BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari banyak suku,
bahasa, ras, dan agama. Namun, sebagai bangsa Indonesia yang menjujung tinggi
Semboyan Negara Indonesia yang berbunyi “ Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti Berbeda-beda
tetapi tetap satu jua. Ini menunjukan kenyataan bahwa bangsa Indonesia
heterogen, namun tetap berkeinginan untuk menjadi satu yaitu bangsa Indonesia.
Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi warga Negara
bebas memeluk agama dan melaksanakan ibadahnya, tanpa adanya gangguan dari
pemeluk lainnya. Suatu agama dikatakan agama apabila mempunyai unsur-unsur
seperti; adanya keyakinan, kitab suci, pembawa ajaran, ajaran yang bisa
dipatuhi, dan adanya upacara ibadah.
Demikian juga dengan agama Protestan memenuhi lima unsur
tersebut. Zending Protestan pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1831
dengan dua orang pendeta bernama Riedel dan Schwarz ke Minahasa. Pada tahun
1850 mereka membuka sebuah Kweekschool
(sekolah pendidikan guru) di Tomohon dan pada tahun 1868 dibuka pula Sekolah
Guru Injil (Hulpzendelingen). Kristenisasi di Minahasa itu ditangani dan
dibiayai oleh Nederlandse Zendelinggenootschap yang didirikan di Rotterdam
tahun 1787. Pada tahun 1882 di Minahasa juga didirikan asrama dan sekolah
khusus bagi anak-anak pegawai negeri serta orang-orang terkemuka. Semua sekolah
tersebut mendapat subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1888 mereka
mendirikan percetakan untuk mencetak buku-buku, selebaran dan sebuah surat
kabar yang bernama, “Cahaya Siang.”
Abad pertengahan Gereja sangat otoriter. Hingga
negara-negara barat pun harus tunduk pada peraturan gereja. Politik negara
dicampur tangani. juga, beberapa petinggi gereja pusat maupun di daerah-daerah
yang korup. Tapi tidak bisa disentuh oleh penegak hukum karena bermantelkan
"orang suci". Ini semua membuat beberapa kalangan yg ingin mengembalikan
gereja ke fungsinya semula bergerak. Salah satunya Martin Luther. Pendeta asal
Jerman. Dia melakukan protes terhadap
cara-cara yang gereja lakukan diluar fungsinya, juga diluar konteks Alkitab.
Hanya yg tertulis di Alkitab lah, menurut Luther jadi bagian gereja, tidak
semua dan tidak kurang. Gereja menolak, maka pengikut Luther kemudian disebut
"Lutherian" dan kemudian
"Protestan", memisahkan diri dari gereja Roma yg dipimpin Paus.
A.
Rumusan Masalah
Dari pembahasa maka rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana sejarah
kristenisasi oleh agama Protestan?
2.
Bagaimana
terbentuknya Kristen Protentan?
3.
Kapan Alkitab terbentuk
di Indonesia?
4.
Apakah Alkitab
Katolik dan Protestan Alkitab-nya sama, imannya beda?
5.
Bagaimana etika Protestan dan
semangat kapitalisme?
B.
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah supaya Pembaca
dapat memahami tentang agama Protestan. Karena kerukunan antar umat beragama
maupun intern umat beragama sangat bergantung pada peran setiap individu umat
semua agama dan tidak dapat diserahkan pada salah satu agama saja.
C.
Manfaat
1.
Secara teoris
Menambah wawasan bagi pembaca tentang agama Protestan dan
apa perbedaan protestan dengan Katolik sehingga pembaca mengerti.
2.
Secara praktis
Setelah membaca hasil makalah ini pembaca dapat menciptakan
kerukunan antar umat beragama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH KRISTENISASI OLEH AGAMA PROTESTAN
Zending Protestan pertama kali datang ke Indonesia pada
tahun 1831 dengan dua orang pendeta bernama Riedel dan Schwarz ke Minahasa.
