BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kemunculan mahayana yang tekah dimulai
setelah sang Buddha parinibana, (544 atau 487 S.M.) pencapaian sepenuhnya pada
abab pertama Masehi. Selama proses yang berlangsung lebih dari tiga atau empat
abab itu, banyak dihasilkan gagasan yang dalam dan bermanfaat yang menyangkut
segi-segi keagamaan, regiusitas, etika maupun metapisika-filosofi yang
berlandaskan pada Dharma Sang Buddha.
Dalam ajaran mahayana memiliki konsep yang
berbeda dalam mencapai pencerahan dengan aliran yang lain, namun satu tujuan
untuk mencapai kebudaan dan tidak terlepas dari inti ajaran buddha yang
sebenarnya. Dalam ajaran mahayana
bertujuan untuk membebaskan semua mahluk hidup melalui praktek Bodhisatva sila
dengan cara menolong semua mahluk agar terbebas dari penderitaan. Kemunculan
mahayana merupakan suatu revolusi cita-cita keselamatan, pembebsan atau tujuan
tertinggi dalam Budha Dharma,Yaitu dari cita-cita Araha dalam Hinayana menjadai
Bodhisatva dalam Mahayana.
Perubahan yang raikal dalam
mencapai cita-cita yang tertinggi,
dari cita-cita keselamatan pribadi (arhat-marga) golongan hinaya,
kecita-cita keselamatan semua mahluk (Bodhisatva-marga). Bodhisatva bertujuan
mencapai tingkat kebudaan sempurna (samyak sangbuddha). Semua mahluk adalah
identik dengan buddha, dan Bodhi (pencerahan spritual) sudah terkadung dalam
diri setiap mahluk. Cita-cita religius dalam Mahayan ini menunjukkan bahwa tak
ada sesyatupun yang tidak dapat dikorbankan oleh Bodhisatva demi kebaikan
mahluk-mahluk lain.
B. Rumusan
masalahan
a.
Mahayana
b.
Aspek
cita-cita
c.
Cita-cita
Bodhisatva
C. Tujuan
Makalah ini disusun bertujuan untuk
memberikan suatu pemahaman atau pengetahuan tentang ajaran mahayana dan
perkembangannya bagi mahasiswa yang belum mengetahui sejarah dan perkembangan
mahayana itu sendiri, dengan adanya makalah ini maka dapat dipelajari dengan
baik hingga memberikan suatu manfaat yang sangat besar bagi kemajuan dalam
perkembangan budha dharma kususnya di kalngan mahasiswa maupun dalam kalangan
masayarakat budhis pada umumnya.
D.
Manfaat
Dengan adanya makalih ini semoga dapar
mendaparkan bermanfaat bagi mahasiswa sekolah tinggi ilmu agama buddha
jinarakkhita, dan dapat digunakan sebaik mugkin untuk menambah peneahun tentang
ajaran hamayana.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Mahayana
Sakya muni Buddha selama membabarkan
Buddha-Dharmma atau ajarannya tidak pernah mengajarkan pada siswanya tentang
sekte atau Aliran/pengelompokan, hal ini perlu dikaetahui oleh kita sebagai
umat buddha atau siswa buddha atau pengikut Budddha.
Ajaran Sakya muni Buddha lazimmnya disebut
Buddha-dharma sering dibabarkan “Yana” di dalam kitab-kitab suci atau
sutra-sutra agama Buddha. Mahayana secara harafiah
Berarti
Maha berarti : besar, luas, agung, diperluas
Yana
berarti : kendaraan, kereta
Mahayana berati kendaraan besar yang mengkut
pengemudinya bersama para penumpangnya mencapai suatu tempat yag dituju
bersama. Ajaran Sakyamuni Buddha membimbing penganutnya mencapai suatu tujuan
suci dan mulia yang dikehendaki oleh para penganutnya. Seperti sebuah kendaraan
besar yang mengagkut pegemudinya bersama-sama para penumpangnya mencapai tempat
yang dituju.
