusaha untuk mencari suatu perlindungan, tidak perduli apakah dia orang yang kaya, miskin, tinggi, pendek, besar atau kecil dan apakah ia laki-laki atau perempuan, bahkan dari agama apapun juga. Kepada siapa mereka berlindung, hal ini tergantung pada keyakinan mereka masing-masing individu itu sendiri.
Sebagai umat Buddha seharusnya tahu kepada siapa kita harus berlindung ? Apakah kepada Buddha, Dhamma dan Sangha ? Atau mungkin kepada para dewa atau dewi di alam surga ? Mungkinkah itu terjadi dalam kehidupan kita. Kalau begitu marilah kita belajar Buddha Dhamma bukan hanya mengenal kulit luarnya saja, tetapi lebih jauh kedalam, itu lebih bagus dan tentun di perlukan suatu pemahaman yang lebih baik. Kalau kita hanya mengenal kulit luarnya saja dalam Buddha Dhamma maka akan kebinggungan dalam mencari suatu perlindungan itu, yang penting datang ke vihara, sembahyang tancap hio itu pikirnya sudah beres semuanya.
Sementara yang lain ada yang masih kebingungan dalam mencari suatu perlindungan. Penganut kepercayaan yang lain dengan penuh keyakina untuk mempropagandakan “percayalah kepadaNya maka engakau akan selamat”. Ahkirnya kita sendiri yang merasa kebinggungan untuk mendengarkan dari berbagai arah yang tak menentu. Namun saya yakin Anda semua pasti setuju bahwa keyakinan kepada perlindungan itu tidak cukup ditimbulkan dari hasil propaganda saja, akan tetapi harus melalui proses berpikir yang positif. Sekarang kita telah satu-persatu secara positif, sehingga kita yakin seyakin-yakinya, tidak secara membuta atau terpengaruh dari rayuan dan propaganda yang ada di luar, sekarang siapakah yang sebenarnya menjadi perlindungan itu.

B. Mengapa Mencari Perlindungan ?  
Hal ini dapat kita contohkan, seorang anak kecil yang berlari-lari mencari ibunya sambil berteriak, “Bu…..kakak jahat, Bu !” Dibelakangnya tampak sang kakak mengejarnya sambil, mengacungkan kepalan tangannya. Sementara Si adik kecil meminta suatu perlindungan kepada ibunya. Orang kekar dan jago bertinju pun juga ingin mencari suatu perlindungan dengan mencari tukang pukul dan sejenisnya, sebab merasa takut dan merasa cemas akan keselamatannya.
Bukan hanya kepada mahluk-mahluk yang dapat dilihat saja kita mencari suatu perlindungan. Tetatpi juga kepada mahluk yang tidak terlihat, bahkan yang tidak diketahui secara keberadaanya. Kita mencari perlindunga, yakni dengan anggapan bahwa mahluk tersebut mampu untuk menyelesaikan dan mengatasi segala masalah kita serta memberikan kebahagia. Berbagai fakta menunjukan bahwa banyak sekali orang yang takut pada masa depannya. Berbagai upaya ia lakukan untuk menangkal hal-hal yang buruk (sial), mulai dari mendatangi tukang ramal, dukun, dengan mengantongi berpuluh-puluh jimat, bersembahyang meminta-minta keselamatan di vihara, klenteng, ataupun ditempat-tempat yang dianggap keramat, serta berbagai upaya yang lainnya ia lakukan.
Ini semua dilakukan untuk lebih menenangkan perasaan yang merasa takut atau was-was, jika memang demikian adanya, alangkah sia-sianya bagi mereka yang mengantungkan atau memasrahkan ketenangan dirinya hanya pada beberapa kalimat doa atau pada beberapa kantong jimat yang Cuma berisikan kembang maupun bentuk tulisan-tulisan. Tetapi pada saat dimana yang mereka harapkan melalui doa-doanya itu tidak tercapai, timbullah penderitaan, penyesalan, putus asa, kekecewaan dan sebagainya. Memang sungguh sulit menghilangkan pandangan seperti itu. Bukan hanya dalam kehidupan sekarang ini kita terikat dengan bentuk ritual dan upacara- upacara seperti itu, tetapi juga dengan bentuk ketahayulan yang sudah berjuta-juta sampai tak terhitung berapa kali kita mengalami bentuk kelahiran, kemelekatan yang masih ada didalam kehidupan kita. Dengan demikian, kita sekarang inilah saat yang paling tepat, selagi kita terlahir sebagai manusia dan mengenal dhamma untuk menghapus setahap demi setahap pandangan salah itu. Sungguh sulit untuk dapat terlahir sebagai manusia, sungguh sulit kehidupan manusia, sungguh sulit untuk mendengarkan ajaran kebenaran, begitu pula sungguh sulit munculnya seorang Buddha (Dhammapada, XIV : 182).
Secara umum bahwa manusia mencari perlindungan karena adanya rasa takut, dan keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan. Apa yang mendasari timbulnya ras takut dan keinginan untuk mencapai suatu kebahagiaan itu? Pada dasarnya manusia cenderung untuk memberontak dan tidak merasa puas pada satu kondisi yang dianggapnya tidak menyenangkan seperti; dicela, tidak disenangi di masyarakat (nama buruk), dirugikan, berpisah dengan orang yang dicintai, berkumpul dengan yang dibenci, dan sebagainya. Kondisi batin diatas bisa muncul karena adanya keserakahan (loba) dan keinginan untuk selalu dalam kondisi yang menyenangkan. Maka melalui keinginan yang kuat terhadap suatu obyek, akan menimbulkan penderitaan dan ketakutan. Takut kalau keinginanya tidak tercapai dan takut untuk mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan
Jelaslah bahwa yang mendasari timbulnya ketakutan adalah lobha, dosa, dan moha dalam batin. Dari kemelekatan timbul kesedihan, dari kemelekatan timbulah ketakutan, dari nafsu timbullah kesedihan, dari nafsu timbulah  ketakutan, dari keinginan timbulah kesedihan, dari keinginan timbul ketakutan bagi orang yang terbebas dari kemelekatan dan keinginan tiada lagi kesedihan dan ketakutan.

C. Perlindungan Dalam Hal Umum
Perlindungan dalam pandangan umum dapat dikatakan adalah sesuatu yang dituju dan dapat memberikan suatu ketenangan serta rasa aman, apabila seseorang merasa susah dan sedih akan hal-hal yang dialaminya maka akan berusaha untuk mencari suatu ketenangan dan ketentraman. Ketika penduduk  Malasiya negara tetangga kita yang semakin padat, karena semakin banyak tenaga kerja dari Indonesia secara tidak resmi maka melakukan deportasi dan ahkirnya banyak para tenaga kerja Indonesia yang terlantar maka dengan penuh kebijaksanaan pemerintah Indonesia berusaha untuk melindunginya, menanggung biaya penggembalian penduduknya ke asalnya dan memberikan pengarahan, ketika nilai rupiah anjlok, maka para ibu-ibu rumah tangga berusaha untuk melindungi hartanya dengan membeli dolar, ketika seseorang mengalami frustasi dan cemas ia mungkin mencari perlindungan kepada sahabatnya dan ketika ajalnya datang mendekat, mungkin pula mencari suatu perlindungan tentang kepercayan adanya surga yang kekal abadi. Tetapi itu semua bukanlah bentuk perlindungan yang aman atau utama. Karena tidak didasarkan atas kenyataan dan tidak akan membebaskan kita dari penderitaan.

D. Perlindungan Yang Aman
Orang mencari perlindungan karena adanya rasa takut dan berkeinginan untuk tenang, tentram dan bahagia, maka sesuatu dapat dikatakan sebagai perlindungan yang aman jika mampu menghilangkan rasa takut dan memberikan kebahagiaan seseorang. Untuk mencari perlindungan seperti itu orang dapat melakukannya dalam dua level, yaitu :
1.Kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yaitu mencari perlindungan kepada mahluk lain atau yang berada di luar diri sendiri. Mereka selalu mengharapkan kesejahteraan, keselamatan, usia panjang, dengan memohon mahluk yang lain, tetapi masih menyakiti dan menyiksa mahluk lain yang lebih lemah. Memohon untuk terlahir dialam yang berbahagia setelah kematiannya, namun masih tetap melakukan perbuatan yang tercela dalam hidupnya.
2.Ia menyadari suatu perlindungan yang aman dapat ia cari dari perbuatannya sendiri. Tak ada sesuatu pun yang timbul tanpa adanya suatu sebab yang mendahuluinya. Keselamatan, kesehatan, penyakit, penderitaan maupun nama baik timbul karena suatu perbuatanya sendiri. Mendapatkan kekayaan karena giat bekerja  dan berusaha (faktor masa sekarang), sering berdana (faktor masa lalu) serta tidak suka mencuri barang orang lain semua ini tersirat dalam kutipan parita Brhamaviharaparanam, yaitu:
...............Aku adalah pemilik karmaku sendiri, pewaris karmaku sendiri, terlahir dari karmaku sendiri, behubungan dari karmaku sendiri, terlindungi oleh karmaku sendiri, apapun karma yang kuperbuat, baik atau buruk itulah yang akan ku warisi.
Dengan demikian setiap saat penuh dengan pengendalian diri, menyadari akan hal ini dan menyelidiki kedalam batin sendiri, maka kebahagiaan (Nibbana) adalah buahnya, yaitu lenyapnya semua kekotoran batin (loba, dosa, moha) yang berarti pula lenyapnya rasa takut dan tercapainya kebahagian yang sejati, berada diluar baik dan buruk tak ada rasa pamprih lagi, inilah perlindungan yang aman.

E. Perlindungan Utama Dalam Ajaran Sang Buddha
Apa yang dimaksud perlindungan yang utama? Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan ini, Sang Buddha bersabda; “Ia yang berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha dengan penuh kebijaksanaan dapat melihat empat kesunyataan mulia, yaitu: Dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukkha serta jalan mulia berfaktor delapan yang menuju akhir dukkha. Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama, dengan pergi mencari perlindungan seperti itu, orang akan bebas dari penderitaan (Dhammapada XIV ; 190-192).
Sekarang apa yang dimaksud perlindungan terhadap Buddha? Jika seseorang pergi berlindung  Buddha, maka ia harus menyadari dan menerima kenyataan bahwa ia pun dapat mencapai apa yang telah dicapai oleh Sang Buddha. Apa yang telah dicapai oleh Sang Buddha? Sang Buddha telah mencapai suatu ketenangan, kebahagiaan, kesempurnaan tertinggi dan Nibbana. Kita pun bisa mencapai ketenangan, kebahagiaan, kesempurnaan tertiggi dan Nibbana. Yang menjadi suatu pernyataan adalah saat ini bagaimana caranya? Apakah hanya cukup menyatakan aku berlindung pada Buddha? Tentu tidak! Jawaban atas pertanyaan ini dapat kita temui dalam perlindungan yang ke dua yaitu perlindungan terhadap Dhamma.
Suatu ketika Sang Buddha berada dipinggiran sebuah hutan, beliau lalu mengambil segenggam daun yang berserakan di tanah dan berkata;” Wahai para Bhikkhu..... yang mana lebih banyak daun yang ada di hutan atau yang ada pada genggaman saya?”. Bhikkhu pun menjawab daun dihutanlah jauh lebih banyak Bhante. Sang Buddha melanjutkan “Begitu pula Dhamma yang telah diketahui adalah sebanyak daun yang ada di hutan tetapi Dhamma yang kuajarkan kepada-Mu hanyalah bagaikan segenggam daun ini, tetapi ini adalah cukup untuk membebaskan dari penderitaan”.
Atas dasar pernyataan tersebut jelaslah bahwa Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah Dhamma yang merupakan pelindung kita yang ke dua dapat membebaskan diri kita  dari penderitaan dan mencapai kebahagiaan. Perlindungan terhadap Dhamma berarti berusaha memahami empat kesunyataan mulia dan melandasi hidup kita dengan jalan mulia beruas delapan.
Perlindungan kita yang ketiga adalah perlindungan tehadap Sangha. Yang dimaksudkan perlindungan terhadap sangha adalah menerima dukungan inspirasi serta bimbingan dari mereka yang melaksanakan jalan mulia beruas delapan, siapakah mereka? Mereka adalah para Bhikku Sangha baik yang telah mencapai tingkat kesucian maupun yang belum. Itulah tiga perlindungan yang utama dan yang aman, perlindungan yang nyata dan dapat diandalkan bagi siapapun mahkluk di dunia, maka dari itu temukanlah tiga perlindungan ini dan manfaatkan sehingga penderitaan dapat di ahkirinya dan kebahagiaan tercapai.
Ada sebuah syair yang memperkokoh perlindungan ini dan meningkatkan rasa keyakinan kita kepada Sang Tri Ratna yaitu :
*  Tiada perlindungan lain bagiku Sang Buddha – lah sesungguhnya perlindunganku    
* Tiada perlindungan lain bagiku Sang Dhamma – lah sesungguhnya perlindunganku                        *  Tiada perlindungan lain bagiku Sang Sangha – lah sesungguhnya perlindunganku    
    Berkat kesungguhan peryataan ini semoga aku/ Anda selamat dan sejahtera.
(Paritta Saccakriya Gatha).
Ketiga syair inilah yang memiliki esensi yang sama, karena ketiganya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainya. Sang Buddha mewujudkan Dhamma, Dhamma dilestarikan oleh Sangha. Sedangkan Sangha adalah siswa Sang Buddha. Ibaratnya tiga  tiang kayu yang saling menopang dan menyangga dengan baik.  Jika kita berlindung salah satu maka secara otomatis berlindung kepada ketiganya. Sang Buddha adalah perlindungan yang tertinggi demikian pula Dhamma dan Sangha dalam sifatnya yang khusus secara masing-masing.
Didalam kesempatan yang lain Sang Buddha menyatakan bahwa diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri, mendengar peryataan tersebut mungkin diantara kita, bertanya-tanya. Apakah pertanyaan tersebut saling berlawanan? Jika dilihat sepintas tampaklah memang berlawanan tetapi sesungguhnya adalah tidak. Marilah kita lebih jauh melihat kedepan, jika kita ibaratkan, hidup kita ini seperti sebuah perjalanan yang melintas hutan samsara, kita mengambil Sang Buddha sebagai orang-orang yang terus berjalan pada jalan Dhamma sambil membimbing dan memberikan petunjuk kepada diri kita yang berjalan dibelakang Sangha.
Diri kita yang dimaksudkan disini adalah diri kita sendiri yang semenjak lahir hingga dewasa sampai sekarang ini tidak bisa kita tinggalkan dan telah tergantung pada kita sendiri. Marilah kita simak contoh yang lain, balita tidaklah mungkin memenuhi kebutuhan hidupnya, orang tuanya haruslah selalu membantu dan menopang hidupnya, tetapi dalam hal yang penting justru ia harus tergantung pada diri sendiri, orang tuanya dapat menyediakan makanan dan usaha yang paling mungkin dilakukan adalah meletakan makanan tersebut dimulut si bayi tetapi untuk dapat mencerna makanan tersebut si bayi harus berusaha dan tergantung pada dirinya sendiri. Ketika bayi tersebut berangsur-angsur tumbuh sehat dan menjadi anak-anak maka tiba waktunya untuk sekolah. Disini kembali orang tua hanyalah dapat membantu mencarikan uang sekolah, membayar SPP, member uang jajan, dan keperluan sekolah yang lain. Tetapi dalam hal belajar ia harus tergantung pada dirinya sendiri, ia harus tergantung pada kemampuan mencerap kemampuan pelajaran yang diberikan oleh gurunya, orang tua hanyalah dapat membantunya dalam materi maupun untuk belajar, sejauh mana anak tersebut dapat mencerap pelajaran itu tergantung pada usaha dan kemampuannya.
Dari contoh-contoh diatas jelaslah sudah bahwa Sang Buddha telah memberikan suatu petunjuk, Dhamma yang telah diputar, Sangha telah memberikan contoh dan diri kita sendirilah yang berlatih dalam mengikuti ajaran dan petunjuk Sang guru. Buddha, Dhamma dan Sangha telah menjadikan pelindung bagi kita, diri sendiri yang harus menentukan pada kemampuan dan tekat itu untuk menuju kebahagiaan.
Setelah kita mengetahui bahwa Tisarana telah menjadi perlindungan bagi kita yang dapat diandalkan, mungkin diantara mereka ada yang berpikir dimanakah Sang Buddha bersemayam? Kita yang mempelajari sejarah akan mengatakan bahwa sekarang yang tinggal hanyalah Dhamma dan vinaya. Dhamma dan vinaya yang menjadi wakil Sang Buddha. Hal ini dinyatakan oleh sendiri Sang Buddha menjelang Beliau parinibbana. Tetapi diantara kita ada yang berpikir dengan mengatakan bahwa Sang Buddha telah mencapai kebenaran Dhamma yang kekal. Beliau ada dan tetap ada selamanya, dimana beliau sekarang? Beliau ada didalam kebenaran Dhamma yang kekal. Ungkapan tersebut bukanlah tanpa dasar, jika kita inginkan melihat Sang Buddha kita harus mempraktekan Dhamma, kita harus melestarikan Dhamma dengan melatih konsentrasi dan membangun suatu kebijaksanaan. Hingga suatu saat nanti melihat indahnya dhamma (sang jalan) dengan pandangan yang benar. Sang Buddha telah menyatakan bahwa siapapun yang dapat melihat kebenaran Dhamma berarti dapat melihat Sang Buddha. Kesaksian tersebut menegaskan bahwa Sang  Buddah ada dan benar-benar dapat dilihat. Jadi memutuskan untuk berlindungan kepada Sang Tri Ratna adalah merupakan satu bentuk perlindungan yang bukan berlindung kepada kekosongan, tetapi Sang Tri Ratna adalah merupakan satu bentuk perlindungan yang sejati.
Salah satu metode latihan yang dapat kita gunakan untuk berlindung kepada Sang Buddha adalah dengan merenungakan sifat-sifat luhur yang dimiliki oleh Sang Buddha yang terungkap dalam syair Paritta Buddhanussati;
“Demikianlah Sang Baghava, Yang Maha Suci yang telah mencapai peneranganan sempurna, sempurna pengetahuan serta tidak-tanduk-Nya, sempurna menempuh Sang Jalan (Nibbana), pengenal segenap alam, pembimbing manusia yang tiada taranya, Guru para dewa dan manusia yang sadar (bangun, yang patut dimuliakan)........”
Kita harus brlatih dengan baik dalam perenungan ini, sampai dapat berkonsentrasi maka kegelisahan, kekawatiran, ketakutan dan kekecewaan serta frustasi akan lenyap adanya sehingga akan tampak jelas cara yang baik untuk memecahkan masalah yang ada.
Yang terpenting adalah; mempraktekan pikiran da mempertahankan pikiran juga berada dalam perlindungan Sang Buddha. Pikiran yang berada didalam perlindungan tersebut akan bersifat hangat dan tidak kesepaian, berani tidak takut, kuat tidak lemah dan murni tidak keruh. Pikiran tersebut cenderung memunculkan pandangan benar yan merupakan suatu alat seseorang untuk menuju kehidupan yang lebih baik.

