Selasa, 20 November 2012

tilakkhana


TI-LAKKHANA
(TIGA CORAK UNIVERSAL)

Ti-lakkhana (Ti berarti tiga, dan lakkhana berarti corak  atau karakter)  adalah karakteristik yang melekat pada  setiap  keberadaan.   'Karakteristik',  menurut Dr. P.D.  Santina  dalam bukunya  Fundamentals of Buddhism, adalah sesuatu  yang (tak terhindarkan) dihubungkan dengan sesuatu lainnya.  Karena karakteristik pasti berhubungan dengan sesuatu, maka  karakteristik  dapat  memberitahu  kepada kita sifat  dari  sesuatu. Contohnya: panas adalah karakter dari api.  Panas bukan karak­ter dari air.  Panas selalu dan tak dapat dihindarkan  berhu­bungan  dengan  api.  Demikian juga  dengan  Tilakkhana  yang merupakan karakter dari setiap keberadaan (existence), mencer­minkan sifat yang selalu dapat diketemukan dari setiap keberadaan.

Ti-lakkhana terdiri dari tiga sifat/corak, yaitu :
1. Sabbe  sankhara  anicca: semua  yang  saling  bergantungan (berkondisi) adalah tidak kekal.
2. Sabbe  sankhara  dukkha: semua  yang  saling  bergantungan (berkondisi) adalah tidak memuaskan (dukkha).
3. Sabbe  dhamma  anatta:  semua  yang  saling   bergantungan (berkondisi) maupun yang tidak saling bergantungan  (tidak berkondisi) adalah tanpa inti/diri yang kekal.

Anicca

Penjelasan  mengenai  anicca secara  jelas  dinyatakan  dalam sutta berikut ini :
Anicca  vata  sankhara  uppada  vaya  dhammino,   uppajjittva nirujjhanti,  tesam vupasamo sukho (tidak kekal sesungguhnya segala sesuatu yang terbentuk, mereka mengalami  kemunculan dan kehancuran. Setelah menjadi sesuatu, mereka punah kemba­li. Kebahagiaan muncul bila timbul keseimbangan).

Menurut  pernyataan  ini, segala sesuatu  tidak  kekal  bukan karena  mereka  hanya muncul sesaat,  tetapi  karena  mereka berciri  muncul  (uppada) dan hancur  (vaya).   Definisi  ini kadang-kadang   diperluas  menjadi  tiga  tahap:   kemunculan (uppada), kehancuran (vaya), dan kemusnahan (Thitassa  anna­thatta).  'Sabbe sankhara anicca', segala sesuatu yang saling bergantung  adalah  tidak kekal.  Jasmani kita  tidak kekal,
semua  benda-benda  pun juga tidak kekal.   Termasuk  pikiran kita  pun  juga tidak kekal.  Setiap  saat  berubah.   Kadang bahagia,  di lain saat sedih.  Lahir/muncul, berkembang/ber­langsung, hancur, dan mati/musnah;  inilah ciri/karakter dari segala sesuatu.  Jadi dalam setiap aspek kehidupan kita, baik itu personal atau material, atau hubungan kita dengan  orang/ hal  lainnya, atau milik-milik kita,  ketidak-kekalan adalah kenyataan,  yang  dapat dibuktikan secara  langsung.   "Dunia berada  dalam aliran yang terus menerus dan tidak  permanen," demikian Sang Buddha berkata.

Pengertian  terhadap  ketidak-kekalan adalah  penting,  tidak hanya  bagi pelaksanaan Dhamma tetapi juga dalam  hidup  kita sehari-hari.  Pengertian tentang ketidak-kekekalan  merupakan obat  penawar  bagi keinginan-keinginan  dan  kehendak buruk kita.  Hal ini juga merupakan pendorong semangat dalam pelak­sanaan Dhamma.  Dan hal ini merupakan kunci untuk mengerti sifat paling penting dari segala sesuatu, keadaan yang  sebe­narnya dari segala sesuatu yang saling bergantungan.  Memaha­mi  ketidak-kekalan juga merupakan kunci untuk mengerti ten­tang  'tanpa-aku' (Anatta), karena kita mulai  melihat  bahwa tidak ada keberadaan yang permanen; bahwa dalam diri kita dan segala  sesuatu  di sekeliling kita, tidak ada  sesuatu  yang dapat disebut sebagai 'aku'.