Pada tahun 1850 mereka membuka sebuah
Kweekschool (sekolah pendidikan guru) di Tomohon dan pada tahun 1868 dibuka
pula Sekolah Guru Injil (Hulpzendelingen). Kristenisasi di Minahasa itu
ditangani dan dibiayai oleh Nederlandse Zendelinggenootschap yang didirikan di
Rotterdam tahun 1787. Pada tahun 1882 di Minahasa juga didirikan asrama dan
sekolah khusus bagi anak-anak pegawai negeri serta orang-orang terkemuka. Semua
sekolah tersebut mendapat subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1888
mereka mendirikan percetakan untuk mencetak buku-buku, selebaran dan sebuah
surat kabar yang bernama, “Cahaya Siang.”
Di kepulauan Sangihe dan Talaud bangsa Portugis telah
lebih dahulu menyiarkan agama Kristen. Pekerjaan ini kemudian diambil alih dan
diteruskan oleh bangsa Belanda di Ambon dan Maluku dipelopori antara lain oleh:
J. Kam pada pertengahan abad ke-19 juga. Dia adalah utusan dari Nederlandse
Zendinggenootschap tersebut. Kemudian mereka luaskan sampai ke pulau Buru.
Adapun daerah Sulawesi Tengah dan Tenggara kristenisasi dilakukan oleh Bala
Keselamatan atau Leger des Heils, sedang Gereformeerde Zendingbond mengirimkan
pendeta Van Den Loodrecht ke Luwuk pada tahun 1913. Di Bolaang Mongondow
pengkristenan dilakukan oleh Nederlandse Zendinggenootsehap. Pada tahun 1904
seorang raja meminta kepada Zending itu untuk mendirikan sebuah H.l.S. disana.
Sekolah ini terlaksana pada tahun 1913. Perkumpulan De Nederlandse
Zendingvereniging yang semula diberikan tugas mengkristenkan Jawa Barat, pada
tahun 1915 juga beroperasi di Sulawesi Tenggara.
Kristenisasi di
Jawa Timur dipelopori oleh seorang tukang jam bangsa Belanda di Surabaya yang
bernama Emde dan seorang tuan tanah bernama C. Coolen kira-kira pada tahun
1840. Empat tahun kemudian pengikut mereka berhasil membentuk sebuah desa
Keristen di Mojowarno di mana dewasa ini berdiri sebuah rumah sakit Kristen
yang amat besar dan modern. Pada tahun 1848 seorang zendeling lagi yaitu E.J.
Jellesma datang ke Surabaya lalu ke Mojowarno. Dengan dibantu oleh seorang guru
Injil Paulus Tosari didirikannya sebuah Kweekschool
yang kemudian terpaksa ditutup pada tahun 1858. Tetapi pada tahun 1500 dapat
dibuka kembali. Murid-murid dari pengikut C. Coolen menyebarluaskan agama
Kristen ini sampai ke Pasuruan dan Kediri. Kemudian berdatangan para zendeling
dari negeri Belanda untuk menyebarkan agamanya di tengah-tengah umat Islam.
Mereka mendirikan rumah sakit di banyak tempat di samping rumah sakit besar
Mojowarno.
Di Jepara tinggal seorang bernama Tunggul Wulung yang
terkenal dengan julukan Kiyahi Berahim. Dia adalah seorang petapa yang mengaku
telah mendapat wahyu dari Allah lalu masuk Kristen. Tetapi kemudian dia
campur-adukkan kepercayaan Kristen dengan Islam dan animisme, akhirnya dia
tidak diakui lagi oleh gereja. Ada pula seorang santri bernama Sadrah, yang
berhasil ditarik memeluk agama Kristen oleh seorang zendeling yang bernama
Hoezoo. Sadrah kemudian mengembara hampir ke seluruh tanah Jawa dan banyak
bertemu serta berwawancara dengan penyebar agama Kristen lainnya. Di Jakarta,
dahulu Batavia, dia bertemu dengan MR. F.L. Anthing, bekas pejabat tinggi
kehakiman di Semarang yang telah pindah ke Jakarta, Dia ini sangat besar
jasanya dalam pernyebaran Kristen. Tahun 1867 Sadrah dibaptiskan dan dua tahun
kemudian dia dipindahkan ke Purworejo untuk menyiarkan Kristen bekerja sama
dengan nyonya Philips. Tahun 1870 pindah ke desa Karangjasa dekat Bagelen dan
terus giat menyebarkan agamanya dan memimpin kaum Kristen Jawa. Dari sana
Kristenisasi diperluas oleh Dewan Gereja (Gereformeerde Kerken) ke Banyumas dan
Kedu lalu meluas ke Yogyakarta dan Surakarta.