Buddah Dharmma hanya satu yaitu ajaran
Sakyamuni Buddha yang berdasarkan cara atau metode latihan diri untuk menjadi
Buddha (Samyak-sambuddha). Buddha dhramma dibagi dua tingkat sebagai upaya
intuk kemudian memberi bimbingan kepada para siswa atau umat buddha yaitu:
1.
Ajaran
yang membimbing umatnya menjadi arahat pratyeka-Buddaha disebut Hinayana
(ajaran dasar)
2.
Ajran
yang membimbing umatnya menjadai Bodhisatva dan Samyak Sang Buddha disebut
mahayana (Ajaran luas; ajarn ysng diperluas/diperdalam).
Hinaya tidak mencakup mahayana, tetapi
Mahayan amencakup hinayana
Mahayana berperinsip Atmahita dan parahita,
yaitu atmahita (atmahitam)yang berati
berfaedah atau bermanfaat bagi dir sendiri, kesejahteraan diri sendiri.
Parahita (parahitam) yang berarti berfaedah atau
bermanfaat bagiorang banyak, kesejateraan orang banyak.
B. Aspek
cita-cita
Kemunculan mahayana merupakan suatu revolusi
cita-cita keselamatan, pembebsan atau tujuan tertinggi dalam Budha Dharma,Yaitu
dari cita-cita Araha dalam Hinayana menjadai Bodhisatva dalam Mahayana. Perubahan yang raikal dalam mencapai cita-cita yang tertinggi, dari cita-cita keselamatan pribadi
(arhat-marga) golongan hinaya, kecita-cita keselamatan semua mahluk
(Bodhisatva-marga)
Bodhisatva bertujuan mencapai tingkat
kebudaan sempurna (samyak sangbuddha). Semua mahluk adalah identik dengan
buddha, dan Bodhi (pencerahan spritual) sudah terkadung dalam diri setiap
mahluk. Cita-cita religius dalam Mahayan ini menunjukkan bahwa tak ada
sesyatupun yang tidak dapat dikorbankan oleh Bodhisatva demi kebaikan
mahluk-mahluk lain.
C. Cita-cita
Bodisatva
Siapa memuji nama kebesaranKu, jika Aku tidak
dapat menyeberangkan ke Sorga Sukhavati. Aku tidak akan mau menjadi Buddha.
(Amitabha Buddha).Jika ada yang menyebut namaKu, Aku tidak bisa menolong, Aku
tidak mau menjadi Buddha. Jikalau dalam kesukaran, dengan sujud memuja namaKu.
Aku akan segera memperhatikan suara mereka, terbebaslah penderitaannya. (Avalokitesvara
Bodhisattva). Jika neraka belum kosong, Aku belum mau memperoleh kesempurnaan
(Samyaksambuddha). Kstigarbha Bodhisattva). Tubuh yang terdiri dari darah dan daging ini, akan Kupergunakan untuk
kebaikan dan kesejahteraan dunia (Sri Sanghabodhi)
Untuk melaksanakan tercapainya tujuan akhir di dalam agama Buddha ada
tiga bentuk penerangan (Bodhi), yaitu :
·
Sravaka Bodhi
·
Pratyeka Bodhi
·
Samyaksambodhi
Salah satu dari ketiga bentuk
penerangan (Bodhi) tersebut dapat diperoleh oleh seorang siswa sesuai dengan
sifat watak siswa tersebut.
Sravaka
Bodhi ialah penerangan yang diperoleh seorang siswa, setelah berhasil mendapatkan
penerangan ia disebut dengan sebutan Arahat. Seorang yang bercita-cita ingin
menjadi Arahat biasanya mencari bimbingan cari seorang guru yang lebih tinggi
tingkat penerangannya. Sedikit saja penjelasan dari guru yang mahir sudah cukup
bagi seorang yang sudah maju batinnya untuk bisa mengerti jalan penerangan itu.