F. Kesimpulan
Marilah kita berlindung kepada Sang Buddha Guru pembimbing kita dengan cara berkonsentrasi dan membangun suatu kebijaksanaan sehingga kita dapat memiliki keyakinan yang kuat, melihat Sang Dhamma yang berarti melihat Sang Buddha. Ingatlah bahwa Sang Buddha dan ajaranya adalah benar-benar perlindungan kita yang nyata dan dapat diandalkan serta dibuktikan kebenarannya oleh siapapun mahluk didunia ini serta para siswanya, yaitu Sang Sangha yang telah melaksanakan Dhamma dan berupaya teguh pada sila dan vinaya secara sempurna, bertindak jujur, berjalan dijalan yang benar, penuh tanggung jawab dalam tindakan serta patut menerima persembahan, ladang yang subur untuk menanan kebijaksanaan, patut dicontoh. Landasan dari bentuk perlindungan ini adalah kemampuan yang ada pada setiap orang untuk mencapai tingkat-tingkat kesucian.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa Buddah, Dhamma dan Sangha dalam bentuk aspeknya sebagai perlindungan yang mempunyai sifat mengatasi keduniawian, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Buddha, Dhamma dan Sangha merupakan menifestasi dari pada yang Mutlak, Yang Esa, Yang menjadi tujuan terahkir bagi semua mahluk. Buddha, Dhamma dan Sangha sebagai Tiratana adalah bentuk kesucian yang tertinggi yang dapat ditangkap oleh manusia biasa, oleh karena itu diajarka sebagai perlindungan yang tertinggi oleh Sang Buddha. Jadi Buddha, Dhamma dan Sangha adalah merupaka bentuk menifestasi perwujudan, pengejawantahan dari Tuhan Yang Maha Esa dari alam semesta ini, yang di puja dan dianut oleh umat Buddha di dunia sehingga tercapainya Nibbana. Hal ini hanyalah dapat dicapai dan dirasakan dengan suatu usaha dan merealisasinya dari kebenaran Dhamma.
Semoga semua mahluk hidup berbahagia.
Sadhu......Sadhu......Sadhu.......... 

Sumber Pustaka :
Alm. Ven. Narada Mahathera, 1998, Sang Buddha dan Ajaran-Ajaranya, Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta.
............,1980, Kebahagiaan Dalam Dhamma, Majelis Buddhayana Indonesia, Jakarta
Dr. R. Surya Widya, pandita Sasanadhaja, 2001, Dhammapada, Yayasan Abdi Dhamma Indonesia, Jakarta
Pandita S. Widyadharma, 1979, Riwayat Hidup Buddha Gotama, Yayasan Pendidikan Buddhis Nalanda, Jakarta.







MELEPASKAN DAN BERPISAH
Oleh Sujayanto
Apabila seseorang membawa beban yang berat dan tidak kuat lagi membawanya, maka jalan satu-satunya agar ia tidak menderita ialah melepaskan beban itu. Tetapi melepas beban itu berarti kita harus berpisah, dan dalam kehidupan ini tidaklah mudah, karena umumnya manusia sangat terikat sekali dengan miliknya. Namun dengan sedikit pengertian dalam pemahaman dhamma dalam kehidupan sehari-hari hal itu akan sedikit mudah kita lakukan.
Setiap manusia akan berusaha mati-matian untuk mempertahankan milik (hartanya) tersebut. Padahal semua orang mengetahui bahwa miliknya (hartanya) di dunia ini tidaklah kekal. Terikat atau melekat kepada sesuatu yang tidak kekal pastilah akan menimbulkan penderitaan.
Sang Buddha telah menemukan cara yang bijaksana untuk meringankan beban hidup “jangan memegang erat-erat sesuatu apapun yang ada di dunia ini”. Kalau sudah waktunya untuk dilepaskan, ya.......lepaskan dengan iklas. Semua berproses sesuai dengan keadaan dan perubahan di dunia ini tidak ada yang menyimpang dari Niyama-dhamma (Hukum Karma).
Seekor burung yang walaupun dipelihara di dalam sangkar emas, dia tetap akan merasa lebih bahagia bila dilepas dan hidup di alam yang bebas. Begitu pula ketika kita sakit. Salah satu pertanyaan yang dianjurkan oleh dokter adalah apa yang mudah untuk melepaskan? Hal yang sangat sulit tentunya. Jadi mudah melepas merupakan pertanda jasmani yang sehat.
Orang yang makan terus bisa melepas “buang hajat” tidak akan menderita, namun apabila pikiran selalu ingin memiliki terus tanpa ada keinginan untuk melepas “berdana”, batin akan menjadi kikir dan kekikiran tidak akan menimbulkan kebahagiaan. Sebaliknya Dhamma menyatakan bahwa kikir adalah merupakan penyakit yang sangat berbahaya. Sang Buddha menyatakan “kekikiran seperti karat pada sebuah besi yang sedikit demi sedikit akan merusak besi tersebut”. Jadi sifat kikir yang tidak segera dikikis akan merusak moral seseorang dan akan menyeret ke alam penderitaan. “seseorang yang berkeyakinan dan melaksanakan aturan moralnya dengan sempurna yang memiliki kemasyuran dan kekayaan, dimana saja dia bertempat tinggal disitulah dia akan selalu dihormatinya” (Dhammapada  XXII ; 303).
Kathina-kala atau masa kathina yang berlangsung selama sebulan penuh merupakan saat yang sangat tepat bagi umat Buddha untuk melepaskannya, dan melaksanakan kebajikan melalui berdana. Berdana merupakan cara yang mudah untuk dilakukan oleh siapa saja yang ingin mengembangkan kebajikan dan untuk mengikis kekotoran batin yang disebut kemelekatan terhadap milik-lobha (kikir). Dimana berdana adalah pemberian, baik materi, uang, tenaga, perlindungan, rasa aman, atau nasehat kepada orang atau organesasi yang membutuhkan secara suka rela tanpa ada paksaan dan tidak mengharapkan balasan atau imbalan. Berdana adalah berkorban. Dalam agama Buddha berdana yang baik tentunya berdasarkan pada kesadaran dan pengertian yang benar dari si pemberi dana itu sendiri.
Karena kurang mengerti tentang makna yang terkandung dalam ajaran Sang Budhha, maka manusia pada umumnya akan berbuat yang salah. Bahwa dengan memberikan dana yang mereka milikinya akan berkurang. Sebaliknya mereka yang berpikiran benar, mengerti bahwa dengan berdana berarti menanam bibit kebajikan yang akan menjadi “sebab” untuk melahirkan kebahagian atau “nilai tambah” bagi dirinya sendiri.
Sesungguhnya, dalam pengertian yang benar dana mempunyai fungsi ganda, yaitu pertama mengikis kekikiran dan keserakahan, kedua melahirkan nilai tambah atau rejeki di kemudian hari atau di kehidupan yang akan datang, bahkan juga dalam kelahiran yang akan datang. Sudah menjadi sifat yang alami dalam kehidupan kita ini untuk selalu melepaskan dan berpisah. Melawan berarti menyiksa diri sendiri. Kitalah yang mestinya menyesuaikan diri dengan sifat alam. Kita menarik nafas untuk dilepas lagi. Kalau kita hanya ingin menarik nafas saja, tidak mau melepaskan udara yang dihirupnya maka kita akan tersiksa sendiri.
Kita pasti pernah merasakn kehilangan, berpisah dengan apa yang sangat kita sukai, cintai baik itu harta, kedudukan, ataupun orang yang kita sayangi dan cintai. Bahkan kalau kita mati semuanya kita lepaskan. Kalau tidak rela melepaskan, akibatnya sudah pasti, penderitaan dan kesedihan, serta stress bahkan bisa menjadi gila. Atau lebih jauh kalau kita terlalu terikat dan tolol karena ditinggal orang yang sangat kita cintai, kita mencoba menyusul keliang kubur alias bunuh diri.
Untuk menyelaraskan dengan sifat yang alami, melepas, berpisah, kita perlu melatih diri melepas dengan cara berdana. Melepas adalah sebagian kecil milik kita. Sehingga kita tidak perlu shock bila mengalami kehilangan milik kita. Kalau kita tidak suka melepas, hanyalah mengumpulkan dan mengumpulkan terus, maka kita juga bakal mengumpulkan problem (timbulah keserakahan), dan kesedihan....semua itu sulit untuk dilepaskan. Akibatnya hidup kita dibebani barang-barang busuk itu terus menerus. “walaupun memiliki harta, aset, kekayaan yang berlimpah, namun dia menikmatinya sendiri, inilah sebab daripada keruntuhan seseorang” (Sutta-Nipata I ; 6 : 102).
Kalau kita suka berdana, melepas, maka kalau prblem, masalah, kebencian, kesedihan, juga bakal mudah kita lepas. Hidup menjadi enteng, tentram dan melegakan serta damai. Harapan semua orang itulah sebagian manfaat dari berdana yang diperolehnya.
Dalam ajaran Sang Buddha, berdana merupakan keharusan yang dilaksanakan bila kita menginginkan kemajuan lahir dan batin. Berdana bukanlah monopoli bagi orang yang kaya. Dana juga bukanlah merupakan hadiah dari si kaya dan si miskin, dana merupakan bentuk paramita yang paling awal dan yang paling mudah untuk di lakukannya oleh semua orang. Sebelum melaksanakan bentuk paramita-paramita yang lain. Seperti sebuah tangga, dana merupakan step (anak tangga) pertama yang harus di injak dalam menaiki tangga berikutnya.
Oleh karena itu, Sang Buddha setiap membabarkan dhamma kepada umatnya selalu membuka pembicaraan dengan apa manfaat berdana dan apa tujuan dari berdana. Setelah hati para umat mulai tenang, terbuka dan siap untuk menerima Dhamma, barulah Beliau memulai untuk membabarkan Dhamma yang lebih tinggi.
Pada umumnya, batin manusia sangatlah terikat dengan harta atau miliknya tanpa menyadari bahwa tidak ada harta duniawi yang kekal. Dimana saja ia menyimpannya suatu saat akan mengalami suatu perubahan, lenyap dengan berbagai cara. Sang Buddha memberikan satu cara agar harta yang kita miliki ini menjadi “harta yang sejati” yaitu dengan mengubahnya menjadi kebaikan atau paramita. Kemana saja kita mengalami kelahiran “harta sejati” tersebut pastilah akan menyertainya.
Terdapat suatu cerita, demikian kisahnya : ada dua orang yang bersahabat baik dan bertemu di vihara. Pada waktu itu sedang mengikuti upacara Kathina. Seorang dari mereka turut memberikan dan mempersembahkan dana kepada Sangha. Sedangkan yang lain lagi orang itu tidah melakukan dana atau persembahan kepada sangha. Bahkan ia hanyalah sebagai penonton saja. Dalam perjalanan pulang yang tadi berdana bertanya kepada temannya, “mengapa anda tidak berdana hanyalah sebagai penonton saja?”
Kawan yang ditanya menjawab, ”buat apa saya berdana, karena dengan berdana uang yang saya miliki ini akan berkurang. Bahkan sekarang uangmu tinggal separuh”. Orang yang berdana memberikan penjelasan, “benar teman, uangku sekarang berkurang bahkan tinggal separuh akan tetapi uang ini bukanlah milikku, karena uang atau harta yang aku miliki ini yang belum di pergunakan itu bukanlah milikku yang sebenarnya. Hanyalah uang atau harta yang kita gunakan ini (kita sumbangkan) untuk kepentingan umum, menolong orang lain yang sedang membutuhkan bantuan kita, atau untuk kepentingan vihara dan kelestarian sangha, itulah yang baru sesungghunya menjadi “milik yang sejati”. Mengapa demikian, karena tidak ada orang lain yang bisa mencurinya lagi.
Dengan manggut-manggut tanda mengerti dan malu, kawanya berkata, “jadi sesungguhnya sekarang anda telah mempunyai milik yang sejati separuh itu tadi, sedangkan saya belum memiliki apa-apa. Kalau begitu lain waktu dan kesempatan yang akan datang saya akan berdana sebanyak-banyaknya, supaya “harta yang sejati” yang kumiliki makin banyak.
Begitulah perbedaan pandangan yang sering timbul dalam diri manusia masing-masing yang terlihat melalui “kacamata” Dhamma. Dhamma menuntun kita melihat jauh ke depan sampai ke alam kelahiran yang selanjutnya. Sedangkan manusia hanya bisa melihat dalam beberapa pereode kehidupan sekarang ini saja atau secara sekilas saja.“Demikian besarnya hasil yang diperoleh dari buah kebaikan (paramita). Oleh karena itu orang bijaksana akan selalu bertekad untuk menimbun harta yang sejati, buah dari kebajikan adalah kebahagiaan, tak seorangpun dapat mengambilnya, perampok-perampok tak dapat merampasnya maka lakukanlah perbuatan baik, inilah harta yang akan selalu mengikutinya(Khuddakapatha 8).
Dilihat dari begitu banyaknya manfaat yang bisa didapat dari berdana dan berbuat baik maka tidaklah mengherankan bila kita baca cerita tentang Visakha, murid langsung Sang Buddha, bukannya memohon atau meminta berkah materi, rejeki, tetapi justru memohon agar diberikan hak atau kesempatan yang lebih untuk berdana kepada para bhikkhu. Bukan umatnya yang dibatasi dalam berdana, tetapi Vinaya (peraturan tata tertib kebhikkhuan) yang dimiliki para bhikkhu-lah yang secara tidak langsung membatasi kesempatan pada umat.
Bahkan dikisahkan, ada dewa yang sampai memakai taktik agar bisa selalu berdana kepada seorang bhikkhu yang telah meraih kesucian. Syarat untuk menjadi sukses, murah rejeki, keberuntungan atau hokkie tidak lain dari banyaknya perbuatan baik (menabur benih), kerja keras, rajin, dan ulet, tekun, hemat, tidak boros dan jujur. Begitu pula didasari dengan pengertian yang benar serta niat (kehendah atau cetana), barang yang kita berikan (Vathu) serta penerimanya yang baik (Punggala). Setiap kejayaan manusia dan kebahagiaan surga, bahkan kesempurnaan Nibbana, semua itu diperoleh karena perbuatan perbuatan jasa. Inilah hukumnya.
Apa yang disebut rejeki keberuntungan dan hokkie tidak lain dari pada masaknya perbuatan/karma baik yang dilakukan/yang ditaburkan pada waktu yang lampau. Rejeki, bukan berkah yang jatuh dari langit untuk orang-orang tertentu (pilih kasih) dan tanpa sebab. Segala sesuatu ada sebab adanya penyebabnya. Dan hukum karma menjelaskan bahwa kita sendirilah yang membuat dan mengembangkan sebab itu; bukan  orang lain atau mahluk lain.
Marilah kita gunakan kesempatan dalam hidup ini selalu mengumpulkan paramita sebanyak mungkin yang kita mampu, agar “harta sejati” kita makin bertambah banyak dan kualitas hidup kita ini akan semakin baik.
Semoga semua mahluk hidup bahagia.
Sadhu........Sadhu.........Sadhu........

































KEMULIAAN DI BULAN MAGHA
Oleh Bhikkhu Vajhiradhammo


Namo Sanghyang Adhi Buddhaya
Namo Buddhaya

A. Pendahuluan

Saudara sedhamma, kehidupan ini terus berlangsung dari waktu ke waktu, hari berganti hari, bulan pun berganti bulan dan tahun terus bertambah. Di tengah putaran sang waktu, kita sering tenggelam dalam berbagai kesibukan dan kegiatan sehari-hari, bahkan masing-masing individu atau sekelompok orang selalu berlomba-lomba untuk mengejar apa yang selalu di inginkan, sehingga terkadang lupa apa yang semestinya sebagai tujuan dalam kehidupan ini. Dimana terhanyut oleh segala keindahan dan harapan yang belum pasti membawa kebahagiaan dalam kehidupan ini. Pada hari ini seolah-olah ditemukan kembali sebuah waktu yang menurut perhitungan tahunnya hadir lagi, dan mengulangi perjalanan panjang yang telah kita lalui bersama.
Setiap insan manusia dalam hidupnya pasti menghendaki adanya suatu kebahagiaan dan kesejahteraan. Terkadang manusia hanyalah terlena dan lelap oleh segala impian dan ilusi indahnya masa depan yang tak pasti di warnai dengan penuh kebahagiaan dan kesejahteraan. Jalan emas yang harus dilaksanakan untuk membangun sebuah pondasi rumah yang megah itu tidak datang secara tiba-tiba. Namun perlu suatu usaha bekerja yang didasari dengan kemampuan dan semangat serta persiapan yang matang, sehingga dapat membangun rumah dengan indah sebagai tempat peristirahatannya yang nyaman. Usaha-usaha itu diperlukan tidak seperti seseorang dengan menggunakan sebuah komputer, setelah kita panggil melalui keybord atau papan pengetikan akan mucul yang kita kehendaki pada tampilan layar sebuah monitor. Begitu pula untuk mendapatkan kebahagiaan tidaklah cukup dengan sebuah rengekan-rengekan seperti anak kecil, dan tetesan air mata disaat penderitaan itu datang. Kemudian memohon mahluk adikodrati, namun selangkah uantuk maju dalam mengembangkan kebajikan atau berbuat baik sebagai modal untuk menambah kebahagiaan dan kesejahteraan di hari esok yang cerah.
Tak terasa bulan Magha puja telah kembali hadir dan saat ini kita tentunya melaksanakan puja bakti bersama secara khusus untuk memyambut hari tersebut dengan perasaan bahagia. Disinilah ada kebahagiaan tersendiri bagi umat Buddha untuk berbakti kepada Sang Tri Ratna. Namun sudah sesuaikah yang kita lakukan selama ini dengan apa yang diteladankan oleh sikap luhur Sang Guru junjungan kita yaitu Sang Buddha....? Kalau sudah, mari kita tingkatkan terus sikap luhur dalam kehidupan ini. Kemudian bila belum marilah pada saat ini kita di ingatkan kembali bersama untuk memulai dan berusaha berlatih agar sedikit demi sedikit dapat menyesuaikan diri kita dengan sikap luhur Sang Buddha dalam khidupan sehari-hari, sehingga ada satu perubahan yang lebih baik kehidupan yang dilaluinya.