Dukkha
Sang Buddha berkata bahwa segala sesuatu yang tidak  permanen adalah  dukkha, dan segala sesuatu yang tidak  permanen  dan dukkha  adalah juga 'tanpa-aku' (Anatta).  Apapun yang  tidak permanen  adalah dukkha karena ketidak-kekalan adalah  salah satu pencetus dukkha.  Ketidak-kekalan adalah pencetus  dukk­ha, bukan  penyebab  dukkha,  karena  ketidak-kekalan  hanya menimbulkan  dukkha sepanjang ketidak-tahuan (avijja),  nafsu keinginan (tanha) dan kemelekatan (raga) hadir.  Dalam  keti­daktahuan  kita  mengenai  sifat dari  segala  sesuatu,  kita dan melekat pada obyek-obyek dengan harapan yang sia-sia bahwa mereka akan kekal (permanen), sehingga mereka dapat memberikan kebahagiaan yang permanen pula.  Jadi  obyek-obyek yang  menyenangkan yang kita ingini dan kita melekat  padanya itu suatu saat akan berakhir atau musnah, mereka tidak kekal.

Dengan  demikian  ketidak-kekekalan merupakan  pencetus  dari dukkha  karena segala  sesuatu yang  tidak  permanen  adalah dukkha.

Pengertian Dukkh secara luas mencakup tiga hal:
1. Dukkha-dukkha: dukkha sebagai penderitaan sebagaimana yang kita  rasakan. Misalnya:  lahir, sakit,  tua,  mati,  keinginan  yang tak terpenuhi, kehilangan orang atau  benda yang dicintai, dan lain-lain.
2.Viparinama-dukkha  :  dukkha yang timbul  akibat  perubahan (ketidak-kekekalan).

3.Sankhara-dukkha : dukkha sebagai keadaan yang berkondisi.

Semua  bentuk penderitaan dalam hidup ini  seperti  kelahiran, usia  tua,  sakit, mati, bertemu dengan  orang  yang  dibenci, kehilangan  orang atau benda yang dicintai, tidak  mendapatkan apa  yang  diinginkan, stress, dan  lain-lain,  yang  semuanya membentuk penderitaan fisik dan mental, termasuk dalam dukkha-dukkha.  Pengertian dukkha-dukkha ini adalah pengertian dukkha  pada  Kebenaran  Mulia yang Pertama, bahwa  hidup  ini  adalah penderitaan,  baik penderitaan fisik maupun mental.   Dan  ini mencakup kehidupan di tiga puluh satu alam.

Viparinama-dukkha  dan  sankhara-dukkha  merupakan  pengertian dukkha  dalam Tilakkhana, sebab dukkha di  sini  bukan  hanya berarti  penderitaan, tetapi juga berarti  'tidak  memuaskan', 'tidak sempurna', 'tidak kekal', 'tanpa inti'.  Dukkha di sini tidak  hanya meliputi tiga puluh satu alam  kehidupan,  tetapi merupakan sifat/karakter dari seluruh keberadaan secara  uni­versal  (yad  aniccam tam dukkham, segala sesuatu  yang  tidak kekal adalah dukkha).  Jadi tidak tepat jika pengertian dukkha di sini adalah 'penderitaan'.