Sariputra
misalnya, mencapai tingkat kesucian yang pertama hanya dengan mendengar
setengah bait saja dari kotbah Arahat Assaji. Patacara yang sedang dirundung
kesedihan, karena ditinggalkan oleh semua orang yang cintainya, mencapai tingkat
Arahat dengan memperhatikan air yang dipakai untuk membasuh kakinya.
Kisagotami, yang memaksa Sang Buddha untuk menghidupkan kembali bayinya yang
meninggal, mencapai tingkat kesucian dengan memperhatikan sebuah lampu yang
akan segera padam. Cula Phantaka yang dalam waktu empat bulan tidak juga dapat
menghapal sebait kotbah, mencapai tingkat Arahat dengan bermeditasi pada sifat
ketidakkekalan dari sebuah sapu tangan bersih yang digenggam dalam tangannya
sambil disinari matahari.
Dalam
membina dirinya, tidak ada sedikitpun sifat mementingkan diri sendiri dan
bercita-cita untuk memperoleh Sravaka Bodhi, menjadi Arahat. Karena tingkat
Arahat pada hakekatnya hanya dapat dicapai dengan melenyapkan habis semua
sifat-sifat yang menyenangkan nafsu-nafsu inderawi, khayalan tentang diri
pribadi dan egoisme, yang sesungguhnya merupakan belenggu yang harus diputuskan
untuk dapat mencapai tingkat Arahat. Seseorang mencapai tingkat Sravaka Bodhi
disebut juga melenyapkan habis belenggu-belenggu duniawi dan memasuki alam ketenangan
abadi (Nirvana).
Pratyeka
Bodhi ialah penerangan sempurna yang dicapai oleh seorang yang sudah maju
perkembangan batinnya, yang berhasil mencapai tujuan akhir dengan usahanya
sendiri tanpa bantuan siapapun, dengan merenungkan kondisi sebab musabab Hukum
Saling Bergantungan). Orang suci seperti ini disebut Pratyeka buddha, karena ia
hanya mengembangkan/membina diri dengan hukum saling bergantungan, maka ia
tidak mampu (tidak mempunyai kesempatan) untuk membabarkan Dharma yang telah
diketemukannya sendiri dalam usaha menyucikan dan menolong orang-orang lainnya.
Walaupun demikian, melalui sikap dan tingkah laku, ia telah mengajarkan tata
susila yang benar kepada kita semua, mengajarkan Dharma tidak didasari oleh
kehendak menolong.
Pratyeka
Buddha hanya muncul pada masa-masa ajaran Samyaksambuddha sudah tidak ada lagi.
Jumlah mereka tidak terbatas hanya satu saja pada suatu waktu tertentu, tetapi
dapat juga lebih dari satu, maka agak berbeda dengan jumlah Samyaksambuddha
yang jumlahnya hanya ada satu saja dalam satu kalpa. Sekarang ini, walaupun
Sakyamuni Buddha (Buddha Gautama) telah Parinirvana, namun kita masih tetap
hidup dalam era Kebuddhaan Sakyamuni, karena ajaran Beliau tetap ada. dengan
demikian tidak akan ada Pratyeka Buddha yang akan muncul dalam masa ini. Untuk
mengenal lebih dalam lagi tentang Pratyeka Buddha yang akan muncul dalam masa
ini, marilah kita lihat Khaggavisana Sutra dari Sutra Nipata, dapat kita
temukan uraian yang indah dari beberapa Pratyeka Buddha sebagai berikut :
1.
Dengan membuang alat pemukul makhluk jauh-jauh, tidak
melukai siapapun juga, janganlah merindukan anak-anak dan kawan-kawan, tetapi
mengembaralah seorang diri, bagaikan seekor badak.
2.