B. Peristiwa Penting Bulan Magha
Pada saat bulan purnama di bulan Magha, mengingatkan kembali seluruh umat Buddha kepada peristiwa yang bersejarah, yang terjadi dalam kehidupan Sang Buddha. Suatu peristiwa yang tidak pernah terjadi pada saat kehidupan sekarang ini dengan perubahan pola kehidupan yang serba moderen serta tantangan kehidupan manusia yang banyak.  Peringatan Hari Suci Magha Puja kesempatan ini adalah merupakan bentuk upacara keagamaan khususnya bagi umat Buddha, yakni dengan memperingati dengan mengadakan kebaktian bersama di vihara-vihara atau cetiya, hendaknya kita juga meluangkan waktu yang sejarah untuk merenungkan, menghayati serta menjalani apa sebenarnya hakekat dan makna Hari Suci Magha Puja.
Kurang lebih 30 abad yang lampau pada masa kehidupan Sang Buddha Gautama di dunia ini, terjadilah peristiwa yang sangat bersejarah di bulan purnamasidhi di bulan Magha di vihara Veluvanarama (Hutan Bambu)di kota Rajagaha.Peristiwa besar dan suci di bulan Magha yang sangat istimewa ini ditandai dengan empat ciri khusus atau tanda yang sangat istimewa yang dikenal dengan Caturrangga Sannipatta yaitu:
1. Para Bhikkhhu arahat berjumlah 1250 tersebut berkumpul serentak di vihara Veluvanarama tanpa ada kesepakatan dan perjanjian atau undangan terlebih dahulu. Mereka datang dari berbagai penjuru dalam waktu yang sama, tempat yang sama dan mempunyai tekad yang sama pula, yaitu untuk menghaturkan rasa hormat dan bakti  kepada Guru Agung Sang Buddha Gautama.
2. Kemudian 1250 Bhikkhu kesemuanya telah mencapai tingkat kekuatan batin dan telah mencapai tingkat kesucian tertinggi Arahat (memiliki 6 kekuatan batin).
3. Sejumlah 1250 Bhikkhu tersebut yang hadir pada pertemuan itu adalah ‘Ehi Bhikkhu Upasampada’ yaitu para Bhikkhu yang telah menerima pentahbisan langsung dari Sang Buddha Gautama sendiri.
4. Pada peristiwa yang yang istimewa dan bersejarah inilah Sang Guru dunia Buddha Gautama menguraikan Dharma ajaran-Nya yang merupakan intisari dari semua ajaran yang dikenal dengan Ovada Patimokkha.

C. Makna Di Bulan Magha
Satu hal yang terpenting pada peristiwa Magha Puja ini Sang Buddha membabarkan prinsip-prinsip ajara-Nya yang disebut Ovada Patimokha, adalah suatu khotbah yang sangat mulia yang dibabarkan oleh Sang Buddha kepada para siswanya dengan sangat ringkas, jelas, padat dan sederhana sekali Beliau dalam menguraikannya. Tetapi perlu kita ketahui bersama dan kita sadari bahwa didalam uraian yang ringkas dan sederhana inilah merupakan intisari atau jantung dari ajaran Agama Buddha (Buddha Dharma). Demikianlah Sang Buddha Gautama membabarkan Dharma-Nya kepada para siswanya di bulan Magha yakni:

Khanti paramam tapo titikha
Nibbanam paramam vadanti Buddha
Na hi pabbajito parupaghati
Samano hoti param vihethayanto
Artinya:
Kesabaran adalah cara pertapa yang tertinggi
Nibbana adalah kebahagiaan yang paling tertinggi
Bukan seorang pertapa dan bukan pula seorang 
Yang telah meninggalkan kehidupan duniawi
Bila mereka masih
Menyakiti dan merugikan orang lain




Menumbuhkan dan mengembangkan kesabaran di dalam kehidupan sebagai umat Buddha adalah merupakan suatu hal yang sangat penting yang kita lakukan dan memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kemajuan batin. Seseorang tidak mungkin dapat melakukan kusala kamma ( perbutan baik), jika kondisi batinnya diliputi adanya suatu kemarahan, kebencian dan rasa dendam yang membara. Maka berusahalah untuk selalu mengembangkan suatu kesabaran yang merupakan basis dalam meningkatkan kualitas batin. Sifat cinta kasih, kasih sayang serta toleransi dan ketekunan berlatih meditasi, perbuatan baik tidak bisa dilakukan, sehingga timbul kekerasan, kekejaman dan pemerasan yang mewarnai dalam sikap dan tingkah laku. Pengembangan kesabaran dalam diri kita akan memudahkan dalam penggendalian kehidupan kita sesuai dengan sila dan vinaya. Sehinga dalam diri manusia tidak ada kesempatan lagi untuk melakukan perbuatan yang tidak baik. Peningkatan batin yang semakin maju, akan mengarahkan diri kita pada munculnya kebahagiaan. Nibbana adalah kebahagiaan yang tertinggi, yang merupakan akhir dari perjalanan panjang kehidupan kita ini.
Sang Buddha Guru junjungan kita telah menunjukkan dan mengajarkan pada kita bagaimana untuk mencapai kebahagiaan yang mulia itu, yaitu dengan mengembangkan dan melaksanakan delapan unsur jalan mulia (Arya Attangika Magga) di dalam kehidupan sehari-hari yang selalu tidak menyakiti atau merugikan orang lain inilah unsur-unsur jalan kebahagiaan yang mulia, yaitu :



Sabba passa akaranam
Kusalassa upasampada
Sacitta pariyodapanam
Etam Buddhana sasanam

Artinya :


Menghindari semua perbuatan jahat
Mengembangkan  perbuatan baik 
Membersihkan pikiran sendiri
Inilah ajaran para Buddha

Bila kita renungkan kembali syair dari sabda Sang Buddha ini, ibaratnya jantung kemanusiaan yang sangat berarti yang merupakan idaman dan impian bagi setiap manusia dimuka bumi ini, untuk selalu tidak melakukan perbuatan jahat. Semua ajaran pasti selalu memberikan tuntunan seperti ini sehingga merupakan suatu cetusan hati manusia yang paling dalam dan murni, karena kejahatan hanya akan mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan baik bagi pelakunya sendiri maupun bagi mahkluk-mahkluk lain, akhirnya menjadi penyebab kehancuran atau rusaknya kehidupan dunia ini. Tetapi mengapa masih banyak orang selalu melakukan bentuk-bentuk kejahatan di dunia ini? Dan tidak mau menyadari akan akibatnya. Untuk itu, sudah saatnya kita mengerti semua ini dengan melakukan perbuatan yang baik serta menyadarkan diri kita yang akan membawa ketentraman dan kebahagiaan bagi diri kita. Akhirnya dapat pula menyelamatkan dunia dari kekejaman.
Mengembangkan perbuatan yang baik adalah tuntutan bagi setiap hati nurani manusia dan juga tuntunan bagi semua ajaran agama. Hal ini akan sulit sekali dilaksanakan apabila kita tidak berlatih dengan baik dalam sila dan dharma. Hanya kebaikan yang berdasarkan cinta kasih yang tulus dan murnilah yang akan mengatasi semua permasalahan kehidupan kita, yang dapat menyelamatkan dunia ini pula dari kekerasan, kekejaman, dan peperangan, serta peyimpangan-penyimpangan yang tidak benar. Di dalam kehidupan manusia tentunya tidak mudah untuk melepaskan kondisi duniawi yang banyak kekurangan dan kelemahan serta hinaan dan celaan. Tetapi haruslah kita waspada untuk selalu menyadarinya. menyadari pikiran kita sendiri merupakan ajaran Buddha Dharma yang sangat penting kita terapkan, karna tidak ada satu pun makhluk lain yang dapat menyadari dan membersihkan pikiran kita, kecuali diri kita sendiri. Pikiran adalah sumber, pikiran adalah pelopor dan memimpin, untuk ini sangat penting untuk kita renungkan bersama dari ketiga baris sair ini yang merupakan pondasi dan inti sari dari ajaran semua Buddha.
Anupavada, Anupaghato
Patimokkhe Cu sanvaro
Mattannuta Ca bhathasmim
Patanca sayanasanam
Adhicitte ca ayogo
Etam buddhana sasanam
Artinya :
Tidak menghina tidak menyakiti
Mengendalikan diri selaras dengan patimokha
Makan secukupnya, sesuai dengan kebutuhan
Bertempat tinggal/berdiam ditempat yang sesuai
Barsemangat mengembangkan keluhuran batin
Inilah ajaran para buddha

Di dalam sejarah kehidupan Sang Buddha dalam pembabaran Dharma-Nya, tak ada bentuk kekerasan sedikit pun dalam pengembangan Dharma hingga kini. Sebab Sang Buddha dan Dharma-Nya ( agama buddha ) adalah ajaran yang sangat agung yang berdasarkan cinta kasih, kasih sayang dan toleransi tanpa ada paksaan atau pun pertumpahan darah, bahkan senatiasa berkembang dengan penuh kedamaian dan cinta kasih kepada semua mahluk.
Tidak menghina merupakan perbuatan yang mulia bagi manusia dalam kehidupan ini. Ajaran untuk tidak menghina, mencaci atau pun melecehkan agama atau kepercayaan lain adalah ajaran langsung yang dapat dicontoh dalam kehidupan Sang Buddha sendiri dan para siswanya di jaman yang lampau (seperti Raja Asoka). Sang Buddha membabarkan Dharma-Nya mempunyai tujuan untuk selalu melenyapkan penderitaan dan mendatangkan ketentraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi semua makhluk bukan untuk menimbulkan keresahan, ketakutan dan kesengsaraan bagi makhluk yang lain. Dan selalu ditekankan dalam pelaksanaan sila(moralitas) dalam kehidupan sehari-hari. Bagi umat buddha sila bukan merupakan suatu belenggu dalam kehidupan tetapi sila merupakan suatu benteng, pondasi, pelindung kita dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik (jahat).
Terkendali dengan aturan dalam kehidupan sehari- hari, melatih hidup sederhana, tempat tinggal yang sesuai serta memiliki semangat keluhuran batin merupakan bentuk kemajuan batin yang baik. Dalam Ovada Patimokha seorang bhikkhu diharapkan berlatih baik dan terkendali sesuai dengan sila (vinaya) mengingat sila (vinaya) merupakan suatu cara latihan kedisiplinan diri yang harus dilaksanakan agar dapat menigkatkan kualitas batin kita. Inilah tiga bait yang sangat sederhana, yang sangat istimewa dan merupakan suatu tuntunan yang suci dihati sanubari setiap umat manusia.

D. Kesimpulan

Dengan dilandasi kedisiplinan moral (sila) yang telah dikembangkan dengan baik akan memberikan pahala dan manfaat yang besar, dengan dilandasi samadhi (pengembangan pikira) yang telah dikembangkan akan membawa kebijaksanaan (panna) maka pikiran akan terbebas dari semua noda nafsu rendah indriawi.
Kepedulian terhadap peristiwa di bulan Magha bukan sekedar untuk di dengarkan atau didengung-dengungkan dalam kehidupan ini. Justru sekarang bagi kita semua adalah sejauh mana kita menerapkan dan melaksanakan serta merealisasikannya. Realisasi itu sendiri sebenarnya hasil praktek yang nyata. Tidaklah mungkin dengan tidak menguasai pengembangan batin untuk dapat mencapai kebijaksanaan.
Untuk mewujudkan bentuk bangunan yang bersetruktur tinggi tidak akan terbenruk bangunan yang megah dan kuat apabila pondasinya itu sendiri tidak kuat atau kokoh. Poondasi yang kuat dan kokoh merupakan bentuk dari dasar bangunan itu sendiri. Demikian pula seseorang yang berusaha untuk mengembangkan batin yang lebih maju, membutuhkan dasar dan landasan yang kuat dalam latihan atau praktek pengembangan batin yang baik. Praktek pengembangan batin yang baik untuk mengetahui semua kondisi. Bagaimana dapat melaksanakan konsentrasi tanpa dilandasai dengan disiplin moral yang baik. Seperti pohon yang besar tentu akarnya kuat. Kehidupan dalam melatih diri atau pengembangan batin yang baik  perlu akar yang kuat. Akar kehidupan pengembangan batin (meditasi) adalah kesucian prilaku dan pikiran serta ucapan yang terkendali. Kalau kita tidak dapat memelihara hal ini tidak akan ada kemajuannya dalam usaha mengembangkan batinnya. 
Semoga dengan sedikit ulasan Dharma dibulan Mgha ini akan memberikan kemuliaan hati kita dan memberikan sinar yang terang dalam membuka kaca mata kita yang telah terselumuti oleh debu. Membuka wawasan yang luas akan Dharma ajaran-ajaran Sang Buddha yang lebih tinggi berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran ajaran suci Sang Buddha (patimokha dan vinaya) dan menjauhkan pandangan manusia yang bersifat spekulatif semata (salah). Kita hadirkan kembali makna hari suci Magha Puja ini di dalam kehidupan kita sehari-hari dengan melatih kesabaran dan memegang teguh sila (vinaya) sebagai pengendalian diri kita yang lebih baik. Kita tingkatkan perbuatan-perbuatan yang baik dengan menghancurkan segala bentuk kejahatan sehingga dunia yang kita tempati ini akan menjadi dunia yang sejuk dan tersenyum memancarkan cinta kasih dan kasih sayang-Nya. Sehingga Buddha Dharma akan lestari dan begitu juga para mereka yang memakai jubah Dharma akan tetap jaya sepanjang masa.
Akhirnya pada kesempatan yang berbahagia ini kami ucapkan “Selamat Hari Suci Magha Puja” di tahun 2003. semoga kita semua semakin teguh dan mantap maju dalam Dharma. Barang siapa yang memiliki kebijaksanaan sempurna, para cendikiawan akan diberkahi budi pekerti, terkendali serta ulet dalam kebaikan, dengan demikian kebijaksanaan mereka pasti dapat menembus kebenaran ini.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia
Sadhu... sadhu...sadhu...








PENGEMBANGAN BATIN MELALUI

VIPASSANA DAN SAMATHA BHAVANA


Oleh Bhikkhu Vajhiradhammo

A. Pengertian Bhavana

Bhavana berarti pemngembangan, yaitu pengembangan batin dalam melaksanakan pembersihannya. Istilah lain dalam pemakaiannya hampir sama dengan bhavana adalah samadhi yang berarti pemusatan pikiran pada suatu obyek.
Samadhi yanng benar (samma samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat menghilangkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentu-bentuk karma yang baik, sedangkan samadhi yang salah (micca samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dsapat menimbulkan kekotoran pada batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang tidak baik.

B. Manfaat  Bhavana
Bhavana atau meditasi yang benar akan memberikan manfaat bagi yang melaksanakannya. Manfaat yang timbul dalam kehidupan sehari-hari dari praktek melaksanakan meditasi adalah sebagai berikut:
  1. Bagi orang yang selalu, sibuk, meditasi akan menolong dia untuk membebaskan diri dari ketegangan, mendapatkan rileksasi dan pelemasan.
  2. Bagi orang yang sedang bingung, meditasi akan menolong dia untuk menenangkan diri dari kebingungan dan mendapatkan ketenangan yang bersifat sementara maupun permanen.
  3. Bagi mereka yang mempunyai banyak permasalahan yang tiada putusnya, meditasi akan menolong menumbuhkan ketabahan dan keberanian diri dalam mengembangkan kekuatan untuk menyelesaiakan persoalan. 
  4. Bagi mereka yang kurang percaya diri, meditasi akan membantu untuk mendapatkan kepercayaan pada diri sendiri.
  5. Bagi orang selalu tidak puas terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya, meditasi akan memberikan perubahan dan pengembangan diri menuju pada kepuasan batin.
  6. Bagi  orang yang memiliki rasa keragu-raguan dan tidak begitu tertarik terhadap agama, meditasi akan menolong dia mengatasi keragu-raguan  untuk melihat segi-segi dan nilai-nilai yang praktis dalam membimbing keagamaan.
  7. Bagi seorang pelajar atau para mahasiswa, meditasi akan menolong untuk menimbulkan dan menguatkan ingatannya serta untuk belajar lebih baik.
  8. Bagi orang yang kaya, meditasi akan menolong dia untuk dapat melihat sifat dan kegunaan dari kekayaannya itu, bagaimana cara menggunakan kekayaan untuk kebahagiaan diri sendiri dan orang lain.
  9. Bagi orang yang miskin, meditasi akan menolong dia untuk memiliki rasa puas dan   ketenangan serta tidak melampiaskan rasa iri hati terhadap orang lain yang tidak mampu daripadanya.
  10. Bagi orang yang melaksanakan meditasi dengan sungguh-sungguh, maka nafsu dan emosinya tak mempunyai kesempatan untuk memperbodoh dirinya lagi.
  11. Bagi orang yang bijaksana, meditasi akan membawa kepada kesadaran yang lebih tinggi dalam pencapaian penerangan sempurna.
  12. Selanjutnya dalam agama Buddha, meditasi yang benar dapat dipergunakan untuk membebaskan diri dari segala penderitaan, untuk mencapai Nibbana, dll.
Demikianlah beberapa manfaat yang praktis yang dapat dihasilkan dari latihan meditasi. Manfaat ini merupakan milik yang akan ditemui dalam pikiran sendiri.

C. Cara Melaksanakan Bhavana
Orang yang baru belajar dalam melaksanakan meditasi sebaiknya mencari tempat yang cocok, tempat yang sunyi dan tenang, bebas dari gangguan orang disekitarnya dan bebas dari gangguan serangga. Pada tahap permulaan hendaknya berlatih di tempat yang sama, jangan berpindah tempat. Bagi yang mengalami kemajuan meditasi dapatr dilakukan dimana saja seperti di ruang bakti sala, di kantor, di kebun, di hutan, di goa, di kuburan maupun ditempat yang ramai.
Waktu untuk melaksanakan meditasi dapat dipilih sendiri. Biasanya waktu untuk meditasi yang baik adalah pagi hari antara pukul 04.00-07.00 wib dan malam hari antara pukul 17.00-22.00 wib. Apabila meditasi waktunya telah ditentukan maka waktu tersebut digunakan khusus untuk meditasi. Dalam melaksanakan meditasi hendaknya harus kontinyu. Bila meditasi telah mengalami kemajuan dapat dilakukan kapan saja dan pada setiap waktu.
Dalam memilih posisi setiap orang mempunyai kebebasan. Biasanya posisi meditasi yang baik adalah duduk bersila di lantai yang beralas, dengan meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri, dan tangan kanan menumpu tangan kiri dipangkuan. Atau boleh juga posisi setengah sila, dengan kaki dilipat kesamping. Apabila tidak mungkin boleh duduk di kursi. Yang penting adalah badan dan kepala harus tegak, tetapi tidak kaku dan tegang. Duduk dengan santai, jangan bersandar, mata dan mulut harus tertutup. Selama dalam melaksanakan meditasi berlangsung diusahakan untuk tidak selalu menggerakkan anggota badan, jika tidak perlu. Namun bila badan jasmani tidak enak boleh merubah sikap secara perlahan-lahan, disertai dengan perhatian dan kesadaran penuh. Apabila meditasi mengalami kemajuan dapat dilakukan berbagai posisi, baik duduk, berdiri, berjalan maupun berbaring.
Sebelum melaksanakan meditasi sebaiknya meminta bimbingan dari guru meditasi, agar dapat dicapai sukses dalam meditasi dan sebaiknya membaca paritta-paritta terlebih dahulu. Selanjutnya dilaksanakan meditasi dengan tekun. Pikiran terpusat pada obyek yang dipilih. Bagi pemula pikiran akan mengalami kegoncangan atau lari dari obyek, hal ini hendaknya perlu disadari dan waspada terhadap pikiran. Bila pikiran itu lari dari obyek disadari bahwa pikiran itu lari dari obyek, dan cepat kembali kepada obyek semula. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka kemajuan dalam meditasi akan diperoleh.

D. Pembagian Bhavana
Meditasi atau bhavana dapat dibagi menjadi dua macam : yaitu :
1.     Samatha Bhavana, berarti pengembangan ketenangan batin
2.     Vipassana Bhavana, berarti pengembangan pandangan terang.

