Selasa, 20 November 2012

membagun kepercayaan diri


MEMBANGUN KEPERCAYAAN DIRI

Dewasa ini banyak orang yang mengalami depresi atau turun akan kepercayaan dirinya, hal itu memang bukan tanpa alasan, tetapi merupakan rentetan panjang dari kondisi nasional atau musibah negara. Krisis moneter yang hingga kini belum kunjung akan kepulihannya, telah berdampak luas pada kelangsungan dan perkembangan perekonomian rakyat, berbagai musibah internal, yaitu perselisihan antar agama, suku, daerah dan kelompok belum juga terlihat akan penyelesaiannya. Sehingga banyak orang selalu dicengkeram oleh kecemasan, kekhawatiran, bingung dan ujung-ujungnya adalah lesu tidak punya semangat hidup. Mau bisnis takut, tidak bisnis cemas akan kebutuhan hidupnya.

Inilah di antaranya beberapa faktor umum yang mengakibatkan orang mengalami depresi pada dewasa ini. Dalam uraian ini akan saya bahas faktor-faktor dasar yang menyebabkan seseorang akan kepercayaan dirinya, yaitu :
1.      Faktor keluarga. Keluarga adalah tempat yang pertama bagi kita untuk memperoleh pelajaran berbagai macam dan seluk beluk atau sendi-sendi kehidupan. Oleh karena itu, keluarga mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pertumbuhan dan perkembangan psikologi atau mental dan jasmani seseorang. Masih banyak orang yang tidak begitu peduli atau menaruh perhatian pada keluarganya sehingga dalam aktivitas sehari-harinya ia bertindak kasar, misalnya suami terhadap istri atau sebaliknya istri terhadap suami, mertua, keponakan, dan famili lainnya. Selalu ringan tangan, berucap menyakiti dan menekan serta selalu berfikir pada hal-hal yang buruk, menyeramkan dan menakutkan.
Padahal perbuatan seperti itu akan terserap erat dalam batin atau sabsadar seseorang dan akan membentuk mental serta kepribadian seseorang sebagai anggota keluarganya. Kalau setiap saat ia dihadapkan pada situasi yang seperti di atas, sudah tentu perkembangan dan pertumbuhan mental seseorang akan tertekan, mudah depresi, putus asa, frustasi, minder dan takut karena tidak pernah terisi oksigen yang menyegarkan tetapi selalu dihantui kekalutan pikiran.
Maka berbahagialah ! Apabila seseorang hidup dalam keluarga yang harmoni. Sebab kondisi seperti ini akan sangat mendukung terbentuknya mental dalam pertumbuhan dan perkembangan untuk menciptakan kepribadian seseorang yang baik. Karena sentuhan, cinta kasih, kasih sayang, keakraban, toleransi, dedikasi, kearifan dan kebijaksanaan akan selalu menghiasi dalam perjalanan kehidupannya. Kondisi seperti inilah yang dapat menumbuhkan kepercayaan diri, karena bebas dari tekanan dan justru selalu dimotivasi dengan pengertian benar.
Keluarga yang harmoni adalah bukan semata-mata keluarga yang tidak pernah kekurangan materi atau keluarga yang kaya-raya, selalu kita sebut itu adalah keluarga harmoni. Sebab tidak mustahil justru keluarga yang sederhana itulah yang harmoni. Secara pengertian Dhamma bahwa keluarga yang mengerti dan mempraktikkan Buddha Sasana dalam aktivitas sehari-harinya.
2.      Faktor pendidikan. Dalam strata kehidupan bermasyarakat pendidikan formal sering menjadi tolok ukur dalam memberikan penilaian kepada seseorang. Maka tidak heran bila mana orang menjadi minder karena pendidikannya yang kurang memadai tetapi kita harus ingat bahwa kualitas batin seseorang tidak bisa kita lihat hanya karena pendidikannya, kemudian kita memberi penilaian kepadanya bahwa dia adalah baik dan dia buruk. Bagaimana dengan para provokator yang kerjaannya mengadu domba masyarakat, hingga berjatuhan korban yang tidak terhitung, padahal ia adalah orang yang berpendidikan bukan tidak berpendidikan, ia tidak akan tahu tentang dunia politik. Apakah ia adalah orang baik padahal mereka merugikan, menyakiti dan menjerumuskan orang lain dalam kegelapan atau kehancuran. Pendidikan formal adalah penting tetapi tidak kalah penting adalah pendidikan moralitas. Para bijak mengatakan demikian : lebih baik tidak berpendidikan tinggi asalkan memiliki moralitas, karena orang yang berpendidikan tinggi tetapi tidak memiliki moral yang baik akan sangat berbahaya dibanding orang yang tidak tidak berpendidikan tetapi mempunyai moral yang baik.
3.      Faktor kedudukan. Pengertian kedudukan secara umum adalah suatu jabatan bahwa kita harus memiliki atau memangku suatu jabatan dalam bermasyarakat atau berorganisasi. Memang apabila kita melihat suatu tugas adalah suatu kehormatan karena kita dipercaya oleh masyarakat atau orang lain sehingga kita merasa dipandang dan ditempatkan di tempat yang layak sebagai orang yang memiliki arti dalam bermasyarakat. Tetapi kita harus sadar bahwa kita dihormati dan diberi kepercayaan itu bukan karena kedudukannya, melainkan tingkah lakunya, yaitu karena kita memiliki dedikasi yang adil, toleransi, arif dan bijaksana. Banyak orang atau pejabat yang justru dihina dicacimaki dan dilecehkan karena perbuatannya yang tidak benar.
Maka di sini jelas, walaupun kita tidak memangku suatu jabatan apapun apakah dalam hidup bermasyarakat atau berorganisasi, kita tidak perlu rendah diri asalkan kita memiliki moralitas yang baik, maka sesungguhnya kedudukan itu akan datang dengan sendirinya tanpa harus kita cari. Kita akan dihormati, ucapan kita akan didengar, petunjuk kita akan dilaksanakan dan namanya akan dikenal dalam masyarakat, itulah kedudukan yang sesungguhnya yang akan mengikuti kita sampai akhir hayat.
4.      Faktor pengertian ajaran agama. Masyarakat bangsa Indonesia adalah masyarakat yang agamis yang artinya semua orang beragama. Tetapi dewasa ini, orang salah mengerti tentang arti beragama. Agama adalah pedoman, tuntunan dan petunjuk hidup. Orang beragama bagaikan orang sakit yang harus minum obat secara benar dan tidak over dosis. Bagaimana bila orang minum obat over dosis ia akan tambah parah sakitnya dan bisa-bisa mati. Demikian orang beragama salah mengerti ajarannya akan menghancurkan kehidupannya sendiri atau orang lain. Kondisi seperti ini yang membuat orang menjadi enggan beragama.
Inilah empat faktor yang mendasari turunnya kepercayaan diri dan untuk membangkitkan kepercayaan diri, kita harus meningkatkan keharmonisan keluarga, ketrampilan sesuai kemampuan, menjaga moralitas yang baik dan memahami Buddha Sasana dengan benar. Maka dengan empat faktor ini pula kita membangun kepercayaan diri.

