TI-LAKKHANA
(TIGA CORAK UNIVERSAL)
Ti-lakkhana (Ti berarti tiga, dan lakkhana berarti
corak atau karakter) adalah karakteristik yang melekat pada
setiap keberadaan.
'Karakteristik', menurut Dr. P.D. Santina dalam
bukunya Fundamentals of Buddhism, adalah sesuatu yang (tak terhindarkan) dihubungkan dengan sesuatu lainnya. Karena karakteristik pasti berhubungan dengan
sesuatu, maka karakteristik dapat memberitahu kepada
kita sifat dari sesuatu. Contohnya: panas adalah karakter dari
api. Panas bukan karakter dari
air. Panas selalu dan tak dapat
dihindarkan berhubungan dengan api. Demikian juga dengan Tilakkhana
yang merupakan karakter dari setiap keberadaan (existence), mencerminkan
sifat yang selalu dapat diketemukan dari setiap keberadaan.
Ti-lakkhana terdiri dari tiga sifat/corak, yaitu :
1. Sabbe sankhara anicca: semua
yang saling bergantungan (berkondisi) adalah tidak kekal.
2. Sabbe sankhara dukkha: semua
yang saling bergantungan (berkondisi) adalah tidak memuaskan
(dukkha).
3. Sabbe dhamma anatta: semua
yang saling
bergantungan (berkondisi) maupun yang tidak saling bergantungan
(tidak berkondisi) adalah tanpa inti/diri yang kekal.
Anicca
Penjelasan mengenai anicca secara
jelas dinyatakan dalam sutta berikut ini :
Anicca vata sankhara uppada
vaya dhammino,
uppajjittva nirujjhanti, tesam
vupasamo sukho (tidak kekal sesungguhnya segala sesuatu yang terbentuk, mereka mengalami kemunculan dan
kehancuran. Setelah menjadi sesuatu, mereka punah kembali. Kebahagiaan muncul
bila timbul keseimbangan).
Menurut pernyataan ini, segala sesuatu
tidak kekal bukan karena mereka hanya muncul
sesaat, tetapi karena mereka berciri muncul (uppada)
dan hancur (vaya). Definisi ini kadang-kadang diperluas
menjadi tiga tahap: kemunculan (uppada), kehancuran
(vaya), dan kemusnahan (Thitassa annathatta). 'Sabbe sankhara anicca', segala sesuatu yang
saling bergantung
adalah tidak kekal. Jasmani kita tidak kekal,
semua benda-benda pun juga tidak
kekal. Termasuk
pikiran kita pun
juga tidak kekal. Setiap saat berubah.
Kadang bahagia, di lain saat sedih. Lahir/muncul, berkembang/berlangsung, hancur, dan mati/musnah; inilah ciri/karakter dari segala
sesuatu. Jadi dalam setiap aspek
kehidupan kita, baik itu personal atau material, atau hubungan kita dengan
orang/ hal lainnya, atau milik-milik kita, ketidak-kekalan adalah
kenyataan, yang dapat dibuktikan secara langsung. "Dunia berada dalam aliran yang terus
menerus dan tidak permanen," demikian Sang Buddha berkata.
Pengertian terhadap ketidak-kekalan
adalah penting, tidak hanya bagi pelaksanaan Dhamma tetapi
juga dalam hidup kita sehari-hari.
Pengertian tentang ketidak-kekekalan merupakan obat penawar bagi keinginan-keinginan dan
kehendak buruk kita. Hal ini juga merupakan pendorong semangat
dalam pelaksanaan Dhamma. Dan hal ini
merupakan kunci untuk mengerti sifat paling penting dari segala sesuatu,
keadaan yang sebenarnya dari segala sesuatu yang saling
bergantungan. Memahami ketidak-kekalan juga merupakan
kunci untuk mengerti tentang 'tanpa-aku' (Anatta), karena kita mulai
melihat bahwa tidak ada keberadaan yang permanen; bahwa dalam diri
kita dan segala sesuatu di sekeliling kita, tidak ada sesuatu
yang dapat disebut sebagai 'aku'.
Dukkha
Sang Buddha berkata bahwa segala sesuatu yang
tidak permanen adalah dukkha, dan segala sesuatu yang tidak
permanen dan dukkha adalah juga 'tanpa-aku' (Anatta). Apapun yang
tidak permanen
adalah dukkha karena ketidak-kekalan adalah salah satu pencetus dukkha. Ketidak-kekalan
adalah pencetus dukkha,
bukan penyebab dukkha, karena ketidak-kekalan
hanya menimbulkan dukkha sepanjang ketidak-tahuan (avijja),
nafsu keinginan (tanha) dan kemelekatan (raga) hadir. Dalam ketidaktahuan kita mengenai
sifat dari segala sesuatu, kita dan melekat pada obyek-obyek
dengan harapan yang sia-sia bahwa mereka akan kekal (permanen), sehingga mereka
dapat memberikan kebahagiaan yang permanen pula. Jadi obyek-obyek
yang menyenangkan yang
kita ingini dan kita melekat padanya itu suatu saat akan berakhir atau
musnah, mereka tidak kekal.