Pengertian  dukkha  dalam Tilakkhana yang  berhubungan  dengan makhluk-makhluk adalah, seperti yang sudah disebutkan di atas, dukkh yang timbul disebabkan karena ketidaktahuan, keinginan-keinginan, dan kemelekatan kita obyek-obyek yang tidak  kekal.  Darimana timbulnya ketidak-tahuan, keinginan, dan kemelekatan itu?   Tak  lain adalah hasil kontak  dari  indera,  perasaan, persepsi, bentuk-bentuk mental, dan kesadaran kita (Pancakhan­da) dengan obyek-obyek eksternal.  Sang Buddha pernah bersabda "Apakah dukkha itu, O, para Bhikkhu?  Lima aggregat  kemele­katan (pancakhanda) inilah dukkha."  Jadi perlu dipahami bahwa Pancakhanda dan dukkha bukanlah dua hal yang berbeda.  Pancak­handa itu sendiri adalah dukkha.  Pancakhanda  terdiri  dari Aggregat  materi (rupakhanda), mencakup  Empat  Elemen  Besar cattari mahabhutani) yaitu zat padat, cair, panas, dan  gerak dan  derivatif (turunannya), termasuk enam indera  dan  obyek-obyek yang  berhubungan dengan keenam  indera  ini;  Aggregat Perasaan (vedanakhanda) yang mencakup semua  sensasi/perasaan yang timbul dari kontak antara enam indera dengan dunia  luar; Aggregat  Persepsi  (sannakhanda) yang  mengenali  obyek-obyek apakah  bersifat  fisik atau  mental;  Aggregat  Bentuk-bentuk Mental (Sankharakhanda) yang mencakup semua aktifitas kehendak yang baik dan yang buruk.  Apa yang secara umum dikenal  seba­gai  kamma™ berasal dari kelompok ini; dan  Aggregat  Kesadaran (vinnanakhanda) yang merupakan reaksi atau respon dengan salah satu  dari  enam indera sebagai basisnya dan salah  satu  dari fenomena eksternal  yang berhubungan dengan  indera  tersebut sebagai obyeknya. 

Apa  yang kita sebut sebagai 'makhluk' atau  suatu  'individu' atau 'aku' hanyalah sekedar nama yang diberikan pada kombinasi dari  Pancakhanda  ini.   Semuanya tidak  permanen  dan  terus menerus  berubah.   Mereka tidak mungkin sama pada dua  waktu yang  berbeda.    Inilah maksud sebenarnya dari  Sang  Buddha: 'Lima Aggregat  Kemelekatan  itulah  dukkha',  karena  mereka senantiasa  berubah dalam aliran waktu.  Mereka  berubah  jika kondisi  hubungan/kontak antara faktor-faktor internal  (enam indera)  dengan faktor-faktor eksternal (obyek) juga  berubah. 
Jelaslah tidak mungkin Pancakhanda ini konstan untuk dua  saat berbeda. 

Anatta
Konsep anatta (tanpa diri yang kekal) ini sering membingungkan banyak orang.  Jika tidak ada 'aku', lalu mengapa kita  selalu berkata  'Aku berbicara', 'Aku mendengarkan',  'Ini  milikku', dan  lain-lain.   Dan jika tidak ada 'aku',  lalu  siapa yang mengungkapkan, merasakan, dan mengalami akibat-akibat perbuatan baik dan buruk? 

Sebelum membahas lebih lanjut, sebaiknya kita perhatikan kata-kata  Sang  Buddha (dalam Dhammapada ayat 277, 278,  dan  279) :'Sabbe  Sankhara anicca, Sabbe Sankhara dukkha, Sabbe  Dhamma  anatta'.   Mengapa  pada ayat ketiga ini  tidak memakai  kata Sankhara tetapi memakai Dhamma?  Disinilah letak  permasalahan yang terpenting.

Terminologi 'segala sesuatu yang berkondisi' (sankhara) menun­jukkan  Lima Aggregat Kemelekatan (Pancaskandha),  semua  yang berkondisi, saling bergantung, segala sesuatu dan keadaan yang relatif,  baik  fisik maupun  mental.   Sedangkan terminologi Dhamma  mencakup  segala sesuatu yang berkondisi  maupun  yang tidak  berkondisi.  Jadi jika Sankhara hanya  menyangkut  pada pengertian Pancaskandha,  maka Dhamma  mencakup  pula  segala sesuatu  di luar Pancaskandha.  Nibbanna pun juga  termasuk  di dalamnya. 