Diantara kedua jenis bhavan ini terdapat perbedaannya :
    a. Tujuannya   
Samatha bhavana merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk ketenangan. Dalam samatha bhavana, batin terutama pikiran terpusat dan tertuju pad suatu obyek. Jadi pikiran tidak berhamburan ke segala penjuru, pikiuran tidak berkeliaran kesana ke mari,  pikiran tidaklah melamun dan mengembara tanpa tujuan.
Dengan melaksanakan Samatha Bhavana, rintangan-rintangan batin tidaklah dapat dilenyapkan secara menyeluruh. Jadi kekotoran hanyal dapat diendapkan, seperti batu yang besar yang menekan rumput hingga tertidur ditanah. Dengan demikian, Samatha Bhavna hanya dapat mencapai tingkata-tingkatan konsentrasi yang disebut jhana-jhana, dan mencapai berbagai bentuk kekuatan batin.
Sesungguhnya pikiran yang tenang bukanlah tujuan yang terahkir dari meditasi. Ketenangan pikiran hanyalah salah satu keadaan yang diperlukan untuk mengembangkan pndangan terang atau Vipassana Bhavana.
Vipassana Bhavan merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk mencapai pandangan terang. Dengan melaksanakan Vipassana Bhavana, kekotoran batin dapat disadari dan kemudian dibasmi sampai keakar-akrnya, sehingga orang yang melakukan Vipassn Bhavana dn melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewjrnya, bahwa hidup ini dicengkram oleh anicca (ketidakkekalan), dukkha (derita), dan anatta (tanpa aku yang kekal). Dengan demikian, Vipassana Bhavana dapt menuju ke arah pembersihan batin, pembebasan sempurna, pencapaia Nibbana.
Sesungguhnya telah ditulis dalam kitab suci bahwa hanya dengan pandangan terang inilah kita dapt mensucikan diri kita, dan tidak dengan jalan yang lain.

    b. Obyeknya
Obyek  yang dipakai dalam Samatha Bhawana ada 40 macam. Obyek-obyek itu adalah sepuluh kasina, sepuluh asubha, sepuluh anussati, empat appamanna, satu harapatikulasanna, satu catudhatuvavatthana, dan empat arupa. Sebaliknya, obyek yang dipakai dalam Vipassana Bhavana adalah nama dan rupa (batin dan jasmani) atau empat satipatthana


   c. Penghalang
Dalam melaksanakan Samatha Bhavana, pada umumnya orang yang bermeditasi sering mendapatkan gangguan atau halanga dan rintangan, yaitu lima nivarana dan sepuluh paliboda. Dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, terdapat pula rintangan-rintangan yang dpt menghambat perkembangan pandangan terang, yang disebut sepuluh vipassanupakilesa.

 E. Pengertian Samatha Bhavana
Samatha Bhavana adalah pengembangan batin untuk mencapai ketenangan batin. Perkembangan dari ketenangan, adalah menuju pada pemusatan pikiran yang penuh, dalam mencapai penembusan meditasi. Dalam pemusatan pikiran pada obyek secara sistematik akan dapat menghasilkan ketenanagan menuju kepada tingkatan-tingkatan jhana.dengan demikian terbasminya penglihatan dari kelima indriya dalam sementara waktu. Kemudian dalam gerakan-gerakan pikiran yang berliku-liku akan menjadi lebih reda dalam tingkatn yang pertama, dan akan hilang sama sekalidalam tingkatan yang selanjutnya.
Dalam meditasi Samatha Bhavana ada 40 macam obyek meditasi. Obyek-obyek meditasi ini dapat dipilih salah satu yang sekiranya cocok dengan sifat atau pribadi seseorang. Pemilihan ini dimaksudkan untuk membantu dalam mempercepat perkembangannya dan dibantu oleh seorang guru.

F. Obyek Meditasi Samatha Bhavana
Dalam melaksanakan meditasi Samatha Bhavana ada 40 macam obyek meditasi. Obyek meditasi itu dapat dipilih salah satu yang sekiranya cocok dengan sifat yang sesuai dengan pribadinya. Pemilihan ini dimksudkan untuk perkembangan bagi yang belajar meditasi. Keempat puluh macam obyek meditasi itu adalah :
a.       Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda), yaitu :
1.      Pathavi kasina (wujud tanah)
2.      Apo kasina (wujud air)
3.      Tejo kasina (wujud api)
4.      Vayo kasina (wujud udara atau angin)
5.      Nila kasina (wujud warna biru)
6.      Pita kasina (wujud warna kuning)
7.      Lohita kasina (wujud warna merah)
8.      Odata kasina (wujud warna putih)
9.      Aloka kasina (wujud cahaya)
10.  Akasa kasina (wujud ruangan terbatas)

b.      Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran), yaitu :
1.      Uddhumataka (wujud mayat yang membengkak)
2.      Vinilaka (wujud mayat yang berwarna kebiru-biruan)
3.      Vipubbaka (wujud mayat yang bernanah)
4.      Vicchiddaka (wujud mayat yang terbelah di tenghanya)
5.      Vikkahayitaka (wujud mayat yang digerogoti binatang-binatang)
6.      Vikkhittaka (wujud mayat yang telah hancur lebur)
7.      Hatavikkhittaka (wujud mayat yang busuk dan hancur)
8.      Lohitaka (wujud mayat yang yang berlumuran darah)
9.      Puluvaka (wujud mayat yang dikerubungi oleh belatung)
10.  Atthika (wujud tengkorak)

c.       Sepuluh annussati (sepuluh macam perenungan), yaitu :
1.      Buddhanussati (perenungan terhadap Buddha)
2.      Dhammanussati (perenungan terhadap Dhamma)
3.      Sanghanussati (perenungan terhadap Sangha)
4.      Silanussati (perenungan terhadap sila)
5.      Caganussati (perenungan terhadap kebajikan)
6.      Devatanussati (perenungan terhadap mahluk-mahluk agung atau dewa)
7.      Maranussati (perenungan terhadap kematian)
8.      Kayagatasi (perenungan terhadap badan jasmani)
9.      Anapanasati (perenungan terhadap pernapasan)
10.  Upasamanussati (perenungan terhadap Nibbana atau Nirvana)

d.      Empat appamanna (empat keadaan yang tidak terbatas) yaitu :
1.      Metta (cinta kasih yang universal, tanpa pamrih)
2.      Karuna (belas kasihan)
3.      Mudita (perasaan simpati)
4.      Upekkha (keseimbangan batin)

e.       Satu aharapatrikulasanna (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikan)

f.       Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani)

g.       Empat arupa (empat perenungan tanpa materi), yaitu :
1.      Kesinugaghatimakasapannatti (obyek ruangan yang sudah keluar dari kasina)
2.      Akasanancanyatana-citta (obyek kesadaran yang terbatas )
3.      Natthibhavapannatti (obyek kekosongan)
4.      Akincannayatana-citta (obyek bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan)

     3. Lima Macam Nivarana
Lima macam nivarana  berarti rintangan atau penghalang batin yang penghalang batin yang selalu menghambat perkembangan pikiran. Nirvana ini ada lima macam, yaitu :
  1. Kamachanda (nafsu-nafsu keinginan)
  2. Byapada (kemauan jahat)
  3. Thina-middha (kemalasan dan kelelahan)
  4. Uddhacca-kukkucca (kegelisahan dan kekawatiran)
  5. Vicikiccha (keragu-raguan)

       4. Sepuluh Macam Palibodha
Palibodha berarti gangguan dalam meditasi yang menyebabkan batin gelisah dan tidak mampu memurtuskan pikiran pada bentuk obyek. Palibodha ini ada sepuluh macam, yaitu :
  1. Avasa (tempat tinggal)
  2. Kula (pembantu dan orang yang bertanggung jawab)
  3. Labha (keuntungan)
  4. Gana (murid dan teman)
  5. Kamma (pekerjaan)
  6. Nati (orang tua)
  7. Addhana (perjalanan)
  8. Abadha (penyakit)
  9. Gantha (pelajaran)
  10. Iddhi (kekuatan gaib)

      5.  Enam Macam Carita
Carita berarti sifat, perangai atau prilaku. Di dalam Abhidhamma, terdapat pengembangan sifat-sifat secara umum yang berdasarkan atas keadaan batin manusia, yaitu manusia itu dapat dibagi menjadi enam golongan berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki, yaitu :
1.      Orang yang keras nafsu lobhanya (Ragacarita).
2.      Orang yang keras kebenciannya (Dosa)
3.      Orang yang bodoh (dungu, Mohacarita)
4.      Orang yang tebal keyakinannya (Saddhacarita)
5.      Orang yang bijaksana, pandai (Buddhacarita)
6.      Orang yang Suka melamun (Vitakkacarita) 

  1. Tiga Macam Nimitta
Nimitta berarti suatu pertanda atau gambarn yang ada hubungannya dengan perkembangan obyek meditasi. Nimitta ini ada tiga macam, yaitu :
  1. Parikamma-Nimitta (gambaran batin pemula dari bentuk obyek dalam keadaan yang sebenarnya, seperti patung Buddha kemudian dibayangkan dalam pikiran)
  2. Uggaha-Nimitta (gambaran batin mencapai suatu obyek yang diambil dalam meditasi, kemudian dibayangkan dalam pikiran, seperti patung Buddha, mula-mula dilihat dan dibayangkan dalam pikiran)
  3. Patibhaga-Nimitta (gambaran batin yang berlawanan dari suatu obyek yang telah melekat pad pikiran, terpeta dengan nyata, tetap, jernih, jelas, terbebas dari gangguan, dan gambaran tersebut dapat dapat dibesarkan serta dikecilkan menurut kemamuannya atau gambaran pantulan dari obyek yang dipakai, yang bentuk gambaran itu berubah menjadi bersinar terang di dalam batin).
 
 7. Tiga Macam bhavana
Dalam meditasi, terdapat tiga macam tingkatan-tigkatan untuk dapat mrmperoleh perkembangan batin, yaitu :
  1. Parikamma-Bhavana (perkembangan batin tingkat pendahuluan atau pikiran baru di pusatkan pada obyek yang dipakainya yaitu : dari keempat puluh macam obyek meditasi yang sesuai)
  2. Upacara-Bhavana (bentuk perkembangan batin yang telah siap untuk memasuki dalam pemusatan pikiran pada obyek tau pendekatan konsentrasi pada obyek, yang sebaiknya dopakai adalah obyek delapan anusati yaitu : Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati, Silanussati, caganussati, devanussati, Marananussati dan Upasamanussati)
  3. Appana-Bhavana (perkembangan batin yang telah terpusat pada obyek atau pikiran yang telah berdiam dalam obyek dengan jangka waktu yang lama menurut kehendaknya, karena konsentrasi yang penuh dan mantap telah tercapainya. Disamping dari bentuk nivarana telah dapat diatasinya maka faktor-faktor daripada jhana mulai timbul berperan yaitu : vitakka, vicara, piti, sukkha, dan ekaggata).  
 
  8.  Pengertian Jhana
Jhana berarti bentuk kesadaran/pikiran yang terpusat dan melekat kuat pada obyek meditasi (kammatthana), yaitu kesadarn/pikiran terkonsentrasi pada obyek dengan kekuatan appana-samadhi (konsentrasi yang mantap, yaitu kesadarn/pikiran yang terkonsentrasi pada bentuk obyek yang kuat).
Jhana merupakan keadaan batin yang sudah di luar aktifitas panca indra. Hal ini hanya dapt dicapai dengan usaha yang tekun, ulet, dan lainya. Kemudian aktifitas semua indera berhenti, tidak ada bentuk kesan-kesan maupun penglihatan yang muncul perasaan badan jasmani. Jhana hanya dapat mampu untuk menekan atau mengendapkan kekotoran batin untuk sementara waktu. Ia tidak dapat melenyapkan kekotoran batin. Untuk sementara waktu jhana dapat berubah atau merosot, karena jhana tidaklah kekal. Jadi jhana merupakan alat pembasmi nivarana, yaitu vitakka membasmi thina-mida, vicara membasmi viccikiccha, piti membasmi byapada, sukha membasmi uddhacca-kukkucca, dan ekaggata membasmi kamachanda.

9. Faktor-Faktor Jhana
Untuk dapat memasuki jhana-jhana, timbullah faktor-faktor jhana yang memberikan dalam suasana bagi tiap-tiap jhana itu. Faktorpfaktor jhana ada lima macam yaitu :
  1. Vitakka, yaitu penopang pikiran yang merupakan perenungan permulaan untuk memegang obyek.
  2. Vicara ialah gema pikiran, keadaan pikiran dalam memegang suatu obyek. Jadi vitakka dan vicara adalah merupakan kedua keadaan dari suatu proses yang berkelanjutan. Kedua keadaan itu diumpamakan seperti lonceng yang dipukul sekali maka akan timbul suatu bunyi yang bergema. Bunyi lonceng pada saat timbul bunyi itulah vitakka, sedangkan gema dari bunyi lonceng itu adalah vicara. Demikian pula dalam melakukan meditasi, suasan pikiran pada saat permulaan memegang obyek disebut vitakka, sedangkan saat suasana pikiran yang telah berhasil memegang obye dengan kuat disebut vicara.
  3. Piti, ialah kergiuran atau kenikmatan.
  4. Sukha, ialah kebahagian yang tak terhingga. Antara piti dan sukha terdapat pula keadaan yang khas yaitu apabila perasaan dalam berjalan merasa sangat haus, kemudian ia menemukan sebuah sumber air, maka akan merasa gembira, senang, dan tergiur melihatnya. Perasaan senang itu merupakan piti dan kegiuran yang menimbulkan keterbebasan dari tekanan perasaan. Selanjutnya, setelah ia minum itu, maka perasaannya berubah setelah meminum air itu, maka perasaan akan menjadi nikmat dan segar. Perasaan ini merupakan sukha.
  5. Ekaggata ialah bentuk pemusatan pikiran yang kuat, sehingga kekotoran batin tidak mampu mengganggu lagi.
    10. Tingkatan-Tingkatan Jhana 
Tingkatan-tingkatan jhana menurut Sutta Pitaka, terdapat delapan tingkatan, yaitu empat rupa jhana dan empat arupa jhana, sedangkan menurut Abhidhamma Pitaka terdapat sembilan tingkatan jhana, yaitu lima rupa jhana dan empat arupa jhana. Tingkatan-tingkatan jhana menurut Abhidhamma, terdiri dari
    1. Tingkatan jhana ialah jhana tingkat pertama. Keadaan batinnya terdiri dari lima corak, yaitu vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekaggata.
    2. Dutiya-jhana ialah jhana tingkat kedua. Keadaan batinnya terdiri dari empat corak yaitu vicara, piti, sukha, dan ekaggata.
    3. Tatiya-jhana ialah jhana tingkat ketiga. Keadaan batinnya terdiri dari tiga corak yaitu piti, sukha, dan ekaggata.
    4. Catuttha-jhana ialah tingkat jhana keempat. Keadaan batinnya terdiri dari dua corak yaitu sukha dan ekaggata.
    5. Pancama-jhana ialah jhana tingkat yang kelima. Keadaan batinnya terdiri dari dua corak yaitu upekkha dan ekaggata.
    6. Akasanancayatana-jhana ialah keadaan dari konsepsi kesadarn yang tanpa batas.
    7. Vinnanancayatana-jhana ialah keadaan dari konsepsi kesadaran yang tak terbatas.
    8. Akincannayatana-jhana ialah keadaan dari konsepsi kekosongan.
    9. Nevasannasannayata-jhana ialah keadaan dari konsepsi bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan. (Pandit J. Kaharuddin, diktat Citta, (tanpa tempat dan tanpa tahun) halaman 39-40.

Kemudian tingkatan-tingkatan jhana menurut Sutta Pitaka, terdiri dari :
1.      Pathama-jhana ialah jhana tingkat yang pertama, dimana nivarana telah dapat diatasi dengan seksama. Faktor-faktor jhana yang timbul adalah vicara, piti, sukha, dan ekaggata.
2.      Dutiya-jhana ialah jhana tingkat kedua, dimana vitakka dan vicara mulai lenyap, karena kedua faktor ini bersifat kasar untuk jhana kedua. Faktor jhana yang timbul ini adalah piti, sukha, dan ekaggata.
3.      Tatiya-Jhana, ialah jhana tingkat yang ketiga dimana piti mulai lenyap dan karena ada faktor yang masih terasa kasar untuk jhana yang ketiga. Faktor jnana yang masih ada adalah sukkha dan ekaggata.
4.      Catuttha-jhana ialah jhana tingkat keempat dimana sukha mulai lenyap karena ada faktor dari ekaggata dan ditambah dengan upekha (keseimbangan batin).
5.      Akasanancayatana-Jhana.
6.      Vinnancayatana-Jhana.
7.      Akincannayatana-Jhana.
8.      Nevasannanasannayatana Jhana.
Untuk mencapai pathama-jhana, obyek yang harus dipakai dalam melaksanakan Samatha Bhavana adalah sepuluh asubha dan satu kayagatanussati.
Untuk mencapai dutiya-jhana, tatiya-jhana, dan catuttha-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah tiga appamanna (metta, karuna, dan mudita).
Untuk mencapai pancama-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah satu upekkha.
Untuk mencapai empat arupa-jhana, obyek yang harus dipakai dalam melaksanakan Samatha Bhavana adalah satu upukkha.
Untuk mencapai empat arupa-jhana yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana adalah empat arupa.

11. Lima Macam Vasi
Vasi berarti keahlian atau kemahiran atau kemampuan untuk mengolah jhana. Jika seseorang telah mencapai jhana tingkatan pertama, kemudian ia untuk mencapai jhana-jhana berikutnya, maka ia memiliki lima macam vasi. Kelima macam vasi tersebut adalah :
1.       Avajjana-vasi, yaitu keahlian dalam pemikiran untuk memasuki jhana menurut kehendaknya.
2.       Samapaijana-vasi yaitu keahlian dalam memasuki jhana.
3.       Adhitthana-vasi yaitu keahlian dalam menentukan berapa lama yang hendak berada dalam jhana.
4.       Vutthana-vasi yaitu keahlian dalam keluar dari jhana.
5.       Paccavekkhana-vasi yaitu keahlian dalam peninjauan terhadap jhana.