Adapun di Sumatera pekerjaan zending dapat dikatakan
dimulai pada tahun 1890 di dacrah Sumatera Pasisir Timur. Pada tahun 1894
mereka sampai ke utara Danau Toba daerah Batak Karo. Pada tahun 1915 mereka
dirikan rumah sakit di bawah pimpinan seorang Zuster bangsa Belanda. Pulau Nias
dimasuki pada tahun 1866 oleh para zendeling dari perkumpulan Rheinische Missionsgeselschaft, yaitu
gabungan zending yang berdiri pada tahun 1823 dan berpusat di Barmen wilayah
Dusseldorf, Jerman. Mereka juga melebarkan sayap ke Pulau Mentawai dan Enggano.
Rheinische Missionsgeselschafe ini juga beroperasi di pulau Kalimantan sebelah
Selatan dan Timur untuk mengkristenkan suku Dayak. Pada tahun l904 kelihatan
kemajuannya di Kuala Kurom dan Kahayan Hulu, lalu meluas dengan pesat.
B. SEJARAH
TERBENTUKNYA KRISTEN PROTESTAN
Abad pertengahan
Gereja sangat otoriter. Hingga negara-negara barat pun harus tunduk pada
peraturan gereja. Politik negara dicampur tangani. juga, beberapa petinggi
gereja pusat maupun di daerah-daerah yang korup. Tapi tidak bisa disentuh oleh
penegak hukum karena bermantelkan "orang suci".
Ini semua membuat beberapa kalangan yg ingin mengembalikan gereja ke fungsinya semula bergerak. Salah satunya Martin Luther. Pendeta asal Jerman.
Dia melakukan protes terhadap cara-cara yang gereja lakukan diluar fungsinya, juga diluar konteks Alkitab. Hanya yang tertulis di Alkitab lah, menurut Luther jadi bagian gereja, tidak semua dan tidak kurang. Gereja menolak, maka pengikut Luther kemudian disebut "Lutherian" dan kemudian "Protestan", memisahkan diri dari gereja Roma yang dipimpin Paus
Ini semua membuat beberapa kalangan yg ingin mengembalikan gereja ke fungsinya semula bergerak. Salah satunya Martin Luther. Pendeta asal Jerman.
Dia melakukan protes terhadap cara-cara yang gereja lakukan diluar fungsinya, juga diluar konteks Alkitab. Hanya yang tertulis di Alkitab lah, menurut Luther jadi bagian gereja, tidak semua dan tidak kurang. Gereja menolak, maka pengikut Luther kemudian disebut "Lutherian" dan kemudian "Protestan", memisahkan diri dari gereja Roma yang dipimpin Paus
C. SEJARAH ALKITAB
DI INDONESIA
Alkitab merupakan terjemahan dari Bible yang juga berasal
dari kata “Biblia” dalam bahasa Yunani yang berarti “buku-buku” yang
digunakan oleh orang Kristen perdana untuk menunjuk pada tulisan-tulisan yang
di-inspirasikan oleh Roh Kudus. Bangsa Yahudi, murid Yesus, dan para rasul
memegang kitab-kitab yang berbeda satu sama lainnya dari segi nama atau judul
kitab, gaya bahasa, asal kitab, dan tentu saja isi untuk tujuan atau lingkup mengajar
yang berbeda. Setelah kematian Yesus di kayu salib, ada keinginan dari umat
Gereja perdana untuk menyamakan kumpulan kitab yang mereka punyai agar, semua
murid Yesus mempunyai kitab yang sama, dan juga selain itu, untuk menjaga agar
murid Yesus terhindar dari kesesatan, karena pada saat itu terdapat banyak
sekali naskah-naskah sesat yang beredar.
Kanonisasi (dalam praktek, kanon
berarti daftar buku-buku yang diakui sebagai bagian dari Kitab Suci) Alkitab
dimulai pada abad pertama dan berakhir pada abad ke-4, dimana dalam kanonisasi
tersebut, naskah-naskah yang ada diteliti oleh Magisterium Gereja apakah itu
benar di inspirasikan oleh Roh Kudus atau hanya merupakan tulisan prosa, palsu,
bidat, dll. Kanonisasi ini ditutup dengan menyatakan bahwa alkitab yang sah
untuk digunakan oleh umat Kristen di seluruh penjuru dunia adalah 73 kitab.