Banyak  orang  yang  berat melepaskan  konsep  tentang  adanya 'diri'  sering memakai kata-kata Sang  Buddha  kepada  Ananda dalam  Mahaparinibbanna  Sutta) yang  mengatakan:   "Attadipa viharatha, attasarana anannasarana" (Jadilah pulau bagi  diri­mu;  jadilah kamu pelindung bagi dirimu, janganlah  berlindung pada  orang lain) sebagai pegangan.  Kita tidak akan  mengerti maksud  dari sabda Sang Buddha ini jika kita tidak  mengetahui latar  belakang  dari kata-kata yang diucapkan  Beliau.  Sang Buddha  mengucapkan kata-kata ini untuk menghibur Ananda  yang sedang bersedih  karena  ia berpikir bahwa  ia  akan  menjadi kesepian dan kehilangan perlindungan jika Sang Buddha mangkat. 

Sang Buddha, yang mengetahui kesedihan Ananda, berkata  dengan penuh  belas kasih :"Ananda, apalagi yang  diharapkan  Sangha dariKu.   Aku telah mengajarkan Dhamma (Kebenaran) tanpa  mem­buat  perbedaan ajaran yang eksoterik dan esoterik.   Mengenai kebenaran, Sang Tatagatha tidak menyembunyikan sesuatu seperti halnya  guru yang pelit.  Tentu saja, Ananda, jika  ada  orang yang  yang berpikir bahwa dia akan memimpin Sangha, dan  bahwa Sangha  akan  bergantung padanya, maka  biarkan  dia  membuat instruksi-instruksi.   Tetapi Sang Tatagatha tidak  mempunyai pemikiran seperti itu.  Mengapa ia harus meninggalkan  peratu­ran-peraturan  untuk Sangha?  Saya sudah tua  Ananda,  delapan puluh  tahun.   Seperti kereta yang sudah aus  karena  dipakai terus  menerus dan harus senantiasa diperbaiki, demikian  pula Aku,  tubuh  Sang Tathagata hanya dapat  dipertahankan dengan terus  menerus diperbaiki.  Karena itu, Ananda, jadilah  pulau bagi dirimu, buatlah dirimu, bukan orang lain, sebagai  pelin­dungmu;  buatlah Dhamma sebagai pulau bagimu,  Dhamma  sebagai pelindungmu, jangan berlindung pada yang lainnya."

Apa  yang disampaikan Sang Buddha kepada Ananda  sudah  jelas.  Sang  Buddha memberikan kepada Ananda  penghiburan,  semangat, dan  kepercayaan diri, dengan berkata bahwa oarang harus  ber­gantung pada dirinya sendiri, dan pada Dhamma yang  diajarkan­Nya, dan bukannya pada orang lain atau sesuatu yang lain.   Di sini pertanyaan  dari  atta  yang  bersifat  metafisik,  atau 'diri', sama sekali tidak disinggung.

Selanjutnya  Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda,  bagaimana seseorang  dapat menjadi pulau atau  pelindung  bagi  dirinya sendiri,  bagaimana  seseorang dapat membuat  Dhamma  sebagai pulau atau pelindungnya; yaitu melalui pengembangan kesadaran mindfulness)  atau kewaspadaan (aware-ness)  terhadap  tubuh, perasaan, pikiran (mind) dan obyek-obyek pikiran (empat  Sati­patthana).  Tidak ada pembicaraan mengenai Atta atau 'diri'.