Rasa rindu muncul karena kemesraan dan akhirnya
menghasilkan kesedihan, menyadari bahaya dari rasa rindu ini, maka
mengembaralah seorang diri, bagaikan seekor badak.
3.
Nilai persahabatan memang harus dipuji dan sudah
selayaknyalah seseorang bergaul dengan orang yang sama baiknya, atau lebih baik
dari dirinya. Bila kawan yang demikian tak dapat ditemukan, maka tempuhlah
jalan kehidupan yang tak tercela dan mengembaralah seorang diri, bagaikan
seekor badak.
4.
Beraneka ragam, manis dan indah adalah sifat
kesenangan duniawi. Diam bentuknya yang bermacam-macam semuanya sangat memikat
hati, namun setelah menyadari ancaman bahaya yang timbul dari padanya, orang
bijaksana akan mengembara seorang diri, bagaikan seekor badak.
5.
Dingin dan panas, lapar, haus, angin, matahari, nyamuk
dan ular, atasilah semuanya itu dan mengembaralah seorang diri, bagaikan seekor
badak.
6.
Bagaikan seekor singa yang tidak gemetar mendengar
suara apapun, bagaikan angin yang tidak terjerat oleh lubang jala, bagaikan
bunga teratai yang tidak ternoda oleh lumpur, ia mengembara seorang diri
bagaikan seekor badak.
7.
Pada saat yang tepat mengembangkan perasaan cinta
kasih, ketenangan, belas kasihan, ketidakterikatan, rasa simpati dan dengan
tidak dihalangi oleh dunia, ia mengembara seorang diri bagaikan seekor badak.
Samyaksambodhi
ialah
penerangan yang paling agung, yang dapat diperoleh oleh seorang yang telah
matang perkembangan batinnya, tidak terbatas rasa cinta kasih dan kasih sayang
terhadap semua makhluk hingga pengetahuan menjadi sempurna. Seorang yang telah
berhasil mencapai tingkat penerangan ini disebut Samyaksambuddha, yang berarti
seorang yang telah mencapai penerangan sempurna berkat usahanya sendiri.
Samyaksambuddha tidak hanya memahami Dharma dengan usaha dan kebijaksanaannya
sendiri, tetapi ia juga mempunyai kemampuan untuk membabarkan Dharmanya kepada
orang yang sungguh-sungguh mencari kebenaran untuk menyucikan dan menyelamatkan
para makhluk dari perputaran roda kematian dan kelahiran yang sangat mengerikan
ini. Agak berbeda dengan halnya pada Pratyeka Buddha, maka pada suatu waktu
tertentu hanya ada satu Samyaksambuddha saja, seperti juga pada pohon-pohon
tertentu yang hanya terdapat sekuntum bunga saja yang sedang mekar.
Orang-orang
yang bercita-cita untuk mencapai tingkat Samyaksambuddha disebut Bodhisattva.
Cita-cita Bodhisattva ini adalah cita-cita yang paling terindah dan murni
dibandingkan dengan cita-cita apapun juga yang ada didunia ini atau mungkinkah
ada cita-cita lain yang lebih mulia dari cita-cita untuk hidup suci (melayani
semua makhluk), rela berkorban demi kebahagiaan semua makhluk?
Barangsiapa
didalam pengembaraannya dilingkaran tumimbal lahir ini ingin melayani sesamanya
dan bercita-cita mencapai kesempurnaan dengan menghayati Jalan Bodhisattva,
seyogyanya berjuang dengan keras untuk mencapai tingkat Samyaksambuddha,
dikarenakan cita-cita ingin berjuang untuk memperoleh tingkat Samyaksambuddha
adalah cita-cita perjuangan yang terluhur demi kebahagiaan semua makhluk dan
jalan inilah yang ditempuh oleh para Bodhisattva, sehingga para Bodhisattva
lebih dikenal jasanya dari Arahat.