Namun pada saat terjadinya reformasi oleh kaum Protestan,
Martin Luther membuang 7 kitab terakhir dari alkitab dan mendaftarkannya
sebagai bagian dari kitab apokripa (kata Apokrip
berarti ”tersembunyi.” Buku yang bersifat apokrip,
maksudnya buku yang tidak dikenal. Buku yang
ditulis secara “sembunyi-sembunyi“, sehingga pada konsili Trente, Gereja
menetapkan kanon sekali lagi untuk menunjukkan bidaah Martin Luther dan tokoh
protestan lainnya yang mengurangi isi alkitab dari 73 menjadi 66 kitab. Tujuh
kitab yang dikurangi itu di beri nama Deuterokanonika dimana Deutero berarti
“kedua kali” (bukan kanon kedua), itulah sebabnya umat Protestan memiliki
Alkitab yang berisi 66 kitab sedangkan Katolik dan Orthodox memiliki alkitab
dengan 73/72 kitab.
Suatu keputusan sinode Dordrecht yang amat berfaedah, yakni supaya Alkitab
diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Belanda dari naskah asli, yaitu dari bahasa
Ibrani dan Yunani. Sudah lama Gereja Belanda sangat membutuhkan suatu
terjemahan Alkitab yang baik, karena meskipun sudah terdapat beberapa
terjemahan Belanda, tetapi terjemahan-terjemahan yang lama itu hanya berpokok
pada Vulgata dan terjemahan Jerman dari Luther. Dalam sinode yang sebenarnya,
Marnix dari Sint Aldegonde sudah pernah diminta untuk melakukan pekerjaan itu;
Marnix memang cukup cakap, tetapi kematiannya menggagalkan maksud tersebut
Sekarang sinode Dordrecht mengangkat suatu panitia-penterjemah, yang
terdiri dari beberapa ahli theologia pilihan. Mereka itu berkumpul dan bekerja
di Leiden sepuluh tahun lamanya (1625-1635). Antara lain Bogerman turut dalam
terjemahan Perjanjian Lama serta Hommius dan Waleus (lih. Bab 47,2) dalam
Perjanjian Baru. Mereka itu bekerja dengan rajin dan setia, bahkan tidak
berhenti juga pada waktu Leiden ditimpa bala sampar yang hebat (dalam satu
minggu 1500 orang meninggal!). Juga diangkat orang "revisor" yang
harus memeriksai segala terjemahan itu. Segala ongkos untuk gaji, percetakan dan
lain-lain ditanggung oleh pemerintah agung. Sebelum Alkitab Belanda ini mulai
dicetak, ongkosnya meningkat sampai f 70.000.
Oleh karena sokongan dan jasa pemerintah itu terjemahan ini disebut "Statenvertaling". Akhirnya pada
tahun 1637 Alkitab Belanda itu dikeluarkan; di pinggir halaman-halaman tercetak
banyak keterangan dengan huruf kecil. Baik terjemahan maupun bahasa
"Statenbijbel" itu patut dipuji. Tak mengherankan bahwa terjemahan
ini berpengaruh besar di Belanda berabad-abad lamanya.
Kitab Suci Katolik terdiri dari 72 kitab (45 kitab PL + 27 kitab PB),
sementara kebanyakan Kitab Suci Protestan hanya terdiri dari 66 kitab. Kitab
yang hanya terdapat dalam Kitab Suci Katolik semuanya merupakan bagian dari
Perjanjian Lama. Selain itu terdapat juga beberapa ayat dalam kitab-kitab
tertentu yang hanya terdapat dalam Kitab Suci Katolik. Mengapa terjadi
perbedaan demikian? Jawabannya amat rumit, tetapi secara sederhana dapat
dijelaskan seperti berikut ini.