12. Enam Macam Abhinna
Abhinna berarti keampuan atau kekuatan batin yang luar biasa, atau tenaga batin. Abhinna dapat timbul dalam diri orang yang telah mencapai jhana-jhana, dimana jhana tingkat keempat yang merupakan dasar untuk timbulnya abhinna ini. Namun kesemuanya ini tergantung dari kekuatan kusala-karma dari kehidupan yang lampau. Mengenai obyek dari meditasi yang dapat menimbulkan abhinna adalah hanya sepuluh kasina.
Abhinna itu ada enam macam dan dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu abhinna yang duniawi dan lokuttara. Abhinna yang duniawi (lokiya-abhinna) terdiri atas lima macam, yaitu :
1.      Iddhividhanana, seringg disebut sebagai kekuatan gaib atau kekuatan megis atau kesaktian. ini terbagi ata beberapa macam, yaitu :
a.       Adhitthana-iddhi, ialah kemampuan untuk mengubah diri dari satu menjadi banyak atau sebaliknya.
b.      Vikubbana-iddhi, ialah kemampuan untuk merubah bentuk, seperti menjadi anak kecil, raksasa, ular, atau membuat dirinya menjadi tidak tampak.
c.       Manomaya-iddhi, ialah kemampuan menciptakan dengan menggunakan pikliran, seprti menciptakan istana, taman, harimau, wanita yang cantik, dan lain-lain.
d.      Nanavidhivipphara-iddhi, ialah kemampuan untuk menembus ajaran melalui pengetahuan.
e.       Samadhivipphara-iddhi, ialah kemampuan memancarkan melalui konsentrasi, yaitu :
-          Kemampun menembus dinding, pagar, gunung.
-          Kemampun menyelam kedalam bumi bagaikan menyelam ke dalam air.
-          Kemampun berjalan di atas air bagaikan berjalan di atas tanah yang padat.
-          Kemampun terbang di atas angkasa seperti burung.
-          Kemampun melawan api.
-          Kemampun menyentuh bulan dan matahari dengan tangan.
-          Kemampun memanjat puncak dunia sampai ke alam Brahma.
2.      Dibbasoitanana (telinga dewa), ialah kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam yang lain, yang jauh maupun yang dekat.
3.      Cetopariyanana atau paracittavijanana, ialah kemampuan untuk membaca pikiran mahluk yang lain.
4.      Dibbacakkhunana atau cutupapatanana (mata dewa), ialah kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan muncul lenyapnya mahluk-mahluk yang bertumimbal lahir sesuai dengan kekuatan karmanya masing-masing.
5.      Pubbenivasanussatinana, ialah kemampuan untuk mengingat tumimbal lahir yang lampau dari diri sendiri dan orang lain.
Abhinna yang diatas duniawi (lokuttara-abhinna) hanya ada satu macam, yaitu asavakkhayanana, ialah kemampuan untuk memusnahkan kekotoiran batin. Pemusnahan kekotoran batin. Pemusnahan kekotoran batin ini akan membimbing ke arah kesucian tertinggi atau arahat (perlu kita sadari bahwa sebagai umat Buddha bukanlah untuk mencari kekuatan gaib dan kemujijatan dalam melaksanakan meditasi tetapi tujuan ahkir dari kebebasan-Nibbana).

C. Vipassana Bhavana            
1.      Obyek Vipasana Bhavana.
Dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, obyeknya adalah nama dan rupa (batin dan materi) atau pancakhandha (lima kelompok faktor kehidupan), atau pancakhandha (lima kelompok faktor kehidupan). Ini dilakukan dengan memperhatikan gerak-gerik nama dan rupa terus menerus, sehingga dapat melihat dengan nyata bahwa nama dan rupa itu dicengram oleh anicca, dukkha dan anatta.
Pancakkhandha itu terdiri atas : rupa-khandha (kelompok jasmani), vedana-khandha (kelompok perasaan), sanna-khandha (kelompok pencerapan), sankhara-khandha (kelompok bentuk pikiran), dan vinnana-khandha (kelompok kesadaran). Sesungguhnya pancakhandha itu adalah mahluk.

2.      Empat Macam Satipatthana
Empat macam satipatthana itu adalah pancakkhandha, atau nama dan rupa itu sediri. Sesungguhnya yang akan berkembang dalam latihan Vipassana itu ialah perhatian yang tajam dan kesadaran yang kuat, yaitu :
a.       Kaya-nupassana (perenungan terhadap badan jasmani).
Salah satu contoh yang paling baik dan populer dan praktis tentang  meditasi dengan obyek badan jasmani ialah anapanasati (menyadari keluar masuknya nafas tidak perlu ditekan paksa pada pernafasan atau dibuat-buat, tetapi bernafaslah secara biasa dan wajar). Cara yang lain dalam meditasi yang terpenting adalah sadar dan waspada terhadap segala sesuatu yang dilakukan, ketika berjalan, berdiri, duduk, atau berbaring, sewaktu membungkuk dan melencangkan badan, serta melihat ke muka dan ke belakang, ketika berpakaian, makan, dan minum, atau yang lainnya. Hal ini tidak bermaksud untuk menyiksa diri tetapi mengendalikan badan dengan penuh kesadaran.
b.      Vedana-nupassana (perenungan terhadap perasaan).
Perenungan terhadap perasaan yang sedang dialami secara obyektif, baik perasn yang sedang dialami secara obyektif, baik perasaan senang maupun tidak senang, maupun acuh tak acuh terhadap perasaan yang dialminya. Kemudian direnungakan bagaimana ia timbul, berlangsung dan kemudian lenyap kembali. Perasaan yang harus dikewndalikan oleh akal dan kebijaksanaan, agar perasaan itu tidak membangkitkan bermacam-macam bentuk emosi. Apabila perasaan telah dapat diatasi dengan cepat, maka batin menjadi bebas, tidak terikat oleh apapun di dalam dunia ini.
c.       Citta-nupassana (perenungan terhadap pikiran)
Perenungan terhadap segala gerak-gerik pikiran apabila masih dihinggapi hawa nafsu atau terbebas daripadanya, maka semua itu harus disadari. Pikiran harus diarahkan pada kenyataan hidup saat ini.  Masalah yang telah lewat atau yang akan datang tidak boleh terlalu dipikirkan saat ini. Karena akan selalu membuang banyak energi yang tidak ada manfaatnya. Jadi pikiran harus diamati dan disadari agar menjadi bebas dan tidak terikat.
d.      Dhamma-nupassana (perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran)
Disini yang perlu untuk direnungan bentuk-bentuk pikiran dengan sewajarnya, pertenungan terhadap lima macam rintangan, berbagai macam kelompok faktor kehidupan (pancakkhandha), dua belas ayatana, satta bojjhanga, cattari ariya saccani.

3.      Sepuluh Macam Vipassanupakilesa
Vipassanupakilesa adalah kekotoran batin atau rintangan yang menghambat dalam perkembangan pandangan terang, dimana dalam melaksanakan Vipassana Bhavana ada sepuluh macam Vipassanupakilesa, yaitu :
1.      Obhasa, ialah sinar-sinar yang gemerlapan, yang bentuknya dan keadaanya bermacam-macam, yang kadang-kadang merupakan pemandangan yang menyenangkan.
2.      Piti, ialah kegiuran, yang merupakan bentuk perasaan yang nyaman dan nikmat. Piti ini ada lima macam menurut keadaanya, yaitu :
a.       Khudaka Piti ialah kegiuran yang kecil, yang suasananya seperti bulu badan yang terangkat atau merinding.
b.      Khanika Piti, ialah kegiuran yang sepintas lalu menggerakan badn.
c.       Okkantika Piti, ialah kegiuran yang menyeluruh dalam suasana meriang diseluruh badan, seperti ombak lautan yang tak bertepi.
d.      Ubbonga Piti, ialah kegiuran yang mengangkat, yang memunculkan suasana seolah-olah mengangkat badan naik ke udara.
e.       Pharana Piti, ialah kegiuran yang menyerap seluruh badan yang suasana seluruh badan seperti terserap oleh perasaan yang menakjupkan.
3.      Passadi, ialah ketenangan batin yang seolah-olah orang telah mencapai penerangan sejati.
4.      Sukha ialah perasan yang bahagia, yang seolah-olah telah bebas dari penderitaan.
5.      Saddha ialah keyakinan yang kuat dan harapan agar setiap orang juga seperti dirinya.
6.      Paggaha ialah usaha yang selalu giat, dan lebih giat lagi dalam berusaha semestinya.
7.      Upatthana ilaha ingatan yang tajam, sering muncul, dan menganggu perkembangan kesadaran, karena tidak memperhatikan saat yang sekarang ini.
8.      Nana ialah pengetahuan yang sering muncul dan menganggu jalannya meditasi.
9.      Upekkha ialah keseimbangan batin dimana pikiran tidak mau bergerak untuk menyadari proses-prosesnya yang muncul.
10.  Nikanti ialah perasaan puas terhadap obyek-obyek.
Sepuluh Macam Vipassanupakilesai ini biasanya timbul dalam perkembangan Sammasana-Nana, yaitu nana yang ketiga.
4.      Empat Macam Vipallasa-Dhamma
Vipallasa-Dhamma berarti kekhayalan, kepalsuan, kekeliruan yang berkenaan dengan paham yang menganggap suatu kebenaran sebagai suatu kesalahan yang menganggap suatu kebenaran sebagai suatu kesalahan dan kesalahan sebagai suatu kebenaran. Vippalasa-Dhamma ini ada empat macam dan yang harus dibasmi dengan melaksanakan empat macam satipathana yaitu :
  1. Subha-Vipallasa yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang tidak cantik sebagai cantik, dan dapat dibasmi dengan melaksanakn kaya-nupassana.
  2. Sukha-Vipallasa ialah kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang diderita sebagai bahagia dan hal ini hanya dapat dibasmi dengan melaksanakan vedana-nupassana.
  3.  
  4. Nicca-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang tidak kekal sebagai kekal, hal ini hanya dapat dibasmi dengan melaksanakan citta-nupassana.
  5. Atta-Vipallasa yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang tanpa aku sebagai aku, hal ini hanya dapat dibasmi dengan melaksanakan Dhamma-nupassana.

  1. Enam Belas Macam Nana
Nana berarti sebagai pengetahuan. Apabila dengan tekun melaksanakan Vipassana Bhavana maka akan berkembang nana di dalam dirinya, keenam macam daripada nana itu adalah :
  1. Nama-Rupa Pariccheda Nana ialah pengetahuan mengenai perbedaan nama (materi) dan rupa (batin).
  2. Paccaya Pariggaha Nana ialah pengetahuan mengenai hubungan sebab dan akibat dari nama dan rupa.
  3. Sammasana Nana ialah pengetahuan yang menakjupkan nama dan rupa sebagai Tilakkhana yaitu anicca, dukkha dan anatta.
  4. Udayabbaya Nana ialah pengetahuan dari timbul dan lenyapnya nama dan rupa.
  5. Bhanga Nana ialah pengetahuan mengenai ketakutan yang berkenaan peleburan dan pelenyapan nama dan rupa.
  6. Bhaya Nana ialah pengetahuan mengenai ketakutan yang bekenaan dengan sifat nama dan rupa.
  7. Adinava Nana ialah pengetahuan mengenai kesedihan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.
  8. Nibbida Nana ialah pengetahuan mengenai keengganan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.
  9. Muncitukamyata Nana ialah pengetahuan mengenai keinginan untuk mencapai kebebasan.
  10. Patisankha Nana ialah pengetahuan mengenai penglihatan akan jalan yang menuju kebebasan, yang menimbulka keputusan untuk melatih secara terus menerus dengan semangat.
  11. Sankharupekkha Nana ialah pengetahuan mengenai keseimbangan tentang semua bentuk-bentuk kehidupan.
  12. Anuloma Nana ialah pengetahuan mengenai penyesuaian dari Ariya-Sacca sebagai persiapan untuk memasuki sang jalan (magga) dan untuk mencapai pala (hasil) dari magga dalam mendekati Nirvana  dengan melalui anicca, dukkha dan anatta.
  13. Gotrabu Nana ialah pengetahuan mengenai pemotongan keadaan duniawi dan Nirvana sebagai obyek dari pikiran.
  14. Magga Nana ialah pengetahuan mengenai penembusan terhadap magga, dimana kilesa telah lenyap.
  15. Phala Nana ialah pengetahuan mengenai pembabaran phala yang merupakan hasil dari penembusan terhadap magga, dan Nirvana sebagai obyek batinya.
  16. Paccavekkhana Nana ialah pengetahuan mengenai peninjauan terhadap sisa-sisa kilesa ataukekotoran batin yang masih ada.

D. Kesimpulan
Denagan pemaparan tersebut di atas, dapatlah disimpulkan dan diketahui betapa besarnya pengaruh bhavana dalam kehidupan manusia, terlebih-lebih pada zaman yang serba moderen ini. Dimana dunia yang kacau balau ini, bhavana akan mendatangkan ketenangan pikiran. Lebih jauh lagi, bhavana akan menimbulkan pandangan yang terang dan pembersihan dari kekotoran batin yang akan menuju kepada pembebasan (Nirvana).
Bhavana berarti pengembangan batin dan pemusatan pikiran pada obyek. Bhavana ini ada dua macam yaitu Samatha Bhavana bertujuan untuk mencapai ketenhga batin dan Vipassana Bhavana adalah bertujuan untuk mencapai pandangan yang terang.
Dalam Samatha Bhavana ada empat puluh macam obyek yang harus dipahami dalam bermeditasi, dan dapat dipilih sesuai dengan sifatnya dan yang cocok untuk yang bersangkutan. Kemudian dalam melaksanakan Vipassana Bhavana ada empat macam obyek meditasi yang disebut dengan satipatthana. Keempat macam obyek ini harus disadari oleh orang yang akan melaksankan meditasi untuk meningkatkan kemajuan batinya.

Sumber Buku :
Mahavirothavro, Samma Samadhi/meditasi I (alih bahasa Bhikkhu Chaluai Sujivo Thera), Vajra Dharma Nusantara, Jakarta 2001
Jhinapiya Thera, Mengapa bermeditasi, Pemuda Tridharma Indonesia, Jakarta, 1976
Khaharuddin J. Pandita, Bhavana, Yayasan Buddhayana, Jakarta, 1981
Ven Mahasi Sayadaw, 40 Mata Pokok Dalam Meditasi Buddhis, Buddhis Magazines Press, Surabaya, 1959
............., Buku Pelajaran Agama Buddha Untuk SLTA (Kelas II), Ariya Surya Chandra,1997


































KONSEP MASYARAKAT BUDDHIS, HUKUM DAN HAK – HAK ASASI MANUSIA MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA
Oleh Bhikkhu Vajhiradhammo

A. Konsep Masyarakat Buddhis
Kehidupan manusia selalu berupaya untuk memperhatikan nilai-nilai, kemampuan, martabat, kebebasan dan kesejahteraan. Sebagai petunjuk atas sikap Buddha terhadap kepentingan dalam masyarakat Buddhis selalu mengedepankan kebenaran, keadilan dan kejujuran serta belas kasih sebagai ciri dalam konsep masyarakat Buddhis. Menuju pada kedisiplinan, yang menyangkut segi duniawi dan spiritual untuk dapat dipraktekan dengan suatu usaha. “Demi untuk kesejahteraan, kebahagiaan dan kebahagiaan banyak orang, demi kasih sayang bagi dunia, demi kebaikan dan kedamaian serta kebahagiaan para dewa dan manusia” (D. iii.127) sebagai dasar merupakan sikap kedisiplinan moralitas dan etika dalam masyarakat.
Sebagai umat Buddha yang berada di tengah-tengah masyarakat yang luas, sangat erat hubungannya dengan segala bentuk kehidupan sosial. Suatu pandangan yang berat sebelah apabila mengatakan Agama Buddha hanya bersangkut-paut dengan pembebasan diri sendiri, terhadap kehidupan spiritual. Kemudian mendorong orang untuk melepaskan diri sama sekali dari keterlibatan kehidupan vihara atau mengasingkan diri, tanpa memperdulikan orang lain dan tanpa berbuat sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat.
Sang Buddha dan Bhikkhu meninggalkan keramaian masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh pengertian yang baru mengenai kehidupan. Untuk mendapatkan kedudukan mereka yang menguntungkan di luar masyarakat diharapkan akan dapat mempengaruhi masyarakat yang ditinggalkan, sehingga untuk bersama-sama merenungkan keadaan atau permasalahan masyarakat yang dihadapinya, mengembangkan dan mengendalikan pikiran menuju cita-cita dalam kehidupan ini yang lebih baik.
Kehidupan masyarakat Buddhis, interaksi pribadi dan masyarakat adalah sangat berkaitan dan saling mendukung, karena kemajuan pribadi tidak bisa terlepas dengan keadaan orang lain. Hal ini ditekankan oleh Buddha dalam pembinaan terhadap para pengikutnya, maka seorang sarjana Buddha, Gokhale, menerangkan bahwa perkembangan masyarakat Buddhis berlangsung dalam tiga tahapan yaitu :
1.      Tahap Isolasi dimana seseorang meninggalkan kehidupan berumah tangga, mengasingkan diri dengan tujuan untuk melatih diri dalam kehidupan pengembangan spritual menuju pembebasan “selagi kehidupan rumah tangga merupakan tekanan, kehidupan bertapa bagaikan menghirup udara yang segar dan bebas” (A. II.208; M.I.344).
2.      Tahap Bergaul dengan terbentuknya Sangha, yang berhubungan dengan umat perumah tangga merupakan kehidupan yang harmonis yang saling mendukung menuju cita-cita pembebasan ahkir kehidupan “Perumah-tangga maupun mereka tak perumah-tangga, pada dasarnya saling bergantung satu sama lain, bersama-sama mencapai pemahaman Dhamma yang sejati, keadaan batin yang tentram, damai,.......dan bahagia yang diharapkan” (It. II.112).
3.      Tahap Transformasi, dimana Agama Buddha sebagai kekuatan spiritual dan sosial yang menggariskan pada etika, aturan dan hukum tingkah laku kehidupan sosial, hal ini tentunya disesuaikan dengan etika sosial masyarakat yang ada (Wowor Cornelis. 1997 : 11).
Buddha Dhamma tidak mengajarkan manusia untuk melarikan diri dari bentuk kenyataan hidup yang wajar, melainkan mendorong untuk menghadapi dan menyelesai permasalahan hidup dengan baik serta bijaksana. Dalam konteks komunitas masyarakat Buddhis selalu berhubungan bersama dan bersosial, dimana kehidupan bermasyarakat setiap orang secara langsung maupun tidak langsung saling berhubungan satu dengan yang lainya yang sangat erat sekali.
Berdasarkan pada bentuk pandangan diatas, sang Buddha dalam pembinaan kehidupan masyarakat Buddhis, baik perumah tangga maupun kehidupan tanpa perumah tangga selalu menggariskan etika sosial atas dasar persaudaraan dan kasih sayang yang timbal balik antar sesama mereka dalam hubungan sosial, serta terus menerus mendorong mereka mengembangkan tenggang rasa, agar dapat hidup berdampingan secara damai dan bahagia. Dengan demikian kesejahteraan perumah tangga diperhatikan oleh Sang Buddha. Itulah sebabnya banyak ajaran Buddha selalu berhubungan dengan para umat perumah-tangga sebagai pengikut yang setia dalam memenuhi kebutuhan hidup demi kesejahteraan itu melaksanakan dan hidup sesuai dengan ajaran Buddha. 
 