Dengan demikian ketidak-kekekalan
merupakan pencetus dari dukkha karena segala sesuatu
yang tidak permanen adalah dukkha.
Pengertian Dukkh secara luas mencakup tiga hal:
1. Dukkha-dukkha: dukkha sebagai penderitaan sebagaimana yang kita rasakan. Misalnya: lahir,
sakit, tua, mati, keinginan yang tak terpenuhi,
kehilangan orang atau benda yang dicintai, dan
lain-lain.
2.Viparinama-dukkha : dukkha yang timbul akibat
perubahan (ketidak-kekekalan).
3.Sankhara-dukkha : dukkha sebagai keadaan yang berkondisi.
Semua bentuk penderitaan dalam hidup ini
seperti kelahiran, usia tua, sakit, mati, bertemu dengan
orang yang dibenci, kehilangan orang atau benda yang
dicintai, tidak mendapatkan apa yang diinginkan, stress, dan
lain-lain, yang semuanya membentuk penderitaan fisik dan
mental, termasuk dalam dukkha-dukkha.
Pengertian dukkha-dukkha ini adalah pengertian dukkha pada Kebenaran Mulia yang Pertama,
bahwa hidup ini adalah penderitaan, baik penderitaan
fisik maupun mental. Dan ini mencakup
kehidupan di tiga puluh satu alam.
Viparinama-dukkha dan sankhara-dukkha
merupakan pengertian dukkha dalam Tilakkhana, sebab dukkha di
sini bukan hanya berarti penderitaan, tetapi juga
berarti 'tidak memuaskan', 'tidak sempurna', 'tidak kekal', 'tanpa
inti'. Dukkha di
sini tidak hanya
meliputi tiga puluh satu alam kehidupan, tetapi merupakan
sifat/karakter dari seluruh keberadaan secara universal (yad
aniccam tam dukkham, segala sesuatu yang tidak kekal adalah
dukkha). Jadi tidak tepat jika
pengertian dukkha di sini adalah 'penderitaan'.
Pengertian dukkha dalam Tilakkhana yang
berhubungan dengan makhluk-makhluk adalah, seperti yang sudah
disebutkan di atas, dukkh yang timbul disebabkan karena ketidaktahuan,
keinginan-keinginan, dan kemelekatan kita obyek-obyek yang tidak
kekal. Darimana timbulnya
ketidak-tahuan, keinginan, dan kemelekatan itu?
Tak lain adalah hasil kontak dari indera,
perasaan, persepsi, bentuk-bentuk mental, dan kesadaran kita (Pancakhanda)
dengan obyek-obyek eksternal. Sang Buddha pernah bersabda "Apakah dukkha itu, O, para Bhikkhu?
Lima aggregat kemelekatan (pancakhanda) inilah dukkha." Jadi perlu dipahami bahwa Pancakhanda dan
dukkha bukanlah dua hal yang berbeda. Pancakhanda itu sendiri
adalah dukkha. Pancakhanda
terdiri dari Aggregat
materi (rupakhanda), mencakup Empat Elemen Besar
cattari mahabhutani) yaitu zat padat, cair, panas, dan gerak dan
derivatif (turunannya), termasuk enam indera dan obyek-obyek
yang berhubungan dengan keenam indera ini; Aggregat Perasaan
(vedanakhanda) yang mencakup semua sensasi/perasaan yang timbul dari
kontak antara enam indera dengan dunia luar; Aggregat Persepsi
(sannakhanda) yang mengenali obyek-obyek apakah
bersifat fisik atau mental; Aggregat
Bentuk-bentuk Mental (Sankharakhanda) yang mencakup semua aktifitas
kehendak yang baik dan yang buruk. Apa yang
secara umum dikenal sebagai kamma™ berasal dari kelompok ini; dan
Aggregat Kesadaran (vinnanakhanda) yang merupakan reaksi atau
respon dengan salah satu dari enam indera sebagai basisnya dan
salah satu dari fenomena eksternal yang berhubungan dengan
indera tersebut sebagai obyeknya.