Orang-orang Yahudi menulis Perjanjian Lama, tetapi mereka tidak secara
"resmi" menuliskan daftar atau kanon dari kitab-kitab tersebut sampai
akhir abad kedua. Sekelompok orang Yahudi khawatir kalau-kalau pada akhirnya
tulisan-tulisan Kristen juga akan dimasukkan orang ke dalam kanon mereka. Untuk
mencegah hal tersebut, setelah melalui debat yang panjang, mereka memutuskan
untuk mencantumkan hanya kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Ibrani saja yang
termasuk dalam kanon mereka. Dengan demikian mereka dapat mengeluarkan
kitab-kitab Kristen yang semuanya ditulis dalam bahasa Yunani. Namun demikian,
ada pula beberapa bagian dari kitab Perjanjian Lama yang hanya tersedia
salinannya dalam bahasa Yunani, sedangkan kitab aslinya yang ditulis dalam
bahasa Ibrani telah hilang. Dengan demikian kitab-kitab tersebut, yang dulunya
juga mereka terima, ikut dikeluarkan dari kanon Yahudi.
Gereja Katolik tidak mengikuti keputusan mereka. Terutama karena beberapa
kitab yang ditulis dalam bahasa Yunani mendukung doktrin (doktrin = ajaran)
Katolik, misalnya tentang Roh Kudus. Gereja Katolik tidak membuat daftar atau
kanon resmi sampai beberapa abad kemudian. Sejak awal mula Gereja Katolik
menerima semua kitab yang sekarang ada dalam Kitab Suci.
Pada abad ke-16, Gereja Protestan mulai mempergunakan Kitab Suci sebagai
dasar ajaran mereka. Martin Luther menolak semua kitab yang tidak terdapat
dalam kanon Perjanjian Lama Yahudi. Alasan penolakannya adalah karena beberapa
bagian dari kitab-kitab tersebut tidak mendukung ajarannya. Seperti misalnya,
Luther tidak setuju dengan ajaran Gereja Katolik mengenai Api Penyucian.
Padahal gagasan tentang api penyucian terdapat dalam Kitab Makabe II.
Selanjutnya Luther juga mencoba mengeluarkan beberapa kitab Perjanjian Baru,
misalnya Surat Yakobus. Beberapa gagasan dalam surat Yakobus tidak sesuai
dengan ajaran Luther, misalnya tentang ajaran Luther yang menyatakan bahwa
perbuatan baik tidak diperlukan dalam memperoleh keselamatan, melainkan hanya
iman. Tetapi, pada akhirnya, ia harus memasukkan juga Surat Yakobus dalam
kanonnya.
Kitab-kitab Perjanjian Lama yang diakui baik oleh Gereja Katolik maupun
Gereja Protestan disebut Protokanonika (protokanonika: kanon yang pertama).
Kitab-kitab Perjanjian Lama yang diakui oleh Gereja Katolik tetapi tidak diakui
oleh Gereja Protestan di tempatkan di bagian antara Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru. Bagian ini oleh Gereja Katolik disebut Deuterokanonika
(deuterokanonika: kanon yang kedua), sedang oleh Gereja Protestan disebut
Apokrip (apokrip : buku-buku keagamaan yang baik untuk dibaca tetapi tidak
diilhami Roh Kudus). Hingga kini Gereja Katolik terus mempertahankan serta menghormati
kitab-kitab seperti yang telah diterima oleh Gereja Kristen Purba.
D. SEJARAH ALKITAB KATOLIK DAN PROTESTAN ALKITAB-NYA SAMA,
IMANNYA BEDA
sering dinemukan perbedaan dan perdebatan tentang
penafsiran alkitab terjadi antara umat beragama, baik itu antara
Katolik-Protestan, Protestan-Protestan, Kristen – Islam (Islam setidaknya
mengakui bahwa mereka mengakui Injil dan Taurat, meskipun bagi mereka kitab-kitab
tersebut sudah terkorupsi. Kitab Suci Katolik dan Protestan adalah sama, hanya
saja berbeda jumlah kitabnya..mengapa bisa terjadi? Apakah kesamaan Alkitab
berarti iman Katolik adalah sama dengan iman Protestan dan juga Islam? Tidak
juga, lalu mengapa beda?