B. Hukum Sebagai Aturan
Hukum merupakan landasan atau aturan dalam kehidupan manusia sehingga dapat hidup saling berdampingan satu sama lain dengan penuh kedamaian dan ketentraman. Hukum menurut W. Luypen, yang sering kali dikemukakan adalah sedikit-dikitnya sebagai kasih sayang, sedikit-dikitnya merupakan etika dalam mengayomi kehidupan ini, hukum sebagai kasih sayang berkaitan erat tentang hubungan-hubungan pribadi, dari seseorang dengan orang-orang lain yang pada dasarnya sangat terbatas jumlahnya namun pada kekhususannya perorangan. Bahkan secara makro hubungan orang-orang yang hidup bersama dan tak dapat dikenal bersama-sama dapat berhubungan dengan baik, dalam suatu ikatan hukum. Di sini sesungghunnya hukum juga merupakan etika yang bergerak dalam suasana rasa saling menghormati sesama manusia pada umumnya. Namun hukum bukan kasih sayang. Namun hukum adalah suatu lembaga sosial yang menentang segala bentuk penindasan dan yang mengembangkan suatu hubungan pegakuan akan kebebasan setiap orang. Tujuan itu tiada berbatas, walaupun dalam pelaksanaanya yang sesungguhnya dia memang selalu tetap terbatas (Scheltens 1984 : 69).
Hukum dalam kenyataanya merupakan pelaksanaan keadilan yang minimal, namun hukum juga ditujukan pada kadar maksimum keadilan, tetapi karena faktor-faktor lain yang harus dihadapi oleh hukum pada dasarnya, yaitu kemungkinan teknis, persetujuan dan juga struktur peristiwa yang terjadi dan yang dihadapi oleh setiap individu. Pada saat ini dunia dalam keadaan kacau, nilai etika diputarbalikan. Kekuasaan skeptisisme materialistis telah mengubah pisau bedahnya pada konsep tradisional yang dianggap sebagai kualitas manusia. Karena etika berhubungan dengan tindakan manusia yang berkaitan dengan dirinya dan sesamanya.
Ajaran Buddha mengenai hukum berkaitan erat dengan hukum perbuatan yang tidak bisa terlepas dari ajaran mengenai hukum ketergantungan (paticca-samuppada). Hukum tersebut dalam bentuk aslinya menerangkan kondisi sebab-akibat yang menyebabkan penderitaan manusia, juga kondisi-kondisi yang menghasilkan lenyapnya penderitaan. Secara ringkas ajaran Buddha dalam dari segala hal yang mempunyai sebab, Sang Tathagata menerangkan sebabnya, dan juga lenyapnya sebab itu. Itulah ajaran seorang manusia pertapa yang Agung. Dalam sisi lain Buddhisme menekankan pada prinsip kehidupan yang sosial dalam etika.
Etika umat Buddha bukanlah patokan asal-asalan yang ditemukan orang untuk tujuan manfaat sendiri, namun etika umat Buddha juga tidak berlandaskan pada adat sosial yang berubah tetapi pada hukum alam yang tidak berubah. Nilai-nilai etika umat Buddha pada hakekatnya adalah bagian dari alam dan hukum tetap sebab dan akibat (karma). Fakta sederhana bahwa etika umat Buddha berakar hukum alam membuat prinsip-prinsip berguna dan tetap diterima oleh dunia modern.
Etika umat Buddha bertujuan praktis menuntun orang menuju ahkir kebahagiaan yang tertinggi. Dalam umat Buddha menuju pembebasan yang dilakukan dengan realisasi, setiap individu dianggap bertanggung jawab untuk keberuntungan dan kerugian sendiri dalam pemahaman dan usahanya. Keselamatan umat Buddha merupakan hasil pengembangan moralitas setiap individu sebagai usaha pembebasan. Secara konsekwen etika umat Buddha bukan merupakan perintah apa pun yang memaksa manusia untuk mengikutinya. Buddha telah menasehati manusia mengenai kondisi yang paling bermanfaat maupun yang tidak bermanfaat dalam jangka panjang (Dhammananda Sri 2002 : 182).
Perbedaan antara yang baik dan buruk di dalam Buddhisme sangat sederhana, semua tindakan yang memiliki akar dalam ketamakan, kebencian, dan keserakahan yang timbul dari keegoisan. Tindakan ini tercela atau buruk (akusala karma). Semua tindakan yang berakar dalam kemurahan hati, kasih sayang dan kebijaksanaan itu mulia (kusala karma) kriteria baik dan buruk berlaku pada aksi pikiran, ucapan dan perbuatan yang dilakukannya.

C. Pengertian Hak – Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kondratnya, jadi hak-hak yang dimiliki sebagai manusia. Maka kita tidak boleh mengecualikan kelompok-kelompok manusia tertentu. Sudah melekat pada pengertian hak-hak sasai manusia itu sendiri, bahwa hak-hak asasi manusia harus dipahami dan di mengerti secara universal. Memerangi atau menentang universalitas hak-hak asasi manusia berarti memerangi dan menentang hak-hak asasi manusia. Hak-Hak Asasi Manusia merupakan kewenangan yang melekat pada manusia sebagai manusia, yang harus diakui dan dihormati oleh sesama manusia maupun pemerintah dimana ia tinggal.
Manusia mempunyai derajat yang luhur sebagai manusia. Manusia mempunyai budi pekerti dan karsa yang merdeka. Manusia sebagai manusia memiliki martabat dan derajat yang sama dan dengan demikian memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama. Jadi Hak-Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak fundamental yang melekat pada kodrat manusia sendiri dalam kemanusiaanya. Kemanusiaan setiap manusia bernilai sangat tinggi dan unik. Kemanusiaan setiap manusia merupakan suatu ide yang luhur dan menghendaki supaya manusia dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan diri ini sebagai manusia adalah tujuan hidup manusia. Hak-hak ini ditegaskan adalah universal, dimana ada manusia disitu pasti ada hak-hak asasi manusia dan harus dihargai dan dijunjung tinggi (Setiardja Gunawan 11993 : 25).
Sikap tersebut merupakan langkah pendekatan dalam kehidupan pengembaraan sebagai manusia untuk saling hidup bertoleransi. Nasehat Sang Buddha adalah mari kita hidup dengan bahagia, tidak membenci mereka yang membenci kita. Di antara mereka yang membenci kita, mari kita hidup bebas dari membeci. Mari kita hidup dengan bahagia dan bebas dari penyakit. Mari kita hidup dengan bahagia dan bebas dari ketamakan, di antara mereka yang tamak.
Buddhisme memandang Hak-hak asasi manusia tidak hanya menyangkut interaksi-aksi antar umat manusia, tetapi berhubungan dengan alam sekitar. Apabila alam sekitarnya rusak maka umat manusia akan menghadapi malapetaka. Tidakkah alam juga memasuki hak asasi sendiri ? Agama Buddha sangat menaruh perhatian terhadap hak asasi setiap bentuk kehidupan hingga mahluk sekecil apa pun. Agar persoalan Hak asasi manusia dapat didudukkan pada tempatnya secara benar. Manusia harus memiliki internal yang bersifat spiritual, bebas dari keserakahan, kebencian dan kebodohan atau pandangan yang keliru. Tentunya mereka selalu berjuang untuk menegakkanya dan tidak boleh dipengaruhi oleh perasaan benci dan permusuhan. 

D. Prinsip Hak Asasi Manusia

Setiap pernyataan hak-hak asasi manusia sesungguhnya martabat yang terkandung didalamnya yang dikemukakan sebagai bentuk prinsip dasar hukum. Martabat manusia ini diperoleh manusia dari kebebasan maupun kemandiriaanya. Karena manusia dapat memiliki hidupnya, maka pemiliki itu pun harus dipercayakan kepadanya. Landasan hak-hak asasi manusia merupakan tolak ukur setiap penindasan horizontal diantara manusia, tapi juga melarang campur tangan pemerintah yang terlalu banyak dalam kehidupan pribadi.
Prinsip hak-hak asasi manusia mengukuhkan pada tiap hak manusia. Seperti diakui R. Marcic dengan mengikuti G. del Cecchio, hak setiap manusia. Sama sucinya dengan hak jutaan manusia. Prinsip hak tersebut memberikan kepada hukum dasar kemanusiaan murni, landasan etika manusiawi yang umum. Berdasarkan hal ini sebenarnya setiap landasan hukum yang teokratis ditolak. Apa yang dinyatakan sebagai hukum, tidak boleh diambil dari wahyu, kepercayaan atau teologi. Hukum harus menciptakan suatu masyarakat antara sesama manusia, apa pun juga keyakinannya, dia merupakan razim tenggang rasa sepenuhnya. Hanya yang tak dapat dibiarkan ialah penindasan, sikap tak tenggang rasa, sikap tak menghargai manusia (Scheltens 1984 : 69).
Hak asasi manusia bukan hanya memiliki pengertian yang anivokal (bermakna satu) yang harus diartikan analoga dimana ada kesamaan dan titik perbedaan serta memiliki kategori dimana hak-hak yang dimiliki setiap warga negara dari negara yang bersangkutan (hak-hak warga negara) dan hak-hak yang pada dasarnya dimiliki semua yang berdomisili di negara yang bersangkutan (Krisnanda 2003 : 466).
Kenyataanya, menurut Grotius, semua bagsa menerima prinsip-prinsip yang sama, harus ada sesuatu sebab yang umum. Sebab umum itu adalah sensus communis, akal sehat. Secara rasional pula prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam hukum ialah setiap orang memiliki kecenderungan untuk hidup bersama orang lain dengan damai. Kecenderungan ini lepas dari karsanya, sebagai landasan obyek seluruh hukum. Secara deduktif dapat disimpulkan empat prinsip dasar dari prinsip pokok yang menjadi pilar seluruh sistem hukum alam, yaitu :
1.      Prinsip “milikku” dan “milikmu”. Milik orang lain harus dihormati dan dihargai.
2.      Prinsip kesetiaan pada janji.
3.      Prinsip ganti rugi, kalau kerugian itu karena kesalahan orang lain.
4.      Prinsip perlunya hukum karena pelanggaran atas hukum alam dan hukum-hukum lainya (Setiardja Gunawan 1993 : 82).
Berdasarkan hukum alam yang telah terdapat dalam bentuk prinsip obyektif, memunculkan juga dalam hak secara subyektif manusia. Menurut Grotius hak-hak subyektif itu mencakup tentang (1) hak untuk menguasai dirinya sendiri, yaitu hak kemerdekaan, (2) hak untuk menguasai orang lain, seperti kekuasaan orang tua terhadap anak mereka, (3) hak untuk menguasai harta miliknya (Setiardja Gunawan 1993 : 83).
Teori etika umat Buddha terungkap secara praktis dalam berbagai prinsip atau disiplin yang merupakan panduan umum untuk menuju arah kemana untuk melangkah menuju keselamatan ahkir. Walaupun banyak dari prinsip ini dinyatakan dalam bentuk yang negatif, kita tidak boleh berpikir bahwa moralitas umat Buddha terdiri dari penahanan diri dari kejahatan saja tanpa diimbangi dengan perbuatan yang baik. Moralitas yang ditemukan dalam prinsip itu dapat dirangkum dalam tiga prinsip yang sangat sederhana, “Hindarilah kejahatan, berbuatlah kebajikan, sucikan pikiran inilah nasehat yang telah diberikan oleh semua Buddha” (Dh. XIV, 183). 
E. Pendekatan Agama Buddha Terhadap Hukum
Walaupun peranan mereka sangat penting, namun peraturan, hukum dan rumusan hak hasil konvensi masyarakat sama sekali bukanlah jaminan mutlak terhadap kualitas kehidupan manusia dan perkembangan kebijaksanaan umat manusia serta masyarkat yang adil. Kecuali kalau peraturan-peraturan ini secara hakiki bersesuaian dengan hukum alam, diterapkan dengan niat yang baik serta dengan pemahaman tentang tatanan masyarkat, demi pembelajaran dan pengembangan anggota masyarakat jika jika tidak, maka mereka takkan mampu menjadi sarana yang dapat menuntun anggota masyarkat menuju sasaran ahkir yang damai.
Buddhisme mengakui bahwa hukum dan rumusan hak masyarkat sebelumnya telah menciptakan ketertiban dalam masyarakat yang mungkin sebelumnya kacau balau. Di dalam peraturan-peraturan tersebut membantu meningkatkan kesejahteraan baik individu mupun kolektif. Namun betapapun bermanfatnya ini, bahwa Buddhisme mempunyai pandangan tentang peraturan, hukum, pegangan hukum dan rumusan hak yang dibuat manusia hanylah berupa kebenaran (realitas) sekunder. Kecuali kalau mereka berlandaskan prinsip-prinsip “Dhamma” (hukum, realitas yang sesungguhnya, sebab akibat yang benar), serta telah diselami oleh orang-orang yang memiliki pemahaman mendalam atas prinsip-prinsip demikian. Bila tidak, pengembangan kualitas manusia yang bermakna serta ihwal hidup berdampingan secara damai di antara sesama manusia baik secara local maupun lingkungan dimana demokrasi telah menciptakan ketegangan diantara beragam unsure yang bersifat multi dimensi dan oleh karena itu sangat memerlukan persatuan masyarakat.
Hukum realitas menurut Buddhisme ada dua tingkat realitas, yaitu sosial dan hakiki, dimana keduannya memiliki hubungan kausal dan hukum tersendiri. Realitas hakiki berlaku dimana saja, keberadaannya tidak tergantung pada umat manusia, tetapi dapat diselami melalui kebijaksanaan manusia (panna). Realitas sosial, di pihak lain, merupakan kontruksi manusia dimana pegertian dan pelaksaannya bergantung pada kesepakatan di antara orang-orang yang menciptakannya. Karena umat manusia baik secara individu maupun secara kelompok tidak dapat hidup terpisah dari alam, oleh karena itu salah satu persyaratan untuk memperoleh tatanan sosial yang efektif adalah mempelajarai hukum-hukum di alam serta bijaksana menerapkannya dalam penciptaan atau perancangan peraturan, hukum dan rumusan hukum hak masyarakat. Kalau kontruksi sosial ini tidak ini berlandaskan hukum-hukum alam, maka tatanan sosial bukan hanya memiliki cacat tetapi juga menjadi dangkal dan tidak berati (Scheltens 1984 : 71).
Hidup didalam lingkungan demikian, orang-orang pasti akan merasa terasingkan, terkucilkan, putus asa atau tertekan, sehingga mungkin mereka akan kehilangan vitalitas dan kesnggupan untuk mengambil tindakan bagi perbaikan hidup maupun lingkungan mereka. Oleh karena itu esensi peraturan, hukum dan rumusan sosial harus secara terus menerus dinilai dan selalu diawasi kembali. Tolak ukurnya adalah hukum-hukum alam.
Buddhisme memandang terhadap hukum, peraturan dan pegangan hukum maupun  rumusan hak masyarakat yang bermakna bukan hanya harus mencakup kebenaran hukum alam, tetapi juga mampu mendorong orang meningkatkan kualitas diri. Sebagaimana dalam Sangha komunikasi para bhikkhu, terhadap peraturan, hukum dan rumusan hak ditetapkan secara seksama agar para bhikkhu memiliki kesempatan sebesar-besarnya untuk mencapai kondisi batin yang lebih baik. Pemahaman yang lebih dalam lagi melalui meditasi, realisasi serta usaha belajar yang giat (Dhammananda Sri 2002 : 185).
Dalam komunitas demikian, peraturan, hukum dan rumusan hak walaupun oleh kalangan luar tampak seperti sangat mengekang, namun oleh anggota komunitas Sangha dipandang sebagai pelajaran atau latihan bagi penyempurnaan diri. Walaupun Buddhisme mengakui bahwa komunitas demikian mungkin mendekati ideal kalau tidak mau mengatakan ideal, namun tetap diusahakan adanya hukum, peraturan, pegangan hukum dan rumusan hak yang positif, yang dapat membantu orang-orang mengembangkan jasmani dan batin yang sehat serta bijaksana, daripada hanya menjalankan hukum, peraturan, legalitas dan rumusan hak yang negatif, yang hanya berkisar pada pengukuhan dan penyingkiran serta mengesampingkan belaka.