Apa yang kita sebut sebagai 'makhluk' atau
suatu 'individu' atau 'aku' hanyalah sekedar nama yang diberikan
pada kombinasi dari Pancakhanda ini. Semuanya tidak permanen dan
terus menerus berubah.
Mereka tidak mungkin sama pada dua waktu yang
berbeda. Inilah maksud sebenarnya
dari Sang Buddha: 'Lima Aggregat Kemelekatan itulah
dukkha', karena mereka senantiasa berubah dalam aliran
waktu. Mereka berubah jika kondisi
hubungan/kontak antara faktor-faktor internal (enam indera)
dengan faktor-faktor eksternal (obyek) juga berubah.
Jelaslah tidak mungkin Pancakhanda ini konstan
untuk dua saat berbeda.
Anatta
Konsep anatta (tanpa diri yang kekal) ini sering
membingungkan banyak orang. Jika tidak
ada 'aku', lalu mengapa kita selalu berkata 'Aku berbicara', 'Aku mendengarkan',
'Ini milikku', dan lain-lain.
Dan jika tidak ada 'aku', lalu siapa yang mengungkapkan,
merasakan, dan mengalami akibat-akibat perbuatan baik
dan buruk?
Sebelum membahas lebih lanjut, sebaiknya kita
perhatikan kata-kata Sang Buddha (dalam Dhammapada ayat 277, 278,
dan 279) :'Sabbe Sankhara anicca, Sabbe Sankhara dukkha,
Sabbe Dhamma anatta'.
Mengapa pada ayat ketiga ini tidak memakai kata
Sankhara tetapi memakai Dhamma? Disinilah letak permasalahan yang terpenting.
Terminologi 'segala sesuatu yang berkondisi' (sankhara)
menunjukkan Lima Aggregat Kemelekatan (Pancaskandha), semua
yang berkondisi, saling bergantung, segala sesuatu dan keadaan yang relatif,
baik fisik maupun mental.
Sedangkan terminologi Dhamma
mencakup segala sesuatu yang berkondisi maupun yang tidak berkondisi. Jadi jika Sankhara hanya menyangkut
pada pengertian Pancaskandha, maka Dhamma mencakup pula
segala sesuatu di luar Pancaskandha. Nibbanna pun juga termasuk di dalamnya.
Banyak orang yang berat melepaskan
konsep tentang adanya 'diri' sering memakai kata-kata
Sang Buddha kepada Ananda dalam Mahaparinibbanna
Sutta) yang mengatakan: "Attadipa viharatha,
attasarana anannasarana" (Jadilah pulau bagi dirimu; jadilah
kamu pelindung bagi dirimu, janganlah berlindung pada orang lain)
sebagai pegangan. Kita tidak akan mengerti maksud dari sabda Sang Buddha ini jika kita
tidak mengetahui latar belakang dari kata-kata yang diucapkan
Beliau. Sang
Buddha mengucapkan
kata-kata ini untuk menghibur Ananda yang sedang bersedih karena
ia berpikir bahwa ia akan menjadi kesepian dan
kehilangan perlindungan jika Sang Buddha mangkat.
Sang Buddha, yang mengetahui kesedihan Ananda,
berkata dengan penuh belas kasih :"Ananda, apalagi yang
diharapkan Sangha dariKu.
Aku telah mengajarkan Dhamma (Kebenaran) tanpa membuat
perbedaan ajaran yang eksoterik dan esoterik. Mengenai kebenaran, Sang Tatagatha tidak menyembunyikan
sesuatu seperti halnya guru yang pelit.
Tentu saja, Ananda, jika ada orang yang yang berpikir
bahwa dia akan memimpin Sangha, dan bahwa Sangha akan
bergantung padanya, maka biarkan dia membuat instruksi-instruksi.
Tetapi Sang Tatagatha tidak mempunyai pemikiran seperti itu. Mengapa ia harus meninggalkan peraturan-peraturan
untuk Sangha? Saya sudah tua
Ananda, delapan puluh tahun.
Seperti kereta yang sudah aus karena dipakai terus
menerus dan harus senantiasa diperbaiki, demikian pula Aku,
tubuh Sang Tathagata hanya dapat dipertahankan dengan terus
menerus diperbaiki. Karena itu,
Ananda, jadilah pulau bagi dirimu, buatlah dirimu, bukan orang lain,
sebagai pelindungmu; buatlah Dhamma
sebagai pulau bagimu, Dhamma sebagai pelindungmu, jangan berlindung pada yang lainnya."