Perkawinan dalam pandangan Agama Buddha tidak dianggap sebagai sesuatu yang suci atau sesuatu yang tidak suci. Setiap pria dan wanita mempunyai kebebasan untuk memilih cara hidupnya masing-masing: menikah atau tetap membujang. Dengan demikian menunjukkan bahwa perkawinan bukan semata-mata kewajiban beragama yang harus dipatuhi.
Bila suami-istri membangun lembaga perkawinan itu dengan baik berdasarkan Dhamma, maka perkawinan akan menjadi mangala —berkah kebahagiaan— dalam kehidupan. Bahkan tingkat-tingkat kesucian pun tidak tertutup bagi mereka yang telah memilih cara hidup berkeluarga. Namun sebaliknya, bila perkawinan dilakukan tanpa dasar yang kokoh, maka lembaga perkawinan akan menjadi jalan mempercepat ke neraka.
Dhamma sebagai jalan —Niyyanika Dhamma atau Patipatti Dhamma— memberikan tuntunan bagi semuanya dalam cara hidup yang berbeda: hidup kebhikkhuan dan berumah tangga. Tetapi, meskipun cara hidup mereka berbeda, Dhamma membawa kedua-duanya untuk menempuh tujuan perjalanan yang sama, yaitu kebahagiaan tertinggi atau kebebasan dari penderitaan.
Tanggung Jawab Bersama
Cukup banyak khotbah Sang Buddha yang menunjukkan dengan sangat terinci tentang praktek kehidupan benar dalam membangun dan mengisi lembaga perkawinan itu. Sigalovada Sutta —yang menunjukkan kewajiban hidup bermasyarakat, termasuk kewajiban suami-istri dan orangtua-anak— harus menjadi pegangan dalam hidup bermasyarakat. Demikian juga dalam Samajivi Sutta, Sang Buddha sendiri meletakkan dasar-dasar perkawinan harmoni:
"Para bhikkhu, bila suami dan istri mengharapkan dapat saling bertemu dalam kehidupan sekarang ini dan dalam kehidupan yang akan datang, keduanya hendak menjadi orang yang memiliki keyakinan (saddha) yang sebanding, memiliki tata-susila (sila) yang sebanding, memiliki kemurahan-hati (caga) yang sebanding, dan memiliki kebijaksanaan (panna) yang sebanding. Suami dan istri yang demikian itu tentulah dapat saling bertemu dalam kehidupan sekarang ini dan dalam kehidupan yang akan datang".
Kehidupan harmoni tidak dapat dituntut hanya dari sepihak. Baik suami maupun istri dan juga anak-anak mereka, mempunyai kewajiban moral dalam membangun keluarga harmoni.
Berbicara tentang perkawinan sesungguhnya bukan hanya semata-mata menyoroti porsoalan cinta, seks dan kebahagiaan berpasangan, tidak kalah pentingnya adalah hubungan timbal balik antara pasangan suami-istri sebagai orangtua kepada anak-anak mereka. Anak adalah bagian dari keluarga. Mereka adalah tumpuan harapan orangtua, pembawa kebahagiaan, tetapi juga sebaliknya, bisa menjadi salah satu sumber bencana dalam rumah tangga.
Aspek Moral Dan Sosial Ekonomi
Sebagaimana judul artikel ini —Harmoni Perkawinan— akan saya titik beratkan pada bahasan tentang sikap mental yang mendasari keharmonian itu. Dalam Sigalovada Sutta, Sang Buddha menjelaskan tentang jalinan kewajiban suami-istri sebagai berikut:
"Wahai perumah tangga muda, dalam lima hal seorang suami harus berlaku terhadap istrinya:
1.
memuji dan mempererat hubungan
2.
menghargai
3.
setia
4.
memberikan peranan kepadanya
5.
memberikan pakaian dan perhiasan
Dalam lima hal pula seorang istri memperlakukan suaminya dengan kasih sayang:
1.
mengurus rumah tangga dengan baik dan bertanggung jawab
2.
ramah terhadap mertua dan sahabat-sahabat suaminya
3.
setia
4.
melindungi penghasilan suami (tidak boros)
5.
rajin dan pandai melaksanakan tugas-tugasnya".
Kewajiban yang diuraikan dalam Sigalovada Sutta tersebut menuntut pasangan suami-istri untuk berlaku benar dalam hal moral dan kebutuhan sosial ekonomi. Di atas kedua dasar ini lembaga perkawinan akan kokoh berdiri membawakan keharmonian dan kesejahteraan. Tidak ada tawar-menawar untuk keduanya, sebab kalau diabaikan maka keduanya akan menjadi sumbu penyulut pertengkaran dan kehancuran keluarga.
Sumber Percekcokan
Suami yang menjaga moral (sila) dengan baik, tetapi mengabaikan kebutuhan sosial ekonomi keluarga, akan menjadikan keluarga itu hidup dalam kekurangan, bahkan kemiskinan. Hal ini mudah sekali menimbulkan seribu satu macam persoalan yang kemudian menyulut api percekcokan.
Demikian juga bila pasangan suami-istri tidak kekurangan, bahkan berlebihan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial ekonomi, tetapi salah satu atau keduanya tidak memiliki moral dengan baik, maka tidak mungkin juga mereka akan menikmati suasana harmoni dan buah kebahagiaan. Keluarga seperti ini ibarat pohon yang sarat berbuah tetapi akarnya tidak kuat karena mulai digerogoti hama atau penyakit.
Cinta Kasih Sebagai Kunci
Agama Buddha mencita-citakan keluarga harmoni sebagai keluarga bahagia dan sejahtera. Keluarga bahagia ini dihargai sebagai berkah utama, yang merupakan salah satu kondisi penting, yang memungkinkan seseorang mencapai kemajuan.
Kalau kita kaji lebih dalam, sampailah kita pada kesimpulan bahwa dasar hakiki keharmonian adalah cinta kasih. Bukan saja kewajiban yang disebutkan dalam Sigalovada Sutta tersebut bersumber pada cinta kasih antara suami dan istri, tetapi hampir semua orang yakin, bahwa cinta kasih itu yang membuat seseorang bertanggung-jawab dalam membangun dan memelihara keluarga harmoni.
Tetapi perlu diingat bahwa cinta kasih yang menjadi dasar hakiki keharmonian bukanlah sesuatu yang bisa didapat dengan sekali pungut. Cinta kasih harus dipupuk dengan dasar pengertian yang benar, keuletan dan kesabaran, dari saat ke saat, dari hari ke hari, sepanjang hidup ini.
Sikap Berterus Terang
Dalam Agama Buddha, cinta kasih bukan hanya sikap emosional mencintai, apalagi memiliki. Tetapi cinta kasih adalah suatu sikap yang berdiri di atas dasar kebijaksanaan, yaitu: sikap memberi. Salah satu sifat cinta kasih yang harus kita pupuk dalam lembaga perkawinan adalah: saling memberi kesempatan yang memungkinkan timbulnya sikap untuk berterus terang. Tidak hanya bagi pasangan suami-istri, tetapi juga antara orangtua dan anak, sikap mau berterus-terang sangat diperlukan dalam jalinan keluarga. Kalau suami dan istri, orangtua dan anak, sudah tidak saling mempercayai, saling sembunyi-sembunyi, tidak mau berterus terang, tidak mau terbuka, maka keharmonian pasangan dan juga keharmonian keluarga yang menjadi idaman hanyalah tinggal impian. Rupa-rupanya sekarang ini lembaga perkawinan dan juga kehidupan keluarga sudah banyak yang mengalami erosi keterus-terangan. Mereka hidup berkeluarga, suami-istri atau ayah-ibu dan anak-anak, tetapi nyatanya mereka tidak mempunyai hubungan kekeluargaan. Mereka bersikap saling merahasiakan, sehingga akhirnya keakuan menggantikan cinta kasih dan keharmonian.
Keterus-terangan mempunyai kaitan yang erat sekali dengan pengendalian diri. Mempunyai sikap mau berterus-terang, tidak tertutup, berarti bersedia (berani) menerima kenyataan dengan wajar, tidak emosional dan bersedia memberikan pandangan dengan wajar pula. Kalau sikap mau berterus-terang atau keterbukaan ini banyak dicampuri tuntutan keakuan, suami terlalu menuntut dan mencela setiap sikap istri atau sebaliknya, maka masing-masing tidak akan mau membuka persoalan dan kesulitan kepada pasangannya. Hubungan harmoni akan berubah menjadi hubungan formal yang kaku.
Penutup
Sebagai penutup dari artikel ini, saya akan mengakhiri dengan menunjukkan enam faktor pemelihara keharmonian, seperti disebutkan oleh Sang Buddha dalam Saraniya Dhamma Sutta:
1.
Saling memperlakukan dengan cinta kasih
2.
Berbicara dengan cinta kasih
3.
Memikirkan dengan cinta kasih
4.
Masing-masing saling mengajak untuk ikut serta menikmati kebahagiaan yang sedang dinikmatinya
5.
Mempunyai sikap moral yang serasi
6.
Mempunyai pandangan hidup yang sama
Semoga uraian ini membawa manfaat bagi Anda dalam mempersiapkan, membangun dan membenahi perkawinan serta keluarga.***

MEMBANGUN KELUARGA
RUMAH TANGGA UMAT BUDDHA YANG UTUH

oleh : Bhikkhu Dhammasubho


Pengantar kata-kata

Pada suatu Minggu, di sebuah vihara seorang pengkotbah mendapat pesan dari pemuka umat Buddha setempat, “Di vihara ini, harap kotbahnya serba logika, dan harus dogtriner imajiner, agama Buddha anti dogma.” Segera ternyata, pemuka umat Buddha di vihara yang berpesan itu, tak satupun hafal paritta, tidak mengerti anjali, salah-salah tiap kali mengucapkan Namasakara Gatha. Bahkan istri maupun anak-anaknya bukan penganut agama Buddha.