Meninjau dari penjelasan-penjelasan sebelumnya, tentunya
kita bisa dengan tegas menyimpulkan bahwa meskipun Alkitab yang dipegang adalah
sama dengan Alkitab Protestan, tentu saja Iman Katolik dan Protestan adalah
tidak sama. Perbedaan yang paling besar adalah terletak pada bagaimana
umat Katolik dan Protestan menafsirkan isi Alkitab, dimana penafsiran umat
Katolik akan Alkitab berpusat pada terang pengajaran dari Gereja. Kesatuan ajaran
iman dan penafsiran yang berpusat pada Gereja dibawah kepemimpinan Bapa Paus
inilah yang menjaga persatuan dan keutuhan iman Gereja katolik sejak 2000 tahun
yang lalu sampai sekarang di seluruh dunia, dan inilah yang diakui dalam
pengakuan iman setiap kali misa yaitu: Aku percaya akan Gereja yang Satu,
Kudus, Katolik dan Apostolik.
E. ETIKA PROTESTAN DAN SEMANGAT KAPITALISME
Dalam Etika Protestan dan Semangat
Kapitalisme, Weber mengajukan tesis bahwa etika dan gagasan-gagasan Puritan telah mepengaruhi
perkembangan kapitalisme. Namun demikian, devosi keagamaan biasanya disertai dengan penolakan
terhadap urusan-urusan duniawi, termasuk pengejaran akan harta kekayaan.
Mengapa hal ini tidak terjadi dengan Protestanisme? Weber membahas apa yang
kelihatan sebagai paradoks ini dalam bukunya.
Ia mendefinisikan semangat
kapitalisme sebagai gagasan dan kebiasaan yang
menunjang pengejaran keuntungan ekonomi secara rasional. Weber
menunjukkan bahwa semangat seperti itu tidaklah terbatas pada budaya Barat bila hal
itu dipandang sebagai sikap individual, namun bahwa upaya individual yang heroik demikian ia menyebutnya tidak
dapat dengan sendirinya membentuk suatu tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme).
Kecenderungan-kecenderungan yang paling umum adalah keserakahan akan keuntungan
dengan upaya yang minimal dan gagasan bahwa kerja adalah suatu kutukan dan
beban yang harus dihindari khususnya ketika hasilnya melebihi dari kebutuhan
untuk kehidupan yang sederhana.
Agar suatu gaya hidup yang teradaptasi dengan
sifat-sifat khusus dari kapitalisme dapat mendominasi gaya hidup yang lainnya,
ia harus muncul dari suatu tempat tertentu, dan bukan dalam pribadi-pribadi
yang terpisah saja, melainkan sebagai suatu gaya hidup yang umum dari
keseluruhan kelompok manusianya. Setelah
mendefinisikan 'semangat kapitalisme', Weber berpendapat bahwa ada banyak
alasan untuk menemukan asal-usulnya di dalam gagasan-gagasan keagamaan
dari Reformasi. Banyak pengamat seperti William Petty, Montesquieu, Henry Thomas Buckle, John Keats, dan lain-lainnya telah mengomentari kedekatan antara Protestanisme dengan
perkembangan komersialisme.
Weber memperlihatkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung
pengejaran keuntungan ekonomi yang rasional dan bahwa kegiatan-kegiatan duniawi
telah memperoleh makna spiritual dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan
dari gagasan-gagasan keagamaan tersebut, melainkan lebih sebagai produk
sampingan logika yang inheren dari doktrin-doktrin tersebut dan advis yang
didasarkan pada mereka baik yang baik secara langsung maupun tak langsung
mendorong perencanaan dan penyangkalan diri demi pengejaran keuntungan ekonomi.
Weber menelusiri asal-usul etika Protestan pada Reformasi. Dalam pandangannya, di bawah Gereja Katolik Roma seorang individu dapat dijamin keselamatannya melalui kepercayaan
akan sakramen-sakramen gereja dan otoritas hierarkhinya. namun, Reformasi
secara efektif telah menyingkirkan jaminan-jaminan tersebut bagi orang biasa,
meskipun Weber mengakui bahwa seorang "genius keagamaan"
seperti Martin
Luther mungkin dapat memiliki
jaminan-jaminan tersebut.