Kritik-kritik
tentang perselisihan paham yang menyatakan bahwa cita-cita Bodhisattva
berkembang sesudah parinirvananya Sakyamuni Buddha, lebih-lebih disebutkan
sebagai menentang kecenderungan mengasingkan diri dalam menjalankan kehidupan
suci, sesungguhnya hanyalah merendahkan nilai dari para Samyaksambuddha yang
menyuluhkan Jalan Kesunyataan (Buddha Dharma) dan melaksanakan Jalan
Bodhisattva.
Sakyamuni
Buddha dalam kehidupanNya telah menganjurkan dan memberi fatwa kepada 60 siswa
Arahat yang telah mencapai kesempurnaan (Sravaka Bodhi). Sang Buddha bersabda :
"Aku telah terbebas dari semua
ikatan, baik yang bersifat batin maupun yang bersifat jasmani, demikian pula
kamu sekalian. Aku telah menyerangkan Kesunyataan Dharma kepada kalian.
Kesunyataan Dharma akan memancarkan cahayanya apabila disebarluaskan. Wahai
para Bhiksu, demi keberuntungan umat manusia, atas dasar cinta kasih terhadap
para makhluk, demi kesejahteraan dan keselamatan dunia, pergilah kalian
mengembara kesegenap arah. Janganlah ada diantara kalian yang pergi berdua ketempat
yang sama. Ajarkanlah Dharma yang indah pada awal, indah pada pertengahan dan
indah pada akhirnya. Ajaran suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam
teori dan prakteknya. Manusia didunia ini masih banyak yang kedua matanya
tertutup oleh debu kekotoran duniawi. Bila mereka tidak mendengar Kesunyataan
Dharma, mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh manfaat yang besar
dalam penghidupan ini dan membina diri untuk mencapai pembebasan sejati
(Nirvana)."
Dari ayat
tersebut, kita dapat menarik kesimpulan para Arahat pun dianjurkan oleh Sang
Buddha untuk menjalankan Bodhisattvayana.
Seseorang
yang telah mencapai tingkat Samyaksambodhi, sudah pasti memperoleh 2 (dua)
kesempurnaan yaitu :
- Maha makmur, kekayaan sebagai manusiawi yang berlimpah-limpah dan sempurna. Misalnya : Bodhisattva Sidharta dilahirkan sebagai putera mahkota yang memiliki kesempurnaan sebagai manusia
- Maha Prajna, kesempurnaan pembebasan sejati yang memiliki maha tahu, maha mengerti dan tidak terikat lagi oleh kondisi duniawi.
Abhisamayalankara
Sastra dalam bahasa Sansekerta merupakan uraian dari Prajna Paramita,
diungkapkan sebagai berikut. Para siswa (Sravakas) yang telah mencapai kedua
jenis penerangan (Sravaka dan Pratyeka Buddha) baik dengan maupun tanpa sisa,
pikirannya masih dicengkeram oleh rasa cemas disebabkan belas kasihannya dan
kebijaksanaannya yang tinggi (Uru karuna Prajna Vaikalyana). Setelah
berhentinya norma-norma kehidupan yang dihasilkan oleh gaya-gaya penghidupan
sebelumnya, sesungguhnya pencapaian Nirvana adalah mungkin, tapi kenyataannya
(bagi orang-orang suci Hinayana) hanya mencapai bayangan Nirvana saja yang
disebut sebagai Nirvana yang menyerupai padamnya cahaya. Kelahirannya dalam
ketiga jenis alam kehidupan berakhir, tapi setelah berakhirnya kehidupan keduniawian
ini, para Arahat itu sesungguhnya dilahirkan kembali didalam lingkungan yang
sangat murni, berprikehidupan yang tak ternoda (Anasravadhatu), dalam keadaan
tenang yang abadi, penuh keseimbangan, tiada Dukha dan Sukha, tiada dualisme,
dikarenakan tiada dualisme, maka disebut memperoleh ketenangan yang abadi. Akan
tetapi jika tidak disertai perbuatan, maka tidak akan membawa manfaat (tidak
berguna) bagi makhluk-makhluk lainnya oleh karena itulah, maka golongan
Mahayana mengumpamakan golongan Hinayana sempurna tidak berguna. Nirvana,
kosong belaka. Akan tetapi jika para Arahat yang tertidur dalam lautan Nirvana
(Alam keseimbangan), bangkit perasaannya dikarenakan melihat penderitaan
makhluk-makhluk didalam semesta, maka lahirlah mereka kealam semesta hanya
dengan satu keinginan yaitu menolong semua makhluk-makhluk agar bebas dari
penderitaan, kebodohan dan keterikatan dari inderawi. Arahat yang datang
kembali itulah dapat disebut juga sebagai Bodhisattva.