Bagaimanakah  kita dapat meyakini bahwa tidak ada 'diri'  atau atta  pada  tubuh dan pikiran kita?   Sang  Buddha  menerapkan analisis berikut terhadap tubuh dan pikiran untuk  menunjukkan bahwa  'diri' tidak dapat ditemukan dimanapun juga, baik  pada tubuh  maupun  pada pikiran.  Tubuh bukanlah  'diri'.   Karena jika  tubuh adalah diri, maka diri itu adalah tidak  permanen, akan menjadi subyek dari perubahan, pelapukan, kerusakan,  dan kematian.   Jadi  tubuh bukanlah diri.   Diri  tidak memiliki tubuh kita, dalam arti seperti saya memiliki televisi,  karena
diri tidak dapat mengontrol tubuh.  Tubuh jatuh sakit,  lelah, dan  tua  di luar kehendak kita.  Tubuh memiliki  bentuk  yang sering  tidak sesuai dengan keinginan kita.  Jadi dengan  cara apapun  juga tidak dapat dikatakan bahwa diri memiliki tubuh.  Diri tidak berada di dalam tubuh.  Jika kita meneliti  seluruh tubuh kita, mulai dari puncak kepala kita hingga ujung ibujari kaki  kita, kita tidak akan bisa menemukan tempat  'diri'  itu berada.   Diri tidak dapat ditemukan dimanapun juga  di dalam tubuh kita.

Demikian pula, pikiran (mind) bukanlah diri.  Pikiran  merupa­kan subyek dari perubahan yang terus menerus.  Pikiran  berba­hagia pada suatu saat dan tidak berbahagia pada saat  lainnya.  Jadi pikiran tidak bisa merupakan 'diri' karena pikiran senan­tiasa  berubah.   Diri tidak memiliki pikiran  karena  pikiran menjadi  gembira atau sedih di luar keinginan kita.   Walaupun kita tahu bahwa beberapa pemikiran tertentu adalah  bermanfaat dan pemikiran tertentu lainnya tidak bermanfaat, pikiran kita mengejar pemikiran yang tak bermanfaat dan mengabaikan pemiki­ran yang bermanfaat.  Jadi diri tidak memiliki pikiran  karena pikiran  bertindak  bebas/tidak tergantung  pada  diri.   Diri tidak berada dalam pikiran.  Tak peduli bagaimana pun teliti­nya  kita meneliti isi pikiran kita, tak  peduli  bagaimanapun telitinya  kita meneliti pemikiran-pemikiran  kita,  perasaan kita,  ide-ide  kita,  kita tidak akan bisa menemukan  diri.  Kesimpulannya tetap bahwa 'diri' hanyalah nama yang diberikan bagi sekumpulan faktor-faktor (pancakhanda).

Dunia  selalu berubah.  Satu hal hilang,  menyediakan  kondisi bagi munculnya hal lainnya.  Tidak ada inti yang tak  berubah.  Tidak ada yang dapat disebut diri (atta) yang permanen.  Semua pasti setuju bahwa baik materi, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk  mental maupun kesadaran tidak ada yang  dapat  disebut sebagai 'diri'.  Tetapi jika kelima aggregat mental dan  fisik ini, yang masing-masing saling berhubungan, bekerja sama dalam kombinasi seperti mesin fisio-psikologis, kita memperoleh  ide tentang  'aku';  tetapi  ini adalah ide  yang  salah.   Kelima aggregat ini, yang secara populer kita sebut sebagai 'makhluk' atau  'aku',  adalah  dukkha (sankhara  dukkha).   Tidak  ada 'makhluk'  atau 'aku' lainnya yang berdiri di belakang  kelima aggregat ini yang mengalami dukkha.

Sekarang,  timbul  pertanyaan klasik :"Jika  badan,  perasaan, pencerapan,  bentuk-bentuk mental dan kesadaran  adalah  tanpa 'diri',  terhadap 'diri' yang mana perbuatan  yang  dikerjakan oleh diri akan berpengaruh?"  Salah seorang siswa Sang Buddha, yaitu  Sati,  bersikukuh bahwa  kesadaranlah  yang  berpindah-pindah, dan kesadaranlah yang merasakan dan mengalami  akibat-akibat dari perbuatan baik dan buruk.  Sang Buddha menjelaskan bahwa kesadaran dinamai sesuai dengan kondisi yang menyebabkan kesadaran itu muncul.  Dari mata dan bentuk-bentuk fisik yang terlihat  muncullah kesadaran visual, dari telinga dan  suara-suara timbullah kesadaran pendengaran, dari pikiran dan obyek-obyek  pikiran  (ide-ide  dan pemikiran-pemikiran)  timbullah kesadaran mental, dan seterusnya.