F.  Hak – Hak Asasi Manusia Dalam Kesejahteraan Manusia
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah ihwal dimana umat manusia datang berkumpul bersama dan bersepakat bahwa setiap individu harus diperlakukan secara terhormat, dengan penuh pertimbangan dan perlindungan serta diperbolehkan untuk mendapatkan kesejahteraan dalam menjalani kehidupannya atau dengan kata lain setiap individuharus diperlakukan dengan “cara yang terbaik”. Umat manusia di sini meliputi orang-orang di segenap tataran dunia yaitu yang bergabung dalam perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1945, yang berasal dari beraneka ragam negara di dunia ini, yang bersepakat dan menetapkan perundang-undangan di mana setiap individu dapat mengajukan tuntutan secara sah dan memiliki hak dan perlindungan yang baik. Dimana peraturan perundang-undangan tersebut dapat menjamin dan berfungsi sebagai standar kesejahteraan seseorang karena memungkinkannya untuk menjangkau kebaikan dan semua yang patut untuk di dapatkannya (Payuttho 2000 : 66).
Dari hasil penjelasan yang tampak dalam  Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan peroduk umat manusia beradab dan berbudaya yang peduli terhadap kehidupan sesamannya, yang peduli terhadap suka duka sesamannya. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mencerminkan suatu kesadaran akan pentingnya peraturan dan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai landasan hidup bersama yang harmonis dimana merupakan lambang kemajuan peradaban manusia.
Walaupun boleh dikatakan Perserikatan Bangsa Bangsa adalah sebagai perakarsa dalam lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dimana sejarahnya tersebut  penuh dengan pelanggaran dan penindasan hebat yang terorganesir dan sistematis yang juga merupakan pelopor moral dalam meletakkan dasar-dasar peraturan dan perundang-undangan Hak Asasi Mnusia (HAM) seperti tampak dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang telah disepakati bersama (Payuttho 2000 : 71).
Untuk pelanggaran yang terjadi di antara sesama umat manusia antara masyarakat yang berbeda, dapat dilihat dengan jelas pada sejarah penjajahan Barat di masa lampau. Warga negara yang daerahnya dijajah mengalami penindasan dan kekerasan (hak asasi mereka telah dirampasnya). Dengan melihat pelanggaran yang terjadi maka muncullah bentuk perjuangan umat manusia untuk berkumpul bersama-sama dalam merumuskan perundang-undangan mengenai Hak Asai Manusia. Sehingga orang barat memiliki keahlihan dalam merancang peraturan dan perundang-undangan untuk melindungi hak mereka sendiri serta mencegah hak mereka dilanggar oleh pihak lainya.
Faktor utama penyebab lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah untuk mencegah pelanggaran hak asasi, sehingga dapat diharapkan dan berfungsi sebagai alat untuk mencegah orang lain saling menggangu, menjamin seseorang untuk tidak sesuka hati mencabut kesempatanan orang lain dalam bertahan hidup atau memiliki kesempatan terbaik untuk eksis dan dapat menjangkau keuntungan dan semua kebaikan yang ada di dalam masyarakat atau di dunia. Sehingga masalah Hak Asasi Manusia akan terjaga dan tidak berahkir cukup di sini saja.
Permasalahan Hak Asasi Manusia bukan saja berhubungan dengan manusia akan tetapi dekat sekali dengan alam sekitar. Sesungguhnya dengan memperhatikan lebih dekat terhadap alam  sekitar bertujuan untuk membuat kehidupan manusia menjadi lebih bahagia. Umat manusia lebih peduli terhadap lingkungan menjadi lebih bahagia. Umat manusia peduli terhadap lingkungan hidup dan alam karena mereka peduli terhadap diri mereka. Melindungi lingkungan hidup adalah juga melindungi diri mereka, memungkinkan manusia bertahan hidup dan hidup bahagia. Apabila alam sekitar dirusak, maka umat manusia akan menghadapi malapetaka. Walaupun manusia pada dasarnya menduduki dan menjadikan tanah sebagai sumber kekayaan atas milik hak mereka. Namun permasalahannnya adalah bagaimana manusia memperlakukan hak milik mereka dan apakah hal tersebut menimbulkan kerusakan pada tanah airnya atau dunia.
Sebagai contoh dalam membesarkan anak, orang tua tidak hanya bertindak berdasarkan hak asasi anak. Tetapi bahkan memberi lebih banyak daripada standar minimum yang menjadi hak anak tersebut. Orang tua menjaga anak mereka penuh cinta kasih dan kasih sayang bukan hanya secara khusus memikirkan sekedar hak asasi anak. Dengan alam pikiran seperti “orang tua yang memperlakukan anaknya” maka umat manusia akan mampu untuk hidup secara harmonis.
Bentuk permasalahan yang muncul dalam hak asasi manusia khususnya hubungan anak dan orang tua, sebagai contoh di Amerika Serikat bahwa apabila orang tua salah dalam memperlakukan anak mereka, maka anak-anak dapat memanggil polisi atau memberitahu seorang guru untuk memanggilkan polisi dan menahan orang tua mereka. Konsep hak asasi manusia merupakan satu sisi dari sebuah mata uang atau hanya mengukur tingkat kemajuan tertentu dari umat manusia dan pada kenyataanya terjadi sekenario ekstrim dimana sejumlah masyarakat tidak saling menghormati kehidupan, keselamatan dan kebebasan, pelanggaran terhadap kehidupan, hak milik dan kebebasan serta kemerdekaan pribadi senantiasa terjadi. Sebaliknya dibagian masyarakat lainnya, hak-hak selalu dituntut, hidup semata-mata menuntut hak asasi.
Kedua ekstrim tersebut sama-sama menimbulkan masalah. Bagi mereka yang tidak mempedulikan hak orang lain, jelas sekali akan menimbulkan persoalan dan akan sangat merugikan masyarakat umat manusia. Bagi umat Buddha, tentu saja bisa mengambil manfaat dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang di dalamnya mengandung prinsip dasar serta butiran-butiran praktek yang baik. Dengan meperbandingkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dengan Pancasila (Buddhis). Dapat dilihat bahwa Pancasila berfungsi sebagai tonggak utama masyarakat. Apabila umat manusia bertindak sesuai dengan kelima sila tersebut maka tidak perlu lagi akan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Bila diamati lebih mendalam sejumlah ketentuan yang dinyatakan dalam pengejawantahan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dari Pancasila ini terhadap Sigalovada Sutta, disamping mencerminkan enam arah yang berhubungan pada arah timur atau arah depan (melambangkan ibu dan ayah), arah selatan atau arah kanan (melambangkan hubungan guru dan murid), arah barat atau arah belakang (melambangkan hubungan orang tua dan anak), arah utara atau arah kiri (melambangkan hubungan dengan sahabat-sahabat), arah bawah melambangkan hubungan pelayan dan pekerja dan arah atas melambangkan hubungan pertapa dan guru-guru spiritual (Payuttho 2000 : 78).
Dalam bentuk pendekatan Buddhisme, ketentuan yang terdapat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi hakikatnya memiliki prinsip yang sama dengan Pancasila Buddhis dan enam arah. Namun dalam masyarakat hal ini belum cukup, yang merupakan standar sosial minimum setidak-tidaknya dapat melindungi dunia agar tidak terbakar dengan kobaran api. Memungkinkan manusia untuk tinggal bersama. Mengembangkan kehidupan manusia menuju taraf yang tinggi melalui sila, samadhi dan panna. Hak asasi manusia itu ibaratnya masih dalam taraf pada sila.
Harus di ingat bahwa Pancasila atau sila ada dalam tataran etika, konsep Hak Asasi Manusia ini merupakan tinjauan dari sudut perlindungan orang lain. Dengan bentuk penekanannya pada perlindungan dan penuntutan hak asasi. Dengan melihat cara pandang demikian saja akan menghadirkan etika negatif Hak Asasi Manusia. Karena itulah perlu mengembangkannya dengan etika yang positif, yang konstruktif. Jadi Hak Asasi Manusia dalam Deklarasi Universal Hak Asai Manusia merupakan dasar, landasan yang memungkinkan umat manusia menjalani kehidupan yang bajik serta hidup dalam kedamaian dan keharmonisan.

G. Simpulan

 Setiap kehidupan manusia dapat timbul rasa takut, merasa bersalah, takut disalahkan oleh orang lain, takut terhadap hukum, dan juga takut menghadapi akibat-akibat yang tidak diinginkan dalam kehidupan yang akan datang (A.II, 121). Perasaan ini merupakan langkah pengontrol kehidupan sosial yang bersumber dari hati nurani. Prinsip moral yang menyangkut kehidupan manusia berkaitan dengan hai nurani adalah tahu malu (hiri) dan takut akan akibat perbuatan yang salah (ottappa) yang merupakan cahaya dalam menerangi dan melindungi dunia ini (A.I, 51).
Kebenaran Dharma merupakan pertentangan nilai dari kebaikan dan kejahatan atau cinta kasih dan kebencian, sebagai tema yang mendasar. Orang melakukan kebaikan dan menyingkirkan kejahatan dengan penuh cinta kasih berdasarkan kehendak yang membawa akibat sebagai hasil dari sebab yang telah terjadi yaitu karma. Karma bukanlah hukum pembalasan, tetapi hukum alam.
Pemahaman demikian bagi umat Buddha dalam perkembangan dan kemajuan diri, memiliki batin yang luhur (Brahma-vihara), yang melaksanakan pancasila. Pelaksanaan pancasila berarti menghargai dan melindungi hak-hak asai manusia (HAM).lebih dari pada itu hak manusia tentunya memiliki kewajiban. Apa yang dimaksud dengan kewajiban seorang anggota masyarakat buddhis, yang dikemukakan oleh Buddha dalam Sigalovada-sutta sebagai pemujaan dan melindungi keenam arah. Walaupun hak asasi manusia diakui tanpa keharusan tentunya berhubungan dengan kewajiban orang yang bersangkutan, sebagai hubungan atau konsep kehidupan masyarakat buddhis.
Pengalaman mengajarkan bahwa orang yang melaksanakan kewajibannya terhadap pihak lain akan mendapatkan dirinya terlindungi dan hidup dengan aman di dalam kehidupann masyarakat.
Dalam menciptakan hidup seseorang lebih baik, sekaligus dunia penuh kedamaian, sebagaimana yang dikemukakan kepada Kutadhanta, Buddha mengajarkan bentuk pengorbanan sosial demi kesejahteraan banyak orang. Ia menukar kurban bagi para dewa menjadi kurban rakyat kecil yang membutuhkan pertolongan.

Reffrensi :

Cornelis Wowor, 1997, Pandangan Social Agama Buddha, Arya Surya Candra, Jakarta.
Krisnanda Wijaya-Mukti, 2003, Wacana Buddha-Dhamma, Yayasan Sharma Pembangunan, Jakarta.
Gunawan Setiardja, 1993, Hak-Hak Asasi Manusia Ideology Pancasila, Kanisius, Semarang
Phra Dhammapitaka (Payutto), 2000, Hak Asasi Keharmonisan Atau Disintegrasi Social, Asosiasi Rajamuni Samiromo, Medan.
Sri Dharmananda,2002, Keyakinan Umat Buddha, Karaniya, Jakarta.
Scheltens, 1984, Pengantar Filsafat Hukum, Erlangga, Jakarta.

KEYAKINAN DALAM BUDDHA DHAMMA
Oleh Bhikkhu Vajhiradhammo

A. Pendahuluan.
Sebagai umat beragama Buddha, dalam upaya untuk dapat menghayati dan mengamalkan Buddha-Dhamma secara bulat dan utuh hendaknya dapat memahami ajaran Buddha dengan baik. Dasar kerangka dalam memahami ajaran Buddha ini adalah memilki keyakinan, sila dan bakti yang kuat. Tiga kerangka dasar agama Buddha ini merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Selaku umat Buddha pun wajib memilki iman yang ada di dalam agama Buddha disebut saddha yang berarti keyakinan, kepercayaan yang dimilki oleh umat buddha. Berdasarkan atas pengertian yang benar, bukan kepercayaan yang membuta yang tidak berdasarkan atas pengertian yang benar.
Banyak orang lain kebingungan dalam mencari suatu keyakinan. Sebagai penganut kepercayaan yang lain dengan penuh keyakinan untuk mempropagandakan “percayalah kepadaNya maka engakau akan selamat”. Ahkirnya diri sendiri yang merasa kebinggungan untuk mendengarkan dari berbagai arah yang tak menentu. Namun saya yakin Anda semua pasti setuju bahwa keyakinan kepada perlindungan itu tidak cukup ditimbulkan dari hasil propaganda saja, akan tetapi harus melalui proses berpikir yang positif. Sekarang pelajari dengan baik satu-persatu secara positif, sehingga merasa yakin seyakin-yakinya, tidak secara membuta atau terpengaruh dari rayuan dan propaganda yang ada di luar, sekarang siapakah yang sebenarnya menjadi pedoman dalam belajar ajaran Buddha?
Memilki keyakinan adalah suatu kewajiban yang mengarah pada praktek nyata dalam pengembangan moralitas (sila) dalam kehidupan sehari-hari. “Memiliki pengetahuan luas dalam sila adalah salah satu dari saddhama (keyakinan teguh pada dhamma) yang membuat seseorang dapat menyingkirkan kejahatan, mengembangkan kebajikan, menyingkirkan perbuatan bernoda, mengembangkan perbuatan yang tak bernoda, dan menuntun diri menuju kesucian” (A. 1V.27). Sila adalah perbuatan yang baik, yang dilakukan melalui pikiran, ucapan dan perbuatan badan jasmani yang tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain bakkan mahluk yang lainnya. Manusia susila menurut agama Buddha ialah manusia yang dapat berkata dan berbuat serta berpenghidupan yang benar.
Selanjutnya sebagai umat Buddha wajib memahami dan melaksanakan tata kebaktian dan upacara agama Buddha, yang termaktup dalam ajaran tentang bakti. Bakti merupakan bentuk ritual, puja bakti, sembahyang yang semua dimilki oleh setiap agama menuju pada tata kebaktian, tata ritual maupun tata upacara dalam agama. “Buddha juga menganjurkan agar manusia memiliki rasa kepercayaan diri, hidup saleh, bersemangat dan tidak bermalas-malasan, waspada seimbang dan memiliki pengertian benar baik melalui pikiran, ucapan dan perbuatan” (A.V.335).

B. Pengertian Keyakinan.
Keyakinan (saddha-bahasa pali atau sradha-bahasa sanskerta) memilki makna sebagai keyakinan yang nyata atau kepercayaan yang benar (Confidet). Dalam ajaran Buddha sesungguhnya menekankan suatu kepercayaan yang timbul oleh suatu yang nyata pula. Inilah yang disebut saddha, atau dapat diartikan sebagai keyakinan yang telah mencakup pengertian percaya didalamnya. Jadi kata saddha itu dapat diartikan sebagai (1) keyakinan (2) kepercayaan-benar (3) keimanan dalam bakti.
Saddha bukanlah suatu kepercayaan yang membuta, melainkan suatu kepercayaan seperti yang dimilki para siswa dalam sekolah menengah, dimana siswa-siswa yakin akan adanya atom dan molekul. Tetapi mereka tidak dapat membuktikannya. Mereka menerima itu karena percaya kepada sarjana yang telah menguraikannnya. Tetapi kepercayaan ini disebut kepercayaan membuta. Karena kepercayaan juga akan timbul bilamana tidak dapat melihat sesuatunya dengan betul dan nyata. Saddha (keyakinan) akan timbul bilamana dapat melihat sesuatunya dengan betul dan nyata. Tetapi harus dipahami dan diingat bahwa saddha ini bukanlah suatu kepercayaan seperti yang dimengerti orang pada umumnya.
Buddha mengajarkan agama yang bebas dari otoritas adikodrati, dan menolak ketergantungan manusia pada kekuatan diluar diri sendiri. Keyakinanj ini seharusnya timbul dan berkembang bukan karena takut, tetapi karena memilki pengertian yang benar. Agama Buddha juga tidak mengenal dikotomi antara akal dan iman. Iman yang bertentangan dengan akal sehat tak ada bedanya dari tahayul.
Keyakinan ini adalah kepercayaan atau iman yang berdasarkan kebijaksanaan. Apa yang diajarkan oleh Buddha sebagai kebenaran yang mutlah, bukan sesuatu yang masih diragukan atau samara-samar. Tetapi agama Buddha juga tidak dimulai dengan iman yang membuta atau tanpa dasar (amulika-saddha). Melalui suatu proses pengembangan hipotesis dan pengujian pengalaman pribadi. Iman seperti ini berahkir dengan pengukuhan dan kepastian yang disebut iman rasional tidak kekanak-kanakan (akaravati-saddha).
Keyakinan dalam agama Buddha bukan keyakinan yang membuta berdasarkan dogma-dogma. Apabila tidak dilaksanakan membawa manusia pada alam neraka. “Keyakinan dalam Buddha yang paling utama adalah keyakinan kepada Buddha, keyakinan pada jalan mulia berunsur delapan, keyakinan kepada ketiadaan hawa nafsu (Viraga) atau Nibbana yang dinyatakan juga sebagai dhamma dan keyakinan kepada Ariya-Sangha, persaudaraan orang-orang suci” (A.II:34). Buddha memberikan petunjuk terhadap keyakian adalah datang dan buktikan. Perbuatan yang memberikan dampak kebahagiaan harus tetap dilaksanakan, tetapi perbuatan yang membawa penderitaan jangan dilakukan. Buddha menolak ajaran pandangan yang salah berdasarkan keyakianan yang membuta, dilakukan oleh kaum titiya dan carvaka yang menggangap bahwa kehidupan manusia akan mengalami kebahagiaan dan hidup hanya sesaat atau tubuh adalah sumber penderitaan dan harus disiksa.
Menurut Asangga keyakinan itu mengandung tiga unsur, yaitu (1) keyakinan yang kuat akan sesuatu hal, (2) menimbulkan kegembiraan yang mendalam terhadap sifat-sifat yang baik, (3) harapan untuk memperoleh sesuatu dikemudian hari. Keyakinan yang kuat bukan berarti sebatas percaya seperti yang lazim dikenal oleh kebanyakan orang. Keyakinan disini menekankan aspek melihat, memahami dan mengetahui. Persoalan akan percaya akan timbul apabila kita tidak dapat melihat sesuatu dengan jelas. Begitu melihat dengan sendiri dengan jelas, pada saat itu pula tidak ada lagi persoalan percaya atau tidak. Dalam ajaran yang bersifat ehipasiko, yang selalu kita temukan adalah melihat atau membuktikan, sehingga keyakinan memiliki kepastian, bukan percaya kepada sesuatu yang masih belum jelas benar.
Seseorang yang kuat dalam keyakinan tetapi lemah dalam kebijaksanaan akan memilki keyakinan yang fanatik dan tanpa dasar. Seseorang yang kuat dalam kebijaksanaan tetapi lemah dalam keyakinan akan mengetahui bahwa ia bersalah jika berbuat jahat, tetapi sulit untuk menyembuhkannya bagaikan seorang yang berpenyakitan disebabkan oleh obat itu sendiri. Bila keduanya telah seimbang, seseorang akan memiliki keyakinan hanya memilki dasarnya. Dengan memilki keyakinan kepada Buddha, ada yang berhasil mencapai tujuan, ada yang sedang mendekati tujuan, namun tidak sedikit pula yang tidak berubah nasibnya, Buddha hanya menunjukan jalan. Orang boleh percaya, tetapi kalau tidak menempuh jalan itu sendiri tidak akan sampai ketempat tujuan, dan orang yang menyimpang dari petunjuk jalan akan tersesat jalan ahkirnya sulit mencapai tujuan. Kegembiraan terhadap sifat yang baik akan ditemukan pada orang-orang yang memiliki pengertian dan kebijaksanaan. Tidak mungkin orang percaya karena takut dapat merasakannya. Dan sesuatu pengharapan dari sikap moral manusia mencapai kesempurnaan lewat jalan kebijaksanaan dan pemusatan pikiran yang bersih dari dorongan yang keliru.
Sariputra memberikan kesaksian bagaimana seseorang dapat memiliki keyakinan yang sempurna kepada Tathagatha dan tidak meragukan ajaran-Nya. Keyakian diuji dengan mengendalikan indria. Dengan keyakianan ini, semangat kesadaran, konsentrasi, kebijaksanaan yang terus menerus. “Sebelumnya aku hanya mendengar hal ini, sekarang aku hidup dengan mengalaminya sendiri, kini dengan pengetahuan yang dalam, aku mampu menembusnya dan membuktikan secara jelas dan sendiri keindahan itu telah hadir” (S. V : 226).