Apa yang disampaikan Sang Buddha kepada
Ananda sudah jelas. Sang
Buddha memberikan kepada Ananda penghiburan, semangat, dan
kepercayaan diri, dengan berkata bahwa oarang harus bergantung
pada dirinya sendiri, dan pada Dhamma yang diajarkanNya, dan bukannya
pada orang lain atau sesuatu yang lain.
Di sini pertanyaan dari atta yang bersifat
metafisik, atau 'diri', sama sekali tidak disinggung.
Selanjutnya Sang Buddha menjelaskan kepada
Ananda, bagaimana seseorang dapat menjadi pulau atau
pelindung bagi dirinya sendiri,
bagaimana seseorang dapat membuat Dhamma sebagai pulau atau pelindungnya; yaitu melalui
pengembangan kesadaran mindfulness) atau
kewaspadaan (aware-ness) terhadap tubuh, perasaan, pikiran (mind) dan obyek-obyek pikiran
(empat Satipatthana). Tidak ada
pembicaraan mengenai Atta atau 'diri'.
Bagaimanakah kita dapat meyakini bahwa tidak
ada 'diri' atau atta pada tubuh dan pikiran kita? Sang
Buddha menerapkan analisis berikut terhadap tubuh dan pikiran untuk menunjukkan bahwa
'diri' tidak dapat ditemukan dimanapun juga, baik pada tubuh maupun pada pikiran. Tubuh bukanlah 'diri'. Karena jika tubuh adalah diri, maka diri itu adalah
tidak permanen, akan menjadi subyek dari perubahan, pelapukan, kerusakan,
dan kematian. Jadi
tubuh bukanlah diri. Diri tidak memiliki tubuh kita, dalam arti seperti saya memiliki televisi, karena
diri tidak dapat mengontrol tubuh. Tubuh jatuh sakit, lelah, dan tua
di luar kehendak kita. Tubuh memiliki bentuk yang sering tidak sesuai dengan keinginan
kita. Jadi
dengan cara apapun
juga tidak dapat dikatakan bahwa diri memiliki tubuh. Diri tidak berada di dalam tubuh. Jika kita meneliti
seluruh tubuh kita, mulai dari puncak kepala kita hingga ujung ibujari kaki kita, kita tidak akan bisa
menemukan tempat 'diri' itu berada.
Diri tidak dapat ditemukan dimanapun juga di dalam tubuh kita.
Demikian pula, pikiran (mind) bukanlah diri. Pikiran merupakan subyek dari
perubahan yang terus menerus. Pikiran berbahagia pada suatu saat dan tidak berbahagia pada saat lainnya. Jadi pikiran tidak bisa merupakan 'diri'
karena pikiran senantiasa berubah.
Diri tidak memiliki pikiran karena pikiran menjadi
gembira atau sedih di luar keinginan kita. Walaupun kita tahu
bahwa beberapa pemikiran tertentu adalah bermanfaat dan pemikiran
tertentu lainnya tidak bermanfaat, pikiran kita mengejar pemikiran yang tak bermanfaat
dan mengabaikan pemikiran yang bermanfaat.
Jadi diri tidak memiliki pikiran karena pikiran bertindak
bebas/tidak tergantung pada diri. Diri tidak berada dalam pikiran. Tak peduli bagaimana pun telitinya
kita meneliti isi pikiran kita, tak peduli bagaimanapun
telitinya kita meneliti pemikiran-pemikiran kita, perasaan kita,
ide-ide kita, kita tidak akan bisa menemukan
diri. Kesimpulannya tetap bahwa
'diri' hanyalah nama yang diberikan bagi sekumpulan faktor-faktor (pancakhanda).
Dunia selalu berubah.
Satu hal hilang, menyediakan kondisi bagi munculnya hal lainnya. Tidak ada inti yang tak berubah. Tidak ada yang dapat disebut diri (atta) yang
permanen. Semua pasti setuju bahwa baik materi, perasaan,
pencerapan, bentuk-bentuk mental maupun kesadaran tidak ada yang
dapat disebut sebagai 'diri'.
Tetapi jika kelima aggregat mental dan fisik ini, yang
masing-masing saling berhubungan, bekerja sama dalam kombinasi seperti mesin
fisio-psikologis, kita memperoleh ide tentang
'aku'; tetapi ini adalah ide yang salah. Kelima aggregat ini, yang secara populer kita sebut
sebagai 'makhluk' atau 'aku', adalah dukkha (sankhara
dukkha). Tidak ada 'makhluk'
atau 'aku' lainnya yang berdiri di belakang kelima aggregat ini
yang mengalami dukkha.