Catatan : Pengertian datang keduniawi, bukan harus berarti tumimbal lahir dialam yang tiada kekal ini.
Catatan : Pengertian datang keduniawi, bukan harus berarti tumimbal lahir dialam yang tiada kekal ini.
Bodhisattva
dilahirkan kembali kealam semesta ini dikarenakan bangkitnya perasaan Maha
Maitri Maha Karunanya dan atas kemauan sendiri. Berbeda dengan kita, tumimbal
lahir lagi disebabkan karena perbuatan kita, dorongan karma buruk/akar
keburukan yang lampau.
Dilihat oleh
sementara orang, Bodhisattva dilahirkan lagi adalah penderitaan, masuk dalam
hukum ketidakkekalan (Dukha, Anitya, Anata). Akan tetapi pada hakikinya
tidaklah demikian, Bodhisattva dilahirkan kembali berdasarkan kemauan sendiri
(dorongan cinta kasih dan kasih sayang), dan tahu akan manfaat kelahiran
kembalinya itu, yaitu demi kebahagiaan sesamanya, untuk melaksanakan
parami-parami. Oleh karena Bodhisattva dilahirkan atas kemauan sendiri, maka
pada kelahiran-kelahiran Bodhisattva tersebut selalu diserta
keajaiban-keajaiban misalnya keajaiban-keajaiban yang ditemukan pada diri
Siddharta
Walaupun
para Bodhisattva lahir kealam semesta ini dengan satu tujuan yang sama, yaitu
demi menolong semua makhluk agar bebas dari penderitaan, bebas dari kebodohan
dan keterikatan dari inderawi, tetapi para Bodhisattva itu mempunyai kemampuan
yang berbeda-beda sesuai dengan keadaannya. Oleh karena itu, maka para
Bodhisattva dilahirkan dialam semesta dengan aneka macam perwujudan sesuai
dengan keadaan dan kemampuannya itu pula, yaitu adanya Pra Bodhisattva dan Dasa
Bhumika Bodhisattva.
Istilah
Bodhisattva terdiri dari kata Bodhi yang berarti kebijaksanaan atau penerangan,
dan sattva yang berarti bakti atau mempunyai maksud untuk menjadi Buddha. Jadi
Bodhisattva berarti seseorang yang membaktikan dirinya pada kebijaksanaan
(penerangan) atau seseorang yang berkeinginan untuk mencapai penerangan atau
kebijaksanaan tertinggi. Sedangkan bentuk kata yang asli dalam bahasa
Sansekerta seharusnya Bodhisakta, tetapi istilah yang populer ialah
Bodhisattva, yang berarti makhluk bijaksana, makhluk yang bercita-cita menjadi
Buddha, makhluk yang penuh kesadaran, cinta kasih dan kasih sayang. Istilah ini
umumnya ditujukan pada seseorang yang sedang berjuang untuk mencapai
penerangan, tapi dalam arti yang lebih tepat, istilah ini sesungguhnya harus
ditujukan pada seorang yang sudah mencapai tingkat penerangan yang tinggi,
Samyaksambuddha.
Dalam
pengertian lain, semua orang dapat dikatakan mempunyai kemampuan untuk menjadi
Buddha, sebab tingkat Kebudhaan bukanlah suatu keistimewaan yang khusus
dianugerahkan pada seseorang raja.
Perlu
dicatat bahwa Buddhisme tidak percaya akan adanya unsur keilahian dalam dirinya
yang berasal dari Sang Pencipta, tetapi mereka yakin adanya Tuhan Yang Maha Esa
dan menyadari sepenuhnya akan adanya bakat-bakat keajaiban dan kekuatan yang
kreatif dari manusia (Jalan Ketuhanan).
Budhisme
juga meniadakan pandangan tentang adanya jiwa yang kekal, yang dapat pindah
dari kehidupan yang satu kehidupan yang lain, karena menurut Buddhisme yang ada
ialah jiwa yang senantiasa berubah, intipati dari manusia yang merupakan arus
kehidupan yang dinamis.
Sebagai
manusia, Pangeran Siddharta dengan kemauannya sendiri, kebijaksanaan dan cinta
kasihNya, telah berhasil mencapai tingkat Kebuddhaan, suatu keadaan yang paling
sempurna yang bisa dicapai oleh semua makhluk dan kemudian Beliau telah
membabarkan pula kepada umat manusia jalan satu-satunya untuk sampai kepada
segala yang telah dicapai olehNya. Salah satu ciri khas dalam ajaran Buddhisme
ialah setiap orang boleh bercita-cita untuk mencapai apa yang telah dicapai
oleh gurunya dan bisa mencapai cita-citanya itu apabila ia sungguh-sungguh
berjuang. Sang Buddha tidak pernah memonopoli tingkat Kebuddhaan, sebab sifat
semacam ini tidaklah sesuai dengan perkembangan yang sesungguhnya terjadi.
Semua orang bisa menjadi Buddha dengan usahanya dendiri tanpa bantuan siapapun
juga.
Sang Buddha
tidak pernah mengutuk bahwa manusia sejak mulanya telah dibekali dosa, tetapi
sebaliknya Beliau mengemukakan bahwa pada mulanya hati manusia adalah murni.
Sang Buddha
tidak menakut-nakuti dan menciptakan rasa rendah diri didalam hati para
pengikutNya atau hanya menganjurkan mereka untuk memuja keluhuran Buddha untuk
diri Beliau saja, bahkan sebaliknya Beliau justru menganjurkan dan memberi
petunjuk jalan pada pengikutNya untuk mencapai apa yang telah dicapai oleh
Beliau.
Seorang
pra-Bodhisattva tidaklah perlu harus seorang yang beragama Buddha. Memang kita
bisa menemukan Bodhisattva-Bodhisattva yang penuh dengan cinta kasih dikalangan
penganut agama Buddha, walaupun mereka sendiri sesungguhnya belum sadar akan
cita-cita yang mulia itu, namun disamping itu kitapun bisa menemukan
pra-Bodhisattva yang sama pada pemeluk agama lainnya.
Tanpa adanya para Bodhisattva, tidak akan adanya para Buddha
(Samyaksambuddha), tiadanya Samyaksambuddha sudah pasti tidak akan ada agama
Buddha. Seperti telah dikatakan oleh
seorang penulis, Prof. Dr. D.T. Suzuki. Mahayana benar-benar berdiri pada dua
kaki: Prajna dan Karuna, yang sangat idealis dan mencakup seluruh kasih sayang
untuk semua makhluk, yang hidup dan juga yang mati."
Didalam Mahayana mencapai kebijaksanaan yaitu untuk mempelajari
perasaan kasih demi orang lain (Bodhisattva). Apakah manfaatnya dalam mencapai
penerangan sempurna untuk diri sendiri?, tanya Mahayana. Kalau bukan untuk
menolong yang lainnya demi kebahagiaan semua makhluk. Penerangan Sempurna
individual bukanlah cita-cita dari Mahayana. Maha Makmur
Diperoleh dengan melaksanakan Dana Paramita.