Secuplik kisah itu, yang mengilhami naskah ini ditulis, dan dapat digunakan untuk memenuhi permintaan panitia penyelenggara sarasehan sehari oleh Pengurus Cabang (PC) Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (MAGABUDHI) Kota Semarang. Bahwa sejak bulan September 2001, kami telah menerima surat tentang rencana membuat sarasehan dengan tujuan Membina Keluarga Buddhis Bahagia. Akan tetapi karena sesuatu dan lain hal, sempat tertunda sampai beberapa kali akhirnya bulan Januari tahun 2002 pelaksaannya. Kemudian “Membangun Keluarga Umat Buddha Yang Utuh” merupakan pokok pikiran yang kami ajukan di sini.

Mengingat, pesan peringatan : “Agama Buddha anti dogma” tidak seluruhnya benar. Agar pandangan salah itu tidak terlalu jauh menyebar, pada kesempatan ini mari kita luruskan pandangan yang keliru itu.

Pendahuluan

Rumah tangga, lain dengan rumah dan tangga. Meskipun sama-sama rumah memiliki tangga. Tidak semua rumah dapat disebut sebagai rumah tangga. Tetapi bisa saja disebut sebagai rumah makan, rumah sakit, rumah ibadah, rumah dinas, rumah jaga, atau rumah-rumahan. Yang membedakan rumah dapat disebut sebagai rumah tangga apabila rumah itu telah dihuni oleh sepasang pria dan wanita yang diikat dengan tali pengikat hukum masyarakat sebagai suami istri. Sehingga kalaupun telah dihuni oleh pria-wanita, tetapi kalau pria-wanita tidak diikat dengan tali perkawinan, tetap belum disebut sebagai rumah tangga.

Sebuah rumah yang dihuni oleh sepasang suami-istri inilah, secara hukum masyarakat disepakati sebagai rumah tangga berisi keluarga. Suami kepala keluarga, istri dan anak-anak sebagai anggota keluarga. Rumah tangga merupakan negara kecil. Sedangkan negara adalah sebuah rumah tangga besar yang terdiri dari pada pembesar. Namun keluarga kecil maupun besar tetap sama problematika yang harus ditanggung. Suka-dukha, untung-rugi, dipuji-dicela, terkenal-tercemar. Adapun yang paling lazim, ketika dalam keadaan sukha, dipuji, untung, terkenal, bukan dianggap masalah. Akan tetapi, ketika menerima dukha, dicela, rugi, tercemar namanya, menjadi masalah besar. Padahal bahagia atau menderita keduanya adalah sebuah masalah. Seseorang bisa saja mati mendadak ketika dalam keadaan terlalu menderita maupun terlalu bahagia. Bagaimana umat Buddha bersikap tentang problematika kehidupan keluarga yang selalu menjadi thema sentral sepanjang zaman. 

Pandangan Hidup

Dari berbagai tingkatan sastra banyak pengakuan, bahwa hidup dan kehidupan hanya ditempuh dari waktu ke waktu serta diikuti secara turun temurun, karena sudah ada yang mengatur. Dalam pandangan tersebut, kalau dalam perjalanan hidup tidak banyak persoalan serius, dalam arti sandang pangan papan serba kecukupan, bagus, mulus, tidak menjadi beban. Tetapi akan menjadi masalah besar, apabila yang terjadi sebaliknya, bahkan sepanjang hidup senantiasa dirundung kesulitan, ditimpa kemalangan tidak berujung pangkal, buat mengatasi sudah habis akal. Siapa yang akan disalahkan. Apakah yang mengatur, atau yang membuat peraturan, atau karena menyalahi peraturan. Kejadian seperti ini yang tidak diinginkan oleh semua orang. Maka bagi kaum yang tidak mempunyai wawasan luas tentang konsep hidup dan kehidupan, yang terjadi banyak kehidupan secara individu maupun sosial mengalami jalan buntu, tidak menentu, hampa, putus asa, merasa dirinya tiada berharga, tidak berguna, inginnya bunuh diri saja.

Bagi kaum optimistis memandang dunia indah, seindah bunga mawar, sebaliknya buat kaum pesimistis memandang dunia menakutkan penuh dengan duri-duri. Sehingga banyak di antara keluarga yang dilekati oleh kedua pandangan ekstrim tersebut. Akibat dari kedua sisi yang tak seimbang, maka hampir sepanjang waktu hidup ketegangan, dan menjadi tidak harmoni.

Konsep Buddhis mengajak, pandanglah dunia dengan realistis. Bahwa dunia penuh kebahagiaan indah menjanjikan, tetapi juga di balik kebahagiaan terdapat sejumlah penderitaan. Sesungguhnya dunia ibarat sekeping mata uang logam mempunyai dua sisi. Satu, sisi kebahagiaan dan dua sisi penderitaan. Petunjuk Buddha bagaimana memetik bunga mawar yang indah itu, dengan sedikit terkena tusukan duri-duri. Haruslah berhati-hati, mempunyai pengendalian diri, penuh waspada dalam bertindak apa saja.

Membangun Kehidupan

Ada sebuah pandangan bahwa hidup ini hanya satu kali dan sudah ada yang mengatur. Menjadi baik, buruk, sukses, gagal, kaya, miskin, bodoh, pandai, sudah digariskan. Upaya apapun yang dilakukan sekarang sia-sia, tiada guna. Segera ternyata dibantah mentah-mentah oleh pandangan lain, hidup berapa kali tidak peduli, dan sepenuhnya ditentukan oleh diri sendiri sekarang, tidak ada hubungan apapun dengan masa lampau. Diri sendiri adalah arsitek bagi diri sendiri. Ibarat selembar kertas bersih, kelak akan berisi tulisan indah, atau coretan apapun sepenuhnya tergantung pada usaha-usaha diri sendiri masa sekarang yang mengisi. Pandangan Buddhis adalah hidup ini tidak hanya satu kali, melainkan berkali-kali. Perjalanan hidup sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, didukung usaha masa sekarang, yang membuahkan hasil kemudian.

Kata Buddha, “Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri. Siapa pula yang menjadi pelindung bagi diri sendiri. Bagi diri sendiri yang terlatih baik dan benar, sesungguhnya akan menjadi pelindung yang pasti dan aman.” Ini hukum Dhamma, bukan buatan manusia.

Dalam membangun hidup secara individu maupun sosial yang harmoni, semua diperlukan pengertian benar. Pengertian benar dimaksud adalah memandang sesuatu dari berbagai sisi yang berbeda sekalipun dengan jelas. Hasil dari pandangan benar adalah kesimpulan. Oleh karena jika memandang sesuatu hanya dari satu sisi tertentu, hanya akan menjadi sebuah keputusan. Bukan kesimpulan. Pesan Buddha, pandanglah sesuatu itu dari sisi yang berbeda sekalipun dengan jelas. Agar pada saat menghadapi perubahan hidup yang berbeda sekalipun tetap tenang.

Membangun Keluarga

Membangun keluarga dalam rumah tangga yang perlu diperhatikan adalah memilih calon pasangan suami-istri. Yakni sifat mental, bentuk fisik, maupun kecenderungan perilaku. Sekali salah pilih, tekad membangun kebahagiaan surga dunia, justru kesengsaraan neraka yang diperoleh. Dua jenis sifat ekstrem baik seperti watak dewa-dewi, sebaliknya terdapat dua jenis ekstrem jahat ibarat watak rasaksa dan reseksi perlu dipahami sebelum memilih calon pasangan.