C. Kekuatan Keyakinan.
Keyakinan atau kepercayaan adalah kekayaan terbaik yang dapat dimilki oleh seseorang (S.I,41). Kekayaan yang dimaksudkan tidak hanya harta benda, tetapi juga sukses dalam kehidupan bersosial,  hingga dapat dilahirkan kembali dialam-alam surga, sebagai puncak dapat mencapai Nibbana. Orangyang tak tergoyahkan dalam keyakinan mempunyai banyak kebajikan yang diharga oleh orang-orang yang mulia, akan terus maju dan berkembang menuju kepantai seberang sehingga lenyaplah segala kekotoran batinya (S.V’396).
Keyakinan dapat merubah penderitaan menjadi bahagia. Dalam rumusan sebab-akibat yang saling bergantungan dijelaskan bahwa; penderitaan menimbulkan keyakinan, keyakinan menimbulkan rasa gembira,  rasa gembira menimbulkan rasa terpesona, rasa terpesona menimbulkan ketenangan, ketenangan menimbulkan kebahagaiaan, kebahagiaan  menimbulkan pemusatan pikiran, pemusatan pikiran menimbulkan pengetahuan dan pandangan akan segala hal sebagaimana adanya, pengetahuan dan pandangan akan segala hal sebagaimana adanya menimbulkan kejenuhan, kejenuhan menimbulkan ketiada nafsuan; ketiada nafsuan akan menimbulkan pembebasan, pembebasan menimbulkan pemadaman atau tiada lagi kelahiran kembali. Inilah tujuan ahkir dicapai oleh para arahat (S.II’32). 
Menjelang parinibbana, Buddha menyatakan bahwa dengan memilki keyakinan, mereka yang melakukan ziarah atau melihat atau menghormati stupa Buddha, akan merasa tenag dan bahagia, keyakinan yng kuat akan membuatnya terlahir kembali di alam surga kemudian hari (D.II’140-142). Pikiran mendahului segala sesuatu. Dengan pikiran kita akan mengontrol segala perbuatan dan ucapan seperti bayangan perbuatan yang didasarkan keyakinan tak pernah meninggalkan orang yang terlahir kembali dialam surga atau alam manusia. Hal ini seperti khasus saat meninggalnya Matthakundalini saat menjelang ajalnya tiba menaruh keyakinan yang kuat kepada Buddha, dan mampu mendorong karma baiknya terlahir di alam surga Tavatimsa (DhpA.2).
Nagasena menjelaskan kepada Raja Milinda bahwa cirri dari keyakinan adalah memilki ketenangan dan langkah maju dengan pasti. Ketika keyakinan muncul, ia akan mampu menghancurkan segala halangan. Tanpa penghalang pikiran akan menjadi tenang, terang dan bersih. Langkah maju ini juga diukur dari praktewk maditasi, sehingga mencapai apa yang belum dicapai, mengatasi apa yang belum teratasi, merealisasi apa yang belum terealisasi (Miln.34). 
Keyakinan ini akan memberikan kekuatan dalam diri karena (1) stiap individu melihat kejadian yang sebenarnya (Ehipassiko), sehingga benar-benar menimbulkan keyakinan, (2) karena memilki kepercayaan kepada orang yang mengajarkan Dhamma dari Buddha maka kepercayaan dan keyakinan itu timbul setelah membaca dan mempelajari riwayat hidup Sang Buddha dan kemudia menghayati dan mengamalkan ajaran-Nya. (3) karena melihat gejala-gejala atau tanda-tanda yang muncul, maka mengetahui peristiwa yang akan terjadin. Ketiga hal ini dapat menimbulkan keyakinan yang terpenting dari pembuktian dan pengalaman (Ehipassiko) yaitu datang, melihat dan mengalaminya sendiri.
Buddha menjelaskan kepada para siswanya agar meneliti, memahami ajaran Beliau sehingga mengerti akan kebenarannya tanpa ragu. “Karena itu, warga Kalama, janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu, atau oleh karena sesuatu yang sudah merupakan tradisi, atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang tertulis dalam kitab-kitab suci, juga apa yang dikatakan sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka, juga apa yang dikatakannya telah direnungkan dengan seksama, juga apa yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu, atau karena ingin menghormati seorang pertapa yang menjadi gurumu…tetapi terimalah kalau engkau sudah membuktikannya sendiri akan membawa banyak manfaat yang lama” (A.III.65).

D. Pokok Dasar Keyakinan.
Beriman kepada Buddha berarti memilki keyakinan pada penerangan dari sang Tathagatha (Tathagatabodhi-saddha). Keyakinan ini juga erat hubungannya dengan hukum karma atau perbuatan (Kamma-saddha), keyakinan terhadap akibat dari karma (vipaka-saddha), keyakinan bahwa setiap mahluk memiliki karma masing-masing dan bertanggung-jawab atas perbuatannya sendiri (kammassakata-saddha). Buddha mengajarkan hukum sebab musabab yang alami dari semua fenomena di alam semesta bekerja menurut salah satu dasar ilmu hukum alam yaitu hukum psikologi (citta niyama), hukum fisika (utu niyama), hukum biologi (bija niyama), hukum moral (kamma niyama), dan hukum alam semesta (dhamma niyama) (DA.II.432).
Buddha juga mengenalkan hukum sebab musabab yang saling bergantungan dalam fenomena manusia. Buddha menjelaskan untuk memperleh kemajuan dan perkembangan serta kesejahteraan haruslah di ciptakan aturan-aturan, norma-norma, hukum-hukum dan bahkan mengubah yang sudah merupakan tradisi. Menempatkan suatu aturan melalui penyelidikan yaitu baik dan buruknya, apakah menimbulkan kesakitan (byapada) untuk diri sendiri maupun orang lain atau kedua-duanya,maka hal demikian adalah buruk dan baik (akusala-kusala) (M.I.414).
sebagai umat Buddha wajib memiliki keyakinan yang disebut sebagai Sad Saddha, (1) Keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa yaitu Sanghyang Adi Buddha. (2) Keyakinan terhadap Tiratana/Tri Ratna (Buddha Dhamma dan Sangha. (3) Keyakinan terhadap adanya Bodhisattva, Arahat. (4) Keyakinan terhadap adanya Hukum Kesunyataan. (5) Keyakinan terhadap Kitab Suci yaitu Ti Pitaka/Tripitaka. (6) Keyakinan terhadap adanya Nibbana (Nirvana) sebagai tujuan terahkir umat Buddha.
Umat Buddha (khususnya di Indonesia) berkeyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan menyebut Tuhan Yang Maha Esa berbeda-beda tetapi pada hakekatnya adalah satu dan sama. Sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa, antara lain Sanghyang Adi Buddha, Hyang Tathagata, Ynag Esa dan sebagainya walaupun sebutan itu berbeda, namun hakekatnya Tuhan Yang Maha Esa adaNya. “Ketahuilah O para bhikkhu, bahwa ada sesuatu yang tidak menjelma, Yang tidak tercipta, Yang mutlak, duhai para bhikkhu, apabila tidak ada yang tidak dilahirkan, Yang tidak menjelma, Yang tidak tercipta, Yang mutlak, maka tidak akan mungkin kita akan dapat bebas dari kelahiran, dari penjelmaan, pemunculan dari sebab yang lalu” (Ud.VIII,3).
Keyakinan terhadap Tiratana/Tri Ratna sebagai tiga mustika yang sangat berharga sekali dimana, Buddha telah menunjukkan jalan menuju pembebasan mutlak (Nibbana) yang harus menjalaninya andalah dalam menuju kehidupan yang bahagia. Dhamma  yang diajarkan Buddha sungguh sistematik, realistis, mudah diselami oleh semua mahluk, indah pada awalnya, indah pada pertengahannya dan juga indah pada ahkirnya. Dhamma berarti kebenaran dari hukum kesunyataan, hukum kebenaran (dhamma niyama) yang sesuai logika. Dhamma ini diibaratkan sebagai rakit yang dapat digunakan sebagai alat menyebargi lautan penderitaan agar sampai ke pantai seberang. Sangha yang memberikan perkembangan yang besar dalam sejarah Buddha-Dhamma  hingga sekarang ini, menunjukkan adanya keterlibatan bhikkhu Sangha sebagai inspirasi pada keyakinan terhadap kebenaran Buddha.
 Keyakinan terhadap adanya Bodhisattva, Arahat yang memilki sifat-sifat luhur (paramita) membawa kebahagiaan lahir dan batin. Sifat luhur ini adalah (1) amal kebajikan dan pengorbanan untuk kepentingan Dhamma (danaparamita). (2) sifat luhur dalam kemurnian hati nurani yang senantiasa mendorong untuk berbuat baik (Silaparamita). (3) Semangat mendorong dan selalu aktif berkarya, bekerja, berusaha dan belajar (Viryaparamita). (4) Menumbuhkan kesabaran dalam menghadapi segala macam permasalahan dan tantangan (Ksantiparamita). (5) mengembangkan pikiran menuju kebijaksanaan dalam Samadhi yang tenang (Dhyanaparamita). (6) Selalu berkata, berpikir dan berucap yang benar (Prajnaparamita). Inilah sifat luhur yang dimilki oleh bodhisattva (calon Buddha) dan para arahat segala perbuatan, pikiran dan ucapannya membawa kebahagiaan.
Menurut pandangan agama Buddha Kesunyataan (sacca) berarti apa yang sesungguhnya, dalam bahasa sansekerta disebut satya artinya fakta yang tidak dapat dibantah. Empat Kesunyataan Mulia (catari ariya saccani) merupakan intisari ajaran Buddha ada empat kesunyataan sebagai dasar ajaran Buddha yang berhubungan denga apa yang disbut makhluk. Menyadari kesunyataan adalah menyadari dan menembus ke dalam sifat sejati keberadaan, termasuk pengetahuan penuh akan diri sendiri. Jika mengenali bahwa semua benda atau fenomena itu bersifat fana, tidak memuaskan, dan tidak mengandung kenyataan inti apapun, namun kebahagiaan sejati dan abadi tidak dapat ditemukan dalam kepemilikan materi dan pencapaian duniawi, kebahagiaan sejati dicari hanya melalui pemurnian mental dan pengembangan kebijaksanaan.
Sebagai umat Budhha beryakinan terhadap kebenaran Kitab Suci yaitu Ti Pitaka/Tripitaka, walaupun baru ditulis 400 tahun setelah Sang Buddha maha parinibbana. Namun kebenaran dari kitab suci Tri Ppitaka ini dapat dijamin kebenarannya, karena ditulis oleh para siswa Buddha yang telah mencapai tingkat kesucian arahat. Suatu ketika Sang Buddha berada dipinggiran sebuah hutan, beliau lalu mengambil segenggam daun yang berserakan di tanah dan berkata;” Wahai para Bhikkhu..... yang mana lebih banyak daun yang ada di hutan atau yang ada pada genggaman saya?”. Bhikkhu pun menjawab daun dihutanlah jauh lebih banyak Bhante. Sang Buddha melanjutkan “Begitu pula Dhamma yang telah diketahui adalah sebanyak daun yang ada di hutan tetapi Dhamma yang kuajarkan kepada-Mu hanyalah bagaikan segenggam daun ini, tetapi ini adalah cukup untuk membebaskan dari penderitaan”.
 Keyakinan terhadap adanya Nibbana (Nirvana) sebagai tujuan terahkir umat Buddha, adalah suatu keadaan yang telah diajarkan oleh Buddha. Nibbana adalah yang pasti padamnya keinginan nafsu (tanha) telah lenyap total. Seperti api telah padam karena kehabisan bahan baker. Nibbana adalah padam karena keinginan nafsu, ikatan-ikatan nafsu kekotoran batin, Nibbana adalah kesunyataan abadiyang tidak dilahirkan tidak termusnahkan, ada dan tidak berubah. Nibbana juga disebut sebagai asankhata dhamma, keadaan gelap yang hanya diketahui jika diketahui telah adanya terang. Menyadari dukkha berarti menyadari asal mula dukkha, lenyapnya dukkha, dan jalan untuk menuju lenyapnya dukkha. Lenyapnya dukkha berarti pula lenyapnya sedih dan gembira, padam segala kekotoran bati, nafsu duniawi.

E. Nilai Religius Keyakinan Sebagai Perlindungan.
Langkah awal yang diambil oleh setiap umat Buddha dalam memasuki jalan keselamatan adalah menyatakan keyakinannya dengan pengakuan berlindung kepada Triratana (Tisarana) “Aku berlindung kepada Buddha (Budddham saranam gacchami), aku berlindung kepada Dhamma (Dhamma saranam gacchami), dan aku berlindung kepada Sangha (Sangham saranam gacchami)” . berlindung kepada Triratna adalah yakin dengan sepenuh hati kepada Triratna sebagai pembawa inspirasi, penuntun hidup, bahkan menjadi tujuan hidup. Buddha bersabda; “Ia yang berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha dengan penuh kebijaksanaan dapat melihat empat kesunyataan mulia, yaitu: Dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukkha serta jalan mulia berfaktor delapan yang menuju akhir dukkha. Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama, dengan pergi mencari perlindungan seperti itu, orang akan bebas dari penderitaan (Dhammapada XIV ; 190-192).
Jelas bahwa pergi berlindung kepada Buddha bukan suatu sikap yang positif, pasrah pada kehendak di luar diri sendiri. Buddha mengajarkan agar kita tidak menyandarkan nasib kepada mahluk lain, dan menjadi pelindung bagi diri sendiri dan berpegang teguh pada kebenaran Dhamma. “Peganglah teguh Dharmma sebagai pelita, Peganglah teguh Dharma sebagai pelindungmu, ...” dengan hal itu berarti seseorang menjadi pelita dan pelindung bagi diri sendiri, sehingga tidak menyandarkan nasib kepada makhluk lain (D.II. 100).
Aspek keyakinan yang disertai pernyataan berlindung ini mempunyai arti dalam tiga aspek, (1). Aspek kemauan, yang menghendaki adanya kesadaran dan tindakan yang aktif, bukan pasif menunggu berkah dari atas; (2) aspek pengertian, yang menghendaki pemahaman terhadap hakekat perlindungan dan perlunya perlindungan, yang memberikan harapan dan yang menjadi tujuan; (3) aspek perasaan, yang mengandung unsur percaya keiklasan, syukur dan cinta kasih, yang menimbulkan bakti, mendorong pengabdian dan memberikan ketenangan, kedamaian, semangat, kekuatan dan kegembiraan dalam hidupnya.
Buddha memiliki pengaruh religius yang sangat besar pada waktu kehidupannya setelah pencapaian penerangan sempurna. Masuknya lima pertapa teman seperjuangan Sidharta Gautama ahkirnya menjadi pengikut Buddha setelah mendapatkan ajaran tentang kebenaran mulia bahwa fenomena kehidupan ini telah tersimbak dan hanya mereka yang masih memiliki banyak kekotoran batin dapat menikmati dan melaksanakan Dhamma hingga mencapai pembebasan.
Pergi berlindung kepada Buddha mengandung makna menjunjung tinggi Buddha yang diyakini yang telah mencapai penerangan sempurna dengan kekuatan sendiri Paritta Buddhanussati, “Demikianlah Sang Baghava, Yang Maha Suci yang telah mencapai peneranganan sempurna, sempurna pengetahuan serta tidak-tanduk-Nya, sempurna menempuh Sang Jalan (Nibbana), pengenal segenap alam, pembimbing manusia yang tiada taranya, Guru para dewa dan manusia yang sadar (bangun, yang patut dimuliakan)........” mengingat pula bahwa setiap orang mempunyai benih-benih kebuddhaan dalam dirinya dan dapat menjadi buddha. Sebagai perlindungan bukanlah diri pribadi pertapa Gotama, melainkan para buddha sebagai menifestasi bodhi (Kebuddhaan) yang mengatasi duniawi.
Berlindung kepada Dhamma berarti menjunjung tinggi Dhamma yang tiada lain dari kebenaran yang mutlak. Dalam pengertian sebagai hukum yang menguasai atau yang mengatur alam semesta, Dhamma melindungi bagi mereka yang melaksanakan kebenaran. Dhamma sebagai pelindung tidak berupa kata-kata yang tertulis dalam kitab suci atau konsep pemikiran manusiayang masih dicengkarm oleh nafsu duniawi, melainkankesucian, Nibbana yang dicapai pada akhir jalan.
Perlindungan tehadap Sangha yang dimaksudkan adalah menerima dukungan inspirasi serta bimbingan dari mereka yang melaksanakan jalan mulia beruas delapan, Mereka adalah para Bhikkhu Sangha yang telah mencapai tingkat kesucian. Itulah tiga perlindungan yang utama dan yang aman, perlindungan yang nyata dan dapat diandalkan bagi siapapun mahkluk di dunia, maka dari itu temukanlah tiga perlindungan ini dan manfaatkan sehingga penderitaan dapat di ahkirinya dan kebahagiaan tercapai dengan baik. Pernyataan yang memperkokoh perlindungan ini dan meningkatkan rasa keyakinan kepada Sang Tri Ratna adalah syair Paritta Saccakriya Gatha “Tiada perlindungan lain bagiku Sang Buddha–lah sesungguhnya perlindunganku, Tiada perlindungan lain bagiku Sang Dhamma–lah sesungguhnya perlindunganku, Tiada perlindungan lain bagiku Sang Sangha–lah sesungguhnya perlindunganku”.    

G. Kesimpulan
Untuk menjalani kehidupan beragama tentunya kita harus mempunyai suatu keyakinan atau jika secara awam, biasa disebut sebagai iman. Yang dalam Agama Buddha, hal ini sering disebut sebagai Saddha. Keyakinan, kepercayaan yang kita miliki sebagai umat Buddha ini hendaknya jangan sampai menjadi suatu kepercayaan yang membuta, namun harus dilandasi dengan adanya suatu pengertian yang benar.
Oleh karena menyelam/menembus empat kesunyataan mulia ini, orang tidak tahu apa yang baik (kusala) dan tidak baik (akusala), maka orang menjadi menderita. Orang yang belum menembus empat kesunyatan mulia dapat diumpamakan dengan orang buta. Karena tidak dapat melihat, si buta kadang-kadang berada di jalan salah. Suatu ketika ia tiba di tempat tujuannya dan suatu ketika pula ia tersesat sama sekali, meraka yang tidak menembus empat kesunyatan mulia ini berada dalam kegelapan batin (avijja), tidak dapat melihat Jalan yang menuju ke akhir derita. Banyak hal yang tidak dianggap sebagai kebahagiaan oleh mereka, ibarat racun dianggap sebagai obat, maka dari itu mereka menderita. Orang-orang yang batinnya dikeruhkan oleh nafsu-nafsu duniawi sukar untuk mengerti hukum sebab akibat yang saling bergantungan (hukum patticca samuppada). Tetapi sukar, didalam dunia ini masih terdapat makhluk-nakhluk yang batin­nya tidak begitu gelap dan mereka akan mengerti kesunyataan (D.16, S.56.11, M.26).
Jadi, dengan adanya pengertian tersebut jelaslah bagi kita semua jelas menghormati Buddha, Dhamma, dan Sangha (Tiratana) serta para Bodhisattva adalah untuk menambah keyakinan kita dalam menjalani kehidupan sebagai umat Buddha. Itulah salah satu fungsi penghormatan yang telah diajarkan oleh Sang Buddha yang merupakan salah satu dari berkah utama. Seperti yang dapat kita temukan bersama dalam Maégala Sutta bait pertama yang berbunyi sebagai berikut “Asevana ca balanaç, panditanañca sevana; pìja ca pìjaniyanaç, Etamaégalamuttamaé Tidak bergaul dengan orang sesat, bergaul dengan orang bijak, memuja kepada yang patut dipuja; inilah berkah utama(Maégala Sutta. I).
Semoga Semua Makhluk hidup berbahagia terbebas dari segala penderitaan
Sabbe Satta Dukkha Pamucantu, Sabbe Satta Bhavantu Sukhittata.

H. Reffrensi.

......., 1980, Kebahagiaan dalam Dhamma, Majelis Buddhayana Indonesia, Jakarta.
Ingersah, 2002, Hubungan antara Bhikkhu dan umat Buddhis, Vihara Dhamma Metta Arama, Pekan Baru.
Krishnanda Wijaya-Mukti, 2003, Wacana Buddha-Dhamma, Ekayanan Buddhis Centre, Jakarta.
Mulyadi Wahyono, SH , 2002, Pokok – Pokok Dasar Agama Buddha, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta.
Surya Widya pandita Sasanadhaja, 2001, Dhammapada, Abdi Dhamma Indonesia, Jakarta.
Teja S.M. Rashid, 1997, Sila dan Vinaya, Buddhis Bodhi, Jakarta.
Woodrvold Translit, 1989, The Book Of The Gradual Saying’s (Anguttara-Nikaya), Pali Text Society Oxford, London.
Ven. Narada Mahathera, 1998, Sang Buddha dan AjaraNya Bagian I dan II, Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta.
Ven, Piyadassi Mahathera,……..,Theravada Buddhism, Present Situation, W.B.F. Unity Of Diversity, Thailand.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar