MEMBANGUN KEPERCAYAAN DIRI
Dewasa ini banyak orang yang mengalami depresi atau turun akan
kepercayaan dirinya, hal itu memang bukan tanpa alasan, tetapi merupakan
rentetan panjang dari kondisi nasional atau musibah negara. Krisis moneter yang
hingga kini belum kunjung akan kepulihannya, telah berdampak luas pada
kelangsungan dan perkembangan perekonomian rakyat, berbagai musibah internal,
yaitu perselisihan antar agama, suku, daerah dan kelompok belum juga terlihat
akan penyelesaiannya. Sehingga banyak orang selalu dicengkeram oleh kecemasan,
kekhawatiran, bingung dan ujung-ujungnya adalah lesu tidak punya semangat
hidup. Mau bisnis takut, tidak bisnis cemas akan kebutuhan hidupnya.
Inilah di antaranya beberapa faktor umum yang mengakibatkan orang
mengalami depresi pada dewasa ini. Dalam uraian ini akan saya bahas
faktor-faktor dasar yang menyebabkan seseorang akan kepercayaan dirinya, yaitu
:
1.
Faktor keluarga. Keluarga adalah tempat
yang pertama bagi kita untuk memperoleh pelajaran berbagai macam dan seluk beluk
atau sendi-sendi kehidupan. Oleh karena itu, keluarga mempunyai pengaruh yang
sangat besar dalam pertumbuhan dan perkembangan psikologi atau mental dan
jasmani seseorang. Masih banyak orang yang tidak begitu peduli atau menaruh
perhatian pada keluarganya sehingga dalam aktivitas sehari-harinya ia bertindak
kasar, misalnya suami terhadap istri atau sebaliknya istri terhadap suami,
mertua, keponakan, dan famili lainnya. Selalu ringan tangan, berucap menyakiti
dan menekan serta selalu berfikir pada hal-hal yang buruk, menyeramkan dan
menakutkan.
Padahal perbuatan seperti itu akan
terserap erat dalam batin atau sabsadar seseorang dan akan membentuk mental
serta kepribadian seseorang sebagai anggota keluarganya. Kalau setiap saat ia
dihadapkan pada situasi yang seperti di atas, sudah tentu perkembangan dan
pertumbuhan mental seseorang akan tertekan, mudah depresi, putus asa, frustasi,
minder dan takut karena tidak pernah terisi oksigen yang menyegarkan tetapi
selalu dihantui kekalutan pikiran.
Maka berbahagialah ! Apabila
seseorang hidup dalam keluarga yang harmoni. Sebab kondisi seperti ini akan
sangat mendukung terbentuknya mental dalam pertumbuhan dan perkembangan untuk
menciptakan kepribadian seseorang yang baik. Karena sentuhan, cinta kasih,
kasih sayang, keakraban, toleransi, dedikasi, kearifan dan kebijaksanaan akan
selalu menghiasi dalam perjalanan kehidupannya. Kondisi seperti inilah yang
dapat menumbuhkan kepercayaan diri, karena bebas dari tekanan dan justru selalu
dimotivasi dengan pengertian benar.
Keluarga yang harmoni adalah bukan
semata-mata keluarga yang tidak pernah kekurangan materi atau keluarga yang
kaya-raya, selalu kita sebut itu adalah keluarga harmoni. Sebab tidak mustahil
justru keluarga yang sederhana itulah yang harmoni. Secara pengertian Dhamma
bahwa keluarga yang mengerti dan mempraktikkan Buddha Sasana dalam aktivitas
sehari-harinya.
2.
Faktor pendidikan. Dalam strata
kehidupan bermasyarakat pendidikan formal sering menjadi tolok ukur dalam
memberikan penilaian kepada seseorang. Maka tidak heran bila mana orang menjadi
minder karena pendidikannya yang kurang memadai tetapi kita harus ingat bahwa
kualitas batin seseorang tidak bisa kita lihat hanya karena pendidikannya,
kemudian kita memberi penilaian kepadanya bahwa dia adalah baik dan dia buruk.
Bagaimana dengan para provokator yang kerjaannya mengadu domba masyarakat,
hingga berjatuhan korban yang tidak terhitung, padahal ia adalah orang yang
berpendidikan bukan tidak berpendidikan, ia tidak akan tahu tentang dunia
politik. Apakah ia adalah orang baik padahal mereka merugikan, menyakiti dan
menjerumuskan orang lain dalam kegelapan atau kehancuran. Pendidikan formal
adalah penting tetapi tidak kalah penting adalah pendidikan moralitas. Para
bijak mengatakan demikian : lebih baik tidak berpendidikan tinggi asalkan
memiliki moralitas, karena orang yang berpendidikan tinggi tetapi tidak
memiliki moral yang baik akan sangat berbahaya dibanding orang yang tidak tidak
berpendidikan tetapi mempunyai moral yang baik.
3.
Faktor kedudukan. Pengertian kedudukan
secara umum adalah suatu jabatan bahwa kita harus memiliki atau memangku suatu
jabatan dalam bermasyarakat atau berorganisasi. Memang apabila kita melihat
suatu tugas adalah suatu kehormatan karena kita dipercaya oleh masyarakat atau
orang lain sehingga kita merasa dipandang dan ditempatkan di tempat yang layak
sebagai orang yang memiliki arti dalam bermasyarakat. Tetapi kita harus sadar
bahwa kita dihormati dan diberi kepercayaan itu bukan karena kedudukannya,
melainkan tingkah lakunya, yaitu karena kita memiliki dedikasi yang adil,
toleransi, arif dan bijaksana. Banyak orang atau pejabat yang justru dihina
dicacimaki dan dilecehkan karena perbuatannya yang tidak benar.
Maka di sini jelas, walaupun kita
tidak memangku suatu jabatan apapun apakah dalam hidup bermasyarakat atau
berorganisasi, kita tidak perlu rendah diri asalkan kita memiliki moralitas
yang baik, maka sesungguhnya kedudukan itu akan datang dengan sendirinya tanpa
harus kita cari. Kita akan dihormati, ucapan kita akan didengar, petunjuk kita
akan dilaksanakan dan namanya akan dikenal dalam masyarakat, itulah kedudukan
yang sesungguhnya yang akan mengikuti kita sampai akhir hayat.
4.
Faktor pengertian ajaran agama.
Masyarakat bangsa Indonesia adalah masyarakat yang agamis yang artinya semua
orang beragama. Tetapi dewasa ini, orang salah mengerti tentang arti beragama.
Agama adalah pedoman, tuntunan dan petunjuk hidup. Orang beragama bagaikan
orang sakit yang harus minum obat secara benar dan tidak over dosis. Bagaimana
bila orang minum obat over dosis ia akan tambah parah sakitnya dan bisa-bisa
mati. Demikian orang beragama salah mengerti ajarannya akan menghancurkan
kehidupannya sendiri atau orang lain. Kondisi seperti ini yang membuat orang
menjadi enggan beragama.
Inilah empat faktor yang mendasari turunnya kepercayaan diri dan
untuk membangkitkan kepercayaan diri, kita harus meningkatkan keharmonisan
keluarga, ketrampilan sesuai kemampuan, menjaga moralitas yang baik dan
memahami Buddha Sasana dengan benar. Maka dengan empat faktor ini pula kita
membangun kepercayaan diri.
Perkawinan dalam pandangan Agama Buddha tidak dianggap sebagai
sesuatu yang suci atau sesuatu yang tidak suci. Setiap pria dan wanita
mempunyai kebebasan untuk memilih cara hidupnya masing-masing: menikah atau
tetap membujang. Dengan demikian menunjukkan bahwa perkawinan bukan semata-mata
kewajiban beragama yang harus dipatuhi.
Bila suami-istri membangun lembaga perkawinan itu dengan baik
berdasarkan Dhamma, maka perkawinan akan menjadi mangala —berkah kebahagiaan— dalam
kehidupan. Bahkan tingkat-tingkat kesucian pun tidak tertutup bagi mereka yang
telah memilih cara hidup berkeluarga. Namun sebaliknya, bila perkawinan
dilakukan tanpa dasar yang kokoh, maka lembaga perkawinan akan menjadi jalan
mempercepat ke neraka.
Dhamma sebagai jalan —Niyyanika Dhamma atau Patipatti Dhamma— memberikan
tuntunan bagi semuanya dalam cara hidup yang berbeda: hidup kebhikkhuan dan
berumah tangga. Tetapi, meskipun cara hidup mereka berbeda, Dhamma membawa
kedua-duanya untuk menempuh tujuan perjalanan yang sama, yaitu kebahagiaan
tertinggi atau kebebasan dari penderitaan.
Tanggung Jawab Bersama
Cukup banyak khotbah Sang Buddha yang
menunjukkan dengan sangat terinci tentang praktek kehidupan benar dalam
membangun dan mengisi lembaga perkawinan itu. Sigalovada
Sutta —yang menunjukkan kewajiban hidup bermasyarakat, termasuk
kewajiban suami-istri dan orangtua-anak— harus menjadi pegangan dalam hidup
bermasyarakat. Demikian juga dalam Samajivi Sutta,
Sang Buddha sendiri meletakkan dasar-dasar
perkawinan harmoni:
"Para bhikkhu, bila suami dan istri mengharapkan
dapat saling bertemu dalam kehidupan sekarang ini dan dalam kehidupan yang akan
datang, keduanya hendak menjadi orang yang memiliki keyakinan (saddha) yang sebanding, memiliki tata-susila (sila) yang sebanding, memiliki kemurahan-hati (caga) yang sebanding, dan memiliki kebijaksanaan (panna) yang sebanding. Suami dan istri yang demikian
itu tentulah dapat saling bertemu dalam kehidupan sekarang ini dan dalam
kehidupan yang akan datang".
Kehidupan harmoni tidak dapat dituntut hanya dari sepihak. Baik
suami maupun istri dan juga anak-anak mereka, mempunyai kewajiban moral dalam
membangun keluarga harmoni.
Berbicara tentang perkawinan sesungguhnya bukan hanya semata-mata
menyoroti porsoalan cinta, seks dan kebahagiaan berpasangan, tidak kalah
pentingnya adalah hubungan timbal balik antara pasangan suami-istri sebagai
orangtua kepada anak-anak mereka. Anak adalah bagian dari keluarga. Mereka
adalah tumpuan harapan orangtua, pembawa kebahagiaan, tetapi juga sebaliknya,
bisa menjadi salah satu sumber bencana dalam rumah tangga.
Aspek Moral Dan Sosial
Ekonomi
Sebagaimana judul artikel ini —Harmoni Perkawinan— akan saya titik
beratkan pada bahasan tentang sikap mental yang mendasari keharmonian itu.
Dalam Sigalovada
Sutta, Sang Buddha menjelaskan
tentang jalinan kewajiban suami-istri sebagai berikut:
"Wahai perumah tangga muda, dalam lima hal seorang suami harus
berlaku terhadap istrinya:
1.
|
memuji dan mempererat hubungan
|
2.
|
menghargai
|
3.
|
setia
|
4.
|
memberikan peranan kepadanya
|
5.
|
memberikan pakaian dan perhiasan
|
Dalam lima hal pula seorang istri memperlakukan suaminya dengan
kasih sayang:
1.
|
mengurus rumah tangga dengan baik dan bertanggung jawab
|
2.
|
ramah terhadap mertua dan sahabat-sahabat suaminya
|
3.
|
setia
|
4.
|
melindungi penghasilan suami (tidak boros)
|
5.
|
rajin dan pandai melaksanakan tugas-tugasnya".
|
Kewajiban yang diuraikan dalam Sigalovada Sutta tersebut menuntut pasangan
suami-istri untuk berlaku benar dalam hal moral dan kebutuhan sosial ekonomi.
Di atas kedua dasar ini lembaga perkawinan akan kokoh berdiri membawakan
keharmonian dan kesejahteraan. Tidak ada tawar-menawar untuk keduanya, sebab
kalau diabaikan maka keduanya akan menjadi sumbu penyulut pertengkaran dan
kehancuran keluarga.
Sumber Percekcokan
Suami yang menjaga moral (sila) dengan baik, tetapi mengabaikan kebutuhan
sosial ekonomi keluarga, akan menjadikan keluarga itu hidup dalam kekurangan,
bahkan kemiskinan. Hal ini mudah sekali menimbulkan seribu satu macam persoalan
yang kemudian menyulut api percekcokan.
Demikian juga bila pasangan suami-istri tidak kekurangan, bahkan
berlebihan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial ekonomi, tetapi salah satu
atau keduanya tidak memiliki moral dengan baik, maka tidak mungkin juga mereka
akan menikmati suasana harmoni dan buah kebahagiaan. Keluarga seperti ini
ibarat pohon yang sarat berbuah tetapi akarnya tidak kuat karena mulai
digerogoti hama atau penyakit.
Cinta Kasih Sebagai Kunci
Agama Buddha mencita-citakan keluarga harmoni sebagai keluarga
bahagia dan sejahtera. Keluarga bahagia ini dihargai sebagai berkah utama, yang
merupakan salah satu kondisi penting, yang memungkinkan seseorang mencapai
kemajuan.
Kalau kita kaji lebih dalam, sampailah kita pada kesimpulan bahwa
dasar hakiki keharmonian adalah cinta kasih. Bukan saja kewajiban yang
disebutkan dalam Sigalovada
Sutta tersebut bersumber pada cinta kasih antara suami dan istri,
tetapi hampir semua orang yakin, bahwa cinta kasih itu yang membuat seseorang
bertanggung-jawab dalam membangun dan memelihara keluarga harmoni.
Tetapi perlu diingat bahwa cinta kasih yang menjadi dasar hakiki
keharmonian bukanlah sesuatu yang bisa didapat dengan sekali pungut. Cinta
kasih harus dipupuk dengan dasar pengertian yang benar, keuletan dan kesabaran,
dari saat ke saat, dari hari ke hari, sepanjang hidup ini.
Sikap Berterus Terang
Dalam Agama Buddha, cinta kasih bukan hanya sikap emosional
mencintai, apalagi memiliki. Tetapi cinta kasih adalah suatu sikap yang berdiri
di atas dasar kebijaksanaan, yaitu: sikap memberi. Salah satu sifat cinta kasih
yang harus kita pupuk dalam lembaga perkawinan adalah: saling memberi
kesempatan yang memungkinkan timbulnya sikap untuk berterus terang. Tidak hanya
bagi pasangan suami-istri, tetapi juga antara orangtua dan anak, sikap mau
berterus-terang sangat diperlukan dalam jalinan keluarga. Kalau suami dan
istri, orangtua dan anak, sudah tidak saling mempercayai, saling
sembunyi-sembunyi, tidak mau berterus terang, tidak mau terbuka, maka keharmonian
pasangan dan juga keharmonian keluarga yang menjadi idaman hanyalah tinggal
impian. Rupa-rupanya sekarang ini lembaga perkawinan dan juga kehidupan
keluarga sudah banyak yang mengalami erosi keterus-terangan. Mereka hidup
berkeluarga, suami-istri atau ayah-ibu dan anak-anak, tetapi nyatanya mereka
tidak mempunyai hubungan kekeluargaan. Mereka bersikap saling merahasiakan,
sehingga akhirnya keakuan menggantikan cinta kasih dan keharmonian.
Keterus-terangan mempunyai kaitan yang erat sekali dengan pengendalian
diri. Mempunyai sikap mau berterus-terang, tidak tertutup, berarti bersedia
(berani) menerima kenyataan dengan wajar, tidak emosional dan bersedia
memberikan pandangan dengan wajar pula. Kalau sikap mau berterus-terang atau
keterbukaan ini banyak dicampuri tuntutan keakuan, suami terlalu menuntut dan
mencela setiap sikap istri atau sebaliknya, maka masing-masing tidak akan mau
membuka persoalan dan kesulitan kepada pasangannya. Hubungan harmoni akan
berubah menjadi hubungan formal yang kaku.
Penutup
Sebagai penutup dari artikel ini, saya akan mengakhiri dengan
menunjukkan enam faktor pemelihara keharmonian, seperti disebutkan oleh Sang Buddha dalam Saraniya Dhamma Sutta:
1.
|
Saling memperlakukan dengan cinta kasih
|
2.
|
Berbicara dengan cinta kasih
|
3.
|
Memikirkan dengan cinta kasih
|
4.
|
Masing-masing saling mengajak untuk ikut serta menikmati
kebahagiaan yang sedang dinikmatinya
|
5.
|
Mempunyai sikap moral yang serasi
|
6.
|
Mempunyai pandangan hidup yang sama
|
Semoga uraian ini membawa manfaat bagi Anda dalam mempersiapkan,
membangun dan membenahi perkawinan serta keluarga.***
MEMBANGUN KELUARGA
RUMAH TANGGA UMAT BUDDHA
YANG UTUH
oleh : Bhikkhu Dhammasubho
Pengantar kata-kata
Pada suatu Minggu, di sebuah vihara
seorang pengkotbah mendapat pesan dari pemuka umat Buddha setempat, “Di vihara ini, harap kotbahnya serba logika,
dan harus dogtriner imajiner, agama Buddha anti dogma.” Segera ternyata,
pemuka umat Buddha di vihara yang berpesan itu, tak satupun hafal paritta,
tidak mengerti anjali, salah-salah tiap kali mengucapkan Namasakara Gatha.
Bahkan istri maupun anak-anaknya bukan penganut agama Buddha.
Secuplik kisah itu, yang mengilhami naskah ini ditulis, dan dapat
digunakan untuk memenuhi permintaan panitia penyelenggara sarasehan sehari oleh
Pengurus Cabang (PC) Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (MAGABUDHI) Kota
Semarang. Bahwa sejak bulan September 2001, kami telah menerima surat tentang
rencana membuat sarasehan dengan tujuan Membina
Keluarga Buddhis Bahagia. Akan tetapi karena sesuatu dan lain hal, sempat
tertunda sampai beberapa kali akhirnya bulan Januari tahun 2002 pelaksaannya.
Kemudian “Membangun Keluarga Umat Buddha Yang Utuh” merupakan pokok pikiran
yang kami ajukan di sini.
Mengingat, pesan peringatan : “Agama Buddha anti dogma” tidak
seluruhnya benar. Agar pandangan salah itu tidak terlalu jauh menyebar, pada
kesempatan ini mari kita luruskan pandangan yang keliru itu.
Pendahuluan
Rumah tangga, lain dengan rumah dan tangga. Meskipun sama-sama rumah
memiliki tangga. Tidak semua rumah dapat disebut sebagai rumah tangga. Tetapi
bisa saja disebut sebagai rumah makan, rumah sakit, rumah ibadah, rumah dinas,
rumah jaga, atau rumah-rumahan. Yang membedakan rumah dapat disebut sebagai
rumah tangga apabila rumah itu telah dihuni oleh sepasang pria dan wanita yang
diikat dengan tali pengikat hukum masyarakat sebagai suami istri. Sehingga
kalaupun telah dihuni oleh pria-wanita, tetapi kalau pria-wanita tidak diikat
dengan tali perkawinan, tetap belum disebut sebagai rumah tangga.
Sebuah rumah yang dihuni oleh sepasang suami-istri inilah, secara
hukum masyarakat disepakati sebagai rumah tangga berisi keluarga. Suami kepala
keluarga, istri dan anak-anak sebagai anggota keluarga. Rumah tangga merupakan
negara kecil. Sedangkan negara adalah sebuah rumah tangga besar yang terdiri
dari pada pembesar. Namun keluarga kecil maupun besar tetap sama problematika
yang harus ditanggung. Suka-dukha, untung-rugi, dipuji-dicela,
terkenal-tercemar. Adapun yang paling lazim, ketika dalam keadaan sukha,
dipuji, untung, terkenal, bukan dianggap masalah. Akan tetapi, ketika menerima
dukha, dicela, rugi, tercemar namanya, menjadi masalah besar. Padahal bahagia
atau menderita keduanya adalah sebuah masalah. Seseorang bisa saja mati
mendadak ketika dalam keadaan terlalu menderita maupun terlalu bahagia.
Bagaimana umat Buddha bersikap tentang problematika kehidupan keluarga yang
selalu menjadi thema sentral sepanjang zaman.
Pandangan Hidup
Dari berbagai tingkatan sastra banyak pengakuan, bahwa hidup dan kehidupan
hanya ditempuh dari waktu ke waktu serta diikuti secara turun temurun, karena
sudah ada yang mengatur. Dalam pandangan tersebut, kalau dalam perjalanan hidup
tidak banyak persoalan serius, dalam arti sandang pangan papan serba kecukupan,
bagus, mulus, tidak menjadi beban. Tetapi akan menjadi masalah besar, apabila
yang terjadi sebaliknya, bahkan sepanjang hidup senantiasa dirundung kesulitan,
ditimpa kemalangan tidak berujung pangkal, buat mengatasi sudah habis akal.
Siapa yang akan disalahkan. Apakah yang mengatur, atau yang membuat peraturan,
atau karena menyalahi peraturan. Kejadian seperti ini yang tidak diinginkan
oleh semua orang. Maka bagi kaum yang tidak mempunyai wawasan luas tentang
konsep hidup dan kehidupan, yang terjadi banyak kehidupan secara individu
maupun sosial mengalami jalan buntu, tidak menentu, hampa, putus asa, merasa
dirinya tiada berharga, tidak berguna, inginnya bunuh diri saja.
Bagi kaum optimistis
memandang dunia indah, seindah bunga mawar, sebaliknya buat kaum pesimistis
memandang dunia menakutkan penuh dengan duri-duri. Sehingga banyak di antara
keluarga yang dilekati oleh kedua pandangan ekstrim tersebut. Akibat dari kedua
sisi yang tak seimbang, maka hampir sepanjang waktu hidup ketegangan, dan
menjadi tidak harmoni.
Konsep Buddhis mengajak, pandanglah dunia dengan realistis. Bahwa dunia penuh kebahagiaan
indah menjanjikan, tetapi juga di balik kebahagiaan terdapat sejumlah
penderitaan. Sesungguhnya dunia ibarat sekeping mata uang logam mempunyai dua
sisi. Satu, sisi kebahagiaan dan dua sisi penderitaan. Petunjuk Buddha
bagaimana memetik bunga mawar yang indah itu, dengan sedikit terkena tusukan
duri-duri. Haruslah berhati-hati, mempunyai pengendalian diri, penuh waspada
dalam bertindak apa saja.
Membangun Kehidupan
Ada sebuah pandangan bahwa hidup ini hanya satu kali dan sudah ada
yang mengatur. Menjadi baik, buruk, sukses, gagal, kaya, miskin, bodoh, pandai,
sudah digariskan. Upaya apapun yang dilakukan sekarang sia-sia, tiada guna.
Segera ternyata dibantah mentah-mentah oleh pandangan lain, hidup berapa kali
tidak peduli, dan sepenuhnya ditentukan oleh diri sendiri sekarang, tidak ada
hubungan apapun dengan masa lampau. Diri sendiri adalah arsitek bagi diri
sendiri. Ibarat selembar kertas bersih, kelak akan berisi tulisan indah, atau
coretan apapun sepenuhnya tergantung pada usaha-usaha diri sendiri masa
sekarang yang mengisi. Pandangan Buddhis adalah hidup ini tidak hanya satu
kali, melainkan berkali-kali. Perjalanan hidup sangat dipengaruhi oleh
pengalaman masa lalu, didukung usaha masa sekarang, yang membuahkan hasil
kemudian.
Kata Buddha, “Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri. Siapa
pula yang menjadi pelindung bagi diri sendiri. Bagi diri sendiri yang terlatih
baik dan benar, sesungguhnya akan menjadi pelindung yang pasti dan aman.” Ini
hukum Dhamma, bukan buatan manusia.
Dalam membangun hidup secara individu maupun sosial yang harmoni,
semua diperlukan pengertian benar. Pengertian benar dimaksud adalah memandang
sesuatu dari berbagai sisi yang berbeda sekalipun dengan jelas. Hasil dari
pandangan benar adalah kesimpulan. Oleh karena jika memandang sesuatu hanya
dari satu sisi tertentu, hanya akan menjadi sebuah keputusan. Bukan kesimpulan.
Pesan Buddha, pandanglah sesuatu itu dari sisi yang berbeda sekalipun dengan
jelas. Agar pada saat menghadapi perubahan hidup yang berbeda sekalipun tetap
tenang.
Membangun Keluarga
Membangun keluarga dalam rumah tangga yang perlu diperhatikan adalah
memilih calon pasangan suami-istri. Yakni sifat mental, bentuk fisik, maupun
kecenderungan perilaku. Sekali salah pilih, tekad membangun kebahagiaan surga
dunia, justru kesengsaraan neraka yang diperoleh. Dua jenis sifat ekstrem baik
seperti watak dewa-dewi, sebaliknya terdapat dua jenis ekstrem jahat ibarat
watak rasaksa dan reseksi perlu dipahami sebelum memilih calon pasangan.
Dalam Mahatanha Sakaya Sutta, terdapat
empat jenis pasangan suami-istri.
1.
Chawao-Chawia, pasangan pria
berwatak rasaksa, dan istri bersifat raseksi
2.
Chawao-Dewi, jenis pasangan
pria berwatak rasaksa, wanita bersifat bidadari
3.
Dewo-Chawia, jenis pasangan
pria bersifat dewa, wanita bersifat raseksi
4.
Dewo-Dewia, pasangan pria
bersifat dewa, dan perempuan bersifat bidadari
Pasangan jenis keempat
paling ideal menurut Dhamma. Pria bersifat dewa, dan perempuan bersifat
bidadari.
Tadi telah dikupas artikulasi dari sebuah kata keluarga. Intinya
adalah campuran individu yang berbeda jenis, usia, status, gaya, selera,
kecenderungan tradisi budaya, dan berbeda segalanya. Tetepi justru dari
berbeda-beda latar belakang itu, kalau berkumpul menjadi satu dan diikat dengan
tali perkawinan serta tinggal bersama, selanjutnya dapat disebut keluarga rumah
tangga.
Pada hakekatnya di dunia ini masing-masing individu tidak mungkin
berstatus sama, minimal suami-istri, pria-wanita. Maka, semakin dibuat sama,
malah semakin menjadi beda. “Semakin banyak peraturan dibuat, dunia semakin
menjadi tidak aman”. Kata Guru Tao, Lao Tze. Kata Buddha, “Status tidak mungkin
sama, tetapi kesamaan berpikir bisa dibuat sama, yaitu sama-sama berpikir,
berucap, dan bertindak, tentang keyakinan, kemoralan, kedermawanan”. Kesamaan
berpikir mempunyai kekuatan sungguh luar biasa mengagumkan mampu menembus :
nusa, manusia, bangsa, budaya, agama, yang berbeda-beda sekalipun. Termasuk
perbedaan status pria-wanita, suami-istri, perbedaan anggota keluarga.
Membangun kesamaan berpikir, sama dengan menyamakan visi ---program
jangka panjang, dan misi ---program jangka pendek. Manurut Dhamma. Program yang
perlu dicanangkan secara bertahap adalah, mencapai : 1) Kesenangan, 2)
Kebahagiaan, 3) Ketenangan, dan
4) Bebas dari kemelesetan secara positif. Dan 4 hal negatif lainnya yang harus
dihapus, merasa tua, merasa bisa, merasa kaya, merasa kuasa.
1.
Kesenangan, adalah hal-hal yang
bersinggungan dengan materi duniawi. Untuk mendapatkan materi harus bekerja
keras sesuai dengan “Mata Pencaharian Benar”.
2.
Kebahagiaan, yaitu pikiran
tidak tercela. Untuk mendapatkan pikiran tidak tercela adalah melalui praktek
“Lima Sila/Pancasila Buddhis”.
3.
Ketenangan, dimaksud di sini
batin yang tidak mudah goyah. Untuk mencapai batin hingga tidak mudah goyah,
perlu dilatih “Samadhi Benar”.
4.
Bebas dari kemelesetan, adalah
lepasnya sang “Keakuan/Ego”.
Ego secara tidak disadari akan muncul melalui 4 aksi jiwa, yaitu :
merasa tua, merasa bisa, merasa kuasa, merasa kaya, intinya memandang rendah
orang lain. Maka wanti-wanti, harap tidak salah terjemah, bukan berarti umat
Buddha tidak boleh menjadi tua, kaya, kuasa, dan serba bisa bisa.
Secara Dhamma umat Buddha, sebagai individu harus benar-benar
menjadi tua, kuasa, bisa, dan kaya. Oleh karena yang dimaksud :
Ø Tua, adalah tua cara berpikirnya,
Ø Bisa, artinya bisa menahan diri,
Ø Kuasa, dimaksud dapat menguasai nafsu-nafsu indriya, dan
Ø Kaya, tidak hanya kaya secara materi, melainkan juga kaya ilmu
pengetahuan, dan kaya kebajikan.
Dengan dapat menghindari 4 aspek negatif, dan dapat mewujudkan 4
aspek positif. Yang dilandasi kesamaan berpikir meliputi, sama keyakinan (saddha), sama kemoralan (sila), sama kedermawanan (cagga), dan sama tingkat wawasan (pannya). Pastilah, pasti menjadi
pasangan dewa-dewi yang harmoni keluarga bahagia sesuai Dhamma ajaran Sang
Buddha kapan saja.
Membangun Watak
Watak terus berlalu, usia terus menua menjadi tua, hanya lobha tetap
awet muda. Terdapat 75 Sekkhiya Vatta, terdiri dari 30 butir cara makan, 26
butir cara berpakaian, pergi dan tinggal di tempat umum, 16 butir cara bergaul
dengan orang lain, dan ada 3 butir cara menggunakan fasilitas umum.
Sekkhiya = latihan, Vatta = kebiasaan. Sekkhiya Vatta artinya,
latihan kebiasaan. Diberlakukan untuk para bhikkhu dan samanera menurut tradisi
Tipitaka Pali. Namun meskipun 75 Sekkhiya Vatta diberlakukan untuk para bhikkhu
dan samanera. Adalah bisa pula diberlakukan untuk keluarga rumah tangga. Oleh
karena butir-butir tersebut mengandung pesan dan latihan watak jiwa kepribadian
dalam pergaulan sehari-hari. Agar anggota keluarga masing-masing mempunyai
pengendalian diri, budi pekerti, sopan santun tata krama kepada sesama anggota
keluarga maupun anggota warga masyarakat di sekelilingnya.
Dalam kebersamaan menjadi harmoni apabila masing-masing pribadi
memiliki tata etika, mengerti sopan santun budi pekerti cara bergaul satu sama
lain. Dalam sejarah kemanusiaan di mana sengketa, hingga peperangan terjadi,
tidak lain hanyalah akibat dari keteledoran praktek etika – tata krama dalam
pergaulan.
Wakat bisa dibangun melalui tahapan-tahapan latihan. Sang Buddha
meletakkan dasar pembentukan watak jiwa kepribadian melalui tahapan dan
latihan. Secara psiologi ditanamkan : pertama, etika, kedua estetika, ketiga
dogma, dan keempat doktrin.
1.
Etika, meliputi budi pekerti,
sopan santun tata krama
2.
Estetika, adalah hal-hal
menyangkut seni keindahan
3.
Dogma, menanamkan dan
menumbuhkan rasa disiplin
4.
Doktrin, mengajarkan tentang
segala sesuatu yang bersifat logika.
Dalam term bahasa Dhamma, adalah : dana, sila, samadhi, dan panna.
Di negara-negara Buddhis terdapat undang-undang tidak tertulis,
bahwa sebagai warga negara mengikuti latihan menjadi bhikkhu/samanera walaupun
hanya bersifat sementara adalah wajib. Yang selama mengikuti latihan tersebut
akan menjadi tahu, mengerti, dan mengalami sendiri, norma-norma haluan Buddhis
secara keseluruhan. Sehingga mereka menjadi umat Buddha intelek relegius, tahu
tata krama, mengerti budi pekerti, mempunyai keyakinan tidak mudah goyah,
berwawasan luas dan bersikap luwes dalam pergaulan. Menyatakan agamaku (diriku)
yang baik tidak dengan mengatakan orang lain itu jelek.
Membekali anak dengan ilmu pengetahuan teknologi sebagai jendela
dunia penting, tetapi memberi pengertian tentang budi pekerti sebagai cermin
kehidupan perlu, dan bekal spiritual berfungsi untuk mengenali diri sendiri,
tidak kalah penting. Ketiga aspek tersebut merupakan benteng pertahanan hidup
yang pasti dan aman. Menurut kacamata Dhamma, frame Kesunyatan, produk Alam.
Hidup manusia yang hanya mengejar kelebihan ilmu teknologi dan kekayaan materi,
ibarat mengasah sebilah pedang bermata dua, sama-sama berbahaya jika tidak
dibungkus dengan budi pekerti ilmu rohani. Bahkan apabila pengetahuan ilmu
teknologi diberi alokasi waktu lebih besar dari budi pekerti, dan lebih sedikit
waktu untuk memahami atau mendalami ilmu rohani. Dampaknya mudah dibaca, banyak
orang pandai tetapi kurang sopan santun, tidak tahu malu dan tidak tahu diri.
Membunuh dianggap tidak berdosa, mencuri soal biasa, mabuk-mabuk dianggap
selera hidup paling bergaya.
Adalah Sang Buddha sejak awal pembabaran Dhamma telah meletakkan
dasar utama dan pertama tentang tiga aspek penting. Bagi manusia yang telah
dibekali dengan tiga aspek dasar watak jiwa kepribadian sesuai anjuran dan
ajaran Sang Buddha, ia akan menjadi manusia mampu berkarya sungguh luar biasa
mengagumkan. Bukti konkret, apa yang dicanangkan oleh Sang Buddha. Bahwa tujuh
keajaiban di dunia, Menara Piza, Menara Eifel, Piramida, Tembok China, Taj
Mahal, Angkor Wat, dan Candi Borobudur. Dua diantaranya Angkor Wat dan Candi
Borobudur adalah bangunan Buddhis, karya umat Buddha pada zamannya.
Mendidik Anak
Dalam pola hidup masa kini, ayah, ibu, sangat sedih ketika
anak-anaknya kehilangan gaya hidup modern, tetapi tidak gelisah anak-anaknya
kehilangan iman. Sehingga berani membayar mahal guru-guru privat tentang
teknologi. Tetapi seolah-olah tidak peduli atas kebutuhan anak-anak tentang
bidang ilmu rohani.
Orang tua, merupakan guru utama dan paling pertama bagi anak-anak di
rumah. Bapak/Ibu guru adalah orang tua di sekolah. Anak-anak kelak akan menjadi
terpelajar atau kurang ajar tergantung orang tua dan guru sebagai dewa penentu.
Karena itu keduanya, antara orang tua dan guru perlu koordinasi yang baik dalam
mendidik anak-anak. Guru bertanggung jawab selama 6 jam di sekolah, berarti 19
jam lainnya kembali menjadi tanggung jawab sepenuhnya orang tua di rumah.
Guru yang baik adalah tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik.
Mengajar memberi ilmu, mendidik memberi contoh. Guru yang pandai dalam setiap
memberi pelajaran akan bisa dimengerti oleh murid-murid yang bodoh sekalipun.
Dalam memilih materi sesuai dengan perkembangan jiwa maupun usia, dan disampaikan
dengan menggunakan tiga tahap bahasa. Bahasa lisan, bahasa simbul atau bahasa
tulisan, dan ketiga bahasa tubuh (body language).
Sebagai menurut Sigmon freud, anak setiap 6 tahun sekali terdapat
perubahan sifat dasar kejiwaan. Sehingga cara memberi maupun memilih materi
pelajaran harus berbeda, sesuai perkembangan kejiwaan.
1.
0 – 6 tahun, yang peka rasa
2.
7 – 12 tahun, yang tajam
penglihatan
3.
13 – 18 tahun, dirinya ingin
dilihat dan dirasakan
4.
19 – 24 tahun, apa yang dilihat
dan dirasakan dianalisis
5.
24 tahun – dst, apa yang telah
dianalisis diambil keputusan.
Dalam sebuah teori tertentu, tiap skala enam tahun pertumbuhan usia
anak mengalami perubahan empat tahap sejak lahir dari rahim ibu : 6 tahun
pertama ibarat dewa, 6 tahun kedua seperti raja, 6 tahun ketiga berjiwa
pahlawan, dan 6 tahun keempat dewasa kencana laksana brahmana.
Petunjuk Buddha, mendidik anak hendaknya dimulai, sejak anak masih
di dalam kandungan melalui empat perilaku utama oleh ayah yang mengasuh selama
ibu mengandung :
1.
Medhavini, sifat keindahan
bidadari di alam dewata/alam surga
2.
Silavati, mempunyai
pengendalian diri dengan praktek lima sila (Pancasila Buddhis)
3.
Patibata, laku hormat kepada
orang tua dan mertua
4.
Susadewa, rajin melakukan puja
bhakti kepada para dewa
Titik Simpul
1.
Karena disinyalir masih banyak
umat beragama yang belum utuh, baru sebatas sebagai pemeluk agama secara
formalitas, belum sampai menjadi pengikut suatu agama yang berkwalitas. Menteri
Agama Republik Indonesia pernah menganjurkan lewat program, mang-agama-kan umat
beragama secara utuh.
2.
Mengarahkan kehidupan beragama
yang sama dalam satu keluarga.
3.
Menanamkan kesamaan perpikir
tentang aspek-aspek agama yang sama di dalam anggota keluarga.
4.
Meletakkan dasar perbentukan
watak jiwa kepribadian yang sama secara Dhamma, bagi umat Buddha.
5.
Orang tua hendaknya lebih dulu
memberi contoh praktek agama yang dianut secara utuh untuk diteladani anggota
keluarga.
6.
Kegagalan orang tua memberi
teladan praktek agama yang dianut, mejadi tanda gagal membangun keluarga
harmoni.
7.
Ukuran minimal sebagai umat
beragama yang utuh apabila telah dapat mewujudkan hidup beragama di rumah, di
tempat ibadah, dan hidup beragama di masyarakat atau di sekolah.
Disampaikan dalam
Sarasehan PENERAPAN DHAMMA DALAM BERUMAH TANGGA
yang diselenggarakan di
Vihara BUDDHA GAYA Watugong, Semarang
pada Minggu, 20 Januari 2002
|
|
Kiat Mengatasi Kenakalan
Remaja
Oleh diri sendiri
kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang ternoda. Oleh diri
sendiri kejahatan tidak dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi
suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri; tak seorang pun yang
dapat mensucikan orang lain. (Dhammapada XII, 9)
PENDAHULUAN
Masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan kemudian menjadi orangtua, tidak
lebih hanyalah merupakan suatu proses wajar dalam hidup yang berkesinambungan
dari tahap-tahap pertumbuhan yang harus dilalui oleh seorang manusia. Setiap
masa pertumbuhan memiliki ciri-ciri tersendiri. Masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Demikian pula dengan masa remaja. Masa remaja
sering dianggap sebagai masa yang paling rawan dalam proses kehidupan ini.
Masa remaja sering menimbulkan kekuatiran bagi para orangtua. Masa remaja
sering menjadi pembahasan dalam banyak seminar. Padahal bagi si remaja
sendiri, masa ini adalah masa yang paling menyenangkan dalam hidupnya. Oleh
karena itu, para orangtua hendaknya berkenan menerima remaja sebagaimana
adanya. Jangan terlalu membesar-besarkan perbedaan. Orangtua para remaja
hendaknya justru menjadi pemberi teladan di depan, di tengah membangkitkan
semangat, dan di belakang mengawasi segala tindak tanduk si remaja.
Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Para ahli
pendidikan sependapat bahwa remaja adalah mereka yang berusia antara 13 tahun
sampai dengan 18 tahun. Seorang remaja sudah tidak lagi dapat dikatakan
sebagai kanak-kanak, namun masih belum cukup matang untuk dapat dikatakan
dewasa. Mereka sedang mencari pola hidup yang paling sesuai baginya dan
inipun sering dilakukan melalui metoda coba-coba walaupun melalui banyak
kesalahan. Kesalahan yang dilakukan sering menimbulkan kekuatiran serta
perasaan yang tidak menyenangkan bagi lingkungan dan orangtuanya. Kesalahan
yang diperbuat para remaja hanya akan menyenangkan teman sebayanya. Hal ini
karena mereka semua memang sama-sama masih dalam masa mencari identitas.
Kesalahan-kesalahan yang menimbulkan kekesalan lingkungan inilah yang sering
disebut sebagai kenakalan remaja.
PEMBAHASAN
Masalah kenakalan remaja mulai mendapat perhatian yang khusus
sejak dibentuknya suatu peradilan untuk anak-anak nakal atau juvenile court pada tahun 1899 di Cook
County, Illinois, Amerika Serikat. Pada waktu itu, peradilan tersebut
berfungsi sebagai pengganti orangtua si anak - in loco parentis - yang memutuskan perkara untuk kepentingan si
anak dan masyarakat. Dalam pandangan umum, kenakalan anak dibawah umur 13
tahun masih dianggap wajar, sedangkan kenakalan anak di atas usia 18 tahun
dianggap merupakan salah satu bentuk kejahatan. Dalam tulisan ini hanya akan
dibahas kenakalan yang dilakukan oleh para remaja dalam usia 13 sampai dengan
18 tahun.
Kenakalan remaja dapat ditimbulkan oleh beberapa hal, sebagian di
antaranya adalah:
Di kalangan remaja, memiliki
banyak kawan adalah merupakan satu bentuk prestasi tersendiri. Makin banyak
kawan, makin tinggi nilai mereka di mata teman-temannya. Apalagi mereka dapat
memiliki teman dari kalangan terbatas. Misalnya, anak orang yang paling kaya
di kota itu, anak pejabat pemerintah setempat bahkan mungkin pusat atau pun
anak orang terpandang lainnya. Di jaman sekarang, pengaruh kawan bermain ini
bukan hanya membanggakan si remaja saja tetapi bahkan juga pada orangtuanya.
Orangtua juga senang dan bangga kalau anaknya mempunyai teman bergaul dari
kalangan tertentu tersebut. Padahal, kebanggaan ini adalah semu sifatnya.
Malah kalau tidak dapat dikendalikan, pergaulan itu akan menimbulkan
kekecewaan nantinya. Sebab kawan dari kalangan tertentu pasti juga mempunyai
gaya hidup yang tertentu pula. Apabila si anak akan berusaha mengikuti tetapi
tidak mempunyai modal ataupun orangtua tidak mampu memenuhinya maka anak akan
menjadi frustrasi. Apabila timbul frustrasi, maka remaja kemudian akan
melarikan rasa kekecewaannya itu pada narkotik, obat terlarang, dan lain
sebagainya.
Pengaruh kawan ini memang cukup besar. Dalam Mangala Sutta, Sang Buddha bersabda: "Tak bergaul dengan orang tak bijaksana, bergaul dengan mereka yang bijaksana, itulah Berkah Utama". Pengaruh kawan sering diumpamakan sebagai segumpal daging busuk apabila dibungkus dengan selembar daun maka daun itupun akan berbau busuk. Sedangkan bila sebatang kayu cendana dibungkus dengan selembar kertas, kertas itu pun akan wangi baunya. Perumpamaan ini menunjukkan sedemikian besarnya pengaruh pergaulan dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang ketika remaja, khususnya. Oleh karena itu, orangtua para remaja hendaknya berhati-hati dan bijaksana dalam memberikan kesempatan anaknya bergaul. Jangan biarkan anak bergaul dengan kawan-kawan yang tidak benar. Memiliki teman bergaul yang tidak sesuai, anak di kemudian hari akan banyak menimbulkan masalah bagi orangtuanya. Untuk menghindari masalah yang akan timbul akibat pergaulan, selain mengarahkan untuk mempunyai teman bergaul yang sesuai, orangtua hendaknya juga memberikan kesibukan dan mempercayakan sebagian tanggung jawab rumah tangga kepada si remaja. Pemberian tanggung jawab ini hendaknya tidak dengan pemaksaan maupun mengada-ada. Berilah pengertian yang jelas dahulu, sekaligus berilah teladan pula. Sebab dengan memberikan tanggung jawab dalam rumah akan dapat mengurangi waktu anak ‘kluyuran’ tidak karuan dan sekaligus dapat melatih anak mengetahui tugas dan kewajiban serta tanggung jawab dalam rumah tangga. Mereka dilatih untuk disiplin serta mampu memecahkan masalah sehari-hari. Mereka dididik untuk mandiri. Selain itu, berilah pengarahan kepada mereka tentang batasan teman yang baik. Dalam Digha Nikaya III, 188, Sang Buddha memberikan petunjuk tentang kriteria teman baik yaitu mereka yang memberikan perlindungan apabila kita kurang hati-hati, menjaga barang-barang dan harta kita apabila kita lengah, memberikan perlindungan apabila kita berada dalam bahaya, tidak pergi meninggalkan kita apabila kita sedang dalam bahaya dan kesulitan, dan membantu sanak keluarga kita. Sebaliknya, dalam Digha Nikaya III, 182 diterangkan pula kriteria teman yang tidak baik. Mereka adalah teman yang akan mendorong seseorang untuk menjadi penjudi, orang yang tidak bermoral, pemabuk, penipu, dan pelanggar hukum.
KIAT POKOK MENGATASI
KENAKALAN REMAJA
Sebagian besar orangtua di jaman sekarang sangat sibuk mencari
nafkah. Mereka sudah tidak mempunyai banyak kesempatan untuk dapat mengikuti
terus kemana pun anak-anaknya pergi. Padahal, kenakalan remaja banyak
bersumber dari pergaulan. Oleh karena itu, orangtua hendaknya dapat
memberikan inti pendidikan kepada para remaja. Inti pendidikan adalah sebuah
pedoman dasar pergaulan yang singkat, padat, dan mudah diingat serta mudah
dilaksanakan. Pedoman ini telah diberikan oleh Sang Buddha dalam Kitab Suci
Tipitaka, Anguttara Nikaya I, 51.
Dengan memberikan inti pendidikan ini, kemana saja anak pergi ia
akan selalu ingat pesan orangtua dan dapat menjaga dirinya sendiri. Anak menjadi
mandiri dan dapat dipercaya, karena dirinya sendirinyalah yang akan
mengendalikan dirinya sendiri. Selama seseorang masih memerlukan pihak lain
untuk mengendalikan dirinya sendiri, selama itu pula ia akan berpotensi
melanggar peraturan bila si pengendali tidak berada di dekatnya.
Inti pendidikan ini terdiri dari dua hal yaitu :
Menumbuhkembangkan perasaan malu dan takut melakukan perbuatan
yang tidak baik ataupun berbagai bentuk kejahatan inilah yang akan menjadi
'pengawas setia' dalam diri setiap orang, khususnya para remaja. Selama dua
puluh empat jam sehari, 'pengawas' ini akan melaksanakan tugasnya. Kemanapun
anak pergi, ia akan selalu dapat mengingat dan melaksanakan kedua hal
sederhana ini. Ia akan selalu dapat menempatkan dirinya sendiri dalam
lingkungan apapun juga sehingga akan mampu membahagiakan dirinya sendiri,
orangtua dan juga lingkungannya. Orangtua sudah tidak akan merasa kuatir lagi
menghadapi anak-anaknya yang beranjak remaja. Orangtua tidak akan ragu lagi
menyongsong era globalisasi. Orangtua merasa mantap dengan persiapan mental
yang telah diberikan kepada anak-anaknya. Oleh karena itu, pendidikan anak di
masa kecil yang sedemikian rumit tampaknya, akan dapat dinikmati hasilnya di
hari tua.
Sesungguhnya memang diri sendiri itulah pelindung bagi diri
sendiri. Suka dan duka yang kita alami adalah hasil perbuatan kita sendiri.
Sebab, oleh diri sendiri kejahatan dilakukan; oleh diri sendiri pula
kejahatan dapat dihindarkan. Oleh karena itu, dengan memberikan pengertian
yang baik tentang inti pendidikan tersebut kepada anak-anak, diharapkan anak
akan dapat membawa diri dan menjaga dirinya sendiri agar dapat tercapai
kebahagiaan. Kebahagiaan bagi dirinya sendiri. Kebahagiaan bagi orangtuanya.
Kebahagiaan bagi lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA
*Y.M. Uttamo Thera adalah Upa Sanghanãyaka STI 2000-2003, Ketua
Yayasan Dhammadipa Arama cabang Blitar & Webmaster Samaggi Phala
Hak cipta tetap berada pada penulis.
|
http://www.buddhistonline.com/dhammadesana/desana5.shtml
Tidak ada komentar:
Posting Komentar