Dalam Mahatanha Sakaya Sutta, terdapat empat jenis pasangan suami-istri.
1.      Chawao-Chawia, pasangan pria berwatak rasaksa, dan istri bersifat raseksi
2.      Chawao-Dewi, jenis pasangan pria berwatak rasaksa, wanita bersifat bidadari
3.      Dewo-Chawia, jenis pasangan pria bersifat dewa, wanita bersifat raseksi
4.      Dewo-Dewia, pasangan pria bersifat dewa, dan perempuan bersifat bidadari

Pasangan jenis keempat paling ideal menurut Dhamma. Pria bersifat dewa, dan perempuan bersifat bidadari.

Tadi telah dikupas artikulasi dari sebuah kata keluarga. Intinya adalah campuran individu yang berbeda jenis, usia, status, gaya, selera, kecenderungan tradisi budaya, dan berbeda segalanya. Tetepi justru dari berbeda-beda latar belakang itu, kalau berkumpul menjadi satu dan diikat dengan tali perkawinan serta tinggal bersama, selanjutnya dapat disebut keluarga rumah tangga.

Pada hakekatnya di dunia ini masing-masing individu tidak mungkin berstatus sama, minimal suami-istri, pria-wanita. Maka, semakin dibuat sama, malah semakin menjadi beda. “Semakin banyak peraturan dibuat, dunia semakin menjadi tidak aman”. Kata Guru Tao, Lao Tze. Kata Buddha, “Status tidak mungkin sama, tetapi kesamaan berpikir bisa dibuat sama, yaitu sama-sama berpikir, berucap, dan bertindak, tentang keyakinan, kemoralan, kedermawanan”. Kesamaan berpikir mempunyai kekuatan sungguh luar biasa mengagumkan mampu menembus : nusa, manusia, bangsa, budaya, agama, yang berbeda-beda sekalipun. Termasuk perbedaan status pria-wanita, suami-istri, perbedaan anggota keluarga.

Membangun kesamaan berpikir, sama dengan menyamakan visi ---program jangka panjang, dan misi ---program jangka pendek. Manurut Dhamma. Program yang perlu dicanangkan secara bertahap adalah, mencapai : 1) Kesenangan, 2) Kebahagiaan,          3) Ketenangan, dan 4) Bebas dari kemelesetan secara positif. Dan 4 hal negatif lainnya yang harus dihapus, merasa tua, merasa bisa, merasa kaya, merasa kuasa.

1.      Kesenangan, adalah hal-hal yang bersinggungan dengan materi duniawi. Untuk mendapatkan materi harus bekerja keras sesuai dengan “Mata Pencaharian Benar”.
2.      Kebahagiaan, yaitu pikiran tidak tercela. Untuk mendapatkan pikiran tidak tercela adalah melalui praktek “Lima Sila/Pancasila Buddhis”.
3.      Ketenangan, dimaksud di sini batin yang tidak mudah goyah. Untuk mencapai batin hingga tidak mudah goyah, perlu dilatih “Samadhi Benar”.
4.      Bebas dari kemelesetan, adalah lepasnya sang “Keakuan/Ego”.

Ego secara tidak disadari akan muncul melalui 4 aksi jiwa, yaitu : merasa tua, merasa bisa, merasa kuasa, merasa kaya, intinya memandang rendah orang lain. Maka wanti-wanti, harap tidak salah terjemah, bukan berarti umat Buddha tidak boleh menjadi tua, kaya, kuasa, dan serba bisa bisa.

Secara Dhamma umat Buddha, sebagai individu harus benar-benar menjadi tua, kuasa, bisa, dan kaya. Oleh karena yang dimaksud :
Ø  Tua, adalah tua cara berpikirnya,
Ø  Bisa, artinya bisa menahan diri,
Ø  Kuasa, dimaksud dapat menguasai nafsu-nafsu indriya, dan
Ø  Kaya, tidak hanya kaya secara materi, melainkan juga kaya ilmu pengetahuan, dan kaya kebajikan.

Dengan dapat menghindari 4 aspek negatif, dan dapat mewujudkan 4 aspek positif. Yang dilandasi kesamaan berpikir meliputi, sama keyakinan (saddha), sama kemoralan (sila), sama kedermawanan (cagga), dan sama tingkat wawasan (pannya). Pastilah, pasti menjadi pasangan dewa-dewi yang harmoni keluarga bahagia sesuai Dhamma ajaran Sang Buddha kapan saja.

Membangun Watak

Watak terus berlalu, usia terus menua menjadi tua, hanya lobha tetap awet muda. Terdapat 75 Sekkhiya Vatta, terdiri dari 30 butir cara makan, 26 butir cara berpakaian, pergi dan tinggal di tempat umum, 16 butir cara bergaul dengan orang lain, dan ada 3 butir cara menggunakan fasilitas umum.

Sekkhiya = latihan, Vatta = kebiasaan. Sekkhiya Vatta artinya, latihan kebiasaan. Diberlakukan untuk para bhikkhu dan samanera menurut tradisi Tipitaka Pali. Namun meskipun 75 Sekkhiya Vatta diberlakukan untuk para bhikkhu dan samanera. Adalah bisa pula diberlakukan untuk keluarga rumah tangga. Oleh karena butir-butir tersebut mengandung pesan dan latihan watak jiwa kepribadian dalam pergaulan sehari-hari. Agar anggota keluarga masing-masing mempunyai pengendalian diri, budi pekerti, sopan santun tata krama kepada sesama anggota keluarga maupun anggota warga masyarakat di sekelilingnya.

Dalam kebersamaan menjadi harmoni apabila masing-masing pribadi memiliki tata etika, mengerti sopan santun budi pekerti cara bergaul satu sama lain. Dalam sejarah kemanusiaan di mana sengketa, hingga peperangan terjadi, tidak lain hanyalah akibat dari keteledoran praktek etika – tata krama dalam pergaulan.

Wakat bisa dibangun melalui tahapan-tahapan latihan. Sang Buddha meletakkan dasar pembentukan watak jiwa kepribadian melalui tahapan dan latihan. Secara psiologi ditanamkan : pertama, etika, kedua estetika, ketiga dogma, dan keempat doktrin.

1.      Etika, meliputi budi pekerti, sopan santun tata krama
2.      Estetika, adalah hal-hal menyangkut seni keindahan
3.      Dogma, menanamkan dan menumbuhkan rasa disiplin
4.      Doktrin, mengajarkan tentang segala sesuatu yang bersifat logika.
Dalam term bahasa Dhamma, adalah : dana, sila, samadhi, dan panna.

Di negara-negara Buddhis terdapat undang-undang tidak tertulis, bahwa sebagai warga negara mengikuti latihan menjadi bhikkhu/samanera walaupun hanya bersifat sementara adalah wajib. Yang selama mengikuti latihan tersebut akan menjadi tahu, mengerti, dan mengalami sendiri, norma-norma haluan Buddhis secara keseluruhan. Sehingga mereka menjadi umat Buddha intelek relegius, tahu tata krama, mengerti budi pekerti, mempunyai keyakinan tidak mudah goyah, berwawasan luas dan bersikap luwes dalam pergaulan. Menyatakan agamaku (diriku) yang baik tidak dengan mengatakan orang lain itu jelek.

Membekali anak dengan ilmu pengetahuan teknologi sebagai jendela dunia penting, tetapi memberi pengertian tentang budi pekerti sebagai cermin kehidupan perlu, dan bekal spiritual berfungsi untuk mengenali diri sendiri, tidak kalah penting. Ketiga aspek tersebut merupakan benteng pertahanan hidup yang pasti dan aman. Menurut kacamata Dhamma, frame Kesunyatan, produk Alam. Hidup manusia yang hanya mengejar kelebihan ilmu teknologi dan kekayaan materi, ibarat mengasah sebilah pedang bermata dua, sama-sama berbahaya jika tidak dibungkus dengan budi pekerti ilmu rohani. Bahkan apabila pengetahuan ilmu teknologi diberi alokasi waktu lebih besar dari budi pekerti, dan lebih sedikit waktu untuk memahami atau mendalami ilmu rohani. Dampaknya mudah dibaca, banyak orang pandai tetapi kurang sopan santun, tidak tahu malu dan tidak tahu diri. Membunuh dianggap tidak berdosa, mencuri soal biasa, mabuk-mabuk dianggap selera hidup paling bergaya.

Adalah Sang Buddha sejak awal pembabaran Dhamma telah meletakkan dasar utama dan pertama tentang tiga aspek penting. Bagi manusia yang telah dibekali dengan tiga aspek dasar watak jiwa kepribadian sesuai anjuran dan ajaran Sang Buddha, ia akan menjadi manusia mampu berkarya sungguh luar biasa mengagumkan. Bukti konkret, apa yang dicanangkan oleh Sang Buddha. Bahwa tujuh keajaiban di dunia, Menara Piza, Menara Eifel, Piramida, Tembok China, Taj Mahal, Angkor Wat, dan Candi Borobudur. Dua diantaranya Angkor Wat dan Candi Borobudur adalah bangunan Buddhis, karya umat Buddha pada zamannya.

Mendidik Anak

Dalam pola hidup masa kini, ayah, ibu, sangat sedih ketika anak-anaknya kehilangan gaya hidup modern, tetapi tidak gelisah anak-anaknya kehilangan iman. Sehingga berani membayar mahal guru-guru privat tentang teknologi. Tetapi seolah-olah tidak peduli atas kebutuhan anak-anak tentang bidang ilmu rohani.

Orang tua, merupakan guru utama dan paling pertama bagi anak-anak di rumah. Bapak/Ibu guru adalah orang tua di sekolah. Anak-anak kelak akan menjadi terpelajar atau kurang ajar tergantung orang tua dan guru sebagai dewa penentu. Karena itu keduanya, antara orang tua dan guru perlu koordinasi yang baik dalam mendidik anak-anak. Guru bertanggung jawab selama 6 jam di sekolah, berarti 19 jam lainnya kembali menjadi tanggung jawab sepenuhnya orang tua di rumah.
Guru yang baik adalah tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik. Mengajar memberi ilmu, mendidik memberi contoh. Guru yang pandai dalam setiap memberi pelajaran akan bisa dimengerti oleh murid-murid yang bodoh sekalipun. Dalam memilih materi sesuai dengan perkembangan jiwa maupun usia, dan disampaikan dengan menggunakan tiga tahap bahasa. Bahasa lisan, bahasa simbul atau bahasa tulisan, dan ketiga bahasa tubuh (body language).

Sebagai menurut Sigmon freud, anak setiap 6 tahun sekali terdapat perubahan sifat dasar kejiwaan. Sehingga cara memberi maupun memilih materi pelajaran harus berbeda, sesuai perkembangan kejiwaan.

1.      0 – 6 tahun, yang peka rasa
2.      7 – 12 tahun, yang tajam penglihatan
3.      13 – 18 tahun, dirinya ingin dilihat dan dirasakan
4.      19 – 24 tahun, apa yang dilihat dan dirasakan dianalisis
5.      24 tahun – dst, apa yang telah dianalisis diambil keputusan.
Dalam sebuah teori tertentu, tiap skala enam tahun pertumbuhan usia anak mengalami perubahan empat tahap sejak lahir dari rahim ibu : 6 tahun pertama ibarat dewa, 6 tahun kedua seperti raja, 6 tahun ketiga berjiwa pahlawan, dan 6 tahun keempat dewasa kencana laksana brahmana.

Petunjuk Buddha, mendidik anak hendaknya dimulai, sejak anak masih di dalam kandungan melalui empat perilaku utama oleh ayah yang mengasuh selama ibu mengandung :
1.      Medhavini, sifat keindahan bidadari di alam dewata/alam surga
2.      Silavati, mempunyai pengendalian diri dengan praktek lima sila (Pancasila Buddhis)
3.      Patibata, laku hormat kepada orang tua dan mertua
4.      Susadewa, rajin melakukan puja bhakti kepada para dewa

Titik Simpul

1.      Karena disinyalir masih banyak umat beragama yang belum utuh, baru sebatas sebagai pemeluk agama secara formalitas, belum sampai menjadi pengikut suatu agama yang berkwalitas. Menteri Agama Republik Indonesia pernah menganjurkan lewat program, mang-agama-kan umat beragama secara utuh.
2.      Mengarahkan kehidupan beragama yang sama dalam satu keluarga.
3.      Menanamkan kesamaan perpikir tentang aspek-aspek agama yang sama di dalam anggota keluarga.
4.      Meletakkan dasar perbentukan watak jiwa kepribadian yang sama secara Dhamma, bagi umat Buddha.
5.      Orang tua hendaknya lebih dulu memberi contoh praktek agama yang dianut secara utuh untuk diteladani anggota keluarga.
6.      Kegagalan orang tua memberi teladan praktek agama yang dianut, mejadi tanda gagal membangun keluarga harmoni.
7.      Ukuran minimal sebagai umat beragama yang utuh apabila telah dapat mewujudkan hidup beragama di rumah, di tempat ibadah, dan hidup beragama di masyarakat atau di sekolah.











Disampaikan dalam
Sarasehan  PENERAPAN DHAMMA DALAM BERUMAH TANGGA
 yang diselenggarakan di Vihara BUDDHA GAYA Watugong, Semarang
pada Minggu, 20 Januari 2002




Kiat Mengatasi Kenakalan Remaja
Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang ternoda. Oleh diri sendiri kejahatan tidak dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri; tak seorang pun yang dapat mensucikan orang lain. (Dhammapada XII, 9)
PENDAHULUAN
Masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan kemudian menjadi orangtua, tidak lebih hanyalah merupakan suatu proses wajar dalam hidup yang berkesinambungan dari tahap-tahap pertumbuhan yang harus dilalui oleh seorang manusia. Setiap masa pertumbuhan memiliki ciri-ciri tersendiri. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Demikian pula dengan masa remaja. Masa remaja sering dianggap sebagai masa yang paling rawan dalam proses kehidupan ini. Masa remaja sering menimbulkan kekuatiran bagi para orangtua. Masa remaja sering menjadi pembahasan dalam banyak seminar. Padahal bagi si remaja sendiri, masa ini adalah masa yang paling menyenangkan dalam hidupnya. Oleh karena itu, para orangtua hendaknya berkenan menerima remaja sebagaimana adanya. Jangan terlalu membesar-besarkan perbedaan. Orangtua para remaja hendaknya justru menjadi pemberi teladan di depan, di tengah membangkitkan semangat, dan di belakang mengawasi segala tindak tanduk si remaja.
Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Para ahli pendidikan sependapat bahwa remaja adalah mereka yang berusia antara 13 tahun sampai dengan 18 tahun. Seorang remaja sudah tidak lagi dapat dikatakan sebagai kanak-kanak, namun masih belum cukup matang untuk dapat dikatakan dewasa. Mereka sedang mencari pola hidup yang paling sesuai baginya dan inipun sering dilakukan melalui metoda coba-coba walaupun melalui banyak kesalahan. Kesalahan yang dilakukan sering menimbulkan kekuatiran serta perasaan yang tidak menyenangkan bagi lingkungan dan orangtuanya. Kesalahan yang diperbuat para remaja hanya akan menyenangkan teman sebayanya. Hal ini karena mereka semua memang sama-sama masih dalam masa mencari identitas. Kesalahan-kesalahan yang menimbulkan kekesalan lingkungan inilah yang sering disebut sebagai kenakalan remaja.
PEMBAHASAN
Masalah kenakalan remaja mulai mendapat perhatian yang khusus sejak dibentuknya suatu peradilan untuk anak-anak nakal atau juvenile court pada tahun 1899 di Cook County, Illinois, Amerika Serikat. Pada waktu itu, peradilan tersebut berfungsi sebagai pengganti orangtua si anak - in loco parentis - yang memutuskan perkara untuk kepentingan si anak dan masyarakat. Dalam pandangan umum, kenakalan anak dibawah umur 13 tahun masih dianggap wajar, sedangkan kenakalan anak di atas usia 18 tahun dianggap merupakan salah satu bentuk kejahatan. Dalam tulisan ini hanya akan dibahas kenakalan yang dilakukan oleh para remaja dalam usia 13 sampai dengan 18 tahun.
Kenakalan remaja dapat ditimbulkan oleh beberapa hal, sebagian di antaranya adalah:
  1. PENGARUH KAWAN SEPERMAINAN
Di kalangan remaja, memiliki banyak kawan adalah merupakan satu bentuk prestasi tersendiri. Makin banyak kawan, makin tinggi nilai mereka di mata teman-temannya. Apalagi mereka dapat memiliki teman dari kalangan terbatas. Misalnya, anak orang yang paling kaya di kota itu, anak pejabat pemerintah setempat bahkan mungkin pusat atau pun anak orang terpandang lainnya. Di jaman sekarang, pengaruh kawan bermain ini bukan hanya membanggakan si remaja saja tetapi bahkan juga pada orangtuanya. Orangtua juga senang dan bangga kalau anaknya mempunyai teman bergaul dari kalangan tertentu tersebut. Padahal, kebanggaan ini adalah semu sifatnya. Malah kalau tidak dapat dikendalikan, pergaulan itu akan menimbulkan kekecewaan nantinya. Sebab kawan dari kalangan tertentu pasti juga mempunyai gaya hidup yang tertentu pula. Apabila si anak akan berusaha mengikuti tetapi tidak mempunyai modal ataupun orangtua tidak mampu memenuhinya maka anak akan menjadi frustrasi. Apabila timbul frustrasi, maka remaja kemudian akan melarikan rasa kekecewaannya itu pada narkotik, obat terlarang, dan lain sebagainya.