Sekarang, timbul pertanyaan klasik
:"Jika badan, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk mental
dan kesadaran adalah tanpa 'diri', terhadap 'diri' yang mana
perbuatan yang dikerjakan oleh diri akan berpengaruh?" Salah seorang siswa Sang Buddha, yaitu
Sati, bersikukuh bahwa kesadaranlah yang
berpindah-pindah, dan kesadaranlah yang merasakan dan mengalami
akibat-akibat dari perbuatan baik dan buruk. Sang Buddha
menjelaskan bahwa kesadaran
dinamai sesuai dengan kondisi yang menyebabkan kesadaran itu muncul. Dari mata dan bentuk-bentuk fisik yang terlihat
muncullah kesadaran visual, dari telinga dan suara-suara timbullah
kesadaran pendengaran, dari pikiran dan obyek-obyek pikiran
(ide-ide dan pemikiran-pemikiran) timbullah kesadaran mental, dan seterusnya.
Jadi kesadaran hanya muncul selama kondisi
indera dan obyek-obyek yang berhubungan dengan indera tersebut
hadir. Kesadar-an akan berhenti jika kondisi
tersebut tidak ada lagi atau berubah; tetapi kesadaran tidak bisa
berpindah dari kesadaran visual ke telinga menjadi kesadaran pendengaran, dan
sebagainya.Jadi jelaslah bahwa keberadaan
kesadaran ditentukan oleh kondisi dari keberadaan indera berikut
dengan obyek-obyeknya; jadi kesadaran pun juga senantiasa berubah-ubah,
tidak permanen. Jadi tidak dapat
dikatakan bahwa kesadaran adalah 'diri' yang kekal.
Lalu, kembali ke pertanyaan semula,
siapakah yang menerima akibat dari perbuatan-perbuatan baik dan
buruk (kamma)? Untuk
menjawab pertanyaan
ini, harus dijelaskan mengenai "sebab akibat yang saling
bergantungan" (paticcasamuppada). Mengenai hal ini
akan dijelaskan secara terpisah.
Apa manfaatnya jika kita memahami
tentang Ti-lakkhana ini?
Jika kita dapat memahami bahwa segala sesuatu adalah
tidak kekal, dukkha, dan tanpa inti/diri yang kekal, maka kita dapat menarik dua manfaat :
1. Kita akan menjadi manusia yang lebih terbuka
dan berbahagia. Karena kita
menyadari bahwa 'diri' sebenarnya tidak ada. Dengan demikian kita tidak secara salah
bergantung dan melekat pada 'diri' dan cenderung untuk selalu membuat benteng-benteng
pertahanan diri untuk mempertahankan milik kita, kekayaan kita, gengsi
kita, dll. Jika
kita menyadari bahwa
'diri' yang permanen ini sebenarnya tidak ada, bahwa 'diri' sebenarnya
hanyalah gabungan dari lima aggregat yang selalu berubah-ubah (anicca
dan dukkha), maka kita dapat
berhubungan dengan orang lain dan dalam berbagai
situasi tanpa rasa was-was, curiga, atau
dihantui perasaan buruk
lainnya. Kita bisa menjadi manusia
yang bebas, dan kreatif.
Dan jika kita mengalami peristiwa yang tidak
menyenangkan, kita akan lebih mampu untuk bertahan,
karena kita tahu bahwa perasaan sedih itu hanyalah bersi fat sementara,
dan perasaan sedih itu muncul dari interaksi dari salah
satu atau beberapa aggregat kemelekatan dengan obyek-obyek yang
berhubungan.
2. Pengertian yang sesungguhnya mengenai
Ti-lakkhana ini akan membawa kita kepada Penerangan Sempurna, karena
hal ini berarti kita telah berhasil menyingkirkan
ketidaktahuan avijja). Dengan melihat bahwa pengertian
yang salah tentang 'diri' merupakan sumber dan penyebab dari
semua penderitaan, dan bahwa penolakan atas 'diri'
merupakan penyebab dari penghentian penderitaan, maka sudah selayaknyalah
kita berusaha semaksimal mungkin untuk menghapuskan pendapat yang salah tentang
'diri' ini.
Bahan Rujukan :
1. Santina, P.D.
Fundamentals of Buddhism. Srilankaramaya Buddhist Temple. Singapore. 1984.
2. Rahula, Walpola.
What The Buddha Taught.
The Gordon Fraser Gallery Ltd. London.
1978.
3. Kalupahana, David J., dan Kandahjaya,
Hudaya. Filsafat Buddha,
Sebuah Analisis Historis. Erlangga. Jakarta. 1986.
4. Humphreys, Christmas.
Buddhism. Penguin
Books Ltd. Middlesex, 1983
Tidak ada komentar:
Posting Komentar