Dalam keadaan tanpa jaminan seperti itu dari otoritas keagamaan, Weber berpendapat
bahwa kaum Protestan mulai mencari "tanda-tanda" lain yang
menunjukkan bahwa mereka selamat. Sukses dunia menjadi sebuah ukuran
keselamatan. Mendahului Adam Smith (tapi dengan menggunakan
argumen yang sangat berbeda), Luther memberikan dukungan awal terhadap
pembagian kerja yang mulai berkembang di Eropa. Karenanya, menurut penafsiran
Weber atas Luther, suatu "panggilan" dari Tuhan tidak lagi terbatas
kepada kaum rohaniwan atau gereja, melainkan berlaku bagi pekerjaan atau usaha
apapun.
Weber melihat pemenuhan etika Protestan bukan dalam Lutheranisme, yang
ditolaknya lebih sebagai sebuah agama hamba, melainkan dalam bentuk Kekristenan
yang Calvinis. Dalam pengertian yang sederhana "paradoks" yang ditemukan Weber
adalah Menurut agama-agama Protestan yang baru, seorang individu secara
keagamaan didorong untuk mengikuti suatu panggilan sekular dengan semangat
sebesar mungkin. Seseorang yang hidup menurut pandangan dunia ini lebih besar
kemungkinannya untuk mengakumulasikan uang.
menurut agama-agama baru ini (khususnya, Calvinisme), menggunakan uang ini
untuk kemewahan pribadi atau untuk membeli ikon-ikon keagamaan dianggap dosa. Selain itu, amal umumnya dipandang negatif
karena orang yang tidak berhasil dalam ukuran dunia dipandang sebagai gabungan
dari kemalasan atau tanda bahwa Tuhan tidak memberkatinya.
Cara memecahkan paradoks ini, demikian Weber, dalah menginvetasikan uang ini, yang memberikan dukungan besar bagi lahirnya kapitalisme. Pada
saat ia menulis esai ini, Weber percaya bahwa dukungan dari etika Protestan
pada umumnya telah lenyap dari masyarakat. Khususnya, ia mengutip tulisan Benjamin Franklin, yang menekankan kesederhanaan, kerja keras dan penghematan, namun pada
umumnya tidak mengandung isi rohani. Weber juga mengatakan bahwa sukses dari
produksi massal sebagian disebabkan oleh etika Protestan. Hanya setelah barang-barang
mewah yang mahal ditolak, maka individu-individu dapat menerima produk-produk
yang seragam, seperti pakaian dan mebel, yang ditawarkan oleh industrialisasi.
Perlu dicatat bahwa Weber menegaskan bahwa sementara gagasan-gagasan agama
Puritan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan tatanan ekonomi di
Eropa dan Amerika Serikat, mereka bukanlah faktor satu-satunya (yang lainnya
termasuk rasionalisme dalam upaya-upaya ilmiah, penggabungan antara observasi dengan matematika, aturanaturan ilmiah dan yurisprudensi,sistematisasirasional terhadap administrasi pemerintahan, dan usahaekonomi. Pada akhirnya, studi tentang etika Protestan, menurut
Weber, semata-mata hanyalah menyelidiki suatu tahap dari emansipasi dari magi, pembebasan dari ilusi
dunia, yang dianggapnya sebagai ciri khas yang membedakan dari budaya Barat
Weber menyatakan dalam catatan kaki terakhirnya bahwa ia meninggalkan
penelitian terhadap Protestanisme karena rekannya Ernst
Troeltsch, seorang teolog profesional, telah mulai menulis buku Ajaran Sosial Gereja-gereja Kristen dan Sekte. Alasan lain untuk
keputusan Weber ini ialah bahwa esainya telah memberikan perspektif untuk
perbandingan yang luas antara agama dan masyarakat, yang dilanjutkannya dalam
karya-karyanya berikutnya (studi tentang agama di Tiongkok, India, dan agama Yudaisme.)