Pengaruh kawan ini memang cukup besar. Dalam Mangala Sutta, Sang Buddha bersabda: "Tak bergaul dengan orang tak bijaksana, bergaul dengan mereka yang bijaksana, itulah Berkah Utama". Pengaruh kawan sering diumpamakan sebagai segumpal daging busuk apabila dibungkus dengan selembar daun maka daun itupun akan berbau busuk. Sedangkan bila sebatang kayu cendana dibungkus dengan selembar kertas, kertas itu pun akan wangi baunya. Perumpamaan ini menunjukkan sedemikian besarnya pengaruh pergaulan dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang ketika remaja, khususnya. Oleh karena itu, orangtua para remaja hendaknya berhati-hati dan bijaksana dalam memberikan kesempatan anaknya bergaul. Jangan biarkan anak bergaul dengan kawan-kawan yang tidak benar. Memiliki teman bergaul yang tidak sesuai, anak di kemudian hari akan banyak menimbulkan masalah bagi orangtuanya.

Untuk menghindari masalah yang akan timbul akibat pergaulan, selain mengarahkan untuk mempunyai teman bergaul yang sesuai, orangtua hendaknya juga memberikan kesibukan dan mempercayakan sebagian tanggung jawab rumah tangga kepada si remaja. Pemberian tanggung jawab ini hendaknya tidak dengan pemaksaan maupun mengada-ada. Berilah pengertian yang jelas dahulu, sekaligus berilah teladan pula. Sebab dengan memberikan tanggung jawab dalam rumah akan dapat mengurangi waktu anak ‘kluyuran’ tidak karuan dan sekaligus dapat melatih anak mengetahui tugas dan kewajiban serta tanggung jawab dalam rumah tangga. Mereka dilatih untuk disiplin serta mampu memecahkan masalah sehari-hari. Mereka dididik untuk mandiri. Selain itu, berilah pengarahan kepada mereka tentang batasan teman yang baik.

Dalam Digha Nikaya III, 188, Sang Buddha memberikan petunjuk tentang kriteria teman baik yaitu mereka yang memberikan perlindungan apabila kita kurang hati-hati, menjaga barang-barang dan harta kita apabila kita lengah, memberikan perlindungan apabila kita berada dalam bahaya, tidak pergi meninggalkan kita apabila kita sedang dalam bahaya dan kesulitan, dan membantu sanak keluarga kita.

Sebaliknya, dalam Digha Nikaya III, 182 diterangkan pula kriteria teman yang tidak baik. Mereka adalah teman yang akan mendorong seseorang untuk menjadi penjudi, orang yang tidak bermoral, pemabuk, penipu, dan pelanggar hukum.
  1. PENDIDIKAN
    Memberikan pendidikan yang sesuai adalah merupakan salah satu tugas orangtua kepada anak seperti yang telah diterangkan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya III, 188. Agar anak dapat memperoleh pendidikan yang sesuai, pilihkanlah sekolah yang bermutu. Selain itu, perlu dipikirkan pula latar belakang agama pengelola sekolah. Hal ini penting untuk menjaga agar pendidikan Agama Buddha yang telah diperoleh anak di rumah tidak kacau dengan agama yang diajarkan di sekolah. Berilah pengertian yang benar tentang adanya beberapa agama di dunia. Berilah pengertian yang baik dan bebas dari kebencian tentang alasan orangtua memilih agama Buddha serta alasan seorang anak harus mengikuti agama orangtua, Agama Buddha.

    Ketika anak telah berusia 17 tahun atau 18 tahun yang merupakan akhir masa remaja, anak mulai akan memilih perguruan tinggi. Orangtua hendaknya membantu memberikan pengarahan agar masa depan si anak berbahagia. Arahkanlah agar anak memilih jurusan sesuai dengan kesenangan dan bakat anak, bukan semata-mata karena kesenangan orang tua. Masih sering terjadi dalam masyarakat, orangtua yang memaksakan kehendaknya agar di masa depan anaknya memilih profesi tertentu yang sesuai dengan keinginan orangtua. Pemaksaan ini tidak jarang justru akan berakhir dengan kekecewaan. Sebab, meski memang ada sebagian anak yang berhasil mengikuti kehendak orangtuanya tersebut, tetapi tidak sedikit pula yang kurang berhasil dan kemudian menjadi kecewa, frustrasi dan akhirnya tidak ingin bersekolah sama sekali. Mereka malah pergi bersama dengan kawan-kawannya, bersenang-senang tanpa mengenal waktu bahkan mungkin kemudian menjadi salah satu pengguna obat-obat terlarang.

    Anak pasti juga mempunyai hobi tertentu. Seperti yang telah disinggung di atas, biarkanlah anak memilih jurusan sekolah yang sesuai dengan kesenangan ataupun bakat dan hobi si anak. Tetapi bila anak tersebut tidak ingin bersekolah yang sesuai dengan hobinya, maka berilah pengertian kepadanya bahwa tugas utamanya adalah bersekolah sesuai dengan pilihannya, sedangkan hobi adalah kegiatan sampingan yang boleh dilakukan bila tugas utama telah selesai dikerjakan.
  2. PENGGUNAAN WAKTU LUANG
    Kegiatan di masa remaja sering hanya berkisar pada kegiatan sekolah dan seputar usaha menyelesaikan urusan di rumah, selain itu mereka bebas, tidak ada kegiatan. Apabila waktu luang tanpa kegiatan ini terlalu banyak, pada si remaja akan timbul gagasan untuk mengisi waktu luangnya dengan berbagai bentuk kegiatan. Apabila si remaja melakukan kegiatan yang positif, hal ini tidak akan menimbulkan masalah. Namun, jika ia melakukan kegiatan yang negatif maka lingkungan dapat terganggu. Seringkali perbuatan negatif ini hanya terdorong rasa iseng saja. Tindakan iseng ini selain untuk mengisi waktu juga tidak jarang dipergunakan para remaja untuk menarik perhatian lingkungannya. Perhatian yang diharapkan dapat berasal dari orangtuanya maupun kawan sepermainannya. Celakanya, kawan sebaya sering menganggap iseng berbahaya adalah salah satu bentuk pamer sifat jagoan yang sangat membanggakan. Misalnya, ngebut tanpa lampu dimalam hari, mencuri, merusak, minum minuman keras, obat bius, dan sebagainya.

    Munculnya kegiatan iseng tersebut selain atas inisiatif si remaja sendiri, sering pula karena dorongan teman sepergaulan yang kurang sesuai. Sebab dalam masyarakat, pada umunya apabila seseorang tidak mengikuti gaya hidup anggota kelompoknya maka ia akan dijauhi oleh lingkungannya. Tindakan pengasingan ini jelas tidak mengenakkan hati si remaja, akhirnya mereka terpaksa mengikuti tindakan kawan-kawannya. Akhirnya ia terjerumus. Tersesat.

    Oleh karena itu, orangtua hendaknya memberikan pengarahan yang berdasarkan cinta kasih bahwa sikap iseng negatif seperti itu akan merugikan dirinya sendiri, orangtua, maupun lingkungannya. Dalam memberikan pengarahan, orangtua hendaknya hanya membatasi keisengan mereka. Jangan terlalu ikut campur dengan urusan remaja. Ada kemungkinan, keisengan remaja adalah semacam ‘refreshing’ atas kejenuhannya dengan urusan tugas-tugas sekolah. Dan apabila anak senang berkelahi, orangtua dapat memberikan penyaluran dengan mengikutkannya pada satu kelompok olahraga beladiri.

    Mengisi waktu luang selain diserahkan kepada kebijaksanaan remaja, ada baiknya pula orangtua ikut memikirkannya pula. Orangtua hendaknya jangan hanya tersita oleh kesibukan sehari-hari. Orangtua hendaknya tidak hanya memenuhi kebutuhan materi remaja saja. Orangtua hendaknya juga memperhatikan perkembangan batinnya. Remaja, selain membutuhkan materi, sebenarnya juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Oleh karena itu, waktu luang yang dimiliki remaja dapat diisi dengan kegiatan keluarga sekaligus sebagai sarana rekreasi. Kegiatan keluarga ini hendaknya dapat diikuti oleh seluruh anggota keluarga. Kegiatan keluarga dapat berupa pembacaan Paritta bersama di Cetiya dalam rumah ataupun melakukan berbagai bentuk permainan bersama, misalnya scrabble, monopoli, dan lain sebagainya. Kegiatan keluarga dapat pula berupa tukar pikiran dan berbicara dari hati ke hati. Misalnya, dengan makan malam bersama atau duduk santai di ruang keluarga. Pada hari Minggu seluruh anggota keluarga dapat diajak kebaktian di Vihãra setempat. Mengikuti kebaktian, selain memperbaiki pola pikir agar lebih positif sesuai dengan Buddha Dhamma juga dapat menjadi sarana rekreasi. Hal ini dapat terjadi karena di Vihãra kita dapat berjumpa dengan banyak teman dan juga dapat berdiskusi Dhamma dengan para Bhikkhu maupun pandita yang dijumpai. Selain itu, dihari libur, seluruh anggota keluarga dapat bersama-sama pergi berenang, jalan-jalan ke taman ria atau mal, dan lain sebagainya.
  3. UANG SAKU
    Orangtua hendaknya memberikan teladan untuk menanamkan pengertian bahwa uang hanya dapat diperoleh dengan kerja dan keringat. Remaja hendaknya dididik agar dapat menghargai nilai uang. Mereka dilatih agar mempunyai sifat tidak suka memboroskan uang tetapi juga tidak terlalu kikir. Anak diajarkan hidup dengan bijaksana dalam mempergunakan uang dengan selalu menggunakan prinsip hidup ‘Jalan tengah’ seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha.

    Ajarkan pula anak untuk mempunyai kebiasaan menabung sebagian dari uang sakunya. Menabung bukanlah pengembangan watak kikir, melainkan sebagai bentuk menghargai uang yang didapat dengan kerja dan semangat.

    Pemberian uang saku kepada remaja memang tidak dapat dihindarkan. Namun, sebaiknya uang saku diberikan dengan dasar kebijaksanaan. Jangan berlebihan. Uang saku yang diberikan dengan tidak bijaksana akan dapat menimbulkan masalah. Yaitu:
    1. Anak menjadi boros
    2. Anak tidak menghargai uang, dan
    3. Anak malas belajar, sebab mereka pikir tanpa kepandaian pun uang gampang.
  4. PERILAKU SEKSUAL
    Pada saat ini, kebebasan bergaul sudah sampai pada tingkat yang menguatirkan. Para remaja dengan bebas dapat bergaul antar jenis. Tidak jarang dijumpai pemandangan di tempat-tempat umum, para remaja saling berangkulan mesra tanpa memperdulikan masyarakat sekitarnya. Mereka sudah mengenal istilah pacaran sejak awal masa remaja. Pacar, bagi mereka, merupakan salah satu bentuk gengsi yang membanggakan. Akibatnya, di kalangan remaja kemudian terjadi persaingan untuk mendapatkan pacar. Pengertian pacaran dalam era globalisasi informasi ini sudah sangat berbeda dengan pengertian pacaran 15 tahun yang lalu. Akibatnya, di jaman ini banyak remaja yang putus sekolah karena hamil. Oleh karena itu, dalam masa pacaran, anak hendaknya diberi pengarahan tentang idealisme dan kenyataan. Anak hendaknya ditumbuhkan kesadaran bahwa kenyataan sering tidak seperti harapan kita, sebaliknya harapan tidak selalu menjadi kenyataan. Demikian pula dengan pacaran. Keindahan dan kehangatan masa pacaran sesungguhnya tidak akan terus berlangsung selamanya.

    Dalam memberikan pengarahan dan pengawasan terhadap remaja yang sedang jatuh cinta, orangtua hendaknya bersikap seimbang, seimbang antar pengawasan dengan kebebasan. Semakin muda usia anak, semakin ketat pengawasan yang diberikan tetapi anak harus banyak diberi pengertian agar mereka tidak ketakutan dengan orangtua yang dapat menyebabkan mereka berpacaran dengan sembunyi-sembunyi. Apabila usia makin meningkat, orangtua dapat memberi lebih banyak kebebasan kepada anak. Namun, tetap harus dijaga agar mereka tidak salah jalan. Menyesali kesalahan yang telah dilakukan sesungguhnya kurang bermanfaat.

    Penyelesaian masalah dalam pacaran membutuhkan kerja sama orangtua dengan anak. Misalnya, ketika orangtua tidak setuju dengan pacar pilihan si anak. Ketidaksetujuan ini hendaknya diutarakan dengan bijaksana. Jangan hanya dengan kekerasan dan kekuasaan. Berilah pengertian sebaik-baiknya. Bila tidak berhasil, gunakanlah pihak ketiga untuk menengahinya. Hal yang paling penting di sini adalah adanya komunikasi dua arah antara orangtua dan anak. Orangtua hendaknya menjadi sahabat anak. Orangtua hendaknya selalu menjalin dan menjaga komunikasi dua arah dengan sebaik-baiknya sehingga anak tidak merasa takut menyampaikan masalahnya kepada orangtua.

    Dalam menghadapi masalah pergaulan bebas antar jenis di masa kini, orangtua hendaknya memberikan bimbingan pendidikan seksual secara terbuka, sabar, dan bijaksana kepada para remaja. Remaja hendaknya diberi pengarahan tentang kematangan seksual serta segala akibat baik dan buruk dari adanya kematangan seksual. Orangtua hendaknya memberikan teladan dalam menekankan bimbingan serta pelaksanaan latihan kemoralan yang sesuai dengan Buddha Dhamma. Sang Buddha telah memberikan pedoman untuk bergaul yang tentunya juga sesuai untuk pegangan hidup para remaja. Mereka hendaknya dididik selalu ingat dan melaksanakan Pancasila Buddhis. Pancasila Buddhis atau lima latihan kemoralan ini adalah latihan untuk menghindari pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan, dan mabuk-mabukan. Dengan memiliki latihan kemoralan yang kuat, remaja akan lebih mudah menentukan sikap dalam bergaul. Mereka akan mempunyai pedoman yang jelas tentang perbuatan yang boleh dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh dikerjakan. Dengan demikian, mereka akan menghindari perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan melaksanakan perbuatan yang harus dilakukan.
KIAT POKOK MENGATASI KENAKALAN REMAJA
Sebagian besar orangtua di jaman sekarang sangat sibuk mencari nafkah. Mereka sudah tidak mempunyai banyak kesempatan untuk dapat mengikuti terus kemana pun anak-anaknya pergi. Padahal, kenakalan remaja banyak bersumber dari pergaulan. Oleh karena itu, orangtua hendaknya dapat memberikan inti pendidikan kepada para remaja. Inti pendidikan adalah sebuah pedoman dasar pergaulan yang singkat, padat, dan mudah diingat serta mudah dilaksanakan. Pedoman ini telah diberikan oleh Sang Buddha dalam Kitab Suci Tipitaka, Anguttara Nikaya I, 51.
Dengan memberikan inti pendidikan ini, kemana saja anak pergi ia akan selalu ingat pesan orangtua dan dapat menjaga dirinya sendiri. Anak menjadi mandiri dan dapat dipercaya, karena dirinya sendirinyalah yang akan mengendalikan dirinya sendiri. Selama seseorang masih memerlukan pihak lain untuk mengendalikan dirinya sendiri, selama itu pula ia akan berpotensi melanggar peraturan bila si pengendali tidak berada di dekatnya.
Inti pendidikan ini terdiri dari dua hal yaitu :
  • HIRI = MALU BERBUAT JAHAT
    Benteng penjaga pertama agar remaja tidak salah langkah dalam hidup ini adalah menumbuhkan hiri atau rasa malu melakukan perbuatan yang tidak benar atau jahat.

    Dalam memberikan pendidikan, orangtua hendaknya dengan tegas dapat menunjukkan kepada anak perbedaan dan akibat dari perbuatan baik dan tidak baik atau perbuatan benar dan tidak benar. Kejelasan orangtua menerangkan hal ini akan dapat menghilangkan keraguan anak dalam mengambil keputusan. Keputusan untuk memilih kebaikan dan meninggalkan kejahatan. Penjelasan akan hal ini sebaiknya diberikan sejak dini. Semakin awal semakin baik.

    Berikanlah pengertian dan teladan tentang latihan kemoralan. Berikanlah kesempatan anak agar dapat meniru perilaku kebajikan orangtuanya. Ajarkan dan didiklah mereka untuk tidak melakukan pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan, dan mabuk-mabukan. Gunakanlah acara-acara di televisi sebagai alat pengajaran. Tunjukkan kepada mereka bahwa kejahatan tidak akan pernah menang. Kejahatan akan musnah pada akhirnya. Sebaliknya, walaupun kebaikan kadang menderita di awalnya akhirnya akan memperoleh kebahagiaan juga.

    Apabila anak sudah dapat dengan jelas membedakan kebaikan dan keburukan, tahap berikutnya adalah menumbuhkan rasa malu untuk melakukan kejahatan. Kondisikanlah pikiran anak punya rasa malu, merasa tidak pantas melakukan pelanggaran peraturan kemoralan baik yang diberikan oleh Sang Buddha maupun oleh masyarakat lingkungan. Mengkondisikan munculnya rasa malu dapat menggunakan cara seperti ketika orangtua mengenalkan pakaian kepada anak-anaknya. Orangtua selalu berusaha memberikan pakaian yang layak untuk anak-anaknya. Namun, apabila suatu saat anak mengenakan pakaian dengan tidak pantas atau mungkin tersingkap sedikit, orangtua segera membenahinya dan mengatakan, menegaskan bahwa hal itu memalukan. Sikap itu masih berkenaan dengan masalah pakaian fisik. Pakaian batin pun juga demikian. Orangtua bila mengetahui bahwa anaknya melakukan suatu perbuatan yang tidak pantas maka katakan segera bahwa hal itu memalukan. Kemudian berikanlah saran agar dia tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Bila perbuatan itu masih diulang, berilah sanksi. Berilah hukuman yang mendidik bila perbuatan itu tetap diulang. Usahakan dengan berbagai cara agar anak tidak lagi mengulang perbuatan yang tidak baik itu.
  • OTTAPPA = TAKUT AKIBAT PERBUATAN JAHAT
    Apabila anak bertambah besar, orangtua selain menunjukkan bahwa suatu perbuatan tertentu tidak pantas, memalukan untuk dilakukan oleh anaknya, maka orangtua dapat meningkatkannya dengan memberikan uraian tentang akibat perbuatan buruk yang dilakukan anaknya. Akibat buruk terutama adalah yang diterima oleh si anak sendiri, kemudian terangkan pula dampak negatif yang akan diterima pula oleh orangtua, keluarganya serta lingkungannya. Orangtua dapat memberikan perumpamaan bahwa bila diri sendiri tidak ingin dicubit, maka janganlah mencubit orang lain. Artinya, apabila kita tidak senang terhadap suatu perbuatan tertentu, sebenarnya hampir semua orang pun bahkan semua mahluk cenderung tidak suka pula dengan hal itu. Rata-rata semua mahluk, dalam hal ini, manusia memiliki perasaan serupa. Penjelasan seperti ini akan membangkitkan kesadaran anak bahwa perbuatan buruk yang tidak ingin dialaminya akan menimbulkan perasaan yang sama bagi orang lain. Dan apalagi bila telah tiba waktunya nanti, kamma buruk berbuah, penderitaan akan mengikuti si pelaku kejahatan.
Menumbuhkembangkan perasaan malu dan takut melakukan perbuatan yang tidak baik ataupun berbagai bentuk kejahatan inilah yang akan menjadi 'pengawas setia' dalam diri setiap orang, khususnya para remaja. Selama dua puluh empat jam sehari, 'pengawas' ini akan melaksanakan tugasnya. Kemanapun anak pergi, ia akan selalu dapat mengingat dan melaksanakan kedua hal sederhana ini. Ia akan selalu dapat menempatkan dirinya sendiri dalam lingkungan apapun juga sehingga akan mampu membahagiakan dirinya sendiri, orangtua dan juga lingkungannya. Orangtua sudah tidak akan merasa kuatir lagi menghadapi anak-anaknya yang beranjak remaja. Orangtua tidak akan ragu lagi menyongsong era globalisasi. Orangtua merasa mantap dengan persiapan mental yang telah diberikan kepada anak-anaknya. Oleh karena itu, pendidikan anak di masa kecil yang sedemikian rumit tampaknya, akan dapat dinikmati hasilnya di hari tua.
Sesungguhnya memang diri sendiri itulah pelindung bagi diri sendiri. Suka dan duka yang kita alami adalah hasil perbuatan kita sendiri. Sebab, oleh diri sendiri kejahatan dilakukan; oleh diri sendiri pula kejahatan dapat dihindarkan. Oleh karena itu, dengan memberikan pengertian yang baik tentang inti pendidikan tersebut kepada anak-anak, diharapkan anak akan dapat membawa diri dan menjaga dirinya sendiri agar dapat tercapai kebahagiaan. Kebahagiaan bagi dirinya sendiri. Kebahagiaan bagi orangtuanya. Kebahagiaan bagi lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA
  1. Soerjono Soekanto, SH, MA, Prof. Dr., Remaja dan masalah-masalahnya, Penerbit PT BPK Gunung Mulia dan Yayasan Kanisius, Cetakan kelima, Jakarta, 1985
  2. Vajiranyanavarorasa, H.R.H. The Late Supreme Patriarch, Prince, Navakoda, alih bahasa: Bhikkhu Jeto, Yayasan Dhammadipa Arama, Cetakan kedua, Jakarta, Agustus 1989
  3. -----, Paritta Suci, Yayasan Dhammadipa Arama, Cetakan Ketujuh, Jakarta, 1994
*Y.M. Uttamo Thera adalah Upa Sanghanãyaka STI 2000-2003, Ketua Yayasan Dhammadipa Arama cabang Blitar & Webmaster Samaggi Phala
Hak cipta tetap berada pada penulis.

http://www.buddhistonline.com/dhammadesana/desana5.shtml

Tidak ada komentar:

Posting Komentar