Diperoleh dengan melaksanakan Dana Paramita.
1.
Mengajarkan agar para makhluk-makhluk dari kebodohan,
kesalahan, kegelapan, menasehati orang agar berbuat baik dan berguna bagi
masyarakat.
2.
Mengorbankan harta benda sendiri, untuk orang yang
membutuhkan
3.
Mengorbankan tenaga dan pikiran demi kebahagiaan orang
lain.
4.
Memberi contoh-contoh yang baik dan mencegah orang
berbuat jahat.
5.
Mengajarkan agar semua makhluk berbuat baik.
Maha Prajna diperoleh dengan
melaksanakan Prajna Paramita :
1.
Banyak belajar, bergaul/berkumpul dengan para
bijaksana
2.
Selalu mawas diri, dan setiap saat merenungkan sebab musabab dari segala sesuatu yang terjadi.
3.
Berusaha melakukan setiap perbuatan dengan penuh
keseimbangan.
4.
Melihat perbuatan sendiri, dan merenungkannya.
Sebagai
dasar permulaan, harus melaksanakan Brahma Vihara.
MaitriCinta KasihKaruna Kasih SayangMudita Tenggang Rasa Upekha Penuh KeseimbanganPara Bodhisattva selalu berpegangan pada Sad Paramita sebagai landasan dari perbuatannya.)
MaitriCinta KasihKaruna Kasih SayangMudita Tenggang Rasa Upekha Penuh KeseimbanganPara Bodhisattva selalu berpegangan pada Sad Paramita sebagai landasan dari perbuatannya.)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bodhisatva bertujuan mencapai tingkat
kebudaan sempurna (samyak sangbuddha). Semua mahluk adalah identik dengan
buddha, dan Bodhi (pencerahan spritual) sudah terkadung dalam diri setiap
mahluk. Cita-cita religius dalam Mahayan ini menunjukkan bahwa tak ada
satu pun
yang tidak dapat dikorbankan oleh
Bodhisatva demi kebaikan mahluk-mahluk lain.
Seorang Boddhisatva sebelum menjadi Buddha
harus menyempurnakan Paramita terlebih
dahulu, Dalam
membina dirinya, tidak ada sedikitpun sifat mementingkan diri sendiri dan
bercita-cita untuk memperoleh Sravaka Bodhi, menjadi Arahat.
Karena
tingkat Arahat pada hakekatnya hanya dapat dicapai dengan melenyapkan habis
semua sifat-sifat yang menyenangkan nafsu-nafsu inderawi, khayalan tentang diri
pribadi dan egoisme, yang sesungguhnya merupakan belenggu yang harus diputuskan
untuk dapat mencapai tingkat Arahat. Seseorang mencapai tingkat Sravaka Bodhi
disebut juga melenyapkan habis belenggu-belenggu duniawi dan memasuki alam
ketenangan abadi (Nirvana).
B. SARAN
Pendidikan sangatlah penting apalagi pada
zaman modern saat sekarang ini. Karena dengan pendidikan seseorang dapat merubah daya pikir
dan memiliki keterampilan sesuai dengan bidang masing-masing. Setelah pembaca
membaca hasil makalah yang tentunya masih banyak kekurang ini tentunya memiliki
sedikit gambaran tentang cita-cta
seorang Boddhisatva untuk menjadi Budha
sehingga dapat ditularkan kepada masyarakat pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Jo Priastana
Dhammasukha 1999, Pokok-Pokok Dasar Mahayana, penerbit yayasan jakarta:
Yasodara Putri
http://start.facemoods.com/sesults.php?categori=cita-cita+Bodhisatva
Tidak ada komentar:
Posting Komentar