Jadi  kesadaran hanya muncul selama kondisi indera dan  obyek-obyek yang berhubungan dengan indera tersebut hadir.  Kesadar-an  akan  berhenti jika kondisi tersebut tidak ada  lagi  atau berubah; tetapi kesadaran tidak bisa berpindah dari kesadaran visual ke telinga menjadi kesadaran pendengaran, dan  sebagai­nya.Jadi jelaslah  bahwa  keberadaan  kesadaran  ditentukan  oleh kondisi dari keberadaan indera berikut dengan  obyek-obyeknya; jadi kesadaran pun juga senantiasa berubah-ubah, tidak  perma­nen.  Jadi tidak dapat dikatakan bahwa kesadaran adalah 'diri' yang kekal.

Lalu,  kembali  ke pertanyaan semula, siapakah  yang  menerima akibat dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk (kamma)?  Untuk menjawab  pertanyaan  ini, harus  dijelaskan  mengenai "sebab akibat yang saling bergantungan" (paticcasamuppada).  Mengenai hal ini akan dijelaskan secara terpisah.

Apa  manfaatnya  jika kita memahami tentang  Ti-lakkhana  ini?  Jika  kita  dapat memahami bahwa segala sesuatu  adalah  tidak kekal, dukkha, dan tanpa inti/diri yang kekal, maka kita dapat menarik dua manfaat :

1. Kita akan menjadi manusia yang lebih terbuka dan  berbaha­gia.  Karena kita menyadari bahwa 'diri' sebenarnya  tidak ada.   Dengan demikian kita tidak secara salah  bergantung dan melekat pada 'diri' dan cenderung untuk selalu membuat benteng-benteng pertahanan diri untuk mempertahankan milik kita,  kekayaan kita, gengsi kita, dll.  Jika kita  menya­dari bahwa 'diri' yang permanen ini sebenarnya tidak  ada, bahwa 'diri' sebenarnya hanyalah gabungan dari lima aggre­gat  yang selalu berubah-ubah (anicca dan  dukkha),  maka kita dapat  berhubungan dengan orang lain dan dalam berba­gai  situasi  tanpa  rasa was-was,  curiga,  atau  dihantui perasaan buruk lainnya.  Kita bisa menjadi  manusia  yang bebas,  dan  kreatif.  Dan jika kita mengalami  peristiwa yang  tidak  menyenangkan,  kita akan  lebih  mampu untuk bertahan, karena kita tahu bahwa perasaan sedih itu hanya­lah  bersi  fat sementara, dan perasaan sedih  itu  muncul dari  interaksi  dari salah satu  atau  beberapa aggregat kemelekatan dengan obyek-obyek yang berhubungan.

2. Pengertian yang sesungguhnya mengenai Ti-lakkhana ini akan membawa  kita kepada Penerangan Sempurna, karena  hal  ini berarti  kita telah berhasil menyingkirkan  ketidaktahuan avijja).   Dengan  melihat bahwa  pengertian  yang salah tentang  'diri' merupakan sumber dan penyebab  dari  semua penderitaan,  dan bahwa penolakan atas  'diri'  merupakan penyebab dari penghentian penderitaan, maka sudah selayak­nyalah kita berusaha semaksimal mungkin untuk menghapuskan pendapat yang salah tentang 'diri' ini.

Bahan Rujukan :
1. Santina, P.D.   Fundamentals of Buddhism.   Srilankaramaya Buddhist Temple.  Singapore.  1984.

2. Rahula,  Walpola.   What The Buddha  Taught.   The  Gordon Fraser Gallery Ltd.  London.  1978.

3. Kalupahana,  David J., dan Kandahjaya,  Hudaya.   Filsafat Buddha,  Sebuah Analisis Historis.   Erlangga.   Jakarta.  1986.

4. Humphreys,  Christmas.    Buddhism.   Penguin  Books  Ltd.   Middlesex, 1983

Tidak ada komentar:

Posting Komentar