Hal Ini merupakan upaya pertama Weber dalam menggunakan konsep rasionalisasi. Gagasannya bahwa kapitalisme modern berkembang dari pengejaran kekayaan
yang bersifat keagamaan berarti suatu perubahan terhadap cara keberadaan yang
rasional, kekayaan. Pada suatu titik tertentu, rasional ini berhenti,
mengalahkan, dan meninggalkan gerakan keagamaan yang mendasarinya, sehingga yang
tertinggal hanyalah kapitalisme rasional. Jadi intinya, "Semangat
Kapitalisme" Weber pada dasarnya adalah Semangat Rasionalisme, dalam
pengertian yang lebih luas. ditafsirkan juga sebagai salah satu kritik Weber
terhadap Karl Marx dan teori-teorinya. Sementara Marx berpendapat, pada umumnya, bahwa
semua lembaga manusia termasuk agama sdidasarkan pada dasar-dasar ekonomi, Etika Protestan memalingkan
kepalanya dari teori ini dengan menyiratkan bahwa gerakan keagamaan memperkuat
kapitalisme, dan bukan sebaliknya.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Orang-orang Yahudi menulis
Perjanjian Lama, tetapi mereka tidak secara "resmi" menuliskan daftar
atau kanon dari kitab-kitab tersebut sampai akhir abad kedua. Sekelompok orang
Yahudi khawatir kalau-kalau pada akhirnya tulisan-tulisan Kristen juga akan
dimasukkan orang ke dalam kanon mereka. Untuk mencegah hal tersebut, setelah
melalui debat yang panjang, mereka memutuskan untuk mencantumkan hanya
kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Ibrani saja yang termasuk dalam kanon
mereka. Dengan demikian mereka dapat mengeluarkan kitab-kitab Kristen yang
semuanya ditulis dalam bahasa Yunani. Namun demikian, ada pula beberapa bagian
dari kitab Perjanjian Lama yang hanya tersedia salinannya dalam bahasa Yunani,
sedangkan kitab aslinya yang ditulis dalam bahasa Ibrani telah hilang. Dengan
demikian kitab-kitab tersebut, yang dulunya juga mereka terima, ikut
dikeluarkan dari kanon Yahudi.
Gereja Katolik tidak mengikuti
keputusan mereka. Terutama karena beberapa kitab yang ditulis dalam bahasa Yunani
mendukung doktrin (doktrin ajaran) Katolik, misalnya tentang Roh Kudus. Gereja
Katolik tidak membuat daftar atau kanon resmi sampai beberapa abad kemudian.
Sejak awal mula Gereja Katolik menerima semua kitab yang sekarang ada dalam
Kitab Suci.
Pada abad ke-16, Gereja
Protestan mulai mempergunakan Kitab Suci sebagai dasar ajaran mereka. Martin
Luther menolak semua kitab yang tidak terdapat dalam kanon Perjanjian Lama
Yahudi. Alasan penolakannya adalah karena beberapa bagian dari kitab-kitab
tersebut tidak mendukung ajarannya. Seperti misalnya, Luther tidak setuju
dengan ajaran Gereja Katolik mengenai Api Penyucian. Padahal gagasan tentang
api penyucian terdapat dalam Kitab Makabe II. Selanjutnya Luther juga mencoba
mengeluarkan beberapa kitab Perjanjian Baru, misalnya Surat Yakobus. Beberapa
gagasan dalam surat Yakobus tidak sesuai dengan ajaran Luther, misalnya tentang
ajaran Luther yang menyatakan bahwa perbuatan baik tidak diperlukan dalam
memperoleh keselamatan, melainkan hanya iman. Tetapi, pada akhirnya, ia harus
memasukkan juga Surat Yakobus dalam kanonnya.
Kitab-kitab Perjanjian Lama
yang diakui baik oleh Gereja Katolik maupun Gereja Protestan disebut
Protokanonika (protokanonika: kanon yang pertama). Kitab-kitab Perjanjian Lama
yang diakui oleh Gereja Katolik tetapi tidak diakui oleh Gereja Protestan di
tempatkan di bagian antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Bagian ini oleh
Gereja Katolik disebut Deuterokanonika (deuterokanonika: kanon yang kedua),
sedang oleh Gereja Protestan disebut Apokrip (apokrip : buku-buku keagamaan
yang baik untuk dibaca tetapi tidak diilhami Roh Kudus). Hingga kini Gereja Katolik
terus mempertahankan serta menghormati kitab-kitab seperti yang telah diterima
oleh Gereja Kristen Purba.
B.
SARAN
Berdasarkan isi dari makalah
ini hendaknya pembaca tidak menganggap agama Protestan dan Katolik beda. Karena
melihat dari sejarahnya agama Protestan dan Kotolik sebenarnya satu. Namun
karena adanya perbedaan pendapat sehingga memisahkan